Potret Itu, Gelas Itu, Pakaian Itu
Oleh: Budi Darma
Sungguh menakjubkan, bahwa ketika hari sudah petang dan lampu jalanan mulai dinyalakan, perempuan itu membuka jendela dan memandang keluar. Alis perempuan itu hitam tebal, melindungi matanya, dan mata itu tajam dan sebentar bergerak-gerak. Ketika melihat laki-laki bertubuh kurus jangkung berdiri di pinggir jalan, mata perempuan itu bergerak-gerak cepat ke kanan dan ke kiri.
Laki-laki bertubuh kurus jangkung memang sudah menantikan saat-saat seperti ini, kemudian meloncat ke pekarangan melalui pagar tanaman, pagar tanaman yang sebetulnya tidak begitu tinggi.
Beberapa saat kemudian mereka berdua sudah berada di dalam kamar. Dengan tangan gemetar, perempuan itu menutup jendela dengan hati-hati, dengan sebelumnya menyelidik cepat-cepat apakah perbuatannya terintai oleh orang lain. Laki-laki bertubuh kurus jangkung itu juga gemetar.
Lampu di dalam kamar sudah menyala, tapi sangat samar. Dengan tidak memandang ke arah laki-laki itu, perempuan itu menuding ke arah dinding sebelah kanan. Di bawah potret ada sebuah gelas, terletak di sebuah rak buku kecil. Dan di dalam rak terdapat beberapa buku, dan judul buku-buku itu tidak mungkin dibaca karena sinar lampu sangat samar.
Laki-laki itu mengangguk mengerti. Dia mendekati dinding di sebelah kanan. Matanya berganti-ganti melihat potret laki-laki itu, kemudian gelas, dan kemudian beberapa buku. Tubuhnya agak membongkok manakala dia melihat-lihat buku-buku di dalam rak.
Ketika perempuan itu menjawil tangan kirinya, perhatian laki-laki bertubuh kurus jangkung itu masih terlarut ke dalam potret laki-laki di dinding. Agak terkejut juga dia ketika dia merasa dijawil. Dan tahulah dia sekarang, bahwa perempuan itu sedang menuding-nuding ke arah sebuah tempat tidur kecil.
Ada sebuah meja kecil dengan bunga segar di dekat tempat tidur itu. Di dekat tempat tidur ada pula sebuah kursi. Dan yang mengherankan laki-laki itu adalah, mengapa di dekat tempat tidur tidak ada potret seorang laki-laki, misalnya saja potret laki-laki yang tergantung di dinding sebelah kiri. Tapi laki-laki itu tidak bertanya, karena perempuan itu sudah menjelaskan:
"Dia tidak mau potretnya dipasang di sini."
Belum sempat bertanya apa-apa, laki-laki itu sudah ditarik oleh perempuan itu untuk mendekati sebuah almari. Dan ketika perempuan itu membuka almari, terasalah bau enak menebar di dalam kamar remang-remang itu. Dan laki-laki itu tidak terkejut melihat, beberapa pakaian laki-laki di dalam almari.
Laki-laki itu terus diam ketika perempuan itu mengudal-udal beberapa pakaian dari dalam almari. Meskipun demikian, laki-laki itu agak terkejut, ketika melihat pakaian di sebelah dalam almari itu ternyata penuh cipratan darah. Dan segeralah perempuan itu mengguyurkan minyak wangi dengan khidmat dan hormat ke pakaian itu.
Setelah perempuan itu menutup almari dan laki-laki itu duduk dekat tempat-tidur, perempuan itu berjalan ke arah tombol listrik, dan mematikan lampu bercahaya lemah itu.
"Apakah yang tadi kau lihat pada potret yang tergantung di dinding itu?" tanya perempuan itu.
"Saya tidak pernah melihat laki-laki seagung itu. Sungguh agung dia. Jengkal demi jengkal wajahnya menunjukkan keagungan luar biasa."
"Apa lagi?"
"Apa lagi? Ya, apa lagi? Tentu saja saya mengagumi dia. Matanya sungguh menakjubkan. Alangkah senangnya kau menjadi istrinya."
"Apa lagi?"
"Apa lagi? Ya, apa lagi? Saya yakin dia laki-laki gagah, kendatipun nampaknya tubuhnya hanyalah kurus jangkung. Dia pasti laki-laki ramah."
"Apa lagi?"
"Apa lagi? Ya, apa lagi? Saya kagum pada raut wajahnya. Dia pasti mempunyai wibawa besar, wibawa tinggi. Saya mengaguminya."
"Hanya itu?"
Laki-laki itu kehabisan akal dan kehabisan kata. Maka berbicaralah dia asal berbicara, tentunya tanpa mengetahui apa yang dikatakannya:
"Tentu saja tidak. Saya heran mengapa laki-laki semulia ini bisa mati terganyang kanker. Heran. Saya heran mengapa takdir tidak memberinya umur panjang, untuk memberikan kesempatan kepadanya guna lebih memuliakan cita-citanya dalam mengangkat harkat, martabat, dan derajat sesamanya."
"Siapa yang mengatakan dia dihabisi kanker?"
Laki-laki itu diam. Dia ingat, pada suatu malam dia melihat seorang anak perempuan kecil memotret dirinya. Kalau tidak keliru, dia dipotret sekitar tiga bulan lalu, di Balai Wartawan ketika diadakan pertemuan antara beberapa pedagang dengan wartawan. Begitu cepat anak perempuan itu memotretnya, kemudian berjalan bergegas dan menyelinap di antara sekian banyak orang. Akhirnya laki-laki itu tahu, bahwa anak perempuan itu datang bersama seorang perempuan beralis hitam tebal dan bermata tajam. Ketika laki-laki itu berusaha menemui anak perempuan itu, pertemuan dinyatakan bubar. Dan karena dia harus menemui beberapa temannya, perempuan beralis hitam tebal dan bermata tajam serta anak perempuan itu terlepas dari tangannya.
"Laki-laki itulah yang saya cintai," kata perempuan itu. "Karena itulah potretnya saya pasang di situ. Dan karena itu pulalah gelas peninggalannya saya taruh di bawah potretnya. Dia selalu minum dari gelas itu setiap kali dia datang ke sini. Bekas-bekas bibirnya masih ada di situ. Dan setiap kali saya merindukannya, selalu saya usap-usap mulut gelas itu dengan pinggiran mulut saya. Sering mulut gelas itu saya lumat-lumat dengan bibir saya seperti pada waktu saya melumat-lumat bibirnya. Dan sering juga mulut gelas itu saya gosok-gosokkan ke payudara saya, seperti dia sendiri dahulu sering mengagumi payudara saya. Dan buku-buku dalam rak itu adalah buku-buku kegemarannya. Setiap kali dia ke sini selalu dia membuka-buka halaman-halaman buku itu. Begitu gemar dia membuka-bukanya, segemar dia membuka-buka lembar demi lembar pakaian yang saya kenakan."
Laki-laki itu diam. Dia tidak tahu mengapa sekonyong-konyong siang tadi dia menemukan sebuah surat tergeletak di meja kerjanya di kantor. Ketika dia menanyakan kepada sekretarisnya, beberapa bawahannya, dan juga beberapa pesuruh siapa gerangan yang menaruhkan surat itu di atas mejanya, tidak seorang pun tahu. Laki- laki itu hanya tahu bahwa sudah beberapa hari ini ada seorang laki-laki mencurigakan secara berkala mengitari kantornya. Setiap kali laki-laki itu akan masuk kantor, laki-laki mencurigakan selalu menghadangnya dekat pintu, kemudian mengawasinya dengan pandangan tidak enak. Dan setiap laki-laki itu akan meninggalkan kantor, laki-laki mencurigakan selalu menghadangnya di dekat pintu dengan menggumamkan suara tidak jelas. Kemudian dia sering melihat laki-laki mencurigakan berseliweran tidak jauh dari jendela kaca yang memisahkan kantornya dengan kebun kacang. Dan setiap kali pandangan mata mereka bertemu, laki-laki mencurigakan selalu memandanginya dengan sikap tertegun.
Surat itulah, yang mungkin telah disampaikan oleh laki-laki mencurigakan itu, yang telah mengantarkannya ke rumah perempuan beralis hitam tebal dan bermata tajam.
"Dari sekian banyak laki-laki yang saya kenal, dialah laki-laki yang saya cintai," kata perempuan itu lagi. Dan kemudian perempuan itu bercerita mengenai gelas itu lagi, mengenai buku-buku itu lagi, dan akhirnya mengenai payudaranya.
"Rupanya laki-laki lain yang pernah saya kenal tidak begitu menyukai payudara saya. Hanya dialah yang sering membisikkan kata-kata aneh ke payudara saya segera setelah dia menjelek-jelekkan sekian banyak perempuan lain. Senang sekali dia membanding-bandingkan payudara saya dengan payudara mereka, dan tentu saja tubuh saya dengan tubuh mereka. Dia bercerita mengenai perempuan-perempuan dan dengan sangat terbuka, dengan nada sangat melecehkan mereka, dan tentu saja dengan nada mengagung-agungkan saya. Betul yang kau katakan tadi, dia laki-laki mengagumkan, sangat mengagumkan. Bagi saya, mungkin dia jauh lebih agung dan jauh lebih mengagumkan dibanding dengan Nabi Yusuf. Ingat, Nabi Yusuf tidak suka merayu, sementara dia suka merayu, yaitu merayu sekian banyak perempuan, sampai akhirnya dia jatuh di hadapan saya, menjilati kaki saya. Setiap kali didekati perempuan, Nabi Yusuf selalu mengingatkan perempuan yang mendekatinya dan juga dirinya sendiri akan masa depan manusia, apabila manusia telah mati kelak. Ketika seorang perempuan berusaha merayunya dan mengatakan bahwa rambut Nabi Yusuf sangat indah, berkatalah Nabi Yusuf, 'Rambut inilah yang pertama kali akan berhamburan dari tubuh saya setelah nyawa saya meloncat dari tubuh saya.' Dan ketika seorang perempuan merayunya lagi, berkatalah Nabi Yusuf, 'Kelak tanah akan melumatkan wajah saya.'
Laki-laki yang potretnya di sana itu sangat berbeda. Dia selalu melihat ke depan, tanpa mau mengerti bahwa pada suatu saat maut akan menjemputnya. Dia selalu membisikkan kata-kata indah mengenai kegunaan dan kenikmatan hidup. Tanpa pernah mengatakannya, dia selalu berpikir untuk memanfaatkan detik demi detik untuk berjasa, memberi kenikmatan bagi orang lain, dan juga bagi dirinya sendiri. Sering dia bercerita mengenai mimpi-mimpi indah, seperti misalnya memperluas usaha-usaha dagangannya kalau perlu dengan menaklukkan musuh-musuhnya, kemudian membangun rumah-rumah yatim piatu, mendirikan sekolah-sekolah, membantu rumah sakit-rumah sakit, dan entah apa lagi. Dia sangat suka membantu orang-orang papa dan orang-orang yang ingin maju, tapi sekaligus sangat membenci orang-orang malas dan tidak mempunyai otak. Dalam keadaan lelah dia mendatangi saya, untuk menikmati tubuh saya dan sekaligus menghidangkan kenikmatan bagi saya. Dia datang untuk mencari gairah hidup, agar dia menjadi lebih segar, lebih bersemangat, dan lebih mampu beribadah dalam bentuk kerja keras. Setiap inci tubuhnya adalah pertanda keagungannya, demikian pula setiap dengan nafasnya."
"Dan manakah anak perempuan yang memotret dahulu?"
"Ciumlah tangan saya sebelum saya menjawab pertanyaanmu."
Belum selesai dia mencium tangan kanan perempuan itu, perempuan itu sudah menyodorkan tangan kirinya.
"Ulangilah pertanyaanmu tadi."
"Manakah anak perempuan yang memotret dahulu?"
"Anak perempuan? Maaf, saya tidak tahu ke arah mana pembicaraanmu. Andaikata kau bermaksud untuk menanyakan apakah saya mempunyai anak perempuan, saya dapat menjawab bahwa saya tidak mempunyai anak perempuan. Ketahuilah anak perempuan suka rewel, demikianlah kata laki-laki yang saya cintai. Dan andaikata saya mempunyai anak, saya tidak akan mengijinkannya memotret."
"Mengapa?"
"Menurut laki-laki yang saya cintai itu, memotret hanyalah menghabiskan uang. Setiap orang harus berhemat. Dan mungkin karena itu pulalah dia tidak suka anak perempuan, sebab dia sering mengatakan bahwa anak perempuan hanya memboroskan saja. Dia juga tidak suka potret, karena potret hanyalah menghabiskan uang."
"Benarkah laki-laki seagung itu mempunyai jalan pikiran demikian?"
"Memang saya sering menemui kesulitan dalam mengorek apa yang sebenarnya berkelebat di dalam nuraninya. Sering kata-katanya melompat demikian saja dari puncak otaknya, sementara kelebat hati nuraninya yang sesungguhnya tidak terucapkannya. Saya sendiri yakin dia sama sekali tidak pelit. Dia pasti menyimpan rahasia mengapa dia tidak menyukai anak perempuan. Dan saya pernah berhasil mengoreknya, ketika dia mengigau dalam tidurnya. Meskipun demikian, kata-katanya hanyalah pendek dan tidak jelas, sehingga sulit bagi saya untuk menafsirkannya. Tapi saya tahu, dia berhati agung.
Bagi dia, laki-laki tidak bisa bebas dari perempuan, dan perempuan pada dasarnya adalah beban. Eva sengaja diciptakan Tuhan untuk menemani Adam, tapi sekaligus untuk melancarkan wahyu-wahyu setan. Istri paman Nabi Muhammad, Ummu Jamil namanya, justru akan mencelakakan keponakan suaminya sendiri. Siapa yang akan mencelakakan Nabi Nuh, tidak lain dan tidak bukan adalah istrinya sendiri. Negeri Sodom juga hancur lebur, setelah istri Nabi Luth, nabi yang dipercaya oleh Tuhan untuk menegakkan ketaqwaan di negeri itu, mengkhianati suaminya habis-habisan. Adalah pula Siti Qodariah, seorang wanita, yang berusaha mencelakakan Nabi Yusuf setelah usahanya untuk menikmati keindahan tubuh Nabi Yusuf gagal. Belasan tahun perang di Troya adalah juga perang untuk memperebutkan perempuan. Laki-laki sudah ditakdirkan untuk tidak mampu mengalahkan nafsunya sendiri, dan perempuan terlanjur sudah diciptakan untuk memperbudak nafsu laki-laki."
Belum sempat laki-laki itu bertanya, perempuan itu menyuruhnya berjongkok di lantai dan menjilati kakinya.
"Setiap laki-laki harus menjilati kaki saya," katanya.
Setelah selesai menjilati seluruh bagian tubuh perempuan itu dan setelah selesai mengucapkan selamat tinggal, laki-laki itu keluar lewat pintu, dan pintu itu segera ditutup dari dalam, kemudian laki-laki itu meloncat keluar melalui pagar tanaman.
Laki-laki itu merasa bahwa malam telah larut benar. Ketika memasuki sebuah gang, dia berjalan agak sempoyongan. Bau wangi tubuh perempuan yang baru saja ditinggalkannya masih melekat pada seluruh bagian tubuhnya sendiri. Dan keringat dari celah-celah kulitnya terasa begitu asing, karena yang tercium olehnya adalah keringat perempuan itu.
Heran benar laki-laki itu, mengapa tadi dia tidak menanyakan siapa nama perempuan itu. Hapal-hapal ingat kalau tidak salah perempuan itu menamakan dirinya Maemunnah. Atau mungkin Robinggah. Mungkin juga dia Jurbbah. Bukankah dia Immlah? Ya, pokoknya pakai "ah", entah itu Siffiah, entah Monissah, atau Markammah.
Dia ingat, perempuan itu tidak pernah menyebut-nyebut nama laki-laki yang potretnya tergantung di dinding. Dan laki-laki yang potretnya tergantung di dinding itu bukanlah suami perempuan itu. Laki-laki itu hanya kadang-kadang datang ke sana untuk menyibuk-nyibukkan dirinya. Ini sudah berlangsung selama beberapa tahun, ujar perempuan itu.
Ketika laki-laki itu menanyakan siapa yang membuat potret di dinding itu, perempuan itu hanya menceritakan bahwa pada suatu hari dalam sebuah musim kemarau panjang ada seorang anak perempuan mengantarkan bingkisan besar ke rumahnya, dan ternyata bingkisan itu adalah potret itu. Anak perempuan itu sama sekali tidak pernah datang ke sana lagi.
Laki-laki itu terus berjalan tergontai-gontai. Ketika seekor kucing hitam melintas di gang dan memotong jalannya, dia tidak menahan langkahnya. Kucing itu pun tidak perduli bahwa dia sedang berpapasan dengan seorang laki-laki. Tetapi, ketika ku-cing itu melompat ke tempat agak tinggi dan menyorotkan matanya ke arah laki-laki itu, laki-laki itu merasa keringatnya keluar lebih deras. Dan keringat itu rasanya bukan keringatnya sendiri, karena baunya sama benar dengan bau keringat perempuan tadi.
Sementara rasa hausnya memuncak sampai ke ubun-ubun kerongkongannya, laki-laki itu terus berjalan. Kata perempuan tadi, setiap kali laki-laki itu minta minum karena merasa haus. Dan setiap kali akan pulang, pasti laki-laki itu minta minum lagi untuk meninggalkan bekas bibir pada mulut gelas. Dan gelas itu masih tergeletak di rak buku.
Tiba-tiba laki-laki itu merasa salah jalan. Ketika masih berada di jalan besar tadi, seharusnya dia berjalan terus, kemudian membelok ke kiri. Ternyata tadi dia membelok ke kanan sebelum waktunya. Dia membelok ke kiri. Setelah tertegun sejenak, dia memutuskan untuk kembali menyusuri gang, dan untuk kemudian memasuki jalan yang benar.
Laki-laki itu masih berdiri tertegun ketika seekor kucing hitam kecil meloncat dari dinding di atas sana, lalu lari cepat memintasi jalannya. Ternyata kucing itu lari ke sebuah lorong di sebelah kanan. Dan ketika laki-laki itu melihat ke arah lorong, nampaklah olehnya sebuah lampu kecil, menerangi sesuatu yang tidak asing baginya, yaitu sumur. Mengapa dia tidak ke sana sebentar, menimba, dan minum?
"Maka berjalanlah dia agar cepat menuju ke sumur. Namun, sebelum dia benar-benar dekat dengan sumur, seorang laki-laki menegor dia.
"Mengapa malam-malam begini kamu berada di sini?"
Dengan cepat dia mengenal siapa laki-laki itu: kedua matanya bulat seperti mata burung hantu, lehernya kurus panjang dengan buah kuldi mendongkol dan selalu naik turun, sementara urat-urat tangannya membengkak menutupi kedua tangannya, dan tangan-tangan itu benar-benar kurus. Dialah laki-laki mencurigakan, dan dialah yang selalu mengawasinya di kantor.
"Mengapa malam-malam begini kamu berada di sini?" tanya laki-laki mencurigakan sekali lagi.
Dia tidak dapat menjawab. Matanya menangkap buah kuldi laki-laki mencurigakan, dan ingatannya melompat ke payudara perempuan tadi. Benar-benar payudara perempuan tadi memberinya kenikmatan, dan benar-benar buah kuldi laki-laki mencurigakan itu memuakkan. Dia seolah-olah melihat Adam, pada waktu mata Adam mendelik karena buah terlarang yang dimakannya menyangkut di kerongkongannya. Tiba-tiba dia merasa sedang berhadapan dengan iblis. Adam di hadapannya adalah iblis, demikian juga perempuan tadi. Payudara perempuan tadi, tidak lain adalah buah terlarang yang terlanjur tersangkut, kemudian menawarkan kenikmatan dan sekaligus tindak-tindak maksiat.
Rasa haus makin menggorok kerongkongannya. Dan ketika dia mengelus-elus kerongkongannya sendiri, sadarlah dia bahwa buah kuldinya sangat besar, naik turun, dan sangat menjijikkan. Tiba-tiba dia sadar, bahwa dia sendiri dan perempuan tadi tidak lain dan tidak bukan adalah sepasang iblis juga. Dan dia merasa benci terhadap perempuan itu, karena tadi dia tidak diijinkannya minum, karena, katanya, dia tidak mempunyai gelas lain kecuali gelas di atas rak buku itu. Dan gelas itu, katanya lebih lanjut, hanyalah untuk menghidupkan kenang-kenangan.
Ketika laki-laki mencurigakan menegurnya lagi, dia terus berjalan ke arah sumur. Dan tepat ketika dia memegang tali timba, laki-laki mencurigakan berkata:
"Minumlah sepuas-puasmu, kalau perlu sampai meletus perutmu, karena sumur ini adalah milik saya."
Dia melemparkan timba ke dalam sumur, dan ternyata sumur sangat dalam. Ketika laki-laki mencurigakan menceritakan perihal dirinya sendiri, dia sama sekali tidak mendengarkannya. Perlahan-lahan dan hati-hati sekali dia mengulur tali ke bawah, sampai akhirnya timba menyentuh air. Kemudian perlahan-lahan pula dia menarik tali timba ke atas.
Laki-laki mencurigakan terus bercerita. Beberapa waktu lalu dia membeli kebun kacang tidak jauh dari kantor laki-laki bertubuh kurus jangkung. Setelah melalui beberapa perkelahian, barulah pemilik lama mau menyerahkan kebun kacang itu meskipun uangnya telah lama diterima sebelumnya. Belum lama laki-laki mencurigakan itu berhasil memiliki tanah miliknya sendiri, terdengar berita bahwa kebun kacang itu akan dicaplok oleh laki-laki bertubuh kurus jangkung untuk perluasan kantornya. Laki-laki mencurigakan ini belum mau percaya, dan karena itu berusaha mencari penjelasan. Setiap kali dia mendekati kantor untuk mencari kabar, selalu dia diolok-olok oleh orang-orang kantor itu.
Selesailah sudah laki-laki bertubuh kurus jangkung minum. Tubuhnya merasa agak segar, namun tidak satu kata pun dari laki-laki mencurigakan ini yang masuk ke telinganya. Dia hanya berpikir, alangkah enaknya seandainya tadi dia diijinkan minum dari gelas di atas rak buku, sebab, setiap kali perempuan itu merindukannya, pastilah bekas bibirnya akan dijilat-jilat.
Masih sempat dia melihat laki-laki mencurigakan, sebelum dia melangkah untuk kembali ke gang tadi. Dia merasa benar-benar jijik melihat laki-laki mencurigakan. Mata laki-laki mencurigakan itu, bulat dan besar, menyembunyikan kelicikan tanpa tara. Leher laki-laki mencurigakan itu, yaitu leher yang panjang, mengingatkannya pada leher burung onta yang diracunnya sewaktu dia berjalan-jalan di kebun binatang. Dan buah kuldi itu, bagaikan buah kuldinya sendiri, adalah pertanda dosa Adam, yaitu dosa yang menurunkan siksa bagi manusia entah sampai kapan.
Ingin sekali dia cepat-cepat meninggalkan laki-laki mencurigakan. Namun, belum sempat dia melangkahkan kakinya lebih lanjut, laki-laki mencurigakan berlari-lari kecil ke arahnya, kemudian menghadangnya. Rasa jijiknya makin meledak. Sambil berusaha keras mengibaskan rasa jijiknya, dia mengambil jalan ke samping kiri.
Dia mempercepat langkah, tapi terpaksa terhenti ketika sekonyong-konyong terasa punggungnya patah. Ketika laki-laki mencurigakan berdiri di hadapannya lagi, dia terpaksa membongkokkan tubuhnya ke depan, karena terasa olehnya bahwa tubuhnya akan patah menjadi dua bagian. Ketika akhirnya rebah ke tanah, masih sempat dia membalik tubuhnya, dan melihat ke arah bulan. Memang bulan masih tetap di sana, di langit sana. Laki-laki mencurigakan membongkok, sementara dia merasa makin jijik. Dia ingin muntah. Memang akhirnya dia muntah, tapi yang dimuntahkannya adalah darah.
Dengan tenang, laki-laki mencurigakan menggumam:
"Ketahuilah, masalah kebun kacang hanyalah masalah permukaan. Perkelahian dengan pemilik lama mengenai kebun kacang juga bukan masalah berat, Memang saya sering berkelahi, tapi perkelahian-perkelahian itu, sekali lagi, bukan apa-apa bagi saya. Bagi musuh-musuh saya segala macam perkelahian sebenarnya juga bukan apa-apa. Saya hanya menikmati satu hal, yaitu kenyataan bahwa saya menyimpan jiwa iblis. Dan saya bangga akan jiwa iblis saya. Kamu pun sebenarnya iblis. Ketahuilah, sesama iblis belum tentu bisa bersekutu. Sesama iblis bisa saling mengganyang. Sudah semenjak pertama kali saya melihat kamu, saya yakin bahwa iblis di dalam jiwamu jauh lebih kuat daripada jiwa iblis kebanggaan saya. Benar-benar saya merasa takut terhadap kamu. Dan setiap kali merasa takut, pasti saya bertindak terlebih dahulu, tentu saja dengan persiapan cermat agar saya menang."
Dia menggumam dengan kesadaran penuh, bahwa laki-laki itu sudah tidak mungkin lagi mendengarnya. Meskipun demikian, laki-laki itu masih sempat mengingat beberapa kata-kata perempuan tadi:
"Laki-laki yang saya cintai itu tidak mati karena kanker seperti yang sering dipergunjingkan. Dia mati dibunuh dekat sumur tidak berapa jauh dari sini. Saya selalu menyimpan pakaiannya yang berlumuran darah."
Bulan tetap berputar-putar di atas sana.***
(Dimuat dalam Horison, Juli 1990)
Jaring-jaring Merah
Oleh: Helvy Tiana Rosa
Apakah kehidupan itu? Cut Dini, temanku, selalu saja marah bila mendengar jawabanku: Hidup adalah cabikan luka. Serpihan tanpa makna. Hari-hari yang meranggas lara.
Ya, sebab aku hanya bisa memendam amarah. Bukan, bukan pada rembulan yang mengikutiku saat ini atau pada gugusan bintang yang mengintai pedih dalam liang-liang diri. Tetapi karena aku tinggal sebatas luka. Seperti juga hidup itu.
Dan kini hari telah semakin gelap. Aku tersaruk-saruk berjalan sepanjang tiga kilometer dari Seurueke, menuju Buket Tangkurak, bebukitan penuh belukar dan pepohonan ini. Dadaku telah amat sesak, tetapi langkahku makin kupercepat. Lolong anjing malam bersahut-sahutan, seiring darah yang terus menetes dari kedua kakiku. Perih. Airmataku berderai-derai.
“Ugh!”
Aku tersandung gundukan tanah. Dalam remang malam, kulihat dua ekor anjing hutan mengorek-ngorek sesuatu, dan pergi sambil menyeret potongan mayat manusia. Mereka menatapku seolah aku akan berteriak kengerian.
Ngeri?
Oi, tahukah anjing-anjing buduk itu, aku melihat tiga sampai tujuh mayat sehari mengambang di sungai dekat rumahku! Aku juga pernah melihat Yunus Burong ditebas lehernya dan kepalanya dipertontonkan pada penduduk desa. Aku melihat orang- orang ditembak di atas sebuah truk kuning. Darah mereka muncrat ke mana-mana. Aku melihat tetang–gaku Rohani ditelanjangi, diperkosa beramai-ramai, sebelum rumah dan suaminya dibakar. Aku melihat saat Geuchik Harun diikat pada sebuah pohon dan ditembak berulangkali. Aku melihat semua itu! Ya, semuanya. Juga saat mereka membantai … keluargaku, tanpa alasan.
Ffffffhuuih, kutarik napas panjang. Jangan menangis lagi, Inong! Kering airmatamu nanti. Meski lelah, lebih baik meniru anjing-anjing itu.
Aku merangkak dan maju perlahan. Dengan tangan kosong kuraup gundukan tanah merah di hadapanku. Terus tanpa henti kugunakan kedua cakar tangan ini. Keringatku mengucur deras, wajah dan badanku terkena serpihan tanah merah. Sedikit pun tak kuhiraukan bau bangkai manusia yang menyengat hidung.
Tiba-tiba tanganku meraba sesuatu. Kudekatkan benda dingin itu ke mukaku. Tulang. Banyak tulang. Cakarku terus menggali. Kutemukan beberapa tengkorak, lalu remah-remah daging manusia. Ah, di mana? Di mana tangan kurus Mak? Mana jari manis dengan cincin khas itu? Juga cincin tembaga berbatu hijau dan arloji tua yang dikenakan ayah saat orang-orang bersenjata itu membawanya dalam keadaan luka parah. Di mana? Di mana tangan-tangan mereka? Di mana tulang-tulang mereka di tanam? Di mana wajah tampan Hamzah? Yang mana tengkoraknya?
Sekujur tubuhku gemetar menahan buncahan duka. Aku menggali, terus menggali. Hingga aku semakin lemas dan akhirnya kembali terisak pilu. Meratapi orang-orang yang kukasihi, yang beberapa waktu lalu digiring ke bukit ini.
Sssssssttt!
Tiba-tiba, di antara suara serangga malam, kupingku mendengar langkah-langkah orang. Sepatu-sepatu lars yang menginjak ranting dan daun kering. Mereka menuju ke arahku!
Aku harus menyanyi. Ya, menyanyi nyaring, dengan iringan dawai kepedihan dari sanubari sendiri.
“Perempuan gila itu!” suara seseorang gusar.
“Sayang, dulu ia cantik…,” ujar yang lain.
“Ya, juga sangat muda. Ah, sudahlah, biarkan saja,” kata yang ketiga. “Ia tak berbahaya. Hanya tertawa dan menangis. ”
Aku pura-pura tidak mendengar perkataan si loreng-loreng itu. Mereka gila karena mengira aku gila. Tak tahukah mereka bahwa aku tak menyanyi sendiri? Aku bernyanyi bersama bulan, awan dan udara malam. Bersama desir angin, burung hantu dan lolong anjing hutan. Bersama bayangan Ayah, Mak, Ma’e dan Agam. Kami menyanyi, kami menari bungong jeumpa. Lalu aku tersenyum malu, saat Hamzah yang telah meminangku, melintas di depan rumah dengan sepedanya. Dahulu. Ya, dahulu….
***
“Inong….”
Aku menggeliat. Cahaya mentari masuk dari celah-celah bilik. Hangat. Ah, di mana aku? Dipan ini penuh kutu busuk. Berarti…, ya, aku di rumah. Aku bangkit, mencoba duduk.
“Dari mana, Inong? Aku mencarimu seharian. Ureung-ureung menemukanmu di tepi jalan ke Buket Tangkurak, subuh tadi.”
Kutatap seraut wajah dalam kherudoung putih di hadapanku. Cut Dini. Tangannya lembut membelai kepalaku.
“Aku cuma jalan-jalan. Aku tidak mengganggu orang," jawabku sekenanya.
“Aku tahu. Kau anak baik. Kau tak akan mengganggu siapa pun…, tetapi jangan pergi ke bukit itu atau bahkan ke rumoh geudong lagi. Berbahaya. Lagi pula kau seorang muslimah. Tidak baik pergi sendirian,” kata Cut Dini sambil memberiku minum.
Kugaruk-garuk kepalaku. “Therimoung… ghaseh…,” kuteguk minuman itu.
Cut Dini. Ia sangat peduli. Matanya pun selalu menatapku penuh pancaran kasih.
Aku kembali merebahkan badan di atas dipan. Sebenarnya aku tak tahu banyak tentang Cut Dini. Aku belum begitu lama mengenalnya. Orang-orang bilang ia anggota … apa itu … LSM? Juga aktivis masjid. Ia kembali ke Aceh setelah tamat kuliah di Jakarta. Dan … cuma dia, di antara para tetangga, yang sudi berteman denganku. Ia memberiku makan, memperhatikanku, menceritakan banyak hal. Aku senang sekali.
Dulu, setelah keluargaku dibantai dan aku dicemari beramai-ramai, aku seperti terperosok dalam kubangan lumpur yang dalam. Sekuat tenaga kucoba untuk muncul, menggapai-gapai permukaan. Namun tiada tepi. Aku tak bisa bangkit, bahkan menyentuh apa pun, kecuali semua yang bernama kepahitan. Aku memakan dan meminum nyeri setiap hari. Sampai aku bertemu Cut Dini dan bisa menjadi burung. Segalanya terasa lebih ringan.
Tetapi tetap saja aku senang berteriak-teriak. Aku melempari atau memukul orang-orang yang lewat. Hingga suatu hari orang-orang desa akan memasungku. Kata mereka aku gila! Hah, dasar orang- orang gila! Cut Dini-lah yang melarang. Cut Dini juga yang mengingatkanku untuk mandi dan makan. Ia menyisir rambutku, mengajakku ke dokter, ke pengajian, atau sekedar jalan-jalan.
“Baju yang koyak itu jangan dipakai lagi,” kata Cut Dini suatu ketika.
“Aku suka,” kataku pendek. “Ini baju yang dijahitkan Mak. Aku memakainya ketika orang-orang jahat itu datang.”
“Itu baju yang tak pantas dilihat. Nanti orang-orang itu bisa menyakitimu lagi,” katanya pelan.
Kupandang baju ungu muda yang kupakai. Tangannya koyak, ketiaknya juga. Lalu di dekat perut, di belakang…, bahkan ada sisa-sisa darah kering di sana.
“Aku ingin memakainya,” lirihku. “Apa aku gila?” tanyaku.
Cut Dini menatap bola mataku dalam. “Menurutmu?”
Aku menggeleng kuat-kuat. Menggaruk-garuk kepalaku.
“Kau sakit. Kau sangat terpukul,” ujar Cut Dini. Kulihat ia menggigit bibirnya sesaat. Lalu dengan cekatan membungkus baju itu dengan koran.
Aku mengangguk-angguk. Terus mengangguk-angguk, sambil menggoyang-goyangkan kedua kakiku. Aku suka membantah orang, tetapi tidak Cut Dini.
“Sudahlah.”
Lalu seperti biasanya Cut Dini mengambil Al- Quran mungilnya dan membacanya dengan syahdu. Suaranya kadang berubah. Aku seperti mendengar Hamzah mengaji —lewat pengeras suara— di musala.
Ah, meski tak mengerti, aku ingin menangis setiap mendengar bacaan Al-Quran.
***
Siang itu aku sedang menjadi burung. Aku terbang tinggi dan kadang menukik seketika. Aku hinggap di ranting-ranting pohon belakang dan mematuki buah-buah di sana. Huh, semuanya busuk. Aku jadi ingin marah. Bagaimana kalau kucuri saja topi-topi merah si loreng dan kubakar. Hua…ha…ha, aku tertawa gelak-gelak.
“Siapa kalian?” tiba-tiba kudengar suara Cut Dini bergetar, di ruang tamu yang merangkap kamar tidurku.
Aku terbang dan hinggap pada meja kusam di samping rumah, lalu mengintip ke dalam lewat jendela yang rapuh. Dua lelaki tegap dengan rambut cepak menyodorkan sesuatu pada Cut Dini.
“Kami orang baik-baik. Kami hanya ingin memberikan sumbangan sebesar lima ratus ribu rupiah pada Inong.”
Aku nyengir. Lima ratus ribu? Horeeee! Apa bisa buat beli sayap?
“Kami minta ia tidak mengatakan apa pun pada orang asing. Ia atau bisa saja anda sebagai walinya menandatangani kertas bermaterai ini.”
Cut Dini membaca kertas itu. Kulihat wajahnya marah. Mengapa? Kugerak-gerakkan kepalaku menatap mimiknya, lebih lekat dari jendela.
“Tidak!! Bagaimana dengan pemerkosaan dan penyiksaan selama ini, penjagalan di rumoh geudong, mayat-mayat yang berserakan di Buket Tangkurak, Jembatan Kuning, Sungai Tamiang, Cot Panglima, Hutan Krueng Campli…dan di mana-mana!” suara Cut Dini meninggi. “Lalu perkampungan tiga ribu janda, anak-anak yatim yang terlantar…, keji that! Tidak!”
Kedua orang itu tampak gugup dan sesaat saling berpandangan. “Kami hanya menindak para GPK. Ini daerah operasi militer. Kami menjaga keamanan masyarakat.”
“Oh ya?” Nada Cut Dini sinis. “Kenyataannya masyarakat takut pada siapa? Dulu, banyak yang terpaksa menjadi cuak, memata-matai dan menganggap teman sendiri sebagai pengikut Hasan Tiro dari Gerakan Aceh Merdeka. Tetapi sekarang semua usai. Tak ada tempat bagi orang seperti kalian di sini.”
“Sudahlah, ambil saja uang ini buat anda. Lupakan saja gadis gila itu.”
Apa? Gadis gila?? Kukepakkan sayapku dan menukik ke arah dua lelaki itu. Kulempar mereka dengan apa pun yang kutemui di meja dan di lantai. Aku berlari ke dapur, dan kembali menimpuki mereka dengan panci dan penggorengan. Mereka berteriak-teriak seperti anak kecil dan berebutan ke luar rumah. Pasti itu ayah orang yang memperkosaku! Pasti ia teman para pembunuh itu! Pasti mereka orang-orang gila yang suka menakut-nakuti orang! Paling tidak mereka cuak! Aku benci cuak!
“Inong….”
Aku berhenti melempar. Aku berhenti jadi burung ajaib. Orang-orang itu kini hanya titik di kejauhan.
“Masya Allah, nanti perabotan itu rusak,” suara Cut Dini, tetap lembut. “Benahi yang rapi lagi, ya. Aku mau shalat lohor dulu,” katanya.
“Mengapa aku tak pernah diajak salat?” protesku. “Dulu aku shalat bersama keluargaku, sebelum aku bisa jadi burung,” tukasku.
“Jangan menjadi burung, bila ingin shalat seperti manusia,” kata Cut Dini tersenyum.
***
“Keluar, Zakariaaa! Keluar! Atau kami bakar rumah ini!!”
Aku terbangun dan mengucek kedua mataku. Ada apa? Pintu rumah kami digedor-gedor. Ayah berjalan ke arah pintu diikuti Mak. Lalu Ma’e dan Agam, abang dan adikku.
Ketika pintu dibuka, tiba-tiba saja Ayah diseret ke luar, juga Agam dan Ma’e! Beberapa orang mengangkat Mak dan membawanya pergi! Sebelum aku berteriak, beberapa tangan kekar merobek-robek bajuku! Aku meronta-ronta. Kudengar Ayah tak putus berdzikir. Dzikir itu lebih mirip jeritan yang menyayat hati.
“Ini pelajaran bagi anggota GPK!” teriak seorang lelaki berseragam. Kurasa ia seorang pemimpin. “Zakaria dan keluarganya membantu anak buah Hasan Tiro sejak lama!”
Warga desa menunduk. Mereka tak mampu membela kami. Dari kejauhan kulihat api berkobar. Puluhan orang ini telah membakar beberapa rumah!
“Jangan ada yang menunduk!”
Aku gemetar mendengar bentakan itu.
“Ayo lihat mereka. Kalian sama dengan warga Mane… bekerjasama dengan GPK!” suaranya lagi.
“Kami bukan GPK!”suara Ma’e. Ulon hana teupheu sapheu!”
“Lepaskan mereka. Kalian salah sasaran!” Ya Allah, itu suara Hamzah!
“Angkut orang yang bicara itu!”
Aku melihat Hamzah dipukul bertubi-tubi hingga limbung, lalu…ia diinjak-injak! Dan diseret pergi. Airmataku menderas.
“Siapa lagi yang mau membela?”tantang lelaki penyiksa itu pongah.
“Kami tidak membela, mereka memang bukan orang jahat,” suara Geuchik Harun. “Pak Zakaria hanya seorang muadzin. Jiibandum ureung biasa.” Samar-samar kulihat kepala desa kami itu diikat pada sebatang pohon.
Serentetan tembakan segera menghunjam tubuh Geuchik Harun, lalu Ma’e abangku! Aku histeris. Tak jauh, kulihat Agam tersungkur dan tak bergerak lagi, lalu Ayah yang berlumuran darah! Tangan-tangan kekar menyeret mereka ke arah truk.
“Bawa mereka ke bukit dekat jalan buntu! Juga gadis itu!”
Aku meronta, menendang, menggigit, mencakar, hingga aku letih sendiri. Dan aku tak ingat apa-apa lagi, saat tak lama kemudian, nyeri yang amat sangat merejam-rejam tubuhku!
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!”aku berteriak sekuat-kuatnya.
“Astaghfirullah, Inong! Inong, bangun!”dua tangan menggoncang-goncang badanku.
Airmataku menganak sungai, tetapi aku tak bisa bangun, sebab aku berada di dalam jaring! Banyak orang sepertiku di sini, di dalam jaring-jaring merah ini.
“Inong, istighfar….”
Tangan-tangan raksasa itu mengayun-ayunkan jaring. Aku dan kumpulan manusia di sini berjatuhan ke sana ke mari. Kami tak bisa keluar dari sini! Tolong! Toloooooong! Di mana sayapku? Di mana? Di mana tangan Mak dengan cincin khas di jari manisnya? Aku ingin menggenggamnya. Di mana Ayah, Agam dan Ma’e? Di mana wajah saleh milik Hamzah? Di mana tengkoraknya?
Tangan-tangan raksasa itu menggerakkan jaring ke sana ke mari. Aku jatuh lagi. Merah. Silau. Pusing. Pedih. Wajah-wajah dalam jaring pias. Wajah-wajah itu retak, terkelupas dan berdarah. Aku menjerit-jerit dalam perangkap. Di mana sayapku? Aku ingin terbang dari sini! Oiiii, tolong ambilkan sayapku! Aku ingin pindah ke awan! Di tanah kebanggaanku hanya tersisa nestapa!!
Tak ada yang mendengar. Sebuah pelukan yang sangat erat kurasakan. Lalu airmata seseorang yang menetes-netes dan bercampur dengan aliran air di pipiku.
“Allah tak akan membiarkan mereka, Inong! Tak akan! Kau harus sembuh, Inong! Semua sudah berlalu. Peristiwa empat tahun lalu dan rezim ini. Tegar, Inong! Tegar! La hawla wala quwwata illa bi 'l-Lah….”
Kabur. Samar kulihat Cut Dini. Wajah tulus dengan kerudung putih itu. Ia mengusap airmataku.
Lalu tak jauh di hadapanku, kulihat beberapa o-rang. Di antaranya berseragam. Tiba-tiba takutku naik lagi ke ubun-ubun. Aku menggigil dan mendekap Cut Dini erat-erat.
“Ia hanya satu dari ribuan korban kebiadaban itu, Pak. Tolong, beri kami keadilan. Bapak sudah lihat sendiri. Oknum-oknum itu menjarah segalanya dari perempuan ini!”
Takut-takut kuintip lelaki tegap yang sedang menatapku ini. Apakah ia membawa jaring-jaring untuk menangkapku lagi?
“Pergiiiii! Pergiiii semuaaaa!” teriakku. “Pergiiiiiiii!” aku menjerit sekuat-kuatnya. "Pergiiiiii!" aku menceracau. Sekujur badanku bergetar, terasa berputar. Orang-orang ini tersentak, menatapku kasihan. Hah, apa peduliku?! Aku ingin berteriak, mengamuk, memporakporandakan apa dan siapa pun yang ada di hadapanku! Aku….
Tiba-tiba suaraku hilang. Aku berteriak, tak ada suara yang keluar. Aku menangis tersedu-sedu, tak ada airmata yang mengalir. Aku mengamuk panik, tetapi kaku. Aku mencari bunyi, mencari bening, mencari gerak. Tak ada apa pun. Cuma luka nganga.
“Inong…, mereka akan membantu kita….”
Aku terkapar kembali. Menggelepar. Berdarah dalam jaring.***
Cipayung, 1998
Referensi:
- Data yang diterbitkan oleh Forum LSM Aceh, 5 Agustus 1998.
- Gatra, Republika, Terbit, Kompas ( semua terbitan Agustus 1998).
- Buletin Kontras no 1/Agustus 1998.
Daftar istilah:
Buket Tangkurak : Bukit Tengkorak
Geuchik : Kepala Desa
Cuak : orang yang jadi mata-mata tentara
Ma’e : panggilan untuk Ismail
Mak : Mak
rumoh geudong : rumah gedung (tempat penjagalan)
Mane : nama desa di Pidie
ureung-ureung : orang-orang
that : sekali
ulon hana teupheu sapheu : saya hanya orang biasa
therimoung ghaseh : terima kasih
kherudoung : kerudung
(Dimuat dalam Horison, April 1999)
Pemahat Abad
Oleh: Oka Rusmini
Kopag menjatuhkan pisau ukirnya yang runcing. Hampir saja pisau itu memahat kakinya. Semua gara-gara dia mencium bau yang aneh dari sudut pintu. Seperti bau daun-daun kering dan kayu basah. Aneh, dari mana datangnya bau yang membuatnya begitu gelisah? Bau itu semakin mendekat.
“Siapa itu?”
“Titiang.1 Luh Srenggi.”
“Srenggi? Srenggi siapa?!” Kopag semakin menggigil. Bau itu semakin mendekat dan menyesakkan dadanya. Tangannya jadi lapar. Dia memerlukan alat-alat pahatnya. Pisau-pisau yang runcing terbayang di otaknya. Kopag menggigil ketika bau itu benar-benar menelanjangi wujud laki-lakinya.
"Katakan padaku, siapa kau?!”
"Titiang yang akan melayani seluruh keperluan Ratu.2 Mulai hari ini dan seterusnya.” Suara itu terdengar gugup.
“Siapa tadi namamu?” Kopag mulai menenangkan dirinya sendiri.
“Luh Srenggi.” Suara itu terdengar bergetar. Suara itu adalah suara perempuan. Apa yang terjadi dengan dirinya? Kopag memaki dirinya sendiri. Aneh sekali, tiba-tiba saja dia seperti ditenggelamkan ke lautan. Suara itu dirasakan penuh dengan kejujuran, kasih sayang, dan sangat tulus. Kopag yakin dugaannya ini tidak meleset. Inilah perempuan itu, perempuan yang dicarinya berabad-abad. Sekarang Hyang Widhi mengirim untuknya. Seorang perempuan, benarkah suara ini milik seorang perempuan?
Ketika Kopag akan mengambil tongkatnya, Luh Srenggi cepat-cepat membantu. Tangan mereka bersentuhan. Kopag semakin gelisah. Kulit perempuan itu terasa seperti kulit kayu. Luar biasa. Perempuan itu pasti memiliki kecantikan yang melebihi kecantikan sebatang pohon, atau seonggok kayu yang paling sakral sekalipun.
Baru kali ini Kopag merasakan bisa menikmati hidupnya. Dia bisa memberikan penilaian yang begitu objektif terhadap benda hidup yang bernama manusia. Biasanya dia hanya dijadikan objek, sekedar mendengarkan keputusan orang-orang terdekatnya. Apa pun yang dikatakan orang- orang di sekitarnya, Kopag harus patuh. Kali ini, dia merasa menemukan kebenaran yang berbeda dengan kebenaran yang diyakini oleh orang-orang yang selama ini rajin menanamkan kebenaran yang telah menjadi ukuran mereka.
“Apakah di bumi ini wujud kebenaran itu sudah seragam, Gubreg?” Suara Kopag terdengar getir, “bahkan untuk menilai keindahan itu, aku juga harus memakai kriteria mereka?”
“Kebenaran mereka? Aku tidak yakin mereka mampu melihat seluruh keindahan hidup ini dengan benar!” Suara Kopag terdengar penuh tekanan. Pikirannya kacau!
Kopag sadar, sangat sadar. Dilahirkan sebagai laki-laki buta memang tidak menggairahkan. Karena tak ada perempuan-perempuan yang bisa dilihatnya dengan matanya. Tapi, apakah orang-orang yang memiliki kelengkapan utuh sebagai manusia ketika dilahirkan mampu menangkap seluruh rahasia kehidupan ini? Rahasia yang erat-erat digenggam dan disembunyikan alam? Salahkah kalau tiba-tiba saja Kopag menemukan kecantikan yang luar biasa pada diri Luh Srenggi. Kecantikan yang dia lihat dengan pikiran, perasaan, dan keindahannya sendiri. Salahkah?
Kecantikan perempuan muda itu adalah kecantikan yang sangat luar biasa. Tubuhnya seperti lekukan kayu. Seluruh wajahnya juga lekukan kayu. Dia adalah kayu terindah dan tercantik. Aneh sekali tak ada manusia yang bisa menangkap kecantikannya. Menghargai keindahan yang dititipkan alam padanya. Bahkan Gubreg, pelayan tua itu, juga tidak berkomentar ketika Kopag memuji keindahan perempuan delapan belas tahun itu. Apa yang sesungguhnya salah pada kriteria yang telah diberikan Kopag terhadap perempuan?
***
Kehidupan telah memaksa bocah laki-laki itu memakai label Ida Bagus Made Kopag, agar orang-orang mudah mengenalinya dan membedakan dirinya berbeda dengan manusia lainnya. Dia anak laki-laki kedua yang lahir dari keluarga terkaya di Griya. Gelar Ida Bagus menunjukkan bahwa dia adalah anak laki-laki dari golongan Brahmana, kasta tertinggi dalam struktur masyarakat Bali. Ayahnya seorang laki-laki sangat terhormat dan memiliki kedudukan tinggi di pemerintahan. Dia juga memiliki puluhan galeri lukis dan patung. Sayangnya laki-laki itu memiliki mata yang sangat liar. Laki-laki itu adalah binatang yang paling mengerikan. Kata orang, laki-laki itu bisa tidur dengan seluruh perempuan. Dia tidak pernah peduli, cantikkah perempuan itu, sehatkah dia? Bagi ayah Kopag, setiap makhluk yang memiliki lubang bisa dimasuki. Suatu hari, setelah berbulan-bulan tidak pulang, laki-laki itu pulang dalam kondisi yang menyakitkan. Tubuhnya kurus dan pucat. Belum lagi hutangnya yang tiba-tiba saja menumpuk. Seluruh kekayaan ludes. Dalam kondisi seperti itu, laki-laki itu memaksa perempuan yang dinikahinya untuk bersetubuh. Perempuan itu menolak. Dia tahu, laki-lakinya akan menitipkan daging binatang di rahimnya. Apa artinya kekuatan seorang perempuan? Terlebih, sejak kecil dia terbiasa dididik menjadi perempuan bangsawan yang menghormati laki-lakinya. Dia hamil. Lahirlah seorang laki-laki yang merenggut nyawa perempuan itu.
Laki-laki itu harus berperan sebagai laki-laki buta untuk menebus kelahiran dan hidupnya sendiri. Alangkah ajaibnya kalau hidup juga bisa dipermainkan, bisa dibuat sebuah pementasan. Seperti sebatang kayu dengan lekuknya yang begitu menggairahkan, di sanalah dunia itu dibuat untuk laki-laki yang sejak pertama berkenalan dengan aroma bumi dan hidup hanya merasakan kegelapan sebagai bahasanya, hidupnya. Kehidupan yang sering dimaki Kopag ternyata cukup demokratis. Dia memberi Kopag poin, yang tentu saja tidak dimiliki orang-orang. Dia bisa mengubah kayu kering menjadi sebuah karya seni yang memikat para intelektual seni rupa. Kopag telah merekonstruksi sejarah seni rupa. Kopag tidak saja memahat kayu, dia memahat pikirannya, otaknya, juga impian-impiannya. Untuk pertama kali, alam menyerah pada kekuasaannya, seperti Kopag juga menyerah pada kebutaan yang harus dia kenakan setiap saat. Kebutaan yang mengikuti dia terus-menerus.
***
Kopag menarik nafasnya dalam-dalam. Disentuhnya kayu kering yang selama ini selalu mengantarnya ke mana dia pergi. Jujur saja, Kopag sangat menyukai kayu yang mengenalkannya pada dunianya. Dunia yang diinginkan. Sebuah kesunyian dengan pagar-pagar keindahan. Tanpa teriakan iparnya yang sering menyesakkan kuping.
“Apa bisanya adikmu yang buta itu? Apa? Merepotkan!” Suara perempuan muda itu selalu menggelisahkannya. Ada-ada saja yang diributkannya. Tanaman di halaman samping rusak atau terinjak kakinya, kembang sepatu yang baru ditanam perempuan nyinyir itu tersangkut tongkatnya, atau posisi piring dan gelas berubah di dapur.
Suara iparnya itu akan terus menari-nari di sekitar telinganya. Bagaimana mungkin perempuan konon kata orang-orang di desanya sangat cantik dan santun itu bisa berkata begitu kasar. Teriakannya saja bisa memandulkan pisau pahatnya. Nama perempuan itu Ni Luh Putu Sari. Karena dia bukan kaum Brahmana, perempuan itu harus mengubah namanya menjadi Jero Melati. Karena perempuan Sudra, perempuan kebanyakan itu telah menikah dengan kakaknya dan menjadi keluarga Griya.
Orang-orang di luar hanya tahu bentuk tubuhnya yang konon sangat luar biasa, kulitnya yang sering jadi pujian, pokoknya seluruh tubuh perempuan itu selalu jadi pembicaraan kaum laki-laki. Aneh sekali, Kopag sering berpikir, bagaimana sesungguhnya sebuah penilaian yang objektif dalam hubungan antarmanusia di bumi ini. Iparnya yang luar biasa kasar dan cerewetnya jadi pujian dan pembicaraan seluruh laki-laki di Griya.
Bagi Kopag, perempuan itu adalah pemain sandiwara yang ulung. Saat ini dia sangat mengikuti ambisinya untuk masuk dalam lingkungan keluarga Brahmana. Perempuan itu benar-benar serius untuk memasuki perannya sebagai istri laki-laki Brahmana, dia harus menunjukkan pada seluruh manusia di desa ini bahwa dirinya berhak masuk dalam lingkungan keluarga bangsawan. Itu yang dirasakan Kopag, ketika untuk pertama kali iparnya itu menyalaminya. Getaran tangannya sudah seperti tangan-tangan mayat yang membusuk. Kopag juga merasakan setiap mulut perempuan itu terbuka, dia mencium bau darah. Anyir. Bau itu seolah berlomba-lomba meloncat dari bibirnya yang konon sangat mungil, merah, dan sangat pas. Bahkan Gubreg, parekan, pelayan setia yang merawat Kopag sejak kecil, selalu berkata bahwa beruntunglah kakaknya bisa mendapatkan perempuan tercantik di desa.
Masih kata Gubreg, Ni Luh Putu Sari yang sejak menikah dan masuk menjadi keluarga Griya bernama Jero Melati itu memiliki kulit yang sangat indah. Postur tubuhnya seperti putri-putri raja Bali.
“Luar biasa kecantikan Jero Melati, Ratu.”
“Seperti apa perempuan cantik itu, Gubreg? Tolong kau katakan seluruhnya. Aku ingin tahu, aku juga ingin merasakan. Saat ini aku mencoba percaya pada matamu.”
Laki-laki tua itu terdiam. Dipandangnya mata Kopag dalam-dalam. Ada rasa sakit mengelus dada tuanya. Ida Bagus Made Kopag memiliki tubuh yang sangat bagus. Tinggi, dan tangannya juga sangat cekatan memahat patung-patung. Sejak kecil kakeknya hanya mengajari Kopag bersentuhan dengan kayu-kayu untuk berkenalan dengan kehidupan. Atau sesekali mendatangkan guru yang mengajarinya membaca.
“Anak itu buta, Gubreg. Menanggung dosa ayahnya. Pertumbuhannya selalu mengingatkanku pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan anakku. Karmanya jatuh pada anaknya sendiri. Kegelapan itu jadi milik cucuku yang paling abadi. Aku masih percaya kehidupan itu bisa diajak bicara. Kau bisa lihat, kan? Kehidupan sendiri memberinya hadiah yang luar biasa. Cucuku memiliki seluruh mata manusia yang ada di bumi ini. Lihat, dia mampu membuat patung-patung dengan ukiran sangat sempurna. Jaga dia baik-baik, Gubreg. Anggap dia anakmu!” Itu pesan Ida Bagus Rai, sebelum berpulang.
“Gubreg, kau belum jawab pertanyaanku. Seperti apa perempuan cantik itu? Apa seperti bongkahan kayu beringin ini? Dingin, tapi mampu memikatku. Lihat, Gubreg, aku selalu tersentuh. Gubreg, rasa apa yang sering membuatku meluap, apa ini rasa yang dimiliki laki-laki? Ini wujud kelelakian itu?” suara Kopag terdengar pelan.
Hyang Widhi! Penguasa jagat! Kopag memang sudah besar, sudah menjelang dua puluh lima tahun. Dia juga rajin membaca buku-buku dengan huruf braile. Atau sesekali dia dikunjungi orang asing dari Prancis, Frans Kafkasau.
Laki-laki setengah baya itulah yang membuat Gubreg, jengkel! Ada-ada saja yang dibawanya. Kadang-kadang dia bacakan buku-buku bahasa asing, yang diterjemahkannya, tentang Michelangelo Buonorrty, yang konon, kata Frans, pematung jaman Renaisans.
Susah. Susah. Sejak bergaul dengan Frans ada-ada saja yang ditanyakan Kopag padanya.
“Kau tidak ingin menjawabnya, Gubreg?”
“Jangan bertanya yang aneh-aneh pada titiang, Ratu. Titiang tidak bisa menjelaskan seperti Frans. Tanyakan pada laki-laki bule itu!” Suara Gubreg terdengar penuh nada kecemburuan.
Laki-laki tua itu sekarang ini jadi cepat marah. Dadanya sering mendidih. Rasanya baru mendengar satu huruf keluar dari bibir laki-laki Prancis itu seluruh isi perutnya seperti keluar. Jengkel! Waktu Kopag sekarang habis untuk diskusi. Laki-laki bule itu telah memberinya didikan yang baru, perhatian yang lain. Kopag tidak lagi membutuhkannya. Ada yang hilang dalam tubuh laki-laki tua itu. Kehilangan yang dalam. Bagi Gubreg, Kopag sudah bagian dari nafasnya. Sejak kecil, dialah yang mengajari Kopag mempelajari tekstur kayu. Seluruh ilmu memahat dia alirkan dalam tubuh bocah kecil yang tidak berdaya itu. Dia juga yang mengajarinya bahwa semua benda punya jiwa, termasuk rangkaian pisau-pisau pahatnya. Gubreg pun mengajari Kopag menelanjangi tubuh pisau-pisau pahat, dan menikmati aroma ketajamannya yang luar biasa indahnya. Dia ingat teriakan Kopag ketika pertama kali menyentuh tubuh-tubuh pisau yang telanjang itu. Waktu itu umur Kopag tujuh tahun.
“Gubreg, tubuhku gemetar setiap menyentuh pisau-pisau ini. Keruncingannya, ketajamannya, begitu indah. Begitu penuh misteri. Luar biasa, Gubreg.”
Kilatan matahari menjilati keruncingan pisau pahat itu. Gubreg menyaksikan, betapa sinar matahari yang perkasa itu menjadi patah dan tak berdaya ketika menyentuh sedikit saja keruncingannya. Pisau justru seperti menantang matahari untuk bersabung. Di tangan Kopag pisau itu jadi begitu dingin, angkuh dan selalu lapar.
Sampai menjelang tengah malam, Gubreg belum juga bisa menjawab arti menjadi laki-laki. Perasaan apa yang sedang bertarung dalam tubuh Kopag? Gubreg takut. Takut sekali menjawab pertanyaan tentang esensi menjadi laki-laki.
***
Pagi-pagi sekali, Kopag sudah membuka jendela studionya.
“Aku ingin bercerita padamu,” suara Kopag terdengar penuh rasa ingin tahu.
“Tentang apa lagi, Ratu?”
“Kecantikan perempuan.”
“Titiang...titiang tidak bisa menceritakan kecantikan perempuan pada Ratu. Semua orang, Ratu, memiliki penilaian khusus tentang hal itu. Perempuan itu....”
Suara Gubreg terdengar patah. Berkali-kali dia menarik nafas. Dia mengerti. Sangat paham. Dia juga laki-laki, dia juga pernah merasakan seperti apa percikan nafsu itu ketika pertama kali menampar wujud manusianya. Begitu parah, dan teramat menggelisahkan ketika tubuhnya mulai lapar dan memerlukan tubuh lain untuk santapan. Rasa itu tiba-tiba saja muncul kembali dalam otak, dan tulang-tulangnya yang mulai rapuh membantunya merangkai masa lalunya kembali.
Waktu itu Gubreg seorang laki-laki kumal empat belas tahun. Sering sekali dia disuruh mengantar Dayu Centaga mandi di sungai Badung. Tubuh perempuan itu seperti ular yang melingkar dan menjepit batang-batang tubuhnya. Kakinya kram setiap melihat tubuh basah itu naik ke atas dengan kain yang hanya sebatas dada. Kaki perempuan itu putih, dan mampu meledakkan otaknya. Terlebih, Dayu Centaga selalu menyuruh Gubreg menggosok punggungnya dengan batu kali. Aroma tubuh perempuan itu sampai hari ini masih melekat erat di tubuhnya. Aroma itu tak bisa dihapus oleh usia yang dipinjam Gubreg pada hidup. Lama-lama Gubreg merasakan sakit yang luar biasa menyerang tubuhnya. Dia gelisah, dia luka, karena kelaparannya adalah kelaparan yang tidak pada tempatnya. Sebagai laki-laki Sudra, kebanyakan, dia sadar tubuhnya tidak boleh melahap tubuh perempuan Brahmana. Perempuan junjungannya, perempuan yang sangat dihormatinya. Tak ada yang bisa diceritakan kegelisahannya, dia adalah laki-laki tak berguna, yang hidup dari belas kasihan keluarga Dayu Centaga. Setiap mengingat batas yang ada antara dirinya dan Dayu Centaga, Gubreg selalu merasakan tubuhnya dilubangi. Dia sering terjaga tengah malam dengan nafas yang memburu. Hyang Widhi, Gubreg sadar rasa laparnya sudah tidak bisa dibendung lagi. Tubuhnya jadi pucat. Keluarga Griya mencarikan dia seorang Balian, dukun.
Balian tua itu memberinya jampi-jampi. Tubuhnya dilingkari asap yang sangat menyesakkan aliran pernafasannya. Kata Balian itu, Gubreg sempat membuang kotoran di pinggir sungai. Kebetulan si penunggu sungai sedang beristirahat. Masih kata Balian tua itu, tadinya penunggu sungai itu juga ingin mengganggu Dayu Centaga. Berkat kekuatan Gubreg, Dayu Centaga tidak terkena. Justru Gubreglah yang kena kemarahan si penunggu sungai. Untuk mengembalikan kesehatan Gubreg, keluarga Griya membawa sesaji untuk penunggu sungai.
Gubreg tidak bisa bercerita tentang kelaparan tubuh laki-lakinya. Dia pasrah ketika Balian tua...memandikan tubuhnya di pinggir sungai. Katanya agar roh jahat tidak mengenai keluarga Griya. Untuk menghormati kebaikan keluarga Griya, Gubreg bersedia menjalankan runtutan upacara itu.
Tak seorang pun tahu, komunikasi Balian tua itu dengan dunia gaib salah. Gubreg tidak sakit, tidak juga kesambet setan. Dia rasakan perubahan pada tubuhnya, karena aliran sungai dalam tubuhnya bukan lagi aliran sungai kecil, tetapi sudah menyerupai air bah. Dan Gubreg tahu air dalam tubuhnya memerlukan muara. Demi Hyang Widhi, dia merasakan cinta yang dalam pada Dayu Centaga. Cinta yang tidak mungkin dihapus. Cinta yang membuatnya jadi batu, dingin, tidak lagi bisa menikmati kegairahan manusiawi sebagai manusia. Sampai sekarang, menjelang tujuh puluh lima, Gubreg masih setia mengabdi di Griya. Tanpa istri, tanpa kegairahan sebagai laki-laki.
Kalau sekarang Kopag bertanya seperti apa kecantikan itu, Gubreg paham. Sesuatu yang dahsyat telah dititipkan alam pada tubuhnya.
Gubreg menatap tajam tubuh Kopag yang sedang merampungkan pahatannya.
“Gubreg, kau belum juga jawab pertanyaanku,” suara Kopag terdengar pelan. Dia menarik nafas berkali-kali, “Gubreg, kau ingat kata-kata Frans?”
“Yang mana?”
“Frans mengatakan keliaranku membentuk tubuh-tubuh manusia dalam kayu mengingatkan dia pada lukisan Pablo Picasso, Guemica. Pada dasarnya aku selalu penasaran, Gubreg. Kenapa kayu-kayu ini selalu mengajakku berdiskusi, mengajakku bicara, berdialog, dan berpikir. Aku selalu ingin tahu, selalu ingin mengupas dan melukai kayu-kayu itu. Rasa ingin tahu yang begitu besar, sampai menguliti otakku, tanganku, tubuhku. Aku juga ingin tahu arti setiap impian. Impian-impian yang dimiliki oleh po-hon ketika dia membesarkan ranting-rantingnya, mem-besarkan tubuhnya, sampai akhirnya potongan-potongan tubuh itu ada di tanganku. Aku juga memiliki impian-impian sendiri pada patahan tubuh pohon itu. Suatu hari Frans dan seorang temannya mengatakan, pahatanku tentang perempuan sangat sempurna. Kata mereka, sangat surealis. Kecantikan perempuan yang kuterjemahkan lewat kayu-kayu itu mengingatkan Frans pada keliaran Martha Graham, yang memanfaatkan seluruh tubuhnya untuk mewujudkan jati diri tokoh yang dimainkan. Gubreg, aku merasakan kecantikan perempuan itu melalui jari-jariku. Kayu-kayu dan pisau telah memberiku mata yang lain.”
Gubreg tetap diam. Dia mencoba memahami sesuatu yang sangat rahasia dan begitu dalam ingin disampaikan Kopag, seorang anak yang dibesarkan dengan cara-caranya, diajar memahami kehidupan. Gubreg bahkan rela bocah laki-laki itu mencuri lembar demi lembar rahasia perjalanan dan rasa sakitnya sebagai laki-laki yang menghabiskan seluruh hidupnya untuk mengabdi.
Berkat Kopag, keluarga besar ini kembali bisa hidup. Patung-patung Kopag laku keras dan diminati oleh kolektor dari dalam dan luar negeri. Sekarang ini keluarga ini tentram. Jero Melati tidak pernah ceriwis, perempuan itu bebas menggunakan uang Kopag semaunya. Bahkan, kakak Kopag sendiri bisa membuka galeri patung yang besar. Saat ini galeri itu sudah tumbuh besar dan menjadi satu-satunya galeri yang paling diakui di Bali karena karya patung yang masuk harus melalui seleksi dan pertimbangan yang teliti. Bulan kemarin, ada bantuan dana dari Jerman dan Prancis.
Gubreg tahu tak ada yang diinginkan Kopag. Laki-laki itu tidak pernah tahu apa arti ada uang atau tidak ada uang. Hanya satu yang ditangkap Gubreg, Kopag memerlukan perempuan.
***
“Kita harus carikan seorang istri untuk Ratu,” suara Gubreg terdengar sangat hati-hati. Mendengar komentar itu, Jero Melati tersenyum.
“Bagaimana kalau dia kawin dengan calon yang telah kusiapkan.”
“Jero sudah punya calon?”
“Ya. Aku sudah memikirkannya jauh-jauh hari.”
“Siapa?”
“Adik perempuanku,” jawab perempuan itu serius. Gubreg menatap mata perempuan itu tajam. Untuk pertama kali dia merasakan hawa jahat berendam dan menguasai tubuh cantik itu. Benar kata Kopag, perempuan satu ini memang bukan perempuan baik-baik. Otaknya hanya berisi kehormatan.
“Kau harus bisa meyakinkan dia bahwa adikku layak menjadi istrinya.” Suara perempuan itu terdengar mirip perintah dan pemaksaan. Gubreg diam. Dia tahu, adik Jero Melati adalah perempuan paling liar dan nakal. Kata orang-orang kampung, adik Jero Melati bisa menjual tubuhnya. Mengerikan! Padahal perempuan itu sangat cantik. Sayang, dia tidak tahan miskin. Padahal kemiskinan kalau dihayati memiliki keindahan tersendiri.
***
“Gubreg. Aku ingin bicara!” Kali ini suara Kopag terdengar serius. Gubreg mencoba memahami ke mana kira-kira arah pembicaraan Kopag. Lima menit tanpa hasil. Kopag seperti linglung, dia terus mengelilingi studionya.
“Ratu. Ratu ingin apa lagi? Jangan menakuti titiang. Ratu terlihat sangat gelisah.”
“Ya. Aku ingin kawin, Gubreg.” Suara Kopag terdengar sangat serius.
“Maaf Ratu, titiang juga sudah membicarakan dengan Jero dan kakak Ratu.”
“Apa kata mereka.”
“Mereka setuju. Bahkan merekalah yang akan memilihkan calon istri untuk Ratu.” Gubreg mengangkat wajahnya, ingin sekali dilihatnya wajah Kopag berseri. Aneh! Wajah itu tetap seperti batu.
“Aku sudah memiliki calon. Kali ini pilihanku tidak bisa diubah!”
“Siapa?”
“Luh Srenggi.”
“Ratu...?!” Gubreg seperti tercekik. Luh Srenggi, apakah kuping tuanya tidak salah dengar? Bukankah Luh Srenggi adalah perempuan yang menyiapkan seluruh keperluan Kopag, membersihkan studionya menyiapkan makan, dan mengambilkan pisau-pisau pahatnya? Perempuan itu bukan perempuan, dia lebih mirip makhluk yang mengerikan, kakinya pincang, punggungnya bongkok, ada daging besar tumbuh di atasnya, matanya yang kiri bolong, dia hanya memiliki satu mata. Wajahnya juga rusak berat. Kulitnya begitu kasar. Hyang Widhi! Dewa apa yang ada dalam tubuh Kopag. Sadarkah dia, tahukah dia makna kecantikan? Gubreg menarik nafas memegang dadanya kuat-kuat.
“Aku telah menidurkan perempuan itu setiap malam, Gubreg. Tubuhnya benar-benar lekukan kayu. Kulitnya juga kulit kayu. Kau tahu, ketika kujatuhkan tubuhku memasuki tubuhnya, aku tenggelam dan habis. Dia adalah perempuan tercantik. Perempuan yang mengalahkan kecantikan kayu-kayuku. Ketika dia telanjang, tak ada sebuah pisau pun bisa menandingi ketajamannya. Perempuan itu telah mengasah tubuh laki-lakiku.”
Gubreg ambruk. Sebuah pisau pahat menembus dadanya yang tipis.***
1. Saya
2. Panggilan kehormatan untuk bangsawan Bali
(Dimuat dalam Horison, Maret 2000)
Menjadi Batu
Oleh: Taufik Ikram Jamil
Dinihari.
“Pasti dari Jim,” kata hatiku.
Sambil mengangkat gagang telepon itu, aku membayangkan Jim kembali tercungap-cungap menceritakan keluarga Niru menjadi batu. Lalu ia bertanya bagaimana hal itu bisa terjadi, mengapa harus menjadi batu, dan apa yang dapat dilakukan untuk membantu mereka. Berkali-kali ia ulangi pertanyaan tersebut, ditingkahi desah ketakutan dan keasingannya menghadapi kenyataan itu.
“Ketika kutinggalkan sekejap tadi, hanya leher sampai kepala mereka saja yang belum menjadi batu,” kata Jim seperti yang sudah kuduga, ya seperti yang sudah kuduga. “Aku kira sebentar lagi semua tubuh mereka akan menjadi batu, tergolek bagai barang tak berguna. Tapi mereka manusia kan?”
Aku diam, tetapi aku sudah membayangkan, pertanyaan terakhir itu akan dijawab oleh Jim sendiri dengan mengatakan bahwa memang benarlah mereka manusia. Tetapi manusia yang telah menjadi batu tidak akan dapat memfungsikan dirinya, padahal bagian terpenting dalam hidup adalah memfungsikan diri. Sampai pada kalimat tersebut, Jim akan tersentak sendiri karena ia mafhum bahwa memfungsikan diri adalah sesuatu yang abstrak. Jangan-jangan menjadi batu merupakan upaya memfungsikan diri juga.
“Tapi mengapa harus menjadi batu?” tanya Jim. “Bagaimana caranya mereka menjadi batu?” lanjutnya. “Tak masuk akal, menjadi batu membiarkan diri melakoni benda mati,” kata Jim.
Beberapa saat ia terdiam.
“Ya, mereka membunuh diri,” simpul Jim. Cepat-cepat ia mengatakan, “Oh, betapa mengerikan. Aku takut....”
“Jim...!” panggilku. Tak ada jawaban. “Jim!” ulangku.
“Kau kan tahu betapa Niru adalah bagian dari keluargaku juga. Lima belas tahun yang lalu, bukan rentang waktu yang panjang untuk menelusuri hubungan kami. Ketika ia masih bujang lagi dan kini punya anak bersusun paku,” kata Jim datar. “Niru telah mengantarkan aku ke jenjang karier seperti sekarang dan menjadi modal besar bagiku sampai diangkat menjadi profesor. Ia dan keluarganya —sebelum kawin— memang pohon penelitianku, tetapi aku tak pemah menganggapnya sebagai sesuatu yang berasal dari luar diriku, sehingga ketika aku menelitinya atau orang kampung sekalian, aku merasa meneliti diriku sendiri,” kata Jim.
Tentu saja aku tahu karena akulah yang membawa Jim pertama kali ke desa Niru, sekitar 150 km dari sini, lantas berkenalan dengan Niru. Ya, Niru masih bujang bedengkang waktu itu; tak lama setelah berkawan akrab dengan Jim, ia yang kawin dengan orang sekampungnya, tetap memandu Jim di lapangan. Tak mengherankan kalau di antara keduanya terjalin hubungan antara pemandu dengan peneliti sampai di luar batas. Ketika Jim kembali ke negeri asalnya setelah tiga tahun menetap di desa Niru, aku menjadi perantara hubungan mereka berdua. Ketika Jim dikukuhkan sebagai doktor di bidang yang ditelitinya yakni antropologi ekonomi, Niru dan aku diundang menghadiri acara tersebut. Sayang, Niru tak mau datang dengan alasan yang tidak jelas walaupun segala sesuatunya ditanggung oleh Jim.
Hasil penelitian Jim di desa Niru sebenarnya tidaklah terlalu istimewa bagiku, barangkali disebabkan perhatian kami yang berbeda dan semua permasalahan di dalam penelitiannya sekaligus kualami sendiri dalam bentuk lain. Dalam kerangka yang lebih kecil dan sederhana dapatlah disebutkan bahwa penelitian Jim menggambarkan bagaimana di desa Niru terdapat berbagai hal yang teramat luar biasa secara ekonomi, tetapi masyarakatnya terbelakang. Suku Montai, begitu orang menamakan asal Niru, sebenarnya hampir tergolong primitif, tetapi hidup di tengah ladang minyak yang kaya raya dengan peralatan canggihnya. Belum lagi pembangunan perkebunan besar-besaran yang tak terbayangkan sebelumnya. Suku Montai berdampingan dengan hal-hal yang wah itu, namun jarak di antara keduanya sangat jauh seperti tak dapat diukur lagi secara metrik, tetapi oleh waktu. Sesuatu yang sebenamya secara umum dinikmati tidak saja oleh Niru dan Suku Montai, tetapi banyak orang lain lagi termasuk aku. Mereka dalam keadaan yang tidak bisa membela diri terlebih lagi tidak punya sembarang pembela pun.
“Halo..., Hallo...,” Jim agak berteriak. “Kau dengar atau tidak?”
“Teruskan, teruskan....”
“Aku takut, sangat takut. Aku belum pernah setakut ini.”
Aku menarik napas. Tampaknya aku harus melakukan tindakan karena sudah tiga kali ia menelepon, ketakutannya terasa semakin besar. Tetapi belum sempat aku menyelidiki keberadaannya seperti tindakan apa yang diharapkannya dariku, hubungan kami terputus. Cukup lama aku membiarkan gagang telepon melekap di telingaku dengan harapan Jim berbicara lagi, tetapi yang terdengar hanya tut ... tut ... tut....
***
Dinihari.
Aku membayangkan saat ini Jim berlari dari warung telepon yang seingatku terletak sekitar dua kilometer dari rumah Niru kalau mungkin ia menelepon dari tempat itu, menuju rumah sahabat kami tersebut. Keringat sebesar jagung segera saja mengalir di tubuhnya, dimulai dari puncak hidungnya yang tercacak. Sebentar ia tercegat di pintu dan sedikit saja ia menolak daun pintu dengan ujung telunjuk, cahaya pelita sudah menyergap mukanya. Wajahnya kelihatan menyala karena butir-butir keringat seperti tersimbah cahaya pelita yang merah kekuning-kuningan. Angin berkibar, wajahnya pun terlihat berayun. Jim kembali memutarkan badannya, turun ke tanah. Ia mencangkung pada pipa minyak yang bergaris tengah sekitar 80 sentimeter dan membentang tak sampai 15 meter dari rumah Niru. Menengadah. Cahaya bulan sepenggal dan kerlip-kerlip bintang yang tersapu awan hitam tidak menimbulkan sembarang kesan elok di hatinya, malah ia semakin gelisah.
Jim tak tahu apa yang harus dilakukannya. Kakinya tiba-tiba saja tertuntun kembali masuk ke dalam rumah Niru. Berat. Langsung saja matanya menyergap Niru yang tergolek di sudut. Kaki sampai dada lelaki itu sudah membatu, tinggal mukanya yang ranum seperti tidak mengalami apa-apa, mengajak Jim berbincang. Tak jauh dari Niru, enam anak kecil juga dalam keadaan demikian, menusuk-nusuk hati Jim. Juga Siah istri Niru yang tergeletak dekat dapur, membuat pemandangan di dalam rumah ini bagaikan satu hamparan yang terasa amat asing.
“Aku panggil Tuk Batin ke sini,” kata Jim.
“Jangan!”
“Bontik?”
“Jangan. Duduk saja di sini, sebelum fajar menyingsing,” kata Niru.
“Atau Katik, Leman, Raut, dan... .”
Terdengar Niru ketawa kecil. Matanya yang bundar memandang tubuhnya yang sudah membatu. Jim mengikuti arah mata itu dengan pandangan tanpa ia tahu apa maksudnya. Terasa begitu cepat waktu berlalu, padahal baru beberapa jam sebelumnya Jim dan Niru masih berbicara perkara biasa-biasa saja. Siah dan anak-anaknya ikut terlibat dalam pertemuan dua sahabat lama itu. Jim menyadari keberadaan Niru dan keluarganya seperti sekarang tak lama setelah ia mengajak Niru berjalan untuk makan angin di luar. Dulu, menjelang dini hari mereka selalu berjalan ke luar, ke pinggir hutan selatan. Sinar maupun cahaya dari maskapai minyak dan pabrik-pabrik sawit serta bedeng-bedengnya yang dipandang dari kegelapan kampung ini meskipun membuat hati mereka sayup, juga mampu menghidangkan suasana lain. Sesuatu yang sulit diterjemahkan kalau tidak berdiri pada bidang Niru maupun Jim.
Saat pertarna kali menelepon dini hari tadi, Jim memang mengatakan bahwa apa yang terjadi sekarang pada Niru dan keluarganya seperti tiba-tiba. Setelah berkali-kali mengajak berjalan ke luar yang dengan senyum ditolak Niru, lelaki itu akhimya mengeluarkan kakinya. Mengeluarkan kaki yang sudah menjadi batu. Jim terpelanting, tetapi tak lama kemudian ia cepat menguasai. Ketika Niru menunjuk kaki anak-anak dan istrinya, Jim pun sadar bahwa sesuatu telah terjadi pada keluarga ini. Kesimpulan menjadi batu dibuat Jim setelah ia melihat makin malam semakin banyak bagian tubuh Niru maupun anggota keluarganya yang menjadi batu.
“Tapi Niru, anak-anak, dan istrinya seperti tidak mengalami apa-apa,” kata Jim lewat telepon beberapa jam lalu. “Sungguh, semula aku tak percaya. Tetapi mana mungkin aku mempertahankan ketidakpercayaan itu kalau aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana perlahan-lahan badan mereka berubah menjadi batu. Aku memegang batu itu, keras sebagaimana layaknya batu. Kau tahu bagaimana batu kan?” kalimat Jim bertubi-tubi. Cepat pula ia bertanya, “Kau percaya cerita ini?”
“Percaya.”
“Kau percaya?”
“Karena kau tak mungkin berbohong.”
“Ya, aku tak mungkin berbohong.”
“Dan kau mendengar bagaimana Niru terus berbicara seperti biasa. Ia akan menceritakan ikan yang menghilang dari sungai, damar yang sulit dicari, dan....”
“Bagaimana kau tahu?”
Aku berdehem.
“Bagaimana kau tahu?” desak Jim.
“Lantas, apa lagi yang dapat dikatakan Niru?”
“Dan menjadi batu sebenarnya bukan pilihan kan? Tetapi mengapa mereka menjadi batu?”
Aku ingin menjawab pertanyaan itu, tetapi hujatan Jim _ya, aku katakan sebagai hujatan_ tentang menjadi batu tersebut terus saja meluncur dari mulutnya. Aku ingin mengatakan, tapi nantilah .... Ya, nanti saja. Apalagi waktu itu, tiba-tiba saja sambungan telepon terputus dan aku hanya dapat mendengar suara tut ... tut ... tut ....
“Sungguh aku tak dapat mengerti kalau menjadi batu sebagai suatu pilihan.”
Apa yang dapat dilakukan dengan menjadi batu, sementara sekian pertanyaanku kepada Niru hanyalah sia-sia. Ia sedikit pun tak mau menjawab pertanyaanku. Ia hanya mau mengenang masa-masa lampau, soal-soal kemesraan, dan bercerita tentang kayangan yang sudah hilang,” kata Jim dalam telepon sebentar tadi yang kembali terngiang-ngiang dalam telingaku. “Ini sungguh amat menakutkan aku. Aku takut,” sambung Jim, terdengar suaranya tersendat-sendat.
***
Sampai menjelang subuh, telepon masih terlentang. Belum ada lagi panggilan dari Jim, tapi aku yakin bahwa ia segera menelepon. Barangkali selama menunggu ini aku sempat tertidur dan terjaga karena suara batuk istriku. Kudengar juga suara anakku mengerang. Kendaraan mulai lewat di depan rumah. Dari jendela, aku melihat bulan tergantung yang cahayanya pucat karena disambar cahaya merkuri di tengah jalan. Bayangan Jim menyeruak di antara cahaya remang-remang di dalam rumah ini. Ia seperti duduk di ruang tengah, membaca majalah berita yang kubeli sore tadi. Kakinya terkepang, kadang-kadang bergoyang-goyang sebagai tanda bahwa ia menyenangi bacaan itu.
“Mengapa kau tak pernah bercerita tentang hamparan batu yang berbentuk manusia dan peralatan hidupnya sehari-hari di sini?” tanya Jim suatu malam, mungkin tujuh tahun yang lalu. Ia melihat halaman majalah yang memuat tulisan itu dan menyodorkan kepadaku. Pandangannya tidak lepas dari mataku meskipun aku sudah mengambil majalah tersebut sambil lewat saja, tak sedikit pun membacanya kecuali memandang gambar-gambar hamparan batu tersebut. Dari mata Jim aku tahu ia sebenamya berkali-kali melontarkan pertanyaan serupa, “Mengapa kau tak pernah cerita ada hamparan batu yang berbentuk manusia dan peralatan hidupnya sehari-hari di sini?”
Sebagai jawabannya aku memandang langit-langit, kemudian kembali memandang majalah itu dan mencari nama penulisnya. Tanpa sengaja aku memandang gambar batu-batu yang berbentuk manusia, tilam, sendok, lesung, bantal, bahkan alat kelamin lelaki maupun perempuan, yang pernah kusaksikan beberapa kali. Ada juga batu berbentuk kapal, limau, dan entah apa lagi. Konon, batu-batu tersebut adalah wujud dari tindakan sekelompok manusia yang tak mungkin lagi berbuat lain dalam menghadapi gelombang hidup terutama dalam menolak perintah raja. Sekarang batu-batu itu membesar dan konon pada suatu saat kelak akan memakan lahan sehingga mempersempit dan semakin mempersempit lahan yang ada. Setahuku, ada dua hamparan batu-batuan seperti itu di sini. Satu hamparan di pinggir pantai dan satu hamparan lagi di dalam sebuah goa di hutan lebat.
Tak ada tanggapan Jim terhadap jawabanku itu. Tapi ia tidak meneruskan bacaannya, malahan masuk ke dalam kamar yang memang kusediakan untuknya kalau ia datang ke sini. Tak lama kemudian ia sudah keluar lagi dengan amat necis. Bau parfumnya menyengat sampai aku harus mendengus-denguskan hidung. Seperti biasa ia hanya tersenyum kecil melihat kelakuanku itu sambil mengangkat bahu. Menyulut rokok sebatang dan menghisapnya dalam-dalam, ia kemudian mengatakan ingin keluar. Tak diajaknya aku, tetapi aku menawarkan diri untuk menemaninya sekedar basa-basi karena malam itu aku menunggu tamu, seorang teman lama. Dini hari, ketika mataku sudah terlayang, baru Jim pulang dengan bau penuh bir.
Keesokannya, pagi-pagi lagi Jim mengatakan akan pulang ke Tanah Airnya. Aku agak terkejut karena hal ini di luar programnya semula. Katanya, ia akan berada di sini barang sepekan dalam urusan apa yang disebutnya sebagai mengecas baterai, tetapi baru tiga hari ia sudah merindukan keluarganya. Aku tak banyak tanya saat itu dan apa pula gunanya karena Jim tidak pemah dapat dihalangi. Niatnya ke desa Niru dengan sendirinya batal walaupun aku sudah mengingatkannya. Sejak saat itu Jim tidak pernah lagi ke sini dan kabar mengenainya kudengar sekali-sekali. Sampailah beberapa hari lalu saat ia meneleponku dan menyatakan keinginannya untuk datang ke sini.
“Aku ingin reuni di Montai, tentu terutama dengan Niru dan keluarganya,” kata Jim seraya tidak lupa mengatakan bahwa ia sudah diangkat menjadi profesor. Di bandar udara Jim mengoceh banyak hal mengenai kedatangannya sekali ini terutama tentang penghormatannya atas Montai dan Niru khususnya yang mengantarkannya ke jenjang karier seperti sekarang.
Di desa itu sebagaimana diungkapkannya lewat telepon, Niru maupun orang sedesanya tetap seperti dahulu. Tak ada perubahan. Kalaupun ada perubahan, kelapa sawit di sana sudah menghasilkan sekian kali panen, jalan yang lebar, dan tanah yang kelihatan semakin tandus. Bangunan-bangunan kilang minyak makin menjulang, kendaraan tiada henti-hentinya lalu-lalang di desa itu. Persekitaran desa Niru semakin terang benderang dengan berbagai fasilitas, termasuk hotel dan warung telepon yang boleh dikatakan tidak begitu jauh dari rumah Niru.
Di sisi lain untuk menggambarkan keadaan tempat yang didiami Niru dan keluarganya, Jim cukup mengatakan bahwa rumah Niru masih terbuat dari kulit kayu dan tidak memiliki listrik. Rumah atau lebih tepat dikatakan pondok itu pun sudah mundur sampai tujuh kali, sehingga makin terpuruk ke dalam hutan karena pengembangan ladang minyak dan perkebunan. Jim juga mengatakan, tanah yang dibelinya seluas dua hektar untuk Niru dan sejumlah orang sebagai tanda mata itu sudah berpindah tangan tanpa ganti rugi sepeser pun dan di atasnya telah berdiri berdegam sebuah hotel. “Ketika kutanyakan hal ini, Niru hanya mengatakan: payah, payah...,” kata Jim.
Waktu itu aku tak sempat mengatakan apa saja yang telah dilakukan Niru dan warga kampung itu, bahkan kami di kota ini. Perlu waktu khusus untuk mengatakannya kepada Jim, tidak cukup hanya melalui telepon. Aku berniat sekali mengatakan hal ini kepadanya ketika ia pulang nanti. Tak ada maksud apa-apa kecuali agar ia paham bahwa kami tidak pernah menyerah kepada keadaan. Baiklah, setidak-tidaknya aku akan katakan sepatah dua kata tentang hal itu ketika Jim menelepon lagi yang kini sedang kutunggu-tunggu.
***
Ternyata penantianku tidak sia-sia. Persis saat azan subuh mulai berkumandang, telepon berderak. Suara napas Jim yang kukenal segera menyambar telingaku, sementara benakku membayangkan bahwa Jim akan mengabarkan kisah baru yang jauh lebih seru. Dari desah napasnya pula aku dapat meraba bagaimana Jim tercungap-cungap, menelan air liurnya beberapa kali, dan tak henti-hentinya mengusap muka. Ketika kutanyakan khabarnya, Jim menjawab dengan sedu-sedan.
“Sudahlah Jim, bawa bertenang.”
Lama tidak ada jawaban dan aku terus-menerus memintanya untuk bertenang.
“Bertenang?” tanyanya kemudian.
“Pulanglah dulu ke sini.”
“Bertenang dan pulang?”
Aku mengogam.
“Bagaimana aku dapat bertenang dan pulang dalam keadaan seperti ini?”
“Ya, memang sulit. Aku akan menjemputmu.”
“Kemudian membawa aku pulang?”
“Ya.”
“Bagaimana aku dapat melakukan hal itu, ketika....” Kalimat Jim terputus.
“Ketika kau melihat semua orang di desa itu menjadi batu?” aku memotong kalimat Jim. Tapi aku menyesal karena berkata seperti itu. Untunglah Jim tidak menangkap kelalaian tersebut, bahkan menjadikannya sebagai titik awal untuk menceritakan pengalamannya yang lain menjelang subuh itu.
“Ya. Ketika itu tanpa seizin Niru aku pergi ke rumah Bontik. Tetapi aku melihat, Bontik dan keluarganya juga sudah menjadi batu. Aku pergi ke rumah Tuk Batin, ia dan keluarganya juga begitu. Dari sinilah kemudian aku tahu bahwa semua penduduk desa ini sudah menjadi batu yang prosesnya sama dengan apa yang dialami Niru dan kusaksikan langsung. Kini mereka semuanya sudah menjadi batu,” kata Jim.
Bermacam-macam susunan orang-orang yang sudah menjadi batu itu. Pada beberapa rumah yang penghuninya tak dikenal Jim, orang yang menjadi batu terlihat di halaman itu pun dalam berbagai pose. Ada yang sedang mencangkung, berdiri bercekak pinggang, dan entah macam mana lagi. Bontik, kawan Niru sejak kecil dan cukup dikenal Jim, salah seorang manusia yang menjadi batu di halaman, sedangkan istri dan tiga orang anaknya berada di belakang rumah. Tiga anak mereka yang lain berada di dalam rumah dengan berbagai macam pose. Begitu pula Tuk Batin yang terlihat duduk di bendul dengan muka tegang, sedangkan istri dan anak-anaknya tergelimpang di halaman.
Barangkali dipengaruhi oleh kedekatan hati, ia melihat Niru yang sudah menjadi batu lebih dulu. Lelaki ini beserta anggota keluarganya berada dalam rumah. Tetapi Niru setengah duduk: kaki sampai pinggangnya sejajar dengan lantai kaki kanan menghimpit kaki kiri; sedangkan pinggang sampai kepalanya membuat garis 120 derajat. Tangan kanan menopang kepalanya, sementara tangan kiri melempai mengikuti bentuk pinggang. Tetapi mata Niru.... Matanya memandang tembus ke langit. Atap rumah yang terbuat dari daun nipah yang seharusnya menghalangi mata Niru memandang ke luar, ternyata bocor. Cahaya bulan sepenggal yang masuk ke dalam rumah melalui lubang itu tepat menimpa mata Niru, sehingga alat indera tersebut seperti menyala dan melahirkan suasana yang sungguh sulit dilukiskan kata-kata.
Ia menerangkan tentang bagaimana ia berlari dari satu rumah ke rumah lain dengan napas terengah-engah. Tidak sekali dua ia tersampuk benda-benda yang tak sempat dilihatnya sehingga ia tersungkur ke tanah. Luka pada beberapa bagian tubuhnya tak terasakan lagi. Ia berharap agar semuanya ini hanya mimpi kosong belaka, tetapi semakin besar harapan itu bergumul dalam pikiran dan perasaannya, semakin besarlah kesadarannya tentang kenyataan ini. Di antara rentangan sikap semacam itulah ia tergantung dan saling tarik-menarik. Ketika ia sampai pada ujung rentangan menolak, dengan cepat ia meluncur ke rentangan menerima kenyataan tersebut. Sebaliknya belum sempat ia menyadari keadaan dirinya menerima kenyataan itu dengan hati jernih, ia meluncur pula ke rentangan yang menolak.
Entah berapa kali Jim bolak-balik di antara satu rumah ke rumah lain yang sekaligus menyaksikan orang-orang sudah menjadi batu tanpa mengerti mengapa ia bertindak demikian. Seolah-olah bagian-bagian tubuhnya bekerja sendiri-sendiri. Ketika kakinya melangkah sesungguhnya tangannya hanya ingin berdiam, bahkan kadang-kadang terasa kalau kaki kanan ingin ke depan, kaki kirinya ingin ke belakang atau ke samping kanan maupun ke samping kiri, sementara otaknya melayang entah ke mana. Walhasil ia harus mengeluarkan tenaga sedemikian banyaknya dengan sia-sia. Ia merasa amat letih, tetapi ia tidak dapat mengenal keletihan itu sehingga tidak mampu pula diatasinya. Ia seperti orang sasau --di antara gila dengan waras.
Ia kemudian terhenyak di anak tangga rumah Niru tanpa dapat membagi perasaan. Dengan sedikit sisa kesadaran sebagai orang waras, selanjutnya ia memekik keras berkali-kali. Entah apa yang dipekiknya, ia tak tahu. Pekikan itu pulalah yang seolah-olah mengantarkan kakinya melangkah ke warung telepon dan kembali menelepon aku.
“Tapi aku bertambah kecewa, bertambah kecewa karena kau menyuruh aku pulang; seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa di sini. Seharusnya, kita berbuat sesuatu menghadapi kenyataan ini. Bukan bermaksud menjemputku pulang. Di mana letak dirimu sebagai manusia?”
Aku diam.
“Kemanusiaanmu sudah tak berguna. Kau sudah mati. Kau sedikit pun tidak memiliki perasaan,” Jim marah besar. Suaranya lantang berkumandang, terasa seperti jarum menusuk telingaku.
“Kau bangsat, taik kucing!” Jim menghempaskan gagang telepon.
Tanpa merasa tersinggung sedikit pun, aku juga meletakkan gagang telepon. Meraih kursi dan pelan-pelan meletakkan tongkeng di kursi, kemudian menyandarkan tubuhku ke sandarannya sehingga aku benar-benar rebah. Memandang ke langit-langit, aku berkata pelan, “Kalau saja Jim tahu bahwa nanti malam, giliranku, keluargaku, dan para tetangga yang menjadi batu seperti sudah dialami sekian banyak warga sebelumnya. Kalau saja Jim tahu, semuanya ini sudah direncanakan secara detil sejak dua tahun lalu sehingga aku mengetahui apa-apa saja yang dialaminya di desa Niru walaupun ia tidak menelepon.”
Sungguh, hanya dengan menjadi batu saja kami dapat bertahan.***
(Dimuat dalam Horison, September 1997)
Para Pemburu
Oleh: Agus Noor
Purnama mengapung di telaga, sesekali meleleh oleh arus gelombang. Kami memandanginya dengan gamang. Angin bergegas pergi oleh kedatangan kami. Seperti juga semua makhluk yang ketakutan mendengar gemuruh kaki kami. Hingga kami merasa benar-benar sendiri, ditangkup sunyi daun-daun yang mandi cahaya. Kami beristirahat di pinggir telaga itu, hanyut oleh pikiran kami. Meletakkan semua senjata yang selama ini kami jinjing dan gendong. Sebagian dari kami langsung merebahkan tubuh atau bersandaran pada batang pohon dan gundukan batu. Sebagian lagi menyempatkan diri membersihkan wajah terlebih dahulu, melulurkan kesejukan pada lengan dan kaki yang bengkak.
Inilah perjalanan terjauh dan terlelah kami, sebelum sampai ke telaga ini. Inilah pertama kali kami merasa begitu lelah, setelah bertahun-tahun memburu buruan kami yang bergerak begitu cepat. Kami seperti mengejar kilat. Seluruh kekuatan dan pengalaman kami sebagai pemburu telah kami keluarkan sampai tandas, tetapi kali ini, buruan kami tetap saja melenggang bebas. Membuat kami begitu merasa terhina. Seakan sia-sia kebesaran kami sebagai pemburu yang telah berabad-abad mengabdikan hidup dan peradaban kami hanya untuk berburu. Kami adalah bangsa pemburu yang besar. Siapakah yang tak tahu akan hal itu? Kami tak pernah gagal memburu sesuatu. Telah kami jelajahi seluruh hutan. Telah kami bongkar tiap lekuk pegunungan. Telah kami sibak semua palung lautan. Nenek moyang kami telah membentuk kami sebagai pemburu paling ulung.
Lagu-lagu kami adalah lagu-lagu perburuan. Legenda kami adalah penaklukan puluhan binatang buruan. Kami tak pernah tergoda menjadi petani atau pedagang. Tak ada yang lebih terhormat bagi kami, nenek moyang dan anak cucu kami, selain menjadi seorang pemburu besar yang sanggup merobohkan gajah dengan satu gerakan. Cerita-cerita penaklukan, mengantar tidur anak-anak kami. Menjadi hutan lebat yang tumbuh dalam kepala mereka. Setiap dari kami dibesarkan dalam belukar. Kami sudah tahu bagaimana menyembelih wildebeest, sejak kami masih dalam kandungan. Kami mengembara dari satu benua ke benua lainnya, untuk memburu binatang-binatang, bukan sebagai cara kami bertahan menghadapi hidup, tetapi lebih untuk kebanggaan dan kehormatan.
Sampai kemudian kami menyadari, betapa binatang-binatang di dunia ini perlahan-lahan telah habis kami buru. Membuat kami cemas, melihat kehormatan kami akan goyah suatu ketika. Apalah arti kami bila tak lagi hidup sebagai pemburu. Barangkali, binatang-binatang itu juga sudah terlalu hafal dengan kami. Maka mereka buru-buru menjauh pergi, begitu tercium bau kami. Tetapi mungkin juga memang binatang-binatang itu sudah habis kami bunuhi. Gajah, badak, macan, rusa, ular, serigala dan segala macamnya. Sampai kelinci, tupai dan tikus, telah lenyap kami tangkap. Maklumlah, dari tahun ke tahun, jumlah kami memang makin membesar. Setiap bulan hampir seratus anak kami lahir, sementara orang-orang tua kami bagai tak bisa mati. Mereka sudah renta, tapi tak gampang mati. Banyak di antara kami yang sudah berusia 7890 tahun, tetapi masih sanggup berlari mengejar antelope, kemudian menghantam kepala binatang itu dengan kepalan tangan, hingga pecah berantakan. Dan itulah kehormatan.
Tapi sudah lama kami kesulitan menegakkan kehormatan macam itu. Karena, seperti kami katakan tadi, semua binatang telah habis kami buru, kami bunuh.
“Perburuan tak mungkin berhenti!”
“Kita akan cepat renta bila sehari tak memburu apa pun!”
“Takdir tak bisa dihentikan.”
“Lantas bagaimana?”
“Apa pun yang terjadi kita mesti memburu sesuatu!”
“Memburu apa?”
Itu membuat kami terdiam. Sampai kemudian ide brilian terlontar. Kami akan memburu manusia, untuk menggantikan binatang yang kini telah musnah. Maka kami pun membeli ratusan budak. Mereka kami beri kesempatan untuk bebas, dengan cara melarikan diri. Mereka kami lepas ke tengah hutan, membiarkan mereka lari dan menghilang, baru kemudian kami memburu mereka. Itu menjadikan kami begitu bahagia. Bahkan membuat kami lebih merasa sempurna sebagai pemburu. Memburu budak-budak itu lebih mengasyikkan daripada memburu binatang. Mereka lebih menantang untuk kami taklukkan. Anak-anak kami pun nampaknya lebih suka dengan perburuan macam itu. Lantas, perlahan-lahan, kebiasaan baru tumbuh dalam kehidupan kami. Menjadi tradisi. Kami tak lagi memburu binatang, tapi manusia. Kami membeli juga para penjahat yang telah divonis mati. Kepada mereka kami tawarkan kebebasan, “Masuklah dalam hutan, lari. Selamatkan kehidupanmu. Jangan cemas, meski kami akan memburu kalian, kalian masih punya kesempatan untuk memperpanjang kehidupan. Meskipun kalian juga tak luput dari kematian. Tapi itu lebih baik bagi kalian, daripada mati di tiang gantungan: tak lagi punya pilihan. Mati dalam perburuan ini lebih terhormat bagi kalian. Anggap semua ini hanya permainan. Semoga nasib baik bersama kalian... .”
Dan para pesakitan itu pun kami lepas dengan upacara kehormatan. Kami iringi dengan lengkingan terompet dan juga dentuman meriam. Selamat jalan. Inilah hidup yang sesungguhnya, yang membuat kalian akan merasa memiliki harga sebagai seorang pesakitan. Adakah yang lebih menyenangkan, selain melakukan perburuan semacam ini? Mereka kami beri kehidupan sekaligus batas kematian. Setiap detik adalah pertarungan. Banyak juga di antara kami yang mati dalam perkelahian. Para penjahat itu, memang makhluk yang tak gampang menyerah. Liat dan sigap. Dan itu, sungguh, sasaran perburuan yang menggairahkan.
Rupanya, tak hanya kami yang suka dengan permainan semacam itu. Ketika kisah-kisah kami menjalar ke banyak negara, banyak orang di luar suku kami, mendatangi kami, untuk ikut menikmati perburuan itu. Mula-mula, banyak di antara kami yang menolak, karena hal itu dianggap akan mengotori kemurnian darah pemburu kami. Tetapi kami tak bisa menolak, ketika dari banyak yang datang kepada kami itu adalah para jenderal, orang-orang besar di negara mereka, para raja, puluhan kepala negara, para bangsawan dan pengusaha besar. Para bangsawan, yang memang memiliki kebiasaan berburu seperti kami dan memiliki lahan-lahan perburuan yang luas, mengijinkan tempat-tempat itu untuk kami kelola dan kembangkan sebagai ladang perburuan yang lebih menantang dan menyenangkan. Bahkan mereka menjanjikan kami lahan-lahan perburuan yang lebih luas. Para jenderal menyediakan kami senjata-senjata paling mutakhir. Para pengusaha mensubsidi kami modal bermilyar-milyar. Para raja dan kepala negara mempersilahkan kami untuk memilih rakyat mereka sebagai binatang buruan. Hingga kami tak lagi kekurangan buruan. Kami tak hanya punya kesempatan memburu para penjahat yang telah divonis mati, tetapi kami bebas memilih siapa pun yang paling menyenangkan kami buru. Malah sering para raja dan kepala negara memberi kemudahan kami dengan memberi lisensi untuk menghabisi para tokoh oposisi yang tak mereka sukai, para demonstran untuk kami habisi. Juga kaum intelektual yang selama ini mereka benci. Ah, begitu melimpah buruan kami.
Kami bangun juga istana-istana, tempat kami berpesta setelah seharian berburu. Kami menjadi kaum pemburu yang kian kokoh dan terhormat. Kami perlahan-lahan meninggalkan cara hidup kami di hutan, dengan setiap malam tidur di ranjang yang bersih dan nyaman. Kami tak lagi hanya terbiasa dengan bunyi pedang, tetapi juga denting gelas dalam kehangatan pesta.
“Ini darah seorang penyair untukmu, jangan sedih... .” Gelas kami beradu, dan kami tertawa bahagia. Begitulah memang mestinya nasib penyair yang tak menulis syair puja-puji bagi keagungan kami. Hidup pemburu agung!
Kami pun menjadi kelompok pemburu yang besar, yang melintas bagai badai dan gelombang, menggulung apa pun yang kami sukai. Di antara kemeriahan pesta, kami terus menuliskan sejarah kami yang agung. Perburuan bukan lagi perkara kebesaran dan kehormatan, tetapi juga, terkadang, keisengan. Kami, yang telah menjadi sekelompok pemburu yang paling kuat, dengan dukungan dana yang melimpah, pasokan senjata yang bagai anggur mengalir dalam gelas-gelas kami, menjadi tak tertandingi. Kami berdiri di puncak menara peradaban, sendiri. Itu sering membuat kami terusik sunyi. Apakah arti kekuatan bila tak ada tantangan yang sepadan? Tak ada lagi yang sanggup melawan kami. Ketika kami menjarah perempuan dan membunuhi anak-anak, ketika kami memburu ribuan orang Yahudi untuk kami kirim ke kamp konsentrasi, ketika kami menembaki anak-anak Palestina, ketika kami memburu dan membantai orang-orang muslim di Bosnia, ketika kami mengirim pasukan pemburu ke banyak negara untuk meluluhlantakkan apa saja, tak ada lagi kegairahan karena kemenangan. Tak ada lagi yang berani menggertak kami, sehingga permainan menjadi tak lagi begitu punya arti. Kami terus memburu, kami terus bergerak dari benua ke benua dari zaman ke zaman, melintasi gelombang waktu, menumpuk tengkorak kepala korban kami hingga menggunung sampai menyentuh awan, tetapi kami selalu dirundung sunyi. Apalah arti semua itu bagi jiwa pemburu kami? Semua itu bukan lagi gairah petualangan dan tantangan, tetapi penaklukan yang membosankan. Karena kami sudah terlalu kuat, hingga pertarungan menjadi tak sepadan. Kami seperti kehilangan buruan yang mengasyikkan.
“Kita harus melakukan sesuatu. Jangan biarkan anak-anak kita menjadi pucat dan pasi. Jangan biarkan mereka menjadi lembek karena rasa sunyi ini.”
Lalu seseorang yang paling tua di antara kami, yang sudah berumur 100 juta tahun lebih, menyarankan kami agar mengumpulkan para kiai. Suaranya sudah gemetar, seakan maut sudah menyentuh bibir orang tua itu.
“Untuk apa mengumpulkan para kiai itu?”
“Aku sudah mencium ajalku. Dan aku ingin, sebelum maut menjemputku, aku ingin menikmati perburuan yang paling menggairahkan.”
“Apa hubungannya dengan para kiai itu?”
“Kumpulkan mereka, dari seluruh dunia. Suruh mereka menyediakan malaikat untuk kita buru!”
Kami terpukau oleh gagasan itu. Membuat darah kami menggelembungkan jiwa pemburu kami. Gairah menjalar, membangkitkan imajinasi kami. Ya, malaikat, kenapa kami tak memburu malaikat?
“Jibril! bagaimana kalau kita minta Jibril!”
“Kami bersorai, anggur segera kami tuang dalam gelas, bersulang, menyambut hari depan kami yang gilang gemilang. Panji perburuan berkibar. Kami segera menghimpun topan. Kami segera mengeluarkan seluruh senjata kami. Dan tentu, kami segera mengumpulkan para kiai. Mereka kami datangkan dari semua penjuru, kalau perlu dengan paksa dan kekerasan.
“Kami ingin Jibril,” kata kami kepada mereka. “Kami tak mau tahu, bagaimana cara kalian mendatangkan Jibril bagi kami. Apakah kalian akan shalat sepanjang hari? Apakah kalian akan berdoa dan mengaji? Apakah kalian akan menangkar atau menjebak Jibril dengan sebuah perangkap? Kami tak mau tahu dengan itu semua. Sekarang, katakan kepada kami, kapan kalian bisa menyediakan Jibril bagi kami?”
Kami tatap wajah para kiai itu, mencari kepastian dalam mata mereka.
“Baiklah,” tegas kami, “kalian kami beri waktu satu bulan. Bila selama ini kalian tak bisa mendatangkan Jibril bagi kami, kami akan membikin perhitungan sendiri... .”
Mereka, para kiai itu, kami giring ke sebuah istana kami yang paling megah. Tetapi mereka menolak, dan meminta kami untuk membawa mereka ke sebuah kaki bukit di mana ada sebuah masjid kecil di pinggir hutan. Kami turut kemauan mereka, meski sesungguhnya heran. Apalagi ketika kami melihat sendiri masjid itu. Benar-benar masjid kecil yang tak terawat. Seluruh bangunan itu terbuat dari pelepah kayu, telah lapuk. Luasnya tak lebih dari lima kali lima tombak. Bagaimana tempat sekecil itu menampung jutaan kiai yang kami himpun dari seluruh penjuru ini.
“Kalian jangan bercanda!” teriak kami.
“Kalianlah yang bercanda, dengan meminta kami mendatangkan Jibril.”
“Baiklah... .”
Lantas kami membiarkan satu persatu para kiai itu masuk masjid kecil itu, membuat kami begitu ternganga, ketika hampir separo dari jutaan kiai itu sudah masuk ke dalam masjid, tetapi masjid itu tak juga penuh. Pintu itu terbuka untuk menerima siapa pun masuk ke dalamnya. Barisan kiai masih antri di depan masjid itu, berkelok-kelok mengikuti gigir bukit, seperti barisan semut yang begitu tertib menuju lubang sarang mereka. Jutaan kiai masuk ke dalam masjid yang bagi kami hanya cukup untuk tidur dua puluh orang, itu pun pasti sudah berhimpitan, bagaimana mungkin? Tapi, itulah yang kami saksikan. Sampai kemudian semua kiai telah masuk dalam masjid itu. Dan kami mendengar gema dzikir dari dalam sana, mengalun menidurkan rerumputan, sepanjang hari sepanjang malam. Gema itu melambung, menyentuh langit. Kadang kami merasa ada yang menggemericik dalam hati kami karena gema itu. Seperti batang-batang pohon yang bergoyang itu, seperti daun yang melayang-layang itu, yang hanyut dibuai dzikir para kiai. Kami memagarbetis masjid itu, tak membiarkan seekor tikus lolos dari amatan kami. Kami tak mau kecolongan. Kami tak mau ditipu para kiai itu, jangan-jangan semua itu sihir belaka. Kami terus berjaga, takut mereka akan keluar dan meloloskan diri ketika kami tertidur.
Satu bulan lewat, menguap begitu cepat, bersama angin dan embun. Membuat kami cemas, sekaligus marah, ketika para kiai itu tak juga muncul dari dalam masjid. Segera kami kirim seseorang untuk menemui mereka. Namun orang itu tak kembali. Membuat kami tambah cemas menunggu, kemudian kembali mengirim utusan untuk menemui para kiai di dalam masjid itu. Tetapi seperti yang pertama, orang kedua kami pun tak kembali. Kami panggil namanya, tetapi tak kunjung keluar jua. Kami kirim utusan kembali, memperingatkan para kiai bahwa waktu sudah habis buat mereka. Tapi seperti yang pertama dan kedua, utusan kami ini pun tak muncul lagi meski kami sudah menanti lebih lima hari. Begitulah berkali-kali, setiap orang yang kami kirim untuk menjumpai para kiai, tak pernah muncul kembali. Sementara suara dzikir itu terus saja bergema, membuat udara bergetar dan perasaan kami gemetar. Lantas kami tak bisa lagi sabar. Kami berteriak menyuruh para kiai itu keluar, tetapi hanya gema dzikir membalas suara kami. Kami sudah cukup punya pengertian, bukan?
Jangan salahkan kami. Dan kami segera menyerbu, masuk dalam masjid itu, tetapi, luar biasa, semua dari kami yang masuk ke dalam masjid itu, lenyap seketika, raib begitu saja. Tiba-tiba tubuh mereka hilang tak berbekas, bagai masuk ke tabir ruang dan waktu pada dimensi lain, tertelan dan lenyap. Kami panik. Kemarahan kami menyalakan api di tangan, berkobar dan segera kami lempar pada mesjid itu. Kami bakar masjid itu, hingga kayu-kayu bergemeretakan, dan api melahap cepat, membumbung.
Namun dzikir itu masih kami dengar, di pucuk api berkobar.
Pada saat itulah, seseorang di antara kami berteriak, membuat kami tengadah ke puncak api. Dan, ya Allah, di sana, di puncak kobaran api, kami melihat selesat biru cahaya menatap kami, dengan sayap terentang sampai ujung paling jauh dari semesta.
“Jibril!!”
“Jibril!!”
Seketika kami berteriak, antara takjub dan panik, gembira dan tak percaya, melihat impian kami sudah di depan mata. Apakah ini keajaiban yang dikirim bagi kami?
“Buru!”
Teriakan itu, mendadak menyadarkan kami, betapa memang inilah yang selama ini kami tunggu-tunggu. Jibril, kini telah muncul di hadapan kami, kenapa kami malah bengong begitu? Maka, dengan sigap kami segera meraih senjata-senjata kami. Tombak, anak panah, desing senapan mesin, roket dan basoka, dengan cepat berlesatan ke arah selesat cahaya biru itu yang dengan cepat bergerak dengan sayap mengepak.
“Kejar!”
Kami pun melesat, mengejar Jibril. Bertahun-tahun kami memburu. Membiarkan kaki kami koyak oleh duri, membiarkan rambut dan jenggot kami memanjang tak terawat. Kami tak punya waktu untuk memikirkan itu semua. Jiwa pemburu kami bergelora oleh gairah perburuan kali ini. Inilah perburuan paling menakjubkan bagi kami. Setelah berabad-abad kami hidup sebagai pemburu, setelah bermacam pengalaman perburuan membuat kami jadi pemburu sejati, inilah sesungguh-sesungguhnya perburuan yang sejati. Tombak terus beterbangan, roket terus berlesatan, jaring-jaring baja telah kami rentangkan, ranjau-ranjau telah kami tanam, perangkap telah kami pasang, agar kami mampu meringkus Jibril. Inilah buruan kami yang abadi. Ke mana pun Jibril melesat, kami memburunya.
Sampai kami tiba di pinggir telaga ini, yang menyimpan bayangan bulan. Sebagian besar dari kami kini benar-benar renta. Kami tak sempat istirahat. Kami tak pernah tidur di satu tempat, hingga telah lama anak-anak kami tak lahir. Kami begitu sibuk memburu Jibril. Banyak dari kami yang mati dalam perburuan ini, dan kami pun tak sempat menguburkannya. Karena kami harus terus mengejar Jibril. Kami tak mau kehilangan jejak. Dan memang, kami benar-benar tak pernah punya waktu istirahat. Ketika kami baru saja rebahan dan membasuh kelelahan kami di telaga itu pun, mengharap kesegaran akan membuat tenaga kami kembali muda, kami sudah harus kembali pergi ketika pada bayangan bulan, kami lihat jejak cahaya.
“Ke sana!” seseorang dari kami berteriak, dan langsung melesat. Di seberang telaga sana, kami melihat buruan abadi kami, mengepakkan sayap-sayap cahaya-Nya.
Maka kami pun kembali bangkit, meraih peralatan berburu kami. Segera menghambur, melanjutkan pemburuan abadi kami.***
Yogyakarta, 1995-1998
(Dongeng Buat Mas Danarto)
(Dimuat dalam Horison, Januari 2000)
Gank
Oleh: Syahril Latif
1
Gang Haji Abdul Jalil adalah sebuah gang sempit yang terletak persis di depan Kuburan Karet yang terkenal itu. Sebuah gang sempit yang tak berarti, sehingga kau tidak akan menjumpai dalam kartu pos bergambar untuk promosi pariwisata, seperti Taman Mini, Monas, Dunia Fantasi Ancol, Hotel Indonesia, dan lain sebagainya. Tapi inilah gambaran kota yang sebenarnya, di mana penduduk tinggal tumplek berdesakan.
Anak-anak remaja mengganti huruf pada Gang itu dengan k, sehingga menjadi Gank. Tak tahu siapa yang mengubahnya. Tapi semua orang seperti sudah maklum, dapat menduganya, siapa lagi kalau bukan salah seorang di antara kami.
Belakangan, ada yang mengubahnya: Gank Haji Abdul Jackal. Namun, apa pun namanya, semua orang mengenalnya sebagai Gang Haji Abdul Jalil. Kadang-kadang, untuk cepat dan mudahnya, oleh tukang, beca terutama, disingkat saja menjadi Gang Jalil.
Apalah arti sebuah nama.
2
Di gang itulah aku dan teman-teman tumbuh dan dibesarkan. Di sana, di jalanan yang sempit itu, anak-anak bermain gundu, main bola kaki, berkejaran, main layangan, main petak-umpet, main galasin. Sementara gadia-gadis kecilnya duduk bersila main masak-masakan, main congklak, atau melompat-lompat main engklek. Dan apabila ada mobil lewat, yang terpaksa merayap pelan bagai keong, anak-anak menyibak ke tepi. Kemudian mengumpul kembali memenuhi jalanan, setelah mobil berlalu. Seakan, seperti setelah biduk lalu kiambang bertaut.
3
Penghuni gang itu terdiri dari berbagai suku, yang bercampur-baur menjadi satu dengan penduduk asli Betawi, sehingga kami tak merasa lagi perbedaannya. Kami telah lebur jadi satu: penghuni Gang Haji Abdul Jalil.
4
Rata-rata, semua kami miskin dan karenanya kami saling mengenal dan akrab satu sama lain.
5
Sebagai gambaran kemiskinan, rumah-rumah, kami pun sederhana, berukuran kecil dan tak teratur bentuk dan susunannya.
Ada juga satu dua rumah gedung yang berpekarangan luas dan bertaman, membuat kehadirannya bagaikan putri raja di tengah rakyat gembel, yang segera mengundang tamu atau teman kami yang datang berkunjung, bertanya heran: “Rumah siapa yang cakep itu?”
“Itu rumah pegawai pajak,” begitu kami selalu menjelaskan.
“Pantas!” jawab mereka. Dan tanya lagi, “Yang di sebelahnya?”
“Rumah pegawai Bea Cukai.”
“Lebih pantas lagi,” kata mereka, dan tanya lagi, “Yang di seberangnya?”
“Itu mah, pegawai negeri biasa saja.”
“Kok sama hebatnya?”
“Maklum, menjabat bagian basah.”
“Bagian apa?”
“Tau, dengar-dengar bagian pembelian atau perizinan. Tak tahulah. Kok, ngurus hal orang lain, sih?
6
Di sini dapat kau jumpai segala macam orang: tukang sol sepatu, tukang kayu, montir, kenek, pedagang kaki lima, penjual nasi Padang dan Tegal, tukang cukur, guru sekolah, dosen, pelayan toko, sopir, makelar, satpam, tukang listrik, pegawai negeri dan swasta, bidan, perawat dan lain sebagainya.
7
Jika lagi kehabisan, ibu-ibu kami saling pinjam garam atau korek api atau bumbu masakan kepada tetangga. Kadang-kadang mereka saling antar-mengantar sayuran atau makanan kecil. Kadang menumpang menjahit baju anak di rumah tetangga yang punya mesin jahit. Dan andaikata ada pompa air yang rusak, atau listrik yang korsleting, tetangga lain akan cepat turun tangan memberikan bantuan perbaikan.
8
Sesekali, ibu-ibu kami terlibat juga dalam pertengkaran kecil. Biasanya, soal anak-anak, yang berantem. Anehnya, sementara ibu-ibu itu masih bersungut-sungut, anak-anak mereka sudah berbaikan kembali.
9
Kurasa gang kami tak pernah sepi. Macam-macamlah sumber kebisingan itu: radio atau kaset yang tak henti-hentinya distel, teriakan anak-anak bermain, teriakan penjaja sayuran dan makanan. Dan lepas tengah hari, di saat warga sedang terkantuk-kantuk disengat panas Jakarta, terdengar mengalun suara anak-anak mengeja Juz Amma dari madrasah:
“Aanakum, Ainakum, Iinakum, Aunakum, Uunakum, Baanakum, Bainakum, Biinakum, Baunakum, Buunakum, Taanakum, Tainakum, Tiinakum, Taunakum, Tuunakum, Tsaanakum, Tsainakum, Tsiinakum, Tsaunakum, Tsuunakum ....”
Ejaan itu mengalun dalam irama yang khas, mengasyikkan, mengantar kantuk, melayang jauh dihantar angin siang.
10
Apa saja yang dimasak tetangga, tak bisa dirahasiakan. Aromanya akan mengambang ke mana-mana, ke sepanjang gang. Yang paling cepat ketahuan, kalau ibumu menggoreng ikan asin. Yang ini, sungguh menitikkan air liur.
11
Lepas Isya dan makan malam, boleh dikata selalu ada permainan domino, lebih terkenal: gaple, di luar pekarangan rumah. Pada malam minggu, bisa-bisa berlangsung hingga beduk subuh. Begitulah cara ayah-ayah kami melepaskan lelah setelah seharian mencari nafkah membanting tulang. Atau juga, begitulah cara mereka membanting kesal ke atas meja gaple. Tak tahulah.
12
Berbeda sedikit dengan hari-hari biasa, sekali sebulan pada petang Jumat, orang tua-tua kami mengadakan pengajian di mesjid. Kami yang muda-muda, sebagai basa-basi, ikut hadir. Nampaknya kehadiran kami melegakan hati mereka.
Di tengah pengajian sedang berlangsung, ayah-ayah kami pada mengantuk. Heran, kalau main gaple semalam suntuk, mata itu bisa melotot terus sampai pagi, ditingkah senda gurau dan gelak tawa tak berkeputusan. Menurut Ustadz Malik, setengah melucu, setengah menyindir: “Mata yang mengantuk kalau dibawa mendengar pengajian, tanda setan sedang mengencinginya!”
Tiba-tiba, semua membuka matanya lebar-lebar, sedikit kaget dan lantas tertawa. Menertawakan siapa?
13
Jika yang tua-tua senang gaple, kami yang muda-muda pun tak mau ketinggalan duduk menggerombol: ngobrol ngalor-ngidul, menyanyi dan main gitar, persis pengamen jalanan. Tempatnya: gardu jaga siskamling. Kami menyebutnya ‘markas’.
Semua jenis lagu kami senang, mulai dari dangdut, pop sampai keroncong. Tapi yang mendapat tempat di hati kami, agaknya dangdut dan pop itulah. Sekali-sekali ada juga yang mencoba seriosa, atau belagak memainkan musik jazz dengan gitarnya, tapi tak kena: sumbang, dan yang lain segera menyorakinya. Sesekali kami larut juga dalam irama gambus.
14
Sekali-sekali, anak-anak cewek ikut nimbrung bersama kami, tak sampai larut. Sebentar mereka sudah dipanggil ibu mereka. Atau disusul adiknya disuruh pulang.
15
Bagiku, semua anak-anak Gang Haji Abdul Jalil adalah teman. Tapi rasanya lebih intim dengan Hamzah, Martin, Najib, Tony Handoko dan beberapa anak tertentu.
Usia kami tak jauh beda, hampir sebaya. Dulu ketika masih kecil, kami sering berantem. Sekarang tidak, kami saling menjaga, saling menenggang. Dan kalau bisa ingin berbuat lebih baik kepada yang lain.
16
Hamzah gitaris andalan kami, sejak jadi mahasiswa Sastra Inggris paling getol nyanyi Inggris. Agaknya dangdut seperti sudah dilupakannya. Atau dikuburnya? Pokoknya lagu Barat melulu. “Inggris, ni yee?!” ejek anak-anak.
“Maklum, deh,” tambah yang lain.
Tapi Hamzah tidak marah. Tak acuh.
Dan sekarang, bacaannya bukan komik lagi, bukan cerita silat lagi. Pokoknya, berat, deh! Bayangin, kalau dia lagi sendirian di teras rumahnya, kalian tahu, dia sedang baca apa?
George Bernard Shaw atau Hemingway atau Tolstoy atau Albert Camus atau Dokter Zhivagonya Boris Pasternak atau Thomas Elliot!
Pokoknya: berat!
17
Kalau si Martin lain lagi. Sejak jadi pemain teater, gayanya overacting. Selangit. Ia ikut salah satu kelompok teater yang sering mentas di TIM. Di situlah ia bercokol.
Gaya bicaranya, gerak tangan, jalannya, cara tersenyum, ekspresi wajah dan lain sebagainya, kayaknya bukan lagi Martin yang kami kenal selama ini: Martin yang lugu dan agak pemalu. Tiba-tiba saja ia telah menjadi manusia aneh di tengah-tengah kami. Merasa lebih penting dan menonjol dari yang lain. Gayanya mirip-mirip Rendra, maunya.
Kalau ia bicara, seakan ia jauh dari kita, nada suaranya agak dilantunkan bagaikan orang berdiri di atas panggung. Agaknya ia tak bisa lagi mengecilkan suaranya. Kami tak tahu pasti, apakah dia masih bisa berbisik.
Anak-anak hampir tak dapat menahan ketawa.
Akhir-akhir ini ia agak jarang nongol di ‘markas’? Waktunya dihabiskannya di TIM, disibukkan oleh latihan-latihan teaternya. Kadang-kadang ikut mentas ke kota-kota lain!
18
Kukira, si Najiblah yang membuat kami semua merasa heran. Itu, Najib anak Ustadz Malik, guru ngaji di gang kami. Soalnya setelah gagal sipenmaru, benar-benar ia putus sekolah. Mau melanjutkan ke Perguruan Tinggi Swasta, ia tahu diri, tak mungkin, biaya kuliah terlalu tinggi, di luar jangkauan.
Apalah yang dapat diharapkan dari pencarian ayahnya yang ustadz. Maka dengan senjata ijazah SMA-nya diterobosnya rimba perkantoran kota Jakarta. Masuk kantor keluar kantor. Akan hasil perburuannya itu, bagaikan buku yang belum habis dibaca kita sudah tahu jalan ceritanya, tentu kau sudah dapat menebak. Tapi Allah memang Maha Pemurah, Pengasih dan Penyayang, akhirnya Najib mendapat juga apa yang dicarinya, kalau itu diartikan secara harfiah: kerja. Pokoknya, kerja. Apakah ia suka atau tidak.
Nah, bersamaan dengan itu Allah ingin menguji Najib, menguji keimanannya. Agaknya ia kalah. Satu-satunya perusahaan yang mau menerimanya adalah sebuah Pub, rumah minum. Artinya, setelah Najib ditest, kemudian ikut training untuk jadi Bartender, Najib mulai bekerja di sana.
Sejak itu kami kehilangan seorang teman kongkow. Karena Najib bekerja malam hari hingga subuh. Siang hari ia tidur, seperti musang.
Ayahnya Ustadz Malik tak tahu putranya bekerja di tempat haram itu. Yang ia tahu, sesuai menurut apa yang dikatakan Najib ketika suatu kali ayahnya bertanya, Najib bekerja sebagai Satpam di sebuah perusahaan. “Jangan lupa shalat,” pesan ayahnya.
Jelas Najib berbohong. Dan ia tahu betul berbohong itu dosa. Bekerja di bar itu dosa. Dan bahkan kini ia sudah tak shalat lagi. Lingkungannya tak memungkinkan, dan di mana mau shalat, dan tak ada tempo, dan ia tak mau jadi bahan tertawaan teman-temannya.
Sebenarnya, Najib merasa sangat terhimpit, tapi dilakoninya terus. Sampai kapan?
Dan kami, dan semua orang di gang, merasa berkewajiban menyimpan rahasia ini kepada Ustadz Malik. Orang tak ingin menghancurkan perasaannya.
19
Sebaliknya, siapa sangka, jika Allah berkehendak memberi hidayah kepada hambanya, Tony Handoko yang agak ugal-ugalan itu, anak pegawai pajak yang gedongan itu, bersikeras pada papanya mau masuk pesantren. Ketika hal itu disampaikan, bukan main kagetnya sang papa, bagaikan disambar petir di siang bolong. Kaget, heran, berang, bingung, tak alang kepalang.
Teriak papanya: “Mau jadi apa kau?! Mau jadi santri miskin?!” Suaranya menggelegar sepanjang gang. Selanjutnya diberondongnya Tony dengan omelan tak berkeputusan, bagaikan rentetan tembakan senapan mesin sebagaimana yang kau lihat dalam film Rambo, atau kayak petasan gantung waktu sunatan. Papanya menyesalkan sangat keinginan Tony itu. Papanya sudah berangan-angan supaya Tony jadi akuntan dan akan mengirimnya ke Amerika. Papanya menganggap keputusan Tony itu benar-benar gila.
Setelah pernyataan pemberitahuan itu kepada papanya dan diberondong habis-habisan, Tony bungkem, merunduk terus, tak membantah sepatah pun, sampai papanya reda dan terhenyak di kursi.
Beberapa hari kemudian, kami, Tony dan aku berangkat naik kereta api ke Jawa Timur, ke Pesantren Bangil. Tony memintaku. Ia memerlukan teman dalam perjalanannya. Bahkan ia minta aku menemaninya selama seminggu di pesantren. Untunglah hal itu diizinkan Pak Kiai, pimpinan pesantren itu.
20
Sehari setelah keberangkatan Tony, papanya jatuh sakit. Begitu Surat Kilat Khusus yang kami terima, pada hari ketiga, dari ibu Tony. Ia diminta ibunya pulang sebentar untuk menjenguk papanya. Tapi Tony tak mau. Dan sebagaimana dikatakannya dalam surat kepada ibunya, kepadaku ia berkata: “Nanti sebentar papa akan sembuh juga. Papa memang selalu begitu. Maunya perintahnya saja yang mesti diturut.”
Aku mencoba melunakkan hatinya, “Toh tidak apa pulang buat sebentar, bukan?”
“Tidak sekarang,” jawabnya pasti. “Sekarang saya lagi kesal sama papa. Coba, Ma, saya dibilang sudah sesat? Dituduh mendapat pengajian yang sesat? .... Dalam batin, saya bertanya: siapa yang sesat? Saya atau papa? Apa yang papa fikirkan hanya duit melulu ... seakan dengan itu dapat dibeli semuanya: gengsi, martabat, kesenangan ... tapi miskin rohani. Dunia, dunia dan kesenangan melulu.… Apa dengan kekayaan itu dapat dibeli kebahagiaan akhirat? Papa sudah dipengaruhi oleh Dajjal yang bermata satu, hanya mencari kesenangan dunia…. Tidak! Saya tidak akan pulang! Saya sudah bosan dengan suasana rumah!”
Tony menarik nafas panjang, nampak kesal. Dan katanya: “Coba fikir, masak papa tega menuduh saya subversif. Ikut pengajian gelap, pengajian subversif, pengajian yang disusupi faham komunis. Jelas ini fitnah! .... Ya, Allah. Engkaulah Yang Maha Tahu! Dan papa sampai hati akan mengadukan kelompok pengajian kami kepada yang berwajib, agar semua kami ditangkap, guru ngaji kami ditangkap! La hawla wa la quwwata illa bi 'l-Lah.
Kini, kulihat air matanya menggenang, hampir menangis.
Lanjutnya: “Kalau tidaklah karena takut dosa, menjadi anak durhaka, hampir saya tidak bisa memaafkan papa. Saya hanya bisa berdoa, semoga Allah memberi papa taufiq dan hidayah. Saya percaya masih tersimpan benih-benih iman dalam dada papa. Sekarang sedang tersapu oleh gemerlapnya keindahan dunia
21
Sebenarnya, yang suka “ekstrim” bukan Tony Handoko seorang. Ada lagi. Kau lihatlah si Aisah, teman Maryam (nanti kalau ada tempo aku cerita padamu), teman kami juga. Nah, Aisah yang satu ini, sekarang pakai jilbab (itu istilah yang ngepop sekarang, tak lain tak bukan, itu kata lain dari pada kerudung). Dan kesan pertama kita melihatnya, persis seperti kaum wanita pasidaran Iran, anak buah fanatik pengikut Imam Khomeini, sebagaimana yang kita lihat di majalah-majalah atawa koran-koran. Belakangan ada lagi yang menyebutnya pakaian wanita Ikhwanul Muslimin Mesir, pimpinan Imam Hassan Al-Banna. Tapi, apa pun namanya, menurut Ustadz Malik, “Itulah pakaian Muslimah yang sebenarnya.”
Pakaian yang menutup aurat. Sesuai dengan apa yang termaktub dalam Al-Quran, surah Al-Ahzab ayat 59: “Hai, Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, istri-istri orang mu'min. Hendaklah mereka mengulurkan kain kerudung/jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, agar mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun-Penyayang.” Dan dari Hadis Rasulullah Saw. dapat saya kutipkan sebuah Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud dari Aisyah r.a.: suatu ketika Asma binti Abu Bakar masuk ke tempat Rasulullah sedang Asma memakai baju yang tipis (membayang tubuhnya), maka Rasulullah melengah seraya berkata: “Hai Asma, wanita yang telah sampai masa haid tidak boleh terlihat kecuali ini dan ini,” dan beliau menunjuk kepada muka dan kedua telapak tangannya.
Sebenarnya, masih ada beberapa ayat dan hadis, tapi Saudara-saudara dapat mencarinya sendiri dalam Al-Quran, misalnya pada An Nur ayat 31, Al A’raaf ayat 26 dan beberapa Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad!
Pokoknya, sejak Aisah menjadi eskrim, maaf, ekstrim itu, di mana saja, kapan saja, ia selalu berjilbab! Anak-anak yang iseng, menjulukinya dengan “pakaian ninja”. Tapi Aisah tak acuh saja.
Dan sejak itu, kayaknya Aisah tak punya lagi barang sepotong pun baju model lain. Kayaknya semua pakaian rok, blus yang dulu, baik yang maxi, midi, apalagi mini, sudah dibakar ludes! Atau dihanyutkan ke Kali Malang (tak jauh dari gang kami).
“Apa pakaian-pakaian yang dulu itu sudah kau sedekahkan, barangkali, Aisah?” Suatu kali aku coba menduga kepadanya.
“Itu namanya, sama saja kita membagi dosa kepada yang lain,” jawabnya. “Menyuruh orang membuka aurat, ia berdosa dan aku pun berdosa. Dan dosaku dua kali lipat: dosa karena telah memberi yang salah, dan dosa yang dilakukan orang itu.”
“Kau ini aneh, Aisah,” kataku pula. “Dulu sebelum begini malah kau seorang modis, perancang busana.... Sekarang siapa yang mau menjahitkan pakaian padamu kalau hanya jilbab melulu?”
“Lupakanlah itu,” katanya. “Itu waktu saya masih jahiliyah. Semoga Allah mengampunkan ketidaktahuanku. Dan siapa yang mau menjahitkan kepada saya? Terserahlah, siapa yang mau saja. Rezeki di tangan Allah.”
Mantap sekali ia, fikirku.
Aisah boleh bermantap-mantap. Tapi lihatlah betapa cobaan yang dihadapinya. Gara-gara pakaian jilbab itulah, Aisah mendapat kerepotan di sekolahnya (sebuah SMA Negeri di bilangan Kebayoran Baru). Oleh kepala sekolah, ia dianggap melanggar peraturan seragam sekolah, walau warnanya sudah putih di atas dan abu-abu di bawah (sudah disesuaikan Aisah). Namun ia tetap dianggap melanggar. Soalnya: jilbab yang kayak ninja itu, baju lengan panjang dan rok yang komprang kedodoran itu!
Kepala Sekolah sudah memberi peringatan beberapa kali, lisan dan tulisan, dengan ancaman sewaktu-waktu bisa dikeluarkan dari sekolah. Aku tak tahu bagaimana kesudahannya. Yang kutahu Aisah tetap tegar. Berkata mantap kepada kami anak-anak gang.
“Salah apa saya jika saya mengamalkan ajaran agama saya?! Toh, hal itu dijamin oleh Undang-Undang Dasar Empat Lima kita! Baca tuh pasal 29 ayat 2, bahwa negara menjamin kemerdekaan dan kebebasan setiap warga negara untuk memeluk suatu agama atau kepercayaan dan untuk beribadah sebagaimana yang diajarkan oleh agama maupun kepercayaan itu! Nah, mana yang lebih tinggi kedudukan hukumnya UUD 45 atau Peraturan Seragam Sekolah?!”
“Jelas UUD 45, dong,” jawab kami spontan memberi semangat dan membenarkan Aisah. Dan bertepuk tangan serempak.
Aisah melanjutkan: “Itu tuh, kalau mau ditertibkan juga, tertibkanlah siswa-siswa yang suka berantem itu, yang terlibat narkotik itu, yang mabuk-mabukan itu, yang merokok itu, yang suka keluyuran di jalanan atau ke disko pada jam-jam pelajaran! Ke sana alamat penertiban itu! Bukan kepada hak asasi orang?! Orang yang baik-baik seperti kita-kita ini lagi, ini enggak ge-er, ya (senyum, aduh manisnya)....”
Lagi-lagi kami keplok, senang sekali. Tiba-tiba seseorang memberi komando: “Tepuk pra-mu-ka!” Plok plok plok... plok plok plok... plok plok plok plok plok plok plok. Semua bertepuk kegirangan bagaikan anak-anak pramuka.
Rupanya Aisah belum selesai, belum merasa puas, katanya sambil setengah berbisik, mencorongkan kedua telapak tangannya ke moncong: “Jangan-jangan kepala sekolah itu bekas PKI, ‘kali. Kan hanya orang-orang PKI yang sangat anti agama?”
“Ya, ‘kali,” celetuk kami, membenarkan.
Mengembangkan kedua tangannya, mengangkat bahu, Aisah mengeluh: “Boleh jadi semua kita telah menjadi orang-orang munafik terhadap agama yang kita anut. Tilawatul Quran kita rayakan secara besar-besaran dengan biaya jutaan, tak tanggung-tanggung! Tetapi sebaliknya, pengamalannya kita jegal. Kita curiga dengan berbagai prasangka. Apakah ini tidak munafik namanya? Atau mungkin ada penamaan lain?”
“Munafiiiik...!” teriak anak-anak serempak.
“PKIiiiiiiii...!” tambah kami lagi.
22
Di mana pun, dasar anak-anak, suka becanda, suka menggoda. Apabila Aisah lewat di depan ‘markas’, tak pernah luput ia jadi godaan. Begitu ia lewat, anak-anak yang tadinya asyik-asyiknya menyanyi dangdut atau pop, segera mengalihkan iramanya ke kasidahan:
“Indung-indung kepala lindung
Hujan di udik di sini mendung
Anak siapa pakai kerudung
Mata melirik kaki kesandung...”
Aisah terus berlalu dengan senyum-senyum dikulum. Mungkin, dalam hati masing-masing kami, berkata: “Alangkah manisnya anak ini...?”
23
Suatu kali sedang aku asyik mentes kaset yang akan kubeli di sebuah toko di Benhil, kulihat Aisah berjalan seorang diri pulang sekolah. Serombongan cowok SMA yang berpapasan dengannya menggoda Aisah dengan sikap agak kurang sopan, mengitarinya seakan hendak memangsa, persis kayak segerombolan anjing hendak berebut tulang.
“Waduh, alimnya.”
“Sorangan wae?”
“Mari, gue anterin, yuk?”
“Ntar lu digampar bokapnya!”
“Enggak apa asal gue dapat anaknya yang ca'em.”
Dan macam-macam lagi.
Namun Aisah diam saja. Jalan terus.
“Wah, kalian ini tak tahu aturan!” ujar yang lain belagak memarahi teman-temannya. “Ucapin salam dulu, dong.”
“O ya lupa, assalamu'alaikum, Neng?”
Dengan lembut Aisah menjawab, “Wa'alaikum salam.”
Anak-anak pada sorak kegirangan.
Kuatir mereka menggoda lebih jauh lagi, buru-buru aku keluar, kupanggil Aisah dengan suara lantang untuk mengagetkan anak-anak itu. Aku sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Aku berhasil. Mereka menyingkir secara teratur. Sekilas kudengar.
“Ada cowoknya, Mek!”
Lalu kutarik Aisah ke toko kaset.
“Kau tidak diapa-apakan mereka?” tanyaku.
“Tidak.”
“Anak-anak berengsek!”
“Mereka cuma iseng.”
“Kurang ajar,” kataku, geram. “Tapi, ya ampun, kenapa anak-anak gituan kau kasih hati?”
“Kasih hati bagaimana?”
“Salam mereka kau jawab. Cuekin aja!”
“Dosa lho, salam tak dijawab. Bukankah salam itu doa, yang artinya selamat dan sejahteralah anda. Sepantasnya kita mendoakan mereka pula.”
“Ya, ampun...,” kataku tak habis fikir pada Aisah yang satu ini.
24
Lain Aisah, lain pula Maryam. Gadis kecil yang kemarin-kemarin ini masih ingusan, masih suka main congklak dengan teman-teman sebayanya, main engklek, main loncat karet, tiba-tiba seperti disunglap, dari kuncup mekar menjadi bunga yang indah. Gadis kecil itu tumbuh jadi remaja yang amat cantik dan mempesona. Dan Maryam sadar akan perubahan dirinya.
Penampilan yang pertama mengejutkan banyak orang adalah ketika suatu kali ia ikut acara perkenalan penyanyi remaja di TV. Sejak itu ia dikenal secara luas. Semua orang kagum padanya. Bukan pada nyanyian, melainkan kecantikannya yang membius itu.
Maka sejak itu, kami tak merasa heran, kalau berganti-ganti saja pemuda-pemuda luar datang berkunjung ke rumahnya. Kemudian pasangan anak muda itu pergi ke luar rumah untuk latihan menyanyi. Di lain waktu, ada lagi yang mengajaknya pergi menonton, ke restoran, dan macam-macam acara lain. Dan, selalu dengan muka baru: penyanyi tenar ibukota, pemain film yang sedang in, anak teater yang lagi ngepop, pemain tenis yang lagi ngetop.... Dan yang paling akhir anak orang kaya bermobil Baby Benz. Pokoknya selalu dengan cowok baru!
Dan setiap kali Maryam dan padangannya lewat di depan ‘markas’, maka terdengar bisik-bisik yang dikeraskan:
“Baru lagi, ni yee?!”
25
Maryam memang cantik. Yang tercantik di gang kami. Bahkan yang tercantik di ibukota republik ini, demikian menurut Hamzah.
Kukira, Hamzah menaruh hati pada Maryam. Hamzah belum pernah mengatakan secara terus terang.
“Tapi apalah arti kecantikan jika tidak disertai dengan ‘kematangan dan kedalaman’,” kata Hamzah pula, berfilsafat. Kali ini tampak serius dengan muka murung.
Dari bacaan berat mana pula Hamzah memperoleh ‘kematangan dan kedalaman’ itu, aku tak tahu.
26
Suatu hari, berani-berani takut, kutanyakan pada Hamzah apakah ia mencintai Maryam.
“Tidak!” jawabnya tegas.
Aku terperangah.
27
Tapi akhimya aku tahu juga, mungkin anak-anak lain tidak, ketika Maryam menyebarkan undangan perkawinannya dengan anak penguasa Real Estate, yang ber-Baby Benz itu, Hamzah mendadak pindah ke Rawamangun. Indekos di sebuah kamar yang sederhana. Memutuskan hidup jadi pengarang dan berhenti kuliah. Sekarang ia bekerja di sebuah majalah.
Dalam puisi-puisi dan cerpen-cerpennya dapat kutangkap kesepian hati yang dibawanya ke mana pun ia pergi, seperti ada sesuatu yang terlepas dan hilang, yang tak mungkin dapat diraih kembali.
28
Dari bisik-bisik anak-anak cewek dapat kutangkap bahwa sebenarnya Maryam pun mencintai Hamzah. Namun perasaan ini disimpannya sendiri. Ia tak hendak dan berani menyatakan kepada ayah ibunya. Maryam seorang anak yang baik, seorang anak yang patuh. Dan terlebih dari semua itu, ia ingin membahagiakan kedua orang tuanya. Untuk itu ia siap berkorban. Semoga hal itu menjadi tanda baktinya buat mereka yang telah bersusah payah, membesarkannya dalam kemiskinan yang berkepanjangan.
29
Akhir-akhir ini, aku tak merasa betah lagi duduk lama-lama di ‘markas’ kami. Dalam senda gurau dan nyanyian diam-diam menyelinap kesepian ke dalam hatiku. Di antara kawan tak kulihat lagi Hamzah, yang pergi membawa luka hatinya dalam kesepian di kamar indekosnya jauh di Rawamangun sana. Mungkin di malam-malam begini ia sedang mengetik puisi-puisi atau cerpen-cerpen, tempat di mana ia melarikan kepedihannya.
Tony Handoko mungkin sedang terbenam dalam kitab kuning bertuliskan Arab gundul. Atau mungkin ia sedang larut dalam zikir yang dalam. Nun jauh di desa Bangil, terpencil, jauh dari keramaian kota.
Najib mungkin sedang mencampur minuman haram satu dengan yang lainnya, sambil mengenang ayahnya sedang mengaji di rumah. Batinnya tertekan. Namun ia tak bisa berbuat lain.
Sedang mengapakah Martin sekarang? Lakon apakah yang sedang diperankannya sekarang? Hamlet tokoh yang selalu dibuai bimbang? Lama ia tak pulang. Aku tak tahu sedang mentas di kota mana ia sekarang.
Masing-masing teman pergi membawa nasibnya sendiri-sendiri.
30
Suatu hari ayahku berkata dengan sedikit keras kepadaku: “Syamsu, apakah kau tak merasa malu, nongkrong terus dengan bocah-bocah itu? Teman-teman sebayamu sudah pada bekerja! Contohlah mereka itu! Lagi pula, ayah sudah tak sanggup lagi membiayai sekolahmu. Adik-adikmu masih banyak yang perlu ayah perhatikan.”
31
Malam hari ketika aku pulang dari mencari pekerjaan yang belum juga kudapatkan, aku selalu lewat di depan ‘markas’. Ramainya masih seperti biasa. Tapi sudah tentu tak kulihat lagi di sana Najib, Tony Handoko, Martin dan Hamzah. Tiba-tiba aku merasa teramat sepi, tertekan sedikit oleh perasaan rindu.***
(Dimuat dalam Horison, Agustus 1990)
Lonceng
Oleh: Motinggo Busye
Jam dengan merk Junghun itu belakangan ini menyengsarakanku. Istriku menjadi perempuan yang bawel. Ini karena ulah jam itu. Padahal barang itu kami beli untuk menambah kebahagiaan istriku dan aku. Tinggi jam itu setinggi tubuhku. Bila loncengnya berbunyi, maka terdengarlah sebuah nyanyi. Nyanyian ini mengisi kalbu istriku dan kalbuku sendiri.
Walaupun akhirnya mengesalkan, tetap saja aku mencoba memetik kenangan lama yang indah setelah jam Junghun itu mengisi ruang tengah rumah kami. Kami dulu mempertimbangkannya cukup lama untuk memutuskan di mana harus diletakkan jam yang sebesar itu. Jika ditaruh di ruang tamu, kelak tamuku akan cepat pulang, sebab kehadirannya merasa dikontrol oleh jam. Sedangkan kami berdua membutuhkan tamu.
“Sebentar lagi kita akan merayakan ulang tahun perkawinan kita yang kedua puluh lima, ya Sam?” ujar istriku suatu sore. Sore itu, aku dan Ina sedang duduk-duduk berdua sembari minum teh dan makan jeruk. “Hari itu ulang tahun perkawinan perak kita.”
“Kamu tentu ingat tanggalnya, Ina,” kataku.
“Betul, Sam. Kita menikah pada 10 November dua puluh lima tahun yang lalu.”
“Kalau begitu tinggal 4 hari lagi.”
“Ingat enggak, siapa yang datang pada pesta kita itu?”
“Mantan pacarmu,” kataku.
“Juga mantan pacarmu,” katanya.
Kami ketawa bersama. Kami suka mengulangi lelucon yang sama itu setiap ada bekas teman sekelas hadir. Tentu lelucon ini menambah semarak suami-istri. Orang yang kurang rasa humor mungkin heran. Mereka harus diberitahu, bahwa mantan pacar istriku adalah aku, dan mantan pacarku adalah istriku Ina.
Kuingat sekali, hanya untuk perkawinan perak itu saja kami berdua sangat sibuk.
Kami telah pergi ke Pasar Glodok untuk mencari sebuah barang yang bisa dipajang di rumah dan punya kesan abadi. Setelah dua tiga toko kami masuki, tak ada satu pun benda yang berkenan di hati kami berdua. Ketika kami lewati beberapa toko, secara mendadak dan serentak langkah kami berhenti. Terdengar satu nada indah mirip lagu yang menyentuh perasaan kami. Aku dan istriku saling menatap.
“Kita menemukan pilihan jam antik,” ujar istriku.
“Ini benar-benar abadi,” kataku.
“Tanyakan harganya, Sam,” kata istriku. Makin larut perkawinan kami, makin sering aku disuruh istriku dengan nada setengah memerintah. Apa suami-suami yang lain di dunia ini juga seperti itu, aku tak tahu dan tak perlu tahu.
Istriku melotot setelah aku sebutkan harga yang diberitahukan pemilik toko jam itu.
“Merknya Junghun,” ujar sang pemilik toko. "Merk ini nomor satu. Di toko saya cuma tinggal satu ini.”
“Ya kurangilah separohnya,” ujar istriku.
Kebiasaan istriku adalah sama dengan kebiasaan banyak perempuan di jagat ini: menawar terlalu rendah dan berlama-lama untuk jenis satu barang. Kadang sudah pergi kembali lagi ke toko sebagaimana terjadi pada hari itu.
“Coba Nyonya cari di seluruh Glodok ini. Cuma saya yang jual merk Junghun ini, dan ini juga satu-satunya.”
Istriku telah dikunci tanpa alternatif. Lalu, ketika uang dihitung, kurang sedikit. Sebagaimana biasa, aku menggenapi kekurangan itu. Ketika setiba di rumah, istriku bilang, “Sebenarnya aku menguji apakah kau masih kikir. Maka kutinggalkan beberapa lembar di tasku agar kamu ikut membayar juga, Sam.”
Memang begitu. Dari masa berpacaran dulu, kami menganut aliran navy-navy. Kami meniru para pelaut yang suka bayar masing-masing bila makan di restoran. Kebiasaan ini bukan selalu buruk. Kami justru menciptakan humor baru ketika harus ber-navy-navy.
Jam Junghun telah kami taruh di ruang tengah. Dia selama tiga hari kami tunggu berbunyi. Saat itu adalah pukul 00.00 pada hari 10 November.
Ketika loncengnya berbunyi menyanyikan irama indah itu, aku meremas jari tangan istriku. Ketika loncengnya berbunyi 1 kali, remasanku lebih kuat lagi. Dan ketika gema 12 kali masih mendengung, aku dan istriku berpelukan.
Lonceng jam itu memberikan zat rohaniah pada diri kami. Kebetulan kami berdua menyukai musik klasik. Tapi irama lagu lonceng jam ini melebihi seluruh musik klasik kesukaan kami.
Bertahun-tahun kami menikmati duduk berdua menunggu lonceng jam itu bernyanyi setiap seperempat jam. Ketika pada seperempat jam, dia menyanyikan satu bait saja. Ketika setengah jam, dia menyanyikan dua bait. Ketika tiba tiga perempat jam, tiga bait, dan pada waktu satu jam, empat bait komplit.
“Kita tak pernah merasa tua oleh lonceng jam ini ya, Sam?” kata istriku.
“Ya. Padahal jam ini sudah 15 tahun di rumah kita,” kataku.
“Mungkin kamu betah di rumah karena lonceng ini,” kata istriku lagi.
“Tapi aku betah di rumah bukan karena lonceng jam ini. Aku betah di rumah karena sudah memasuki pensiun, dan terutama karena adanya kamu.”
“Sudah gaek masih gombal,” kata istriku.
Pernah juga istriku bertanya, “Kenapa kamu tidak kawin lagi saja, Sam?”
Makin tua dia masih pencemburu seperti dulu. Tetapi pertanyaan itu agak aneh di telingaku.
“Aku tahu, ketika aku harus berhenti sewaktu kita menikah sudah pasti ada seorang gadis yang senang,” katanya.
”Si Aimah,“ sambungnya.
Peraturan kantor memang, jika ada dua orang menikah di satu ruang kerja, yang perempuan harus diberhentikan dengan hormat. Jadi Ina cuma berdinas 1 tahun kerja saja.
Orang yang sama sekelas di SMA, sama pula di perguruan tinggi, dan sama pula selesainya, akan sama nasibnya jika melamar di kantor yang sama di bidang yang sama pula: jika menikah, yang perempuan harus mengalah menjadi penunggu rumah.
“Kalau aku bicara soal si Aimah, kamu suka membisu. Padahal dia amat mencintaimu, Sam.”
Aku memilih diam. Akhirnya aku bertengkar juga karena dia lagi-lagi menyebut nama Aimah.
“Kalau kamu kawin sama Aimah, mungkin kamu sudah punya anak dan cucu. Perkawinan kita 40 tahun tanpa anak dan cucu,” ucapnya. Dan inilah yang bikin aku marah dan kami bertengkar.
Ketika pertengkaran itu terjadi, lonceng jam menyanyikan lagu itu. Sebelum empat bait lagu itu bergetar, aku dan Ina sudah berpelukan.
“Kita tak perlu bertengkar lagi. Yang ada di sini adalah aku, kamu dan jam dengan loncengnya itu.”
Tetapi, ajaib sekali. Biasanya kalau jam itu mati, aku bisa memperbaikinya. Yaitu menaikkan kerekan rantai tiga bandulan itu, lalu menyetel jarum panjang dan jarum pendeknya untuk menyesuaikan waktu. Kali ini loncengnya berbunyi tidak cocok lagi dengan waktu. Dia tidak berbunyi 12 kali pada waktu pukul 12.
“Kau bilang dulu kamu menguasai ilmu listrik. Tapi kenapa betulin jam saja sudah salah. Bahkan ngawur. Pukul 12 bunyinya 6 kali.”
“Sudahlah. Jangan jadi nenek sihir lagi, Ina,” kataku.
“Itu logis saja, Sam. Aku kan tidak bilang kamu tolol.”
“Sudah, diam kamu. Kamu makin tua makin cerewet.”
“Kamu makin tua makin tolol.”
“Aku mau keluar.”
“Mau cari Aimah?”
“Bawel kamu.”
Aku mencari ahli jam. Menurut pemilik toko di Glodok itu, ada orang Arab di Tanah Abang, namanya Mahboub Assegaf, ahli pembetulan jam dan piano. Ketika aku tiba di rumah Arab itu, orang di rumah itu mengatakan, bahwa “Ami Assegaf” sudah wafat. Kalau mau beli buah kurma dan kismis, ada dijual di sini.
“Aku tak bertemu dengan orang Arab itu,” kataku pada Ina.
“Oh si Aimah itu turunan Arab ya?”
“Coba tenang, Ina. Kita jual saja jam Junghun ini. Kita beli yang baru,” kataku.
Dia marah. Bahkan mencak-mencak. Dia katakan, "Jam ini penuh kenangan. Bertahun-tahun dia membuat kita berdua menikmati irama loncengnya yang pernah bernyanyi merdu. Jangan, Sam, kita tak boleh merusak kenangan yang diberikannya.”
Aku mengalah. Tapi itu tidak berarti aku tak 'kan bertengkar lagi dengan Ina. Dan aku gigih terus memperbaikinya. Dan istriku terus pula menertawakan kegagalanku walau tanpa perkataan “tolol”.
Dua tahun menjelang ulang tahun perkawinan emas kami, aku terus berusaha agar jam Junghun itu bisa menyanyi lagi, dan bunyinya harus tepat 12 kali pada pukul 00.00 tengah malam 10 November. Dimulai dengan cekcok mulut lagi, aku pergi ke Jatinegara. Seorang tukang arloji kubawa ke rumahku. Istriku senyum mencemoohinya.
“Tenang dulu, Ina. Dia ini ahli jam generasi penerus ayahnya. Bahkan dia mengenal Ami Mahboub Assegaf,” kataku ketika memperkenalkan tukang arloji itu kepada Ina.
Istriku mendehem. Anak muda itu bekerja keras. Keringat membasahi bajunya, sekaligus menyebarkan bau ketiaknya di ruang tengah kami yang nyaman. Akhirnya dia berkata putus asa: “Maaf, jam ini berbunyi 36 kali."
“Cukup, Nak. Memang dia gila,” kata istriku.
Yang mulai menjadi korban jam Junghun adalah Ina. Dia mulai berlangganan dokter spesialis penyakit dalam. Ia menderita tekanan darah tinggi. Suatu malam dia menjerit karena satu mimpi buruk. Katanya, jam gila itu berbunyi 120 kali.
“Sabar, Ina. Kita jangan panik. Manusia tidak boleh ditaklukkan oleh benda yang bermerk Junghun. Aku akan coba perbaiki sendiri. Manusia harus mengalahkan benda mati ini,” kataku yakin.
Istriku menyebut lagi perkataan “tolol” itu. Ini menambah semangatku, sampai aku berhasil! Aku merayakan pesta emas 50 tahun perkawinan kami. Tengah malam pukul 00.00 jam itu bernyanyi empat bait komplit, lalu mendentingkan loncengnya 12 kali. Sayang, saat itu istriku tidak mendengarnya, dan tak 'kan pernah mendengarnya.
Ya, kurayakan pesta emas perkawinan itu seorang diri, diiringi kemerduan lonceng jam Junghun yang amat sangat indah.***
(Dimuat dalam Horison, September 1999)
Lelaki Tua dari Noumea
Oleh: Waluya DS
Seperti biasanya untuk menghilangkan ketegangan urat-urat badannya lelaki tua itu mengambil bubble bath. Sering satu atau dua jam merendam diri sambil mempermainkan buih-buih sabun yang memenuhi bath tub dia bisa merasakan kesendiriannya dan melupakan persoalan-persoalan yang menjerat perasan serta pemikiran. Buih-buih sabun itu semakin bertambah setiap kali dia berkecimpung.
Diamatinya kedua telapak tangannya yang penuh dengan buih-buih sabun yang memantulkan warna-warni pelangi. Sesekali ditiupnya buih-buih itu dan beberapa gelembung melayang berputar-putar. Dan setiap kali gelembung-gelembung sabun itu pecah dia merasakan satu kekecewaan seperti tergugah dari impian yang mempesonakan. Persis seperti masa kanak-kanaknya di halaman belakang rumahnya di Noumea, dengan pipa dari semacam rumput kering dia menghembus air embun dan belasan gelembung beterbangan dipermainkan angin. Suatu kali, satu gelembung tetap bergantung di ujung pipa rumput kering itu tak mau pergi. Dengan hati-hati dihembusnya gelembung itu yang semakin membesar. Warna-warni pelangi terpantul dengan indahnya. Juga nampak bayangan dirinya yang lucu. Dia pikir bila gelembung ini terbang nanti bersama potret dirinya itu, dia pasti akan bisa melihat rumah-rumah, pepohonan serta sungai-sungai dari angkasa. Tapi dia belum mau melepaskan gelembung itu karena dia takut potret dirinya itu nanti akan merasa sendiri dan sepi di angkasa. Diamatinya dengan lebih teliti gelembung itu, mungkin ada awan atau saudaranya yang lain di dalam gelembung itu. Dengan hati-hati ditusuknya gelembung itu dengan ujung jarinya. Dan dia begitu tertegun, permainan dan impiannya justru mengukuhkan rasa sepi dan sendiri.
“Di negeri leluhur kita, Nak, kau tak akan pernah merasa sepi atau sendiri.” Begitu tutur ibunya suatu hari waktu dia merengek karena tak ada kawan bermain dan beberapa saudara tuanya tak ada di rumah, sedang kedua orang tuanya selalu sibuk dengan usaha dagang mereka.
“Ceritakanlah negeri leluhur itu padaku, Ibu?”
Bila ada waktu ibunya dengan tak bosan-bosan bercerita dongeng-dongeng Panji, Ken Arok, Damarwulan, Joko Tingkir, Aryo Jipang, Ki Pemanahan, Sutawijoyo, bahkan juga bagaimana keramatnya Kreto Kencono Kanjeng Susuhunan. Dongeng-dongeng itu begitu indah dan memukau. Dan dia tak bisa mengerti kenapa orang tuanya meninggalkan Negeri Leluhur yang begitu mempesona. Setiap pertanyaan yang dilontarkannya selalu lewat tanpa terjawab.
Hanya secara kebetulan suatu hari salah seorang saudaranya begitu jengkel dengan pertanyaan yang selalu berulang-ulang memberikan jawaban yang cukup memuaskan.
“Rupanya dongeng-dongeng ibu telah begitu meracunimu, Rio.”
“Namaku Aryo dan bukan Rio,” protesnya. Dia lebih senang dipanggil dengan nama sebenarnya yang lebih punya bobot karena nama Aryo mencerminkan darah bangsawan yang mengalir di tubuhnya.
“Nah, apa kataku, Rio. Kebanggaan yang baru kau tunjukkan itu tak ada artinya sekali di sini. Jangan kau biarkan angan-anganmu menggelembung dan menelan dirimu sendiri nanti.”
“Tapi namaku bukan Rio,” potongnya.
“Kau mau tahu jawabanku atau mau protes melulu?”
Dia hanya mengangguk karena jawaban saudaranya terasa lebih penting daripada mempertengkarkan namanya.
“Bagus. Kau sudah menunjukkan satu kemajuan ke arah pemikiran yang praktis dan realistis. Lupakanlah dongeng-dongeng dan Negeri Leluhur itu. Lebih baik kau coba membina hidupmu di sini; itu lebih penting.”
“Tapi itu hidupku sendiri.”
“Aku hanya ingin supaya kau tak kecewa nanti. Setiap adat dan kebudayaan punya kelebihan dan kekurangan yang tak bisa dicomot di sana-sini. Kau hanya harus terima utuh.”
“Maksudmu?”
“Dengan bapak kita di Negeri Leluhur dahulu, dia merasa terpenjara oleh adat dan kebudayaan yang lebih merupakan beban daripada usaha manusia untuk memuliakan hidupnya. Sebagai putra seorang pangeran yang dilahirkan oleh salah seorang selir, bapak merasa tidak punya tempat dan hak.
Pertemuannya dengan Tuan van Stifhout, pendeta Belanda yang akhirnya membaptisnya sebagai orang Kristen telah membukakan lembaran baru dalam hidupnya. Dengan salah seorang anggota jemaah gereja yang lain Babah Loo Cin Yong, bapak melakukan usaha dagang bersama yang cukup berhasil. Sebagai keluarga bangsawan jadi Kristen dan punya usaha dagang dengan orang Cina terlalu memalukan keluarga. Banyak usaha dilakukan untuk mendepak bapak. Salah satu di antaranya, waktu itu kau masih dalam kandungan, ada huru-hara yang dilakukan oleh kalangan tentara penjajah Belanda yang didalangi Tuan Sneevliet. Didesas-desuskan bahwa bapak ikut terlibat hanya karena pernah terlihat berbicara dengan Tuan Semaun yang merupakan kader Tuan Sneevliet. Dan juga diberitakan bahwa usaha dagang bapak sebenarnya hanyalah usaha terselubung untuk memudahkan gerakan kader-kader Komunis. Tentu hasil usaha dagang itu juga dipakai untuk membiayai kegiatan mereka. Orang selalu dengan gampang mencelupkan tangan untuk ikut mengeruhkan suasana, bukan? Untuk menghindarkan hal-hal yang tidak di inginkan, karena cintanya pada kita semua, bapak membawa kita untuk memulai hidup baru di Noumea.
Pernah kudengar bapak sedang bicara pada ibu bahwa bapak tidak menyesal sama sekali meninggalkan Jawa. Bahkan dia merasa beruntung mengambil keputusan sebelum tuduhan atas dirinya menjadi-jadi. Beberapa tahun setelah kita menetap di Noumea, bapak dengar khabar bahwa orang- orang Komunis atau yang dicurigai sebagai Komunis dibuang ke Digul oleh pemerintah penjajahan.”
Jawaban saudaranya itu justru menimbulkan beberapa pertanyaan baru. Kenapa harus merisaukan martabat keluarga yang sebetulnya tidak dengan tulus menerima bapaknya sebagai bagian dari keluarga itu? Bukankah tanggung jawab bapaknya sebenarnya hanya pada keluarga mereka sendiri? Seharusnya bapaknya lebih baik tetap di Jawa untuk membuktikan bahwa dia tak ada hubungan sama sekali dengan kaum Komunis. Dengan melarikan diri bukankah ini justru memperkuat tuduhan yang sebenarnya, bukan?
Semua perayaan itu selalu menggodanya, namun dia hanya diam saja karena sudah berjanji tak akan bertanya-tanya lagi. Memang tidak gampang memisahkan benang yang kusut. Lebih baik memulai satu kehidupan yang baru seperti nasehat saudaranya. Tapi tak bisa di sini, di Noumea yang semasa bukan tempatnya. Dia betul-betul merasa tersisih mencari tempat berpijak meskipun saat ini hanyalah dalam dongeng-dongeng dan kerinduan pada Ratu Adil. Mungkin dongeng-dongeng dan riwayat bapaknya sebetulnya tak pernah ada. Bagaimana kalau semua itu hanya tutur kata untuk menghiburnya saja? Tapi setiap kali melihat sekelilingnya, orang-orang Perancis, orang-orang Kanak, dan dirinya begitu berbeda. Hanyalah orang Kanak orang pribumi. Orang Perancis datang dari Eropa dan dirinya pasti punya tanah asal.
Betapa gembiranya ia ketika suatu hari sebuah kapal berlabuh dengan kelasi-kelasi yang bisa berbicara bahasa Jawa yang sedikit-sedikit dia bisa mengerti. Kapal itu bernama Dewa Ruci, sebuah nama yang pernah didengar dari dongeng ibunya. Dan para kelasi itu bilang kapal ini akan jadi kapal pelatih bagi pelaut-pelaut Indonesia. Dia merasa tidak begitu akrab dengan nama Indonesia. Para kelasi itu menjelaskan bahwa daerah ini hampir meliputi sebagian besar daerah Sumpah Palapa Gajah Mada. Dan pulau Jawa hanyalah sebagian kecil dari Indonesia. Dia merasa bangga ketika tahu bahwa tak ada pemerintah penjajahan lagi. Semua urusan ketatanegaraan sudah diatur oleh orang pribumi sendiri. Sedang Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi daerah istimewa di bawah kekuasaan Sri Sultan Hamengku Buwono.
Dia merasa begitu bahagia bahwa ternyata dongeng ibunya bukan hanya omong kosong belaka. Tapi ternyata punya pijaksana yang nyata bahwa keturunan Parikesit masih punya kekuasaan di pulau Jawa. Apalagi ketika dia tahu bahwa Sri Sultan menjabat wakil presiden. Tiba-tiba dia merasa punya tugas yang harus diemban untuk mengembalikan kekuasaan mutlak Sri Sultan.
“Kau sudah gila, Rio! Lupakanlah angan-anganmu itu. Kita semua punya hidup yang harus diurus di sini. Kau kira orang-orang Jawa di sana tak mampu mengatasi tantangan hidup mereka dan memerlukan uluran tanganmu?” damprat saudaranya ketika dia merasa sebagai titisan Nabi Musa yang harus membawa orang-orang Jawa di Kaledonia kembali ke tanah leluhur.
“Tapi bukankah itu justru kelebihan kita?” belanya. “Lihatlah orang-orang Perancis ke mana mereka berkiblat. Daerah ini bukanlah daerah Pasifik, tapi daerah Perancis Selatan. Kehidupan dan tata cara mereka tak ada yang berubah bukan? Lalu bagaimana dengan pendatang-pendatang Vietnam? Mereka mengirimkan uang dan senjata untuk melanjutkan perjuangan melawan kekuatan Komunis. Kalau kita tak mau tahu-menahu soal asal-usul kita dan hanya memikirkan hidup kita di sini saja, kita tak akan jauh berbeda dengan orang Kanak. Mereka menjadi golongan minoritas dan kehilangan hak di tempat mereka sendiri. Kau tahu satu-satunya kesalahan mereka justru karena mereka tidak berasal dari mana-mana.”
“Bicaramu sudah begitu ngawur. Mungkin kami harus mengundang dokter jiwa untuk memeriksamu.
Dengarkan kami baik-baik, Rio. Akhir-akhir ini kami semua merasa begitu khawatir tentang kegilaanmu yang semakin parah. Kami sadar menghadapi beban mental merawat Jatmiko yang mati tidak hidup pun tidak, begitu berat. Apalagi masih harus menga-suh cucumu Dewi bukan soal yang gampang.
Sadarlah, Rio, dan jangan kau biarkan kegilaanmu itu berlarut-larut. Cobalah turun tangan bersama kami mengembangkan keluarga. Dengan melakukan hal-hal yang positif akan mengembangkan self esteemmu.”
Dia merasa usahanya membujuk sanak saudaranya sia-sia belaka. Tak ada seorang pun selain istrinya yang setia mencoba memahami jalan pikirannya.
Memang langkah pertama mewujudkan impiannya itu semakin kabur setelah Jatmiko, anak satu-satunya mendapatkm kecelakaan ketika menyelam di laut. Dia ditemukan dalam keadaan lumpuh. Kata dokter otaknya sudah rusak karena kekurangan zat asam. Jatmiko memang masih hidup. Tapi yang ada tinggallah tubuhnya yang harus ditunggu kerelaannya melepaskan dunia yang fana.
Rasa kehilangan Jatmiko bisa segera terobati karena sepenuhnya perhatiannya tertumpah pada Dewi yang kehilangan ibunya waktu dilahirkan. Tumbuh harapannya suatu hari nanti Dewi akan bertemu dengan salah seorang pangeran dari Jawa dan mereka akan menurunkan Ratu Adil yang senantiasa dinantikan itu. Dewi memang tumbuh menjadi wanita yang anggun semampai dengan tingkah yang lembut mempesona di samping otaknya yang cukup cemerlang.
Untuk menjembati pertemuan Dewi dengan pangeran dari Jawa itu Dewi dikirimkannya ke Melbaourne untuk menggali ilmu di Universitas Monash. Dari seorang kawan dia mendengar bahwa di Monash ada seorang Profesor Yahudi yang ahli dalam bidang politik di Indonesia dan juga seorang Profesor Belanda yang ahli dalam masalah Mataram. Namun setelah beberapa tahun di Melbourne, lewat surat-suratnya Dewi tidak pernah menyebutkan pengetahuan barunya soal Jawa. Dia begitu tertegun membaca surat terakhir Dewi padanya:
Jangan marah, Kakek, dari Profesor-profesor itu aku tak belajar apa-apa sama sekali. Mata inti dari kuliah-kuliah mereka bisa dengan gampang kudapatkan dari buku-buku. Soalnya setiap orang bisa punya pendapat. Dan pendapat tanpa diberi ujud nyata dalam perbuatan bagiku tak ada nilainya sama sekali. Aku lebih menemukan arti serta diriku sendiri dengan belajar melukis di Victorian College of The Arts.
Sekali lagi gelembung-gelembung impiannya retak. Tapi dia masih belum merasa bahwa impian itu sudah di luar jangkauannya. Dia merasa perlu pergi ke Melbourne untuk memberi beberapa petunjuk pada Dewi.
“Jangan tergesa-gesa marah, Rio. Bukan salah Dewi kalau dia tidak mengerti rencanamu. Dewi bukan sebangsa serdadu yang hanya menjalankan perintah tanpa berpikir atau mengajukan pertanyaan.” bujuk dan peringatan istrinya yang hampir selama perkawinan mereka hanya selalu mengiyakan kehendaknya dan hampir tidak pernah menyatakan pendapat sendiri.
Dia harus merasa tetap tawakal dan sabar. Banyak garis bengkok yang masih bisa diluruskan pikirnya. Tanpa memberi khabar pada Dewi, dia dan istrinya menuju ke Australia. Setelah mendarat di lapangan terbang Tullamarine mereka langsung menuju Hotel Windsor di bilangan kota. Melbourne terasa begitu teratur dan rapi. Sedang kesan pertamanya seperti begitu formal dan konservatif. Dia begitu senang bahwa Hotel Windsor adalah hotel yang mapan punya sentuhan kolonial. Tidak seperti hotel-hotel modern yang baru yang begitu trendi.
Setelah makan siang mereka menelpon Dewi yang tidak menyangka sama sekali bahwa kakek dan neneknya ada di Melbourne.
“Kakek dan nenek menginap di hotel apa?”
“Windsor di Spring Street,” jawabnya sambil memberikan nomor kamar mereka.
“Wah, itu hotel yang mewah. Kakek dan Nenek seperti sedang berbulan madu saja,” goda Dewi walaupun dia tahu bahwa kakeknya selalu punya selera yang tinggi. “Untung tidak ke Southern Cross, salah-salah kakek dan nenek bisa dikira turis dari Jepang.”
Sejauh ini dia masih merasa bisa mengontrol keadaan. Dia pikir kalau Dewi memang tertarik pada dunia seni mungkin lebih baik dikirim ke Yogyakarta. Di situ ada perguruan tinggi seni lukis dan sekaligus juga merupakan pusat kegiatan kesenian tradisionil Jawa yang adi luhung. Berada di Yogya pasti akan menghasilkan pengalaman langsung mengenal dan terlihat dalam tata cara adat istiadat Jawa. Dan peluang untuk ketemu dengan Sang Pangeran Jawa itu juga akan lebih besar.
“What a lovely surprise,” Dewi dengan wajah yang berseri-seri muncul di depan kamar ketika dia membuka pintu, langsung memberikan ciuman di kedua belah pipinya. “I have a surprise for both of you too. Tapi kenalkan dulu, John. Ini Rio dan Handayani, kakek dan nenekku.”
Ya Allah ya Rabbi. Tak ada angin, tak ada mendung dan hujan tapi geledek segera menyambar. Sejak kapan Dewi berbahasa Inggris pada mereka. Mungkin karena ada John; tapi paling tidak pada mulanya Dewi seharusnya menyapa dalam bahasa Jawa. Tapi masalah berikutnya yang disampaikan oleh Dewi secara kalem itu menyambar seperti ledakan bom atom Perancis di Atol. Dewi sedang menantikan kelahiran anak pertamanya!
Merasa dirinya sebagai priyayi Jawa dia tak bisa menunjukkan perasaannya yang sebenarnya. Sedapat mungkin diusahakan menunjukkan sikap kebijaksanaan calon seorang eyang buyut. John ternyata memang calon sang ayah yang tinggal bersama Dewi selama dua tahun belakangan ini. Tapi mereka tidak pernah menyebutkam rencana kawin sama sekali. Sebelum mereka pergi, karena John harus memberi kuliah dalam waktu setengah jam lagi, ternyata dia masih bisa menahan diri dengan mengajak mereka makan bersama malam nanti.
“Ya, Dewi akan telpon dulu nanti waktu pulang dari periksa di ahli kandungan,” ucap Dewi sebelum pergi.
Dia tidak bisa mengerti sama sekali bahwa Dewi bicara hamil di luar perkawinan tanpa rasa rikuh atau malu, bahkan seperti bangga sekali. Dihempaskannya badannya ke kasur dan langit-langit kamar seolah berputar. Dari bathroom terdengar bunyi kran dibuka. Gemericik air mengingatkannya pada kolam hias di halaman depan rumahnya.
“Lebih baik kau mandi dulu, Rio. Air sudah kusiapkan semua,” kata istrinya sambil menghampirinya. “Kita bisa bicara dengan tenang nanti.”
Dia lepaskan semua pakaiannya dan dibiarkannya terpuruk di karpet. Sebentar lagi istrinya pasti akan membenahi. Dengan telanjang dia berjalan menyeberang kamar menuju ke bathroom. Sebelum masuk ke bath tub dilihatnya bayangan tubuhnya di kaca, masih nampak cukup tampan untuk seumurnya. Dia membaringkan dirinya di bath tub dengan hanya kepalanya yang menyembul keluar. Dalam hati dipujinya istrinya yang selalu dengan baik menyiapkan air untuknya, tidak terlalu panas dan campuran bubble bath cukup creamy dan kaya akan buih.
“Mandi yang bersih, Rio, kau banyak sekali kokot bolot seperti kuli yang tidak pernah mandi.” Dia ingat ibunya selalu menegurnya bila ia terlalu lama bermain-main saja di bath tub. Sekarang tidak pernah ada seorang pun yang mengganggunya. Biasanya bila sudah terlalu lama istrinya pasti masuk ke bathroom dengan membawa handuk yang bersih atau piyama.
“Rio, kau mau piyama atau ganti pakaian untuk nanti malam sekaligus?” tanya istrinya membangunkannya dari segala kenangan.
“Beri aku pakaian yang bersih, aku kepingin jalan-jalan sebentar di Bourke Street.”
Istrinya hanya mengangguk dan cepat-cepat keluar karena mendengar bunyi telpon berdering. Dia tersenyum sendiri, ingin dia menyebut istrinya Sembadra karena begitu bakti dan setia seperti istri Arjuna. Dikeringkannya tubuhnya dengan handuk lalu ditaburinya dengan talek yang lembut baunya.
“Dewi yang baru saja telpon,” kata istrinya sambil memberinya sepasang pakaian yang bersih. “Dia bilang kalau kita mau makan yang agak kerakyatan kita bisa ke Victoria Street, ke restauran Vietnam. Tapi kalau kita kepingin makanan Barat dengan suasana yang tidak terlalu formal, lebih-lebih kalau kau mau mencoba sausages atau sate buaya sebagai entree, kita bisa ke Grill Room di basement, pintu masuknya dari Little Collins. Lalu kita bisa dapat supper di Graund Floor untuk ngobrol sambil mendengarkan permainan piano.” Dia tidak begitu mengacuhkan kata-kata istrinya dan sibuk mengenakan pakaiannya yang bersih.
“Rio kau dengarkan aku atau tidak?”
Lama tak ada jawaban. Sesaat kemudian dia berbalik menghadapi istrinya.
“Ya. Dan aku begitu heran bahwa kau hanya tenang-tenang seolah-olah tak punya pendapat sendiri.”
“Pendapat dalam hal apa?” tanya istrinya.
“Kau tahu kenapa kita kemari!? Untuk apa kita ke Melbourne?”
“Kau jangan membentakku seperti itu, Rio.”
Dia begitu tersentak ketika untuk pertama kalinya istrinya berani menegurnya.
“Dewi! Dia, dia....”
“O, itu. Kuharap kita bisa berbicara secara lebih beradab,” potong istrinya. Dia begitu geram mendengar kata-kata istrinya yang datar tapi cukup tajam.
“Sejak kapan kau ikut memusuhiku?”
“Kau mau mendengarkan pendapatku atau hanya mau memancing pertengkaran saja?”
Dia hanya melotot tak bisa percaya bahwa wanita yang sedang bicara di depannya adalah istrinya yang sudah bertahun-tahun hidup bersamanya.
“Kalau soal impian gilamu mengenai Negeri Leluhur itu terus terang saja aku tak punya. Meskipun keturunan orang Jawa aku hanyalah wong cilik keturunan kuli kontrak. Aku tak mau bicara, aku tak punya pendapat karena aku tidak tahu sama sekali soal Negeri Leluhur itu. Tapi soal Dewi, ya dia hamil, Rio. Anak yang dia kandung itu adalah buyut kita sendiri.
Kau boleh punya ukuran moral yang tinggi untuk hidupmu sendiri, Rio. Tapi kau tak boleh memaksakan ukuran itu untuk hidup orang lain.”
Dia menarik napas panjang dan melangkah menuju ke jendela sambil setengah berkata pada dirinya sendiri, “Kesalahanku kenapa aku tidak pernah berusaha mencari saudara-saudara bapakku di Jawa. Kalau aku tahu mereka, dulu Dewi pasti kukirim ke sana.”
“Kau tahu, Rio, kesalahanmu justru kenapa kau selalu bicara apa maumu saja dan tidak pernah memikirkan keinginan dan pikiran orang lain.”
Hening dan mereka berdua saling bertatapan.
“Aku mau pesan minuman, kau mau juga?” tanya istrinya.
Dia tidak menjawab dan istrinya pergi menelpon room service memesan sebotol anggur kesenangannya dan minta diberi dua gelas.
“Jangan kau anggap aku melawanmu, Rio. Aku bicara dengan jujur seperti ini karena aku mencintaimu. Aku tidak peduli apakah kau mencintaiku atau tidak. Apakah kau anggap aku ini babu atau istrimu itu tidak soal bagiku. Cinta yang tulus adalah cinta yang tanpa pamrih. Ia adalah pengorbanan itu sendiri.”
Tiba-tiba dia tidak tahan melihat air mata meleleh di pipi istrinya. Namun ia mencoba menutupi keharuannya. Dibukanya pintu ketika pelayan datang membawa pesanan istrinya. Ditandatanganinya nota bon supaya bill itu dimasukkan dalam rekeningnya nanti. Pelayan itu tersenyum lebar menerima tip yang lumayan.
“Shall I open the bottle now, Sir?”
Dia hanya mengangguk dan pelayan itu membuka botol serta menuangkan anggur ke kedua gelas untuk dia dan istrinya. Dia reguk anggur itu setelah si pelayan pergi.
“Rio, apa yang kita cari dalam hidup ini selain kebahagiaan? Bagiku yang lain-lain tidak soal selama Dewi merasa bahagia untuk dirinya sendiri.”
Dia hanya mengangguk dan pelan-pelan terasa pundaknya yang berat menjadi ringan. Istrinya memandangnya dengan pandangan tidak percaya.***
(Dimuat dalam Horison, Maret 1990)
Tempat yang Terindah untuk Mati
Oleh: Seno Gumira Ajidarma
Kami, 10.000 pasukan berkuda, akhirnya keluar dari hutan itu. Di hadapan kami kini terbentang padang stepa yang begitu luas bagaikan tiada bertepi. Setelah hampir berminggu-minggu hanya merayapi jalan setapak di antara pohon-pohon dan semak belukar, padang yang terbuka itu bagaikan pelepasan yang lebih dari memadai untuk melampiaskan kerinduan kami akan kebebasan, lepas dari kungkungan jurang dan tebing yang serba menjulang dan mencekam.
“Pacu!”
Orang-orang yang berada paling depan sebenamya tidak usah menunggu diperintah untuk memacu kudanya, bahkan kuda-kuda itu sendiri bagaikan tidak lagi menunggu perintah untuk segera memacu diri mereka, melesat secepat-cepatnya bagaikan berpacu dengan angin dingin yang bertiup begitu kencang menggigilkan tulang.
“Pacu! Pacu! Pacu!”
Kami semua berpacu sepanjang padang stepa yang terbuka sambil berteriak-teriak menuntaskan kegembiraan kami. Kuda-kuda kami berpacu dengan riang, dengan tenaga baru yang seolah-olah begitu saja datang dari langit. Kuda-kuda kami menggebu, melesat dan menggebu, seperti mengerti betapa jiwa kami telah lama begitu tertekan dalam perjalanan berat menempuh hutan yang rapat, gelap, dan penuh dengan rintangan. Kami menggebu begitu laju, seolah-olah bahkan jiwa kami kalau bisa lepas dari belenggu badan, mendesing menuju kebebasan. Namun sekarang, cuma inilah yang bisa kami lakukan, berpacu melawan angin, dan berteriak-teriak meluapkan kegembiraan kami.
“Huuuu! Huuuuu! Huuuu!”
Satu per satu penunggang kuda yang keluar dari hutan segera melaju. Kami, 10.000 pasukan berkuda, berderap melaju menuju cakrawala. Padang stepa diselimuti salju yang tipis, dingin angin bagaikan mengiris wajah-wajah kami yang sebetulnya toh cuma tampak matanya saja. Seluruh tubuh kami terbungkus jubah bulu binatang yang tebal dan berat. Kami juga mengenakan topi dan sepatu dari kulit binatang berbulu tebal. Semuanya terbungkus, begitu juga tangan kami yang memegang kendali. Para pembawa panji, bendera, dan umbul-umbul kini membuka jalan ke depan. Bendera raksasa yang berkibar dan menyibak angin itu terlihat menggetarkan. Kuda-kuda kami saling berpacu dengan perkasa, bumi bergetar oleh derap pasukan yang melaju dan menggebu.
Kaki-kaki kuda kami bagaikan tak mengenal lelah, berpacu dan berpacu, surai kuda-kuda kami yang tebal melambai-lambai dengan megah dan seluruh gerak tubuh mereka bagaikan menari dengan indah. Langit hanya biru. Cahaya matahari menyiram padang. Setiap orang memacu kudanya ke cakrawala yang melingkar 360 derajat. Hutan di belakang kami kini bagaikan titik-titik hitam, dan segera lenyap di balik kaki langit. Kami bagaikan berpacu di atas permadani tanpa tepi. Selama berjam-jam kami akan berpacu dan kami akan tahu bahwa pemandangan ini tidak akan pernah berubah. Di telinga kami angin bersiut dan menderu. Kami terus-menerus berderap sepanjang padang. Kami bersedia membayar segalanya untuk perasaan merdeka yang kami dapatkan. Jangankan berpacu yang begitu menggembirakan, bahkan perjalanan berminggu-minggu di dalam hutan yang melelahkan pun kami lakukan asalkan kami bisa mencapai tempat tujuan. Kami tahu, perjalanan kami masih jauh lagi, kini kami mengambil peluang untuk meraih kegembiraan.
Kuda-kuda kami terus berpacu dengan laju. Kuda-kuda memang lebih dari sekadar bagian hidup kami. Tanpa kuda, apalah artinya kami? Kuda-kuda kami selalu mengerti apa yang kami inginkan, dan mereka selalu memenuhi segala kehendak kami dengan memuaskan. Kami tidak mengerti apa jadinya hidup kami tanpa kuda. Kami selalu bepergian, selalu berpindah, selalu bertualang. Kami selalu berpindah sesuai dengan pergantian musim, perjalanan angin, dan peredaran bintang. Semua ini tak bisa lancar tanpa kuda sepanjang pengembaraan. Kini kami semua sudah siap menempuh perjalanan yang terakhir, dan kuda-kuda kami tetap setia mengikuti sampai akhir tujuan. Kuda-kuda kami masih terus berderap, bagai berpacu dengan angin. Telinga kami semua penuh dengan desau, yang kadang-kadang terdengar seperti sebuah percakapan, namun yang maknanya seperti selalu menghindari kepastian.
Sampai di manakah suatu perjalanan berakhir? Apakah mungkin suatu perjalanan berakhir? Apakah mesti suatu perjalanan berakhir? Sudah bertahun-tahun kami mengembara dan kami tidak pernah merasa yakin kapan suatu perjalanan bisa berakhir. Kami mengembara dan menjelajah segenap permukaan bumi untuk mencari suatu akhir, namun sampai sekarang tiada satu alasan pun bisa menghentikan kami. Kami menyeberangi sungai, kami mendaki celah-celah gunung, kami mengarungi gurun pasir, dan kini kami berpacu di tengah padang tanpa tepi, tapi kami tidak juga ingin berhenti. Kami bisa berhenti dan menetap di suatu tempat untuk satu, dua, bahkan bisa lima tahun, namun kami selalu berangkat kembali. Rumah kami sekarang adalah perjalanan itu sendiri.
Padang stepa yang terbuka masih tidak memperlihatkan apa-apa kecuali hamparan rumput kering yang kelabu dengan polesan salju. Begitu luasnya padang gurun ini sehingga kami merasa berjalan di tempat. Apakah yang terjadi di tempat-tempat lain ketika kami berpacu? Panah seorang pemburu sedang melesat ke jantung seekor rusa ketika kami berpacu. Burung-burung kondor beterbangan melingkar di langit mengincar pengembara yang sekarat kehausan ketika kami berpacu. Seekor ikan salmon menangkap umpan dan tersendal pancing ke udara ketika kami berpacu. Benarkah seekor gajah menegakkan belalainya dan melengkingkan bunyi terompetnya nun entah di mana ketika kami berpacu? Seseorang mendayung perahu menuju matahari terbenam ketika kami berpacu.
Kami berpacu, berpacu, dan berpacu.
“Huuuuu! Huuuuuu! Huuuuuuu!”
Kami berderap dan berpacu memburu matahari yang terbenam ke balik cakrawala. Langit yang tadi bagai tempurung raksasa membiru kini semburat merah terbakar. Matahari terasa betapa berat, menancap kemerahan bagai kuil yang menanti penziarah dari segenap penjuru bumi. Kami berderap dan berpacu menuju matahari itu. Langit masih membara. Kami, 10.000 pasukan berkuda, menjadi bayang-bayang kehitaman yang melesat ke suatu arah. Kalau matahari itu menghilang di balik cakrawala, kami harus memburunya ke balik cakrawala.
***
Tempat itu dinamakan Lembah Sepuluh Rembulan. Ada sepuluh danau di lembah yang luas membentang itu dan seharusnya ada sepuluh rembulan mengapung di atas sepuluh danau. Namun, ketika kami akhirnya sampai ke lembah itu, musim dingin belum berakhir sehingga sepuluh danau itu masih menjadi dataran salju. Bila bulan yang perak itu muncul di langit malam, cahayanya dipantulkan kembali oleh permukaan danau yang diselimuti salju. Di setiap danau itu setiap 1.000 orang dari kami berkemah. Di Lembah Sepuluh Rembulan inilah kami akan menunggu 100.000 saudara-saudara kami.
Seseorang dari kami tampak meniup seruling di kejauhan itu. Ia meniup seruling sambil duduk di sebuah batu di atas tebing, seolah-olah berhadapan dengan rembulan - bahkan rembulan seperti turun ke bumi hanya untuk mendengarkannya meniup seruling.
Tapi apakah rembulan mengerti arti lagu seruling itu? Seruling itu berkisah tentang riwayat kami yang panjang dengan bahasa kami sendiri. Apakah rembulan bisa memahami, betapa nun di sebuah benua yang jauh bertahun-tahun yang silam suku kami berkemas untuk sebuah perjalanan yang tak kami ketahui kapan akan berakhir? Apakah rembulan mengerti, betapa berat penderitaan suku kami sepanjang perjalanan mengarungi benua itu, menghadapi segenap rintangan alam maupun suku-suku musuh kami? Apakah rembulan mampu menangkap gelora semangat pengembaraan kami? Tak terhitung lagi berapa orang telah mati dan berapa bayi telah dilahirkan sepanjang perjalanan dari kampung ke kampung, dari lembah ke lembah, dari bukit ke bukit, semenjak begitu banyak tahun yang telah lama berlalu.
Ia meniup seruling di atas tebing. Berkisah tentang kafilah panjang yang menyeberangi gurun, orang-orang yang mengendarai kuda dengan tertunduk, dan anak-anak yang tidur dengan gelisah di dalam gerobak-gerobak penuh barang dan bahan makanan, sementara seorang nenek tua bersenandung dengan suara buruk tentang tanah air yang sudah mereka tinggalkan.
Lembah Sepuluh Rembulan adalah suatu lembah gersang dengan dataran yang sangat luas. Kami membiarkan kuda kami menjilati lelehan salju dan merumput di sana-sini. Kami siapkan kantung-kantung tidur dan selimut kami. Bukit-bukit batu yang menjulang dan membentuk lembah ini melindungi kami dari angin sehingga kami bisa menyalakan api unggun. Di setiap api unggun masih tampak orang-orang membakar sisa-sisa daging perbekalan mereka dan mengunyahnya dengan lahap. Beberapa orang masih minum susu hangat yang beraroma teh, dan mendengarkan seseorang bercerita.
"Maka sang raja pun jatuh cinta kepada wanita dari negeri seberang itu...."
Kami selalu membutuhkan cerita, seruling, dan kuda. Kami memuja rembulan dan matahari. Kami menyembah langit, kami menyembah bumi. Kami mencintai keindahan seperti mencintai kehidupan itu sendiri.
Apakah yang akan kami lakukan selama hari-hari penantian kami? Tidur tanpa tenda adalah suatu siksaan yang berat bagi kami, karena musim dingin yang selalu berangin akan terus-menerus menguji ketabahan hati kami. Barangkali kami akan memanfaatkan waktu untuk berburu, bukan hanya karena daging binatang buruan kami perlukan untuk menimbun perbekalan yang mulai menipis, tapi juga karena kulit berbulunya yang tebal kami butuhkan untuk membuat tenda. Apabila 100.000 saudara-saudara kami tiba, mereka yang sebagian terdiri dari wanita, anak-anak, dan orang tua, akan membutuhkan tenda-tenda itu. Tenda-tenda kami adalah tenda yang besar dan hangat, sudah berabad-abad bentuk tenda kami tidak pernah berubah. Di dalam tenda itu kami bisa memasak sekaligus menghangatkan diri kami.
Ketika kami semua bersiap tidur dan memandang bintang gemintang di langit, peniup seruling itu masih di sana, melanjutkan kerinduannya yang panjang akan kampung halaman kami yang terletak di sebuah dataran tinggi di tepi sungai, dengan latar belakang pegunungan yang menjulang megah. Seruling itu mengingatkan kami kembali kepada kampung halaman leluhur kami yang sungainya tidak pernah membeku, di mana bila senja tiba di tepi sungai akan terdengar derai tawa ceria gadis-gadis yang mandi, sementara di kejauhan terdengar gemerincing anting-anting dari daun telinga yang panjang itu dicuci. Suara-suara itu dibawa angin ke bukit-bukit di mana anak-anak gembala memainkan serulingnya sambil tiduran di atas kerbau -- inikah sebabnya suara seruling itu membuat kami diam? Kami sedih. Kami pasrah. Kadang kami tidak tahu apa yang harus kami perbuat.
Kemudian, ketika suara seruling itu lenyap ke balik malam barangkali kami masih mendengarnya di dalam mimpi-mimpi kami, menjelma gambar-gambar yang berkelebat dari masa lalu kami. Betapa selalu masa lalu berada dalam diri kami, dan kami menyukainya karena memang tidak pernah ingin kehilangan masa lalu kami yang semakin hari serasa semakin indah.
Kami sudah menempuh perjalanan yang panjang dan kini kami ingin tidur. Angin masih terus bertiup dan tak akan pemah berhenti. Kami mengerti betapa angin akan mengembara ke segenap penjuru bumi, bahkan ia menyeberangi samudera mahaluas, menghubungkan kami dengan segenap unsur kehidupan. Betapa segala hal di muka bumi ini saling berkaitan.
Kemudian, tinggal kesunyian di Lembah Sepuluh Rembulan. Kami, 10.000 pasukan berkuda, tertidur dengan pulas, tiada yang mendengkur sama sekali. Di Lembah Sepuluh Rembulan hanya terdengar desau angin. Gemeretak api unggun segera berakhir. Tinggal bara api menyala diam-diam, makin lama makin menghilang. Maka terlihatlah gerak cahaya rembulan yang memantul di dinding-dinding batu. Rupa-rupanya bulan yang turun mendengarkan suara seruling mengangkasa kembali. Bertengger di atas sana. Sesekali tertutup awan.
***
Setahun kemudian seorang pengawal di atas tebing berteriak.
“Hooooiiiii! Mereka sudah datang!”
Kami semua segera melompat ke atas kuda, dan memacunya ke tempat-tempat yang tinggi. Sebagian yang lain malah langsung keluar dari celah lembah, dan terbentanglah di hadapan kami pemandangan yang menggembirakan itu, pemandangan yang kami nantikan. Tak kurang dari 100.000 saudara-saudara kami muncul dengan meyakinkan dari balik kaki langit.
Hari sudah menjelang senja, langit bagai tenda raksasa berwarna ungu. Saudara-saudara kami masih merupakan sosok-sosok hitam yang seolah-olah berjalan di tempat. Dengan perasaan yang sangat tidak sabar dan menggebu-gebu, kami berlari-lari turun dari bukit, langsung melompat ke atas kuda kami. Dengan segera, kami menggebu menyambut 100.000 saudara-saudara kami yang masih merupakan sosok-sosok hitam di kaki langit itu. Ketika saudara-saudara kami melihat kami datang menyambut mereka, sebagian dari mereka yang mengendarai unta dan berkuda segera melesat ke depan ingin segera bertemu dengan kami.
Senja itu langit yang ungu serasa begitu cerah. Tiada yang lebih menggairahkan selain kehendak yang menggebu menjumpai orang-orang tercinta. Mereka semua telah menempuh perjalanan yang panjang di jalan yang telah kami rintis. Tentulah jumlah mereka sudah tidak genap 100.000 orang lagi. Tentu ada yang mati dan lahir sepanjang perjalanan, seperti yang sudah-sudah, kami baru akan mengetahuinya nanti.
Kemudian kami melihat panji, bendera, dan umbul-umbul yang sama. Berkibar dengan megah, bergetar-getar dalam tiupan angin. Semua ini menggetarkan jiwa kami dan kami merasa betapa setiap detik dalam hidup kami sangat mempunyai arti. Kami menggebu dengan perasaan rindu dan penuh dengan cinta. Seperti apakah mereka kini?
“Huuu! Huuuu! Huuuu!”
Kaki-kaki kuda, berderap dan berpacu. Sosok-sosok hitam itu makin lama makin membesar. Mereka yang terdepan akhirnya bertemu muka dengan kami. Masing-masing dari kami kemudian berhenti dan berhadapan. Rombongan yang terdepan itu masih menanti mereka yang terseok di belakang, dengan gerobak, kereta, gajah dan unta. Lebih banyak lagi yang berjalan kaki.
Kami semua turun dari kuda.
“Akbar!"
“Abdul!”
Kami semua berpelukan dengan penuh rindu dan penuh dendam. Kami tahu hari-hari akan menjadi lebih berat, namun kami juga tahu hari-hari kami akan lebih menggembirakan. Suku kami telah bersatu kembali di bawah langit dan bumi yang sama. Wajah-wajah mereka tampak lelah dan kuyu, seluruh pakaian mereka usang dan kelabu, penuh dengan debu, namun betapa dari sinar mata mereka terpancar jiwa pasrah dan ikhlas, siap menempuh perjalanan untuk mati. Kami menyatu kembali dalam gairah kehidupan yang panas. Angin begitu dingin, namun tiada akan ada satu pun halangan kini bagi kami untuk mengungkapkan sukacita kami.
Begitulah kami akan membaca puisi di tepi danau, menari di atas perahu, memetik kecapi di puncak bukit, dan melakukan meditasi bersama dari malam sampai pagi di bawah rembulan dan matahari. Kami menatap saudara-saudara kami yang baru tiba dan merasa sedih meskipun gembira. Betapa mereka begitu tabah, dan kini begitu kurus. Wanita dan anak-anak kami berambut kasar dan merah. Semua orang tampak tak terurus, tapi siapakah yang akan bisa tampak terurus dalam perjalanan panjang, menyeberang dari benua ke benua hanya untuk selalu pergi dan tak akan pernah kembali?
Kami terus-menerus saling berpelukan dengan jerit dan tangis yang makin menjadi-jadi.
“Sarita!”
“Maneka!”
Mengapa kita bisa terus-menerus memikirkan seseorang meskipun kita berjarak begitu jauh dari seseorang itu dan telah berpisah begitu lama sehingga kadang-kadang sebenamya susah mempertahankan ingatan atas seseorang itu dari hari ke hari dalam suatu perjalanan yang terus-menerus berubah warna? Namun, betapa tiada jarak lagi kini bagi kami. Kami semua menemukan masing-masing keluarga, kami berjalan kembali ke Lembah Sepuluh Rembulan sambil menyenandungkan lagu syukur dari hati. Langit memberkati kami. Paduan suara lagu kami dipantulkan kembali oleh dinding-dinding tebing dan semua ini hanya mengingatkan betapa kami sebagai manusia sungguh memiliki nilai yang hakiki.
Kami membagi diri kami berdasarkan pemukiman di sepuluh danau sehingga setiap 10.000 orang dari saudara-saudara kami yang baru tiba akan bergabung dengan setiap 1.000 orang dari pasukan berkuda kami. Kami tahu kami akan menyanyi dan menari malam ini. Kami akan membakar daging rusa dan kami akan memakannya sepuas hati. Kami akan membagi arak dan anggur dan kami akan menuangkannya ke atas daging bakar yang merah berasap membangkitkan lapar.
Kami begitu siap untuk bahagia, tapi kami menahan kegembiraan meluap kami sebagai bekal menahan penderitaan pada masa-masa yang akan datang. Kami tidak bermabuk-mabukan dan lupa daratan, kami menyalurkan kebahagiaan kami dengan suatu cara yang hanya kami bisa melakukannya. Maka begitulah kami segera bekerja begitu tiba di Lembah Sepuluh Rembulan. Kami mendirikan tenda bagi orang-orang yang sakit, kami mengatur pengelompokan sesuai dengan asal-usul setiap keluarga di kampung kami. Saudara-saudara kami yang baru datang itu begitu lelah dan begitu kurus sehingga agaknya kami masih akan bertahan beberapa lama lagi di sini sebelum kelak berkemas dan berangkat kembali.
Kini semuanya sudah berada di Lembah Sepuluh Rembulan. Kami yang telah tinggal di sini selama setahun, bisa melihat bagaimana sepuluh rembulan itu mengapung di atas sepuluh danau selama musim panas yang tetap saja dingin. Saudara-saudara kami yang 100.000 orang itu datang pada musim dingin, jadi mereka hanya melihat sepuluh danau yang membeku. Bahkan ketebalan es di atas danau itu mampu menahan beban gajah yang berjalan di atasnya. Gajah-gajah yang kami bawa berbulu tebal, begitu juga unta dan kuda-kuda kami. Mereka begitu jinak, begitu mengerti, dan begitu penurut sehingga kami sungguh berterima kasih dengan segala pengorbanan mereka dalam perjalanan kami.
Dalam perjalanan itu 53 orang dari kami meninggal, dan kami menguburkannya di tengah jalan, sementara itu 53 bayi dilahirkan sehingga jumlah saudara-saudara kami yang baru datang itu tetap genap berjumlah 100.000 orang. Adapun pasukan berkuda yang merintis jalan masih tetap berjumlah 10.000 orang.
Begitulah selama beberapa bulan yang tenang kami tinggal di Lembah Sepuluh Rembulan. Pada musim semi danau masih membeku, namun rerumputan menjadi lebih hijau. Ketika tiba musim panas, kami semua, 110.000 orang, berkemas dan bersiap melanjutkan perjalanan.
Kami berangkat pada pagi subuh. Bulan masih menggantung di langit. Dari atas tebing kami menoleh untuk terakhir kalinya ke Lembah Sepuluh Rembulan. Kami melihat sepuluh rembulan mengapung di atas sepuluh danau, dan setiap orang yang melihatnya tersenyum dalam hati.
***
Sudah berbulan-bulan kami terus berjalan. Ketika matahari terbenam kami semua beristirahat dan tidur. Sebelum matahari terbit kami sudah berangkat lagi. Kami semua, 110.000 orang, melangkah perlahan-lahan menapaki jalan yang telah dikodratkan bagi kami. Begitulah kami berjalan, berjalan, dan berjalan mengarungi gurun, menempuh ngarai, menembus badai, dan menyeberangi sungai. Kami tidak pernah memacu kuda kami kecuali jika kami putuskan berhenti sebentar untuk berburu. Kami terus-menerus berjalan dengan hati yang terpaut kepada cahaya. Ada semacam cahaya dari langit dalam hati yang terus-menerus bergerak setiap kali kami melangkah mendekatinya. Kami, 110.000 anak manusia terus-menerus melangkah, kuda dan unta melangkah pelan tapi pasti seperti doa yang diucapkan perlahan, khusyuk dan meyakinkan.
Kami jarang bercakap-cakap di antara kami karena hati kami sekarang hanya berisi penyerahan diri kepada kehidupan. Bayi-bayi seperti tahu diri untuk tidak menangis, bahkan mata mereka pun bagai menatap sesuatu yang penuh dengan pesona. Barangkali mereka juga melihat cahaya itu yang hanya bisa ditatap dengan mata hati di langit jiwa masing-masing yang mengerti dari mana hidup ini datang dan ke mana hidup ini pergi. Kami berjalan menapaki jalur di antara lembah, mendaki gunung-gunung batu, dan menapaki gigir-gigirnya yang mengerikan. Kami, 110.000 orang, dengan bayi di gendongan, orang sakit dalam tanduan, dan hewan-hewan peliharaan yang tak boleh ditinggalkan, merayap di jurang yang curam, jalanan setapak berlumut yang begitu licin dan terlalu sering memelesetkan.
Kadangkala tiba saatnya seorang wanita harus melahirkan di tengah jalan, maka sebagian dari kami pun berhenti mengurusnya, sementara yang lain meneruskan perjalanan. Rombongan kami membentuk barisan yang panjang bila melewati celah yang curam, menyebar seperti semut bila tiba di padang terbentang. Mereka yang telah menjadi tua, lemah, dan lumpuh kami naikkan ke atas gajah-gajah kami yang masih setia. Gajah-gajah ini berbadan besar, namun seperti tidak mendapat halangan jika berjalan di dalam hutan, kaki mereka yang besar menapak dengan lincah di jalan setapak dan keseimbangan gajah-gajah ini sangat baik dalam pendakian dinding-dinding yang curam. Tentu mereka tahu jalan yang terbaik buat gajah sehingga kadang-kadang mereka harus memisahkan diri untuk bertemu lagi di suatu tempat lain. Kadang-kadang perpisahan ini bisa sampai berhari-hari lamanya, tapi kami rombongan 110.000 orang dengan segala hewan peliharaan tidak pernah benar-benar saling terpisah.
Begitulah di antara kami kemudian ada yang meninggal dan kami pun segera menguburnya tanpa meninggalkan upacara yang diharuskan. Semua orang yang pergi mendahului mati dalam pelukan cahaya. Mata mereka mengatakannya. Mereka yang mati dalam perjalanan ini sebenarnyalah mati dalam kebahagiaan. Arwah mereka membubung menyusuri cahaya, menuju sebuah dunia di alam sana yang hanya bisa dihayati setelah kematian. Itulah dunia yang kami rindukan, dunia yang kami impikan dari abad ke abad, dari dongeng ke dongeng, dari segala keinginan dan kehendak yang sejak lama terlukis di gua-gua leluhur kami yang begitu gelap di mana mereka merindukan cahaya keabadian.
Kami melangkah, menapak pelan, terus-menerus berjalan, dengan kepastian bahwa jalan cahaya itu akan kami temukan. Setelah bertahun-tahun menempuh perjalanan yang serasa alangkah panjang dari benua ke benua, kami kemudian merasa terbimbing oleh tanda-tanda cahaya dalam jiwa kami yang penuh dengan keyakinan. Dari gurun ke gurun rombongan kami berjalan, sudah lama juga kami tidak menjumpai tempat pemukiman maupun binatang. Dalam kenangan kami masih tergambar dengan jelas betapa di tempat-tempat yang kami lewati pemandangan terpampang begitu indah sehingga kami kadangkala merasa terkecoh karena mengira inilah tempat yang kami rindukan. Namun kami tahu, meskipun matahari terbenam yang jingga itu begitu memukau di latar langit yang ungu, ini bukanlah tempat yang dimaksudkan dalam mimpi-mimpi kami tentang tempat yang terindah untuk menuju kematian karena tempat itu memang tidak terletak di muka bumi ini.
Tentu saja kami masih selalu teringat betapa pada awal keberangkatan segalanya terasa menggemparkan. Kami berangkat meninggalkan sebuah negeri di sebuah pulau yang segera menjadi kosong. Kami melewati desa dan kota yang penduduknya melihat kami lewat bagai pawai panjang dari sebuah tontonan yang mengherankan. Sebegitu buruknyakah kehidupan sehingga kematian bisa menjadi impian terindah bagi 110.000 orang yang tadinya hidup tenteram di tepi sebuah sungai dengan latar belakang pegunungan biru yang menjulang bagai tempat persemayaman dewa-dewa dari suatu dunia entah di mana bagai negeri yang hanya ada dalam dongengan? Kami pergi meninggalkan kampung halaman kami dengan meninggalkan segala kebahagiaan yang telah kami dapatkan demi panggilan dari cahaya dalam mimpi-mimpi kami.
Dunia kami memang berubah semenjak menerima tanda-tanda yang begitu memikat untuk diberi tanggapan. Kami semua bisa mengalami mimpi-mimpi yang sama dari malam ke malam yang penuh keanehan di mana bunyi genderang terdengar dari langit dan dari seberang sungai bagaikan terdengar paduan suara yang mengalun merdu dan menyejukkan. Kami semua terpana dan terpesona dan merasa segala-galanya tiada berarti lagi selain keinginan untuk menuju sumber suara dan mimpi-mimpi itu. Dari hari ke hari, semakin banyak tanda-tanda dalam mimpi-mimpi malam kami dan betapa kami semua semakin merasa bahwa hanya dengan menuju tempat yang kami inginkan itulah terletak arti kehidupan kami. Maka begitulah hidup kami berubah ketika mendadak kami semua harus berkemas mempersiapkan sebuah perjalanan yang belum bisa diketahui berapa lama dan kapan akan berakhir. Orang-orang tua di kampung mengatakan bahwa suku kami selalu mengalami hal-hal yang demikian semenjak abad-abad yang telah lama silam. Kami tak lagi mengerti apakah mimpi-mimpi kami merupakan warisan darah yang diturunkan ataukah memang datang dari langit malam yang penuh dengan khayalan.
Langit merah di kaki langit. Kami, 110.000 anak manusia, masih terus-menerus berjalan di atas bumi yang fana.
***
Kemudian, tibalah kami pada suatu pagi di mana kami setelah bangun dari tidur yang panjang merasa tidak usah berjalan ke mana-mana lagi. Kami tahu betapa ketika kami menutup mata dan kemudian membukanya lagi, kami telah melakukan perjalanan bersama cahaya ke suatu tempat yang tiada tertera dalam peta mana pun di muka bumi. Memang masih seperti gunung-gemunung tapi bukan gunung-gemunung, memang masih seperti hamparan salju yang terpoles di sana-sini dengan hewan-hewan ternak berbulu tebal tapi bukan hamparan salju yang terpoles-poles di sana-sini dengan hewan-hewan ternak berbulu tebal, memang, memang, memang langit yang ungu membiru dan menggelap di kaki langit masih seperti sesuatu yang terdapat di muka bumi tapi bukan langit yang ungu membiru dan menggelap di kaki langit masih seperti sesuatu yang terdapat di muka bumi.
Garis cahaya yang meluncur sepanjang kaki langit melingkari kami. Tanpa diperintah setiap orang lantas melakukan semua persiapan untuk menanti saat itu. Kami membasuh wajah dan telapak tangan kami dengan segantang air dari masing-masing perbekalan kami. Kami menanak sarapan pagi kami dengan percakapan sesedikit mungkin dan kami makan perlahan-lahan tapi pasti untuk meyakinkan betapa kami akan menyambut saat-saat terbaik dalam hidup kami dengan perut terisi. Semua orang mempersiapkan dirinya tanpa kata tanpa angan-angan tanpa pertanyaan karena semua ini telah mengisi jiwa dan pikiran kami selama melakukan perjalanan bertahun-tahun mengikuti cahaya di dalam langit jiwa kami.
Inilah pagi yang berembun dan berkabut yang perlahan-lahan berpendar menampakkan siapa berada di selatan dan siapa berada di utara. Dari balik kabut itu, tampak kuda-kuda kami yang perkasa menatap kami dengan pandangan seolah-olah mengerti tentang segala hal yang akan terjadi. Pastilah dunia ini begitu luas dan begitu penuh kemungkinan sehingga jalan cahaya dalam impian ternyata mampu menampung 110.000 orang seketika lengkap dengan hewan-hewan peliharaan dan itu pun ternyata belum apa-apa. Kemudian kabut menjadi semakin tipis, mengambang, dan pergi. Kami tahu semuanya akan pergi dan berlalu seperti juga berakhimya perjalanan kami yang terlalu sulit untuk bisa diceritakan dengan kata-kata.
Langit ungu muda. Tiada mega di langit -- kami merasa saat-saat itu memang segera akan sampai. Sembari berjalan kian kemari setelah mengenakan busana terbaik yang kami miliki, kami menikmati setiap detik dari saat-saat kebahagiaan kami yang fana. Kami belum lagi mengerti kebahagiaan macam apakah yang masih bisa kami dapatkan lagi dalam kehidupan yang abadi. Hewan-hewan peliharaan kami pun seperti tampak mempersiapkan diri. Gajah-gajah, unta-unta, dan kuda-kuda, mereka pun banyak yang mati sepanjang perjalanan, namun kami selalu mendapatkan gantinya. Kami merasa sangat berterima kasih kepada hewan-hewan peliharaan kami dan kami merasa lebih dari layak bisa membawanya membubung ke Negeri Cahaya.
Maka langit pun terkuak dan kami terkesiap. Kami hanya bisa menunduk dan merendahkan diri, hanya tegak di atas lutut kami. Tubuh kami bergetar dengan hebat dan kami merasa kecut. Tiada suara yang menggelegar, namun dada kami berdebar bagaikan terdengar suara yang menggelegar. Cahaya yang terang menyilaukan segera memutihkan dunia kami. Kami tetap menunduk dengan perasaan tercekat, namun kami melihat segala-galanya memutih diserap cahaya. Padang rumput memutih, panji, bendera dan umbul-umbul kami yang berwarna merah pun memutih, segala-galanya memutih. Kami mencoba mengingat segala sesuatu yang berwarna dari kenangan dan mimpi-mimpi kami, namun cahaya itu menembus dunia angan-angan kami sehingga segala sesuatu yang kami pandang dengan mata terbuka maupun tertutup berwarna putih. Kulit hewan peliharaan kami pun memutih, seperti juga seluruh busana terbaik yang kami kenakan, sepatu, kulit dan rambut kami, segalanya memutih lantas mengertap berkilauan seperti cahaya itu sendiri.
Begitulah kami semua, kemudian tidak bisa saling melihat karena di sekitar kami hanya cahaya yang berdenyar-denyar menyilaukan membuat kami masing-masing untuk pertama kalinya merasa sangat sendiri setelah dari hari ke hari hampir selalu bersama-sama semenjak dilahirkan di kampung kami. Tiada lagi angin bertiup, tiada lagi debu mengepul, kuda-kuda berpacu, bayi menangis, dan suara seruling dari atas tebing pada malam bulan purnama. Sungguh semua ini terlalu menarik untuk ditinggalkan, namun seperti juga air sungai dari sebuah sumber mata air di puncak gunung yang mengalir menuju lautan, begitu pula kami jalani kodrat kehidupan kami dengan tulus dan penuh keyakinan dengan perasaan bahwa semua ini memang suatu anugerah yang terlalu menyenangkan. Begitulah kami menyerahkan diri dengan segala dosa dalam tubuh dan jiwa untuk disucikan oleh cahaya itu sebelum kami berangkat ke akhir tujuan kami.
Lantas kami alami bagaimana jiwa kami diluncurkan. Dari kelam ke kelam, dari cahaya ke cahaya, kelak-kelok labirin yang memusingkan, gua pelangi yang menyilaukan.
Kami berangkat melewati tujuh rembulan, tujuh matahari, dan berdoa di dalam tujuh kuil di atas awan. Langit yang berlapis-lapis memeluk jiwa kami dan kami kemudian merasa mampu berada di segala arah, dari barat sampai ke timur, dari selatan sampai ke utara, secara serentak tanpa harus merasa berada di tempat yang berlain-lainan. Begitulah rombongan kami, 110.000 anak manusia, bangkit kembali dari tumpuan lutut kami dan kembali menaiki kuda-kuda kami menyusuri jalan cahaya di langit yang telah terhampar di hadapan kami.
Kini kami semua telah menjadi anak cahaya yang memutih dan tidak saling mengenal perbedaan-perbedaan kami karena kami semua hanyalah anak-anak cahaya yang saling menyilaukan dan saling melupakan. Hanya zat yang hanya bisa merasa bahagia di jalan yang terindah menuju kematian. Tiada lagi yang bisa kami lakukan selain meneruskan perjalanan, dengan atau tanpa badan, sendiri-sendiri maupun bersama rombongan. Tiada yang lebih penting lagi kini selain perjalanan menuju ketiadaan. Tiada yang lebih berharga lagi selain keindahan dalam kematian.
***
Kulihat di sepanjang langit, kemah-kemah awan. Apakah aku harus berhenti, atau meneruskan perjalanan? Setelah bertahun-tahun menjadi bagian dari suatu perjalanan panjang ke satu tujuan kurindukan diriku sendiri yang selalu berbisik perlahan-lahan. Semakin jauh aku berjalan, semakin aku terikat kepada kenangan, semakin aku merasa diriku bukan bagian dari rombongan. Sudah begitu jauh aku berjalan, dengan segala derita dan pengabdian, dalam penyucian cahaya berkilatan, betapa bisa cahaya kesaksian tiada melihat kebohongan?
Kulihat satu per satu dari kami, 109.999 anak cahaya, ditelan gua-gua kebahagiaan di atas awan. Barangkali ini memang tempat yang terindah untuk mati. Aku melihat seribu cahaya berenang dan berkelebatan. Kulihat 109.999 anak cahaya melebur ke dalam cahaya gemerlapan. Tinggal aku sendirian, menaiki kuda putih di atas awan, melihat-lihat pemandangan.***
Ulaanbaatar - Jakarta, Maret-Juni 1996
(Dimuat dalam Horison, Juli 1996)
Enclave*
Oleh: Ramadhan KH
“Arigato gozaimasu! Arigato gozaimasu!” (Terima kasih! Terima kasih!), Okayama-san mengucapkan kata-kata itu sambil membungkukkan badannya dalam-dalam, beberapa kali. Sungguh, dengan perasaan haru dan suara hikmat ia lepaskan isi hatinya itu dengan tulus. Ia merasa benar-benar gembira. Gembira sekali. Wajahnya jadi cerah seperti langit yang ada di atasnya.
Beberapa meter di depannya berdiri Pak Marta yang menerima ucapan terima kasih Okayama itu.
“Massugu! Massugu! Maju lagi! Maju lagi! Ayo, ke sana lagi! Lihat dari sana, dari tepian yang lebih jauh.” Pak Marta menganjurkan Okayama supaya melangkah lebih jauh, melihat lautan itu dari tempat yang lebih dekat ke pantai, sambil mengibas-ngibaskan tangannya.
“Hay! Hay!” kata Okayama sambil lari-lari kecil, mengikuti anjuran Pak Marta. Ia senang mengikuti petunjuk Pak Marta, sahabat besannya, orang yang dirasakannya benar menjadi penolongnya di hari tua.
Di sebuah onggokan ia berhenti, lalu menatap ke kejauhan. Nikmat benar dirasakannya menerawang, mengikuti goresan kaki langit, menyapu lautan yang biru dan mengikuti gelombang yang beruntun bergantian sampai ke pantai.
“Tempat ini bagus sekali. Negeri ini indah sekali,” gumamnya, lalu menarik senyum sendirian.
Dari kejauhan ia berteriak dalam bahasa yang jauh daripada dikuasainya, tetapi sudah mulai dipelajarinya dengan tekun: “Bagusu-neh, bagusu-neh,” (Bagus, bagus) sambil melambai-lambaikan tangannya.
Seraya melangkah ia mereka-reka kembali rencananya yang sudah bermalam-malam bersama menantunya, Subarkah, membicarakannya. Dan tentu saja ia pernah merundingkannya juga dengan anaknya, Michiko, yang kali ini tertinggal di Osaka, tidak ikut terbang ke Jakarta.
“Bagusu-neh! Bagusu-neh!” ulangnya di depan Pak Marta.
“Senang? Senang punya tanah ini?” tanya Pak Marta dalam bahasa Jepang.
“Aaahh, senang, senang,” kata Okayama. “Tetapi ... tetapi ... ini bukan tanah saya. Ini tanah Subarkah dan Michiko. Bukan tanah saya.” Ia seperti mau menjelaskan kepada semua pihak, kepada penduduk di kampung itu, kepada pepohonan dan binatang-binatang yang ada di sana, bahwa tanah itu bukan miliknya, melainkan milik anaknya dan menantunya. Tetapi hati kecilnya tidak bisa membohonginya. Ia merasa, ia memilikinya juga, karena uang yang dibelikan tanah itu adalah uang simpanannya. Dan ia gembira, sangat gembira, bahwa Subarkah menetapkan, tanah itu atas nama istrinya, Michiko, di dalam surat-surat jual belinya. Malahan terakhir sudah dicantumkan dalam sertifikatnya, bahwa tanah itu milik Michiko, Nyonya Subarkah.
Pak Marta mengajak bicara Okayama-san dalam bahasa Jepang. Ia masih bisa berbicara dalam bahasa yang dulu pernah dikuasainya dengan benar selama jaman Jepang. Waktu itu ia duduk di sekolah menengah di Bogor dan terkenal di antara sesama teman sekolahnya sebagai murid yang paling pintar bahasa Jepangnya.
Kalau tidak terpatahkan oleh kekalahan Jepang dalam peperangan, kemungkinan besar ia sudah dikirimkan ke Negeri Sakura untuk melanjutkan sekolahnya.
Bicaralah lagi Okayama-san dalam bahasanya. “Saya sekali lagi mesti mengucapkan terima kasih kepada Pak Marta-san, sudah menolong anak-anak saya, sehingga mereka mendapatkan tanah ini. Bagus sekali tanah ini. Kalau terlaksana, anak-anak saya akan mendirikan rumah di sini, dengan kebunnya yang bagus. Apa pohon kaki (kesemek, bahasa Jepang) bisa tumbuh di sini?”
“O, bisa tentu bisa. Disebutnya di sini, pohon kesemek,” jawab Pak Marta.
“Apa bunga anggrek bisa tumbuh di sini?”
“Bisa, bisa,” jawab Pak Marta meyakinkan sambil menatap Okayama. “Semua tanaman bisa hidup di sini. Lihat itu, pohon-pohon kelapa bagus-bagus di sini. Lihat, pohon pisang, pisang yang disukai Okayama-san, pisang raja, pisang ambon, pisang lumut, bisa hidup di sini. Asal diurus. Tanahnya, dicampur sedikit dengan tanah dari kebun saya di Cisaat. Bakal jadi bagus. Tidak ada tanaman yang tidak bisa tumbuh di sini. Tapi jangan minta pohon sakura tentunya. Hahahaha,” Pak Marta tertawa, diikuti oleh Okayama-san. Juga Subarkah, sang menantu yang juga ada di sana mendampingi sang mertua, tertawa lebar. Ia pun senang bisa membuat mertuanya gembira. Bukan spesial karena istrinya jadi pemilik tanah itu di sana, melainkan karena mertuanya bisa mendapat kesibukan yang bakal disukainya: bercocok tanam, di hari tuanya.
Bahwa Okayama-san, kini merasa senang, uangnya bisa dipakai anaknya untuk membeli tanah di tepi pantai di daerah Sukabumi Selatan itu, adalah disebabkan pengetahuannya bahwa di Jepang mustahil ia bisa membeli tanah seluas itu. Di Jepang, apalagi di seputar Tokyo, orang menjual tanah dengan ukuran jengkalan, bukan meteran, karena mahalnya, sejuta Yen sejengkal. Sekarang, di tepi Samudera Hindia yang elok itu, Michiko, anaknya, bisa memiliki tanah seluas satu hektar lebih. “Untuk siapa lagi uangku itu kalau bukan untuk Michiko (anak tunggalnya),” Okayama pernah berpikir. Sebab itu ia berikan uang senilai empat puluh juta rupiah, sebegitu yang diperlukan Michiko, untuk membeli tanah di kampung Sindanglaut, di tepi pantai di Sukabumi Selatan itu. Okayama yang sudah pensiun dan ditinggalkan istrinya meninggal tiga tahun yang lalu, punya rencana berlibur tiga kali dalam setahun, dan setiap kali berada di Sindanglaut untuk barang dua atau tiga bulan.
Di atas tanah seluas satu hektar lebih milik Michiko itu, sekarang sudah ada rumah kecil yang masih sederhana. Tapi nanti rumah tua itu akan diganti dengan bangunan yang bagus. Okayama sudah punya gambar bentuk rumah yang akan dibangunnya di atas tanah milik keturunannya itu. Sebuah rumah potongan Jepang dengan jendela-jendela dan atap potongan khas Jepang. Dan gambaran itu buat Okayama sekarang, dengan uang yang sudah diperhitungkannya cukup, bukan mimpi pagi. Rencananya pun sudah bisa mulai dilaksanakan.
***
Okayama-san bersahabat kental dengan Kakutani-san. Mereka sama-sama duda. Tinggal tidak berjauhan. Dan sewaktu Okayama sudah berada lagi di Osaka, segera ia bercerita kepada Kakutani bahwa ia baru saja membeli tanah di Indonesia. Ia ceritakan dengan terperinci sekali berapa harga tanah yang dibelinya, atas nama siapa, di mana letaknya Sidanglaut itu, pemandangan seputar itu, dan sebagainya dan sebagainya.
“Dan bagusnya, bagusnya pemandangan di sana! Luar biasa! Pasti kamu pun akan suka,” kata Okayama-san kepada Kakutani-san yang juga mempunyai cukup uang simpanannya.
“Dan istimewa lagi,” cerita Okayama kepada Kakutani, “dari tempat itu, selain ada laut yang bagus, ada daerah yang masih dihuni oleh badak, badak yang terkenal. Kesukaan kamu kan masuk hutan, melihat binatang langka?”
“Ya, ya. Apa sungguh begitu?”
“Sungguh!” kata Okayama meyakinkan.
“Tapi, bagaimana saya bisa membeli tanah di sana? Saya kan tidak punya menantu orang Indonesia,” kata Kakutani dengan nada rendah, seperti sudah tidak punya harapan.
“Mengapa kamu tidak punya akal?” kata Okayama. “Kamu kan belum punya istri lagi. Kalau saya seusiamu (--Kakutani lebih muda--), saya akan kawin lagi. Dan... akan mengambil wanita Indonesia. Cantik-cantik lho, hahaha....”
Kakutani seperti kena goncangan yang membuat ia sadar. Ia pun pernah bertemu dengan ibu Subarkah, besan Okayama, waktu datang di Osaka. Dan terkenang sampai sekarang, bahwa wanita itu benar cantik walaupun sudah ada usia. “Pasti ia cantik sekali waktu mudanya,” komentar Kakutani di dalam hatinya waktu ia pertama kali melihatnya. Tetapi ia tidak punya keinginan lebih jauh, karena ayah Subarkah masih ada.
“Cantik-cantik?” Kakutani seperti mau tambah diyakinkan, dengan nada suara seperti berhasrat.
“Beneran. Cantik-cantik. Kalau kita jalan ke Sindanglaut itu, kita bisa lewat di sebuah kampung yang namanya Kadupandak. Saya pernah dibawa oleh kenalan saya lewat di sana. Di Kadupandak itu banyak sekali yang cantik. Sungguh! Kamu bisa bergairah lagi jika lewat di kampung itu. Saya pun waktu lewat di sana, merasa jadi muda kembali. Hahaha! Dan... dengan uangmu yang ada di bank sekarang, kamu bisa dapatkan seorang. Kebiasaan mereka pun baik-baik. Mereka tidak perlu kita ajar lagi supaya tinggal di rumah. Itu sudah kebiasaan mereka.”
Kakutani jadi berpikir beneran. Dan terbetik hasratnya: “Kalau istriku setia, dan mau menerima kebiasaanku, dan bisa membeli tanah yang luas, mengapa pula aku mesti simpan uang itu? Dengan uang cuma sebegitu mustahil aku bisa membeli tanah di negeriku sendiri ini. Kalau istriku menyenangkan, mengapa aku harus kikir dengan tidak memberikan uang kepadanya untuk bisa memiliki tanah yang luas dan bagus, dengan pemandangan yang indah seperti yang diceritakan Okayama? Aku pun tentu bisa menikmatinya.” Ia pun ingat, bahwa ia sekarang sudah sebatang kara.
***
Saatnya pun tiba. Kakutani dan Okayama sudah ada di Jakarta.
Malahan ini yang kedua kalinya sudah. Mereka berdua menginap di sebuah hotel di jalan Thamrin, dan sudah pergi ke Sindanglaut.
Cepat sekali prosesnya, Kakutani memperlihatkan seorang wanita yang lumayan cantiknya kepada Okayama. Ia, pada mulanya, tidak ceritakan bahwa Nurseha, begitu nama perempuan yang dibawanya, ditemukannya di sebuah panti pijat.
“Kami akan kawin,” kata Kakutani kepada Okayama.
Waktu ada kesempatan berdua Kakutani dan Okayama, Kakutani bercerita bahwa Nurseha memenuhi hasratnya dan tidak banyak permintaannya. “Hanya meminta supaya saya masuk agamanya. Dan saya sepakati. Nampaknya agamanya kuat. Cuma keadaan ekonominya saja yang pernah membawa dia ke tempat panti pijat,” kata Kakutani setelah didesak di mana mereka bertemu.
“Kalau sudah begitu, apa bisa ia sekarang tinggal di rumah?” tanya Okayama yang ragu.
“Ia berjanji. Dan kamu yang mengatakan bahwa perempuan Indonesia itu bisa tinggal di rumah, bukan? Nulseha (--ia tidak bisa mengucapkan r--) sendiri sudah janji, cuma kalau bersama saya ia akan ke luar rumah.” Kakutani sudah bisa melupakan apa yang telah terjadi dan dialami Nurseha sebelum ini. Ia bisa menghapus apa yang sudah-sudah. Yang dipentingkannya hari depannya.
“Bagus, bagus kalau begitu,” kata Okayama. ”Dan soal tanah itu, bagaimana?” tanya Okayama lagi setelah ia ingat pada tanah yang sudah diinjaknya bersama, di samping tanah Michiko.
“Jadi. Tentu saja jadi. Itu kan benar bagus. Dan benar murah,” kata Kakutani. “Sesudah kami nikah, saya akan belikan istri saya tanah yang itu.” Kakutani menarik wajah bangga dan serius.
“Kapan akan nikah?” tanya Okayama-san.
“Secepatnya,” jawab Kakutani-san.
***
Benar juga. Tidak lama setelah itu. Kakutani dan Nurseha melangsungkan perhelatan di Sukabumi, disaksikan oleh Okayama. Pernikahan itu dilaksanakan di depan penghulu, setelah Kakutani memenuhi syarat yang diminta oleh Nurseha dan keluarganya.
Tanah di Sindanglaut yang berdempetan dengan milik Michiko pun kemudian dibeli Nurseha atas namanya. Lebih luas daripada yang dimiliki Michiko dan lebih mahal harganya. Tetapi terbeli oleh Nurseha yang membuat surat janji, bahwa kalau sampai ia dan suaminya bercerai, uang senilai pembelian tanah itu akan dikembalikan. Nurseha merasa pintar. Ia sudah menghitung, bahwa nilai tanah akan cepat naik, dan uang rupiah tak akan bisa mengejar harga tanah. Tetapi Kakutani-san merasa pintar juga, ia merasa senang, bahwa ia nanti bisa berlibur di tempat yang bagus itu, di tepi pantai yang lautnya biru, cerah langitnya, dan gelombangnya amat memikat. Apalagi di pagi hari, atau di sore menuju senja. Dan ia pegang surat-surat tanah itu.
“Mustahil aku bisa punya tanah sebagus itu dan seluas itu di negeriku sendiri,” pikir Kakutani. “Aku akan sering saja berada di sana.”
***
Di sebuah organisasi di kotanya, Kakutani punya sahabat akrab, Kanazawa-san, tempat ia menceritakan rahasia hidupnya. Sebab itu pula ia tak beralangan menceritakan tentang tanah yang dibelinya, atas nama Nurseha yang pernah ditemukannya di sebuah panti pijat, tapi sekarang sudah jadi istrinya.
Kanazawa-san, pemborong bangunan, tergerak juga hatinya. Ia pun ingin memiliki tanah sebagus seperti yang diceritakan temannya. “Benar murah,” pikirnya, setelah ia membandingkan dengan harga tanah di negerinya. Soal jarak Jepang - Indonesia, tak dirasakannya jauh. Ia pun sudah beberapa kali membaca brosur-brosur tentang perjalanan ke Indonesia dan apa yang bisa dilihat di negeri di sebelah selatan itu.
“Tapi bagaimana kami bisa membeli tanah di sana?” tanya Kanazawa kepada teman akrabnya.
“Bisa. Pasti bisa. Kata orang di sana, di sana segala bisa diatur. Pasti ada cara-caranya. Apalagi sekarang, segala di sana sudah terbuka. Kita diajak oleh mereka untuk datang ke sana, untuk usaha. Tetapi yang pasti lagi, kita bisa tinggal di sana semusim-semusim. Kalau musim dingin di sini, dan kamu merasa encok di sini, kita bisa tinggal di sana. Di sana kan selalu ada matahari. Percayalah, kamu akan senang tinggal di sana. Pantainya bagus. Lautnya bagus, bagus sekali. Kamu tidak akan bisa membeli tanah seluas itu dengan seluruh kekayaanmu yang kamu miliki di sini. Tentu yang ukurannya luas yah,” kata Kakutani.
***
Kanazawa-san terbang bersama Kakutani dan Okayama ke Jakarta. Lalu mereka pergi ke Sindanglaut. Kanazawa-san takjub melihat daerah pantai Samudera Hindia itu.
“Bagaimana cara membelinya?” tanya Kanazawa.
“Ini, ini orangnya yang bisa membantu kita,” kata Kakutani sambil menunjuk seorang laki-laki yang bekerja di Kecamatan di Sidanglaut, yang tempo hari mengatur pembelian tanah untuk Michiko dan Nurseha.
“Bapak ini, Pak Kosasih, bisa menolong kita,” kata Okayama sambil memegang tangan Kosasih.
Kosasih yang pernah membantu kedua orang itu dengan urusan tanah di sana, dengan kebutuhannya, tersenyum lebar. Ia tentu saja senang. Sudah dua kali ia pernah mengatur jual beli tanah dengan orang- orang Jepang itu dan memasukkan uang ke kantongnya sendiri lebih dari lumayan. Tetapi, sebenamya hati nuraninya pernah goyang, terasa tak menentu, tetapi keuntungan yang diperolehnya menghapus kegelisahannya itu. “Tak ada kesalahan saya,” pikirnya. “Yang satu kali untuk menantunya bersama anaknya. Yang kedua kali untuk istrinya. Orang kita-kita juga. Sah-sah saja,” pikirnya.
Okayama dan Kakutani lalu mengajak bicara Kosasih yang sudah siap untuk membantu. Sudah tergitik juga hati Kosasih oleh gambaran bahwa kali ini ia bisa beruntung banyak lagi. Ia mengetahui, ada sebidang tanah luas yang juga tidak jauh letaknya dari tanah Michiko. Tanah itu bekas perkebunan kecil, tapi sudah tidak terurus. Dan akan dijual. Tetapi terhalang oleh beberapa rumah kampung dari tanah Michiko.
“Tidak jadi soal. Rumah-rumah kampung itu bisa dipindahkan,” kata Kosasih dengan menarik senyum lebar. Ia pun yakin, bahwa yang dikatakannya itu bisa jadi kenyataan. “Apa yang tidak bisa dengan uang?” pikirnya.
Ketiga orang Jepang itu pergi ke tanah bekas perkebunan kecil itu, dibarengi oleh Kosasih dan dua orang kawannya, seorang yang lebih tua, Ramdan, seorang lagi yang lebih muda, Garnida.
Ada kekurangan di tanah bekas perkebunan kecil itu yang terasa oleh Kanazawa-san. Tetapi Kosasih, lewat Okayama yang sudah tambah pintar berbahasa Indonesia, bisa meyakinkan, bahwa kekurangan yang dirasakan oleh Kanazawa itu nanti bisa diatasi. Tanah itu tidak nempel pada pantai.
Kanazawa-san menginginkan membuat semacam hotel di sana.
“Tetapi hotel akan laku kalau menempel pada laut,” kata Kanazawa kepada Okayama dan Kakutani.
Kosasih seperti bisa menangkap apa yang diinginkan oleh Kanazawa. Sebab itu ia cepat berkata kepada Okayama: “Kami bisa atur. Tidak ada yang tidak bisa diatur di sini. Tanah yang menghalang-halangi itu, antara lahan ini dan laut, bisa diatur supaya jadi jalan ke pantai. Supaya nyambung jadi bagian tanah ini,” kata Kosasih sambil menarik wajah senyum dan meyakinkan. Ia pun yakin dengan uang segala bisa beres. Ia merasa, bahwa atasan-atasannya yang ada di Kecamatan dan di Kabupaten akan setuju, sehamparan tanah yang ada di tepi laut itu digabungkan saja dengan tanah bekas perkebunan kecil itu.
Ia berpikir lagi. “Ini jadinya proyek pembangunan.” Kata "pembangunan" itu melintas sejenak saja di kepalanya, tapi menyebabkannya jadi merasa kuat. Kata pembangunan itu mengubah kesulitan yang tadi pernah mengganjal sebentar di hatinya.
“Pasti bisa! Pasti bisa!” kata Kosasih kepada Kanazawa. Kemudian kepalanya digerakkannya menghadap ke arah Kakutani, lalu ke arah Okayama, meminta dukungan. Ia menunggu kepastian.
Ketiga orang Jepang itu mengangguk-angguk. Lalu mereka berbicara dalam bahasa mereka. Kosasih mendengarkan saja, tak mengerti sepatah kata pun, tapi harapan menyelinap di antara perasaannya.
“Ya, asal benar bisa diatur begitu, tuan Kanazawa tertarik," kata Okayama.
***
Selang beberapa waktu, Okayama-san, Kakutani-san dan Kanazawa-san sudah berada di Indonesia lagi. Mereka tidak membuang waktu. Sindanglaut mereka tuju.
Masing-masing mengatur kepemilikannya. Okayama yang sekali ini didampingi Michiko dan suaminya, Subarkah, sudah mulai dengan membangun rumah yang mereka cita-citakan. Rumah tua sudah dibongkar. Tiang-tiang baru sudah dipancangkan. Kakutani-san pun langsung mengukur-ukur tanah yang akan dipakai untuk bangunan rumah yang bakal dihuni bersama Nurseha. Ia tidak kepalang bergerak, segala bahan yang diperlukannya sudah ia siapkan dari dan di negerinya. Tinggallah nanti ia mencari tukang-tukang yang bakal diperbantukan kepada arsitek Jepang yang bakal membangun rumahnya itu.
Kanazawa-san dikerumuni oleh pegawai-pegawai dari Kecamatan Sindanglaut. Beberapa orang pegawai Kabupaten Sukabumi pun ada di sekelilingnya.
Rencana bangunan hotel sudah siap. Soal tanah yang menghalang-halangi sudah terpecahkan. Dengan duit, apa yang tidak bisa dibereskan di kampung ini, pikirnya. Dan ia sudah jadi lebih pandai, atas anjuran penasihatnya ia sudah menggaet orang di Jakarta penguasa penting.
Penghuni beberapa rumah yang menghalang-halangi antara tanah Michiko dan Kanazawa pun sudah sepakat untuk pindah. Entah berapa ongkos memindahkan mereka yang sebenarnya. Orang-orang Jepang itu tidak tahu. Uang siluman tak jelas masuk ke kantong saku siapa. Tanah yang menghalangi-halangi perkebunan kecil dengan laut itu pun sudah diatur oleh orang-orang di kantor Kecamatan, di kantor Kabupaten, malahan di kantor Gubernuran, sehingga bisa dipakai untuk keperluan Kanazawa-san yang punya uang banyak. Kanazawa-san nampak tenang-tenang saja. Sebab memang setelah diperhitungkannya, masih jauh lebih murah daripada jika harus membangun di negerinya.
Maka pembangunan dimulai di daerah itu.
Nampak sekali ada kesibukan di wilayah yang tadinya kampung itu. Dan bertambah lagi kericuhan di daerah itu, karena bukan saja Okayama-san, Kakutani-san dan Kanazawa-san yang membangun di sana, melainkan ada Saito-san, ada Tanaka-san, Takahashi-san dan beberapa lagi orang Jepang yang bukan saja tertarik, melainkan sudah mulai membangun di daerah yang tadinya masih ladang tegalan, sawah musiman dan kebun terlantar itu.
Orang-orang Jepang itu mendengar kemungkinan-kemungkinan itu dari mulut ke mulut. Brosur-brosur pariwisata pun sampai pada mereka. Dan semua menghitung: tanah di Sindanglaut itu benar-benar jauh lebih murah dibandingkan dengan yang ada di Tokyo, atau yang di Osaka atau yang di Okinawa sekalipun. Mereka seperti sudah berpikir, bahwa dunia ini untuk kita semua, untuk semua penghuni bumi. “Untuk siapa saja, untuk kita, yang bisa membelinya dan membangunnya,” pikir mereka. Untuk pihak yang pintar, pikirnya. Ya, semua kedudukan pun bisa kita capai, pikir mereka. Dan mereka ingat pada beberapa kursi yang ada di sejumlah negara di luar negeri mereka yang sudah diduduki oleh bangsa mereka, keturunan mereka.
***
Maka ramailah pembangunan di Sindanglaut. Kebanyakan peralatan dan malahan bahan-bahannya pun didatangkan dari Jepang. Sebab kebanyakan pemilik tanah itu _lewat menantu, istri, sahabat dan pelbagai cara dan ilmu yang tak jelas duduk perkaranya_ memungkinkan rumah-rumah dan bangunan lainnya di sana berbentuk seperti di kampung asal mereka. Sampai-sampai bangunan yang seperti toko dan hotel pun disusun dan berbentuk bangunan Jepang.
***
Pak Marta datang di Sindanglaut. Ia pun sudah mendengar kabar dari orang tua Subarkah, sahabat kentalnya, bahwa di kampung di tepi Samudera Hindia itu sudah berdiri satu daerah enclave, daerah kantong Jepang.
“Siapa yang salah?” pikirnya, lalu ia sebentar merenung.
Ia menjawab sendiri: Okayama-san adalah mertua Subarkah. Michiko adalah istri Subarkah. Nurseha adalah istri Kakutani. Kanazawa-san adalah pengusaha yang diajak datang untuk menanam modal. Ia sudah bergabung dengan anak-anak pembesar di Jakarta. Saito-san idem dito. Okahara-san sami mawon. Anaka-san menempuh jalan yang juga tidak seberapa sulit dirasakannya. Kosasih sudah punya rumah baru dan istri baru di Sukabumi dan keluyuran dengan mobil Suzuki yang paling mutakhir. Garnida sudah naik motor Honda yang paling diidam-idamkannya dan paling disenanginya.
Lebih dari duapuluh orang Jepang sudah membangun di daerah Sindanglaut itu, di atas tanah yang lebih dari dua ratus hektar. Jangan ditanya asal usul tanah itu: tanah wakaf pun sudah berubah catatannya.
Tinggallah Ramdan yang berjongkok menatap orang-orang yang sedang mengangkat-angkat kayu dan besi itu dari kejauhan. Bukan saja hatinya terganggu, gamang, untuk ikut serta dalam pembangunan itu, tetapi ia sudah tua. Melangkah pun sudah sakit-sakitan. Di hatinya ia merasa tertinggal, karena rumahnya pun sudah tergusur.
“Tetapi siapa di daerah ini yang tidak tergusur, Pak Marta?!” kata Ramdan kepada Pak Marta yang duduk di kursi di depannya. Suara Ramdan terdengar melas sekali, menyayat hati orang yang diajaknya bicara.
Pak Marta tidak sanggup menatap wajah Ramdan yang sudah kurus dan keriput itu. Ia arahkan tatapannya ke kejauhan, ke langit yang bersih, ke kaki langit, ke lautan yang biru, ke ombak yang bergelombang.
“Pilihanku benar,” kata Pak Marta kepada Ramdan yang tetap jongkok di dekatnya. “Tempat ini bagus, benar bagus. Tetapi....” Ia tidak meneruskan ingatannya. Ia seperti menelannya.
“Jangan jongkok terus begitu, Bapak,” ajak Pak Marta kepada Ramdan. “Duduklah di sini. Di sini masih ada kursi.”
Ramdan mengikuti ajakan Pak Marta, bangkit dan duduk di kursi.
“Bagaimana perasaan Bapak melihat kampung ini sekarang?” tanya Pak Marta. Ia sendiri diliputi beberapa pertanyaan yang tidak bisa dijawabnya sendiri. Ia gundah, terjepit antara sesal dan senang. Ia ingat, permulaannya amat sederhana. Kelanjutannya jadi amat serius.
Dengan ragu, Ramdan, orang tua itu, menjawab: “Entahlah. Dulu saya pernah benci kepada orang-orang Jepang itu, Pak Marta.”
Pak Marta cepat mengerti.
Sementara itu Kosasih datang. Ia menarik wajah gembira. Mukanya pun nampak licin, bersih. Sudah gemukan bentuk badannya dibanding dengan beberapa bulan yang lalu. Pakaiannya serba baru dan mencolok. Kendaraannya, mobil Suzuki diparkirnya di halaman kantornya. Percakapannya menunjukkan kegembiraan yang luar biasa. Ia merasa berjasa, terutama kepada istri-istrinya, anak-anaknya, orang tuanya, mertua-mertuanya. Ia sudah bisa membelikan mereka pelbagai barang modern yang biasa ditayangkan di televisi yang ia saksikan di rumahnya.
“Berapa umur Bapak?” tanya Pak Marta kepada Kosasih. “Tidak mengalami jaman Jepang?”
“Ah, saya belum lahir waktu itu,” jawab Kosasih.
“Bapak bekerja di Kecamatan, kan?” kata Pak Marta.
“Ya, Pak. Tadinya saya mau dipindahkan ke Sukabumi, tapi saya menolak. Daerah ini mesti dibangun, Pak.” Ia setengah membusungkan dada. Hati kecilnya berbisik jujur. “Di sini lebih menguntungkan.”
Di tengah itu Garnida muncul dengan menaiki motornya.
“Wah, kamu sudah punya motor segala sekarang, yah,” kata Pak Marta.
“Alhamdulillah, Pak,” kata Garnida.
“Maju yah. Hasil kerja di sini?” tanya Pak Marta.
Ramdan mengetahui silsilah pembelian motor itu. Maka ia menyelip menyambung pembicaraan: “Rumahnya, rumah orang tuanya, digusur, Pak. Ia pindah ke kampung di balik bukit itu.”
“Ya, Pak Kosasih membujuk kami, Pak,” kata Garnida. Ia bicara sesungguhnya. Ia tidak menatap ke masa depan, juga tidak pernah berkenalan dengan buku-buku tentang masa lampau. Ia terhitung pemuda masa sekarang yang diusik oleh pelbagai tayangan barang jualan di layar kaca dan hanya memikirkan masa ini, hari ini, saat ini, detik ini.
Sekali Garnida bertatapan muka dengan Ramdan. Masing-masing dengan pikirannya sendiri. Tak ada jembatan penghubung yang mengaitkan pembicaraan serius di antara mereka. Dan yang tua serta yang muda, sudah seperti kelelahan jika harus berpikir.
Suasana pun seperti direka untuk jadi demikian.
Sementara itu pembangunan di daerah enclave berjalan terus, mengikuti pihak yang menginginkan. ***
*) Enclave = Daerah kantong.
(Dimuat dalam Horison, September 1997)
Oleh: Budi Darma
Sungguh menakjubkan, bahwa ketika hari sudah petang dan lampu jalanan mulai dinyalakan, perempuan itu membuka jendela dan memandang keluar. Alis perempuan itu hitam tebal, melindungi matanya, dan mata itu tajam dan sebentar bergerak-gerak. Ketika melihat laki-laki bertubuh kurus jangkung berdiri di pinggir jalan, mata perempuan itu bergerak-gerak cepat ke kanan dan ke kiri.
Laki-laki bertubuh kurus jangkung memang sudah menantikan saat-saat seperti ini, kemudian meloncat ke pekarangan melalui pagar tanaman, pagar tanaman yang sebetulnya tidak begitu tinggi.
Beberapa saat kemudian mereka berdua sudah berada di dalam kamar. Dengan tangan gemetar, perempuan itu menutup jendela dengan hati-hati, dengan sebelumnya menyelidik cepat-cepat apakah perbuatannya terintai oleh orang lain. Laki-laki bertubuh kurus jangkung itu juga gemetar.
Lampu di dalam kamar sudah menyala, tapi sangat samar. Dengan tidak memandang ke arah laki-laki itu, perempuan itu menuding ke arah dinding sebelah kanan. Di bawah potret ada sebuah gelas, terletak di sebuah rak buku kecil. Dan di dalam rak terdapat beberapa buku, dan judul buku-buku itu tidak mungkin dibaca karena sinar lampu sangat samar.
Laki-laki itu mengangguk mengerti. Dia mendekati dinding di sebelah kanan. Matanya berganti-ganti melihat potret laki-laki itu, kemudian gelas, dan kemudian beberapa buku. Tubuhnya agak membongkok manakala dia melihat-lihat buku-buku di dalam rak.
Ketika perempuan itu menjawil tangan kirinya, perhatian laki-laki bertubuh kurus jangkung itu masih terlarut ke dalam potret laki-laki di dinding. Agak terkejut juga dia ketika dia merasa dijawil. Dan tahulah dia sekarang, bahwa perempuan itu sedang menuding-nuding ke arah sebuah tempat tidur kecil.
Ada sebuah meja kecil dengan bunga segar di dekat tempat tidur itu. Di dekat tempat tidur ada pula sebuah kursi. Dan yang mengherankan laki-laki itu adalah, mengapa di dekat tempat tidur tidak ada potret seorang laki-laki, misalnya saja potret laki-laki yang tergantung di dinding sebelah kiri. Tapi laki-laki itu tidak bertanya, karena perempuan itu sudah menjelaskan:
"Dia tidak mau potretnya dipasang di sini."
Belum sempat bertanya apa-apa, laki-laki itu sudah ditarik oleh perempuan itu untuk mendekati sebuah almari. Dan ketika perempuan itu membuka almari, terasalah bau enak menebar di dalam kamar remang-remang itu. Dan laki-laki itu tidak terkejut melihat, beberapa pakaian laki-laki di dalam almari.
Laki-laki itu terus diam ketika perempuan itu mengudal-udal beberapa pakaian dari dalam almari. Meskipun demikian, laki-laki itu agak terkejut, ketika melihat pakaian di sebelah dalam almari itu ternyata penuh cipratan darah. Dan segeralah perempuan itu mengguyurkan minyak wangi dengan khidmat dan hormat ke pakaian itu.
Setelah perempuan itu menutup almari dan laki-laki itu duduk dekat tempat-tidur, perempuan itu berjalan ke arah tombol listrik, dan mematikan lampu bercahaya lemah itu.
"Apakah yang tadi kau lihat pada potret yang tergantung di dinding itu?" tanya perempuan itu.
"Saya tidak pernah melihat laki-laki seagung itu. Sungguh agung dia. Jengkal demi jengkal wajahnya menunjukkan keagungan luar biasa."
"Apa lagi?"
"Apa lagi? Ya, apa lagi? Tentu saja saya mengagumi dia. Matanya sungguh menakjubkan. Alangkah senangnya kau menjadi istrinya."
"Apa lagi?"
"Apa lagi? Ya, apa lagi? Saya yakin dia laki-laki gagah, kendatipun nampaknya tubuhnya hanyalah kurus jangkung. Dia pasti laki-laki ramah."
"Apa lagi?"
"Apa lagi? Ya, apa lagi? Saya kagum pada raut wajahnya. Dia pasti mempunyai wibawa besar, wibawa tinggi. Saya mengaguminya."
"Hanya itu?"
Laki-laki itu kehabisan akal dan kehabisan kata. Maka berbicaralah dia asal berbicara, tentunya tanpa mengetahui apa yang dikatakannya:
"Tentu saja tidak. Saya heran mengapa laki-laki semulia ini bisa mati terganyang kanker. Heran. Saya heran mengapa takdir tidak memberinya umur panjang, untuk memberikan kesempatan kepadanya guna lebih memuliakan cita-citanya dalam mengangkat harkat, martabat, dan derajat sesamanya."
"Siapa yang mengatakan dia dihabisi kanker?"
Laki-laki itu diam. Dia ingat, pada suatu malam dia melihat seorang anak perempuan kecil memotret dirinya. Kalau tidak keliru, dia dipotret sekitar tiga bulan lalu, di Balai Wartawan ketika diadakan pertemuan antara beberapa pedagang dengan wartawan. Begitu cepat anak perempuan itu memotretnya, kemudian berjalan bergegas dan menyelinap di antara sekian banyak orang. Akhirnya laki-laki itu tahu, bahwa anak perempuan itu datang bersama seorang perempuan beralis hitam tebal dan bermata tajam. Ketika laki-laki itu berusaha menemui anak perempuan itu, pertemuan dinyatakan bubar. Dan karena dia harus menemui beberapa temannya, perempuan beralis hitam tebal dan bermata tajam serta anak perempuan itu terlepas dari tangannya.
"Laki-laki itulah yang saya cintai," kata perempuan itu. "Karena itulah potretnya saya pasang di situ. Dan karena itu pulalah gelas peninggalannya saya taruh di bawah potretnya. Dia selalu minum dari gelas itu setiap kali dia datang ke sini. Bekas-bekas bibirnya masih ada di situ. Dan setiap kali saya merindukannya, selalu saya usap-usap mulut gelas itu dengan pinggiran mulut saya. Sering mulut gelas itu saya lumat-lumat dengan bibir saya seperti pada waktu saya melumat-lumat bibirnya. Dan sering juga mulut gelas itu saya gosok-gosokkan ke payudara saya, seperti dia sendiri dahulu sering mengagumi payudara saya. Dan buku-buku dalam rak itu adalah buku-buku kegemarannya. Setiap kali dia ke sini selalu dia membuka-buka halaman-halaman buku itu. Begitu gemar dia membuka-bukanya, segemar dia membuka-buka lembar demi lembar pakaian yang saya kenakan."
Laki-laki itu diam. Dia tidak tahu mengapa sekonyong-konyong siang tadi dia menemukan sebuah surat tergeletak di meja kerjanya di kantor. Ketika dia menanyakan kepada sekretarisnya, beberapa bawahannya, dan juga beberapa pesuruh siapa gerangan yang menaruhkan surat itu di atas mejanya, tidak seorang pun tahu. Laki- laki itu hanya tahu bahwa sudah beberapa hari ini ada seorang laki-laki mencurigakan secara berkala mengitari kantornya. Setiap kali laki-laki itu akan masuk kantor, laki-laki mencurigakan selalu menghadangnya dekat pintu, kemudian mengawasinya dengan pandangan tidak enak. Dan setiap laki-laki itu akan meninggalkan kantor, laki-laki mencurigakan selalu menghadangnya di dekat pintu dengan menggumamkan suara tidak jelas. Kemudian dia sering melihat laki-laki mencurigakan berseliweran tidak jauh dari jendela kaca yang memisahkan kantornya dengan kebun kacang. Dan setiap kali pandangan mata mereka bertemu, laki-laki mencurigakan selalu memandanginya dengan sikap tertegun.
Surat itulah, yang mungkin telah disampaikan oleh laki-laki mencurigakan itu, yang telah mengantarkannya ke rumah perempuan beralis hitam tebal dan bermata tajam.
"Dari sekian banyak laki-laki yang saya kenal, dialah laki-laki yang saya cintai," kata perempuan itu lagi. Dan kemudian perempuan itu bercerita mengenai gelas itu lagi, mengenai buku-buku itu lagi, dan akhirnya mengenai payudaranya.
"Rupanya laki-laki lain yang pernah saya kenal tidak begitu menyukai payudara saya. Hanya dialah yang sering membisikkan kata-kata aneh ke payudara saya segera setelah dia menjelek-jelekkan sekian banyak perempuan lain. Senang sekali dia membanding-bandingkan payudara saya dengan payudara mereka, dan tentu saja tubuh saya dengan tubuh mereka. Dia bercerita mengenai perempuan-perempuan dan dengan sangat terbuka, dengan nada sangat melecehkan mereka, dan tentu saja dengan nada mengagung-agungkan saya. Betul yang kau katakan tadi, dia laki-laki mengagumkan, sangat mengagumkan. Bagi saya, mungkin dia jauh lebih agung dan jauh lebih mengagumkan dibanding dengan Nabi Yusuf. Ingat, Nabi Yusuf tidak suka merayu, sementara dia suka merayu, yaitu merayu sekian banyak perempuan, sampai akhirnya dia jatuh di hadapan saya, menjilati kaki saya. Setiap kali didekati perempuan, Nabi Yusuf selalu mengingatkan perempuan yang mendekatinya dan juga dirinya sendiri akan masa depan manusia, apabila manusia telah mati kelak. Ketika seorang perempuan berusaha merayunya dan mengatakan bahwa rambut Nabi Yusuf sangat indah, berkatalah Nabi Yusuf, 'Rambut inilah yang pertama kali akan berhamburan dari tubuh saya setelah nyawa saya meloncat dari tubuh saya.' Dan ketika seorang perempuan merayunya lagi, berkatalah Nabi Yusuf, 'Kelak tanah akan melumatkan wajah saya.'
Laki-laki yang potretnya di sana itu sangat berbeda. Dia selalu melihat ke depan, tanpa mau mengerti bahwa pada suatu saat maut akan menjemputnya. Dia selalu membisikkan kata-kata indah mengenai kegunaan dan kenikmatan hidup. Tanpa pernah mengatakannya, dia selalu berpikir untuk memanfaatkan detik demi detik untuk berjasa, memberi kenikmatan bagi orang lain, dan juga bagi dirinya sendiri. Sering dia bercerita mengenai mimpi-mimpi indah, seperti misalnya memperluas usaha-usaha dagangannya kalau perlu dengan menaklukkan musuh-musuhnya, kemudian membangun rumah-rumah yatim piatu, mendirikan sekolah-sekolah, membantu rumah sakit-rumah sakit, dan entah apa lagi. Dia sangat suka membantu orang-orang papa dan orang-orang yang ingin maju, tapi sekaligus sangat membenci orang-orang malas dan tidak mempunyai otak. Dalam keadaan lelah dia mendatangi saya, untuk menikmati tubuh saya dan sekaligus menghidangkan kenikmatan bagi saya. Dia datang untuk mencari gairah hidup, agar dia menjadi lebih segar, lebih bersemangat, dan lebih mampu beribadah dalam bentuk kerja keras. Setiap inci tubuhnya adalah pertanda keagungannya, demikian pula setiap dengan nafasnya."
"Dan manakah anak perempuan yang memotret dahulu?"
"Ciumlah tangan saya sebelum saya menjawab pertanyaanmu."
Belum selesai dia mencium tangan kanan perempuan itu, perempuan itu sudah menyodorkan tangan kirinya.
"Ulangilah pertanyaanmu tadi."
"Manakah anak perempuan yang memotret dahulu?"
"Anak perempuan? Maaf, saya tidak tahu ke arah mana pembicaraanmu. Andaikata kau bermaksud untuk menanyakan apakah saya mempunyai anak perempuan, saya dapat menjawab bahwa saya tidak mempunyai anak perempuan. Ketahuilah anak perempuan suka rewel, demikianlah kata laki-laki yang saya cintai. Dan andaikata saya mempunyai anak, saya tidak akan mengijinkannya memotret."
"Mengapa?"
"Menurut laki-laki yang saya cintai itu, memotret hanyalah menghabiskan uang. Setiap orang harus berhemat. Dan mungkin karena itu pulalah dia tidak suka anak perempuan, sebab dia sering mengatakan bahwa anak perempuan hanya memboroskan saja. Dia juga tidak suka potret, karena potret hanyalah menghabiskan uang."
"Benarkah laki-laki seagung itu mempunyai jalan pikiran demikian?"
"Memang saya sering menemui kesulitan dalam mengorek apa yang sebenarnya berkelebat di dalam nuraninya. Sering kata-katanya melompat demikian saja dari puncak otaknya, sementara kelebat hati nuraninya yang sesungguhnya tidak terucapkannya. Saya sendiri yakin dia sama sekali tidak pelit. Dia pasti menyimpan rahasia mengapa dia tidak menyukai anak perempuan. Dan saya pernah berhasil mengoreknya, ketika dia mengigau dalam tidurnya. Meskipun demikian, kata-katanya hanyalah pendek dan tidak jelas, sehingga sulit bagi saya untuk menafsirkannya. Tapi saya tahu, dia berhati agung.
Bagi dia, laki-laki tidak bisa bebas dari perempuan, dan perempuan pada dasarnya adalah beban. Eva sengaja diciptakan Tuhan untuk menemani Adam, tapi sekaligus untuk melancarkan wahyu-wahyu setan. Istri paman Nabi Muhammad, Ummu Jamil namanya, justru akan mencelakakan keponakan suaminya sendiri. Siapa yang akan mencelakakan Nabi Nuh, tidak lain dan tidak bukan adalah istrinya sendiri. Negeri Sodom juga hancur lebur, setelah istri Nabi Luth, nabi yang dipercaya oleh Tuhan untuk menegakkan ketaqwaan di negeri itu, mengkhianati suaminya habis-habisan. Adalah pula Siti Qodariah, seorang wanita, yang berusaha mencelakakan Nabi Yusuf setelah usahanya untuk menikmati keindahan tubuh Nabi Yusuf gagal. Belasan tahun perang di Troya adalah juga perang untuk memperebutkan perempuan. Laki-laki sudah ditakdirkan untuk tidak mampu mengalahkan nafsunya sendiri, dan perempuan terlanjur sudah diciptakan untuk memperbudak nafsu laki-laki."
Belum sempat laki-laki itu bertanya, perempuan itu menyuruhnya berjongkok di lantai dan menjilati kakinya.
"Setiap laki-laki harus menjilati kaki saya," katanya.
Setelah selesai menjilati seluruh bagian tubuh perempuan itu dan setelah selesai mengucapkan selamat tinggal, laki-laki itu keluar lewat pintu, dan pintu itu segera ditutup dari dalam, kemudian laki-laki itu meloncat keluar melalui pagar tanaman.
Laki-laki itu merasa bahwa malam telah larut benar. Ketika memasuki sebuah gang, dia berjalan agak sempoyongan. Bau wangi tubuh perempuan yang baru saja ditinggalkannya masih melekat pada seluruh bagian tubuhnya sendiri. Dan keringat dari celah-celah kulitnya terasa begitu asing, karena yang tercium olehnya adalah keringat perempuan itu.
Heran benar laki-laki itu, mengapa tadi dia tidak menanyakan siapa nama perempuan itu. Hapal-hapal ingat kalau tidak salah perempuan itu menamakan dirinya Maemunnah. Atau mungkin Robinggah. Mungkin juga dia Jurbbah. Bukankah dia Immlah? Ya, pokoknya pakai "ah", entah itu Siffiah, entah Monissah, atau Markammah.
Dia ingat, perempuan itu tidak pernah menyebut-nyebut nama laki-laki yang potretnya tergantung di dinding. Dan laki-laki yang potretnya tergantung di dinding itu bukanlah suami perempuan itu. Laki-laki itu hanya kadang-kadang datang ke sana untuk menyibuk-nyibukkan dirinya. Ini sudah berlangsung selama beberapa tahun, ujar perempuan itu.
Ketika laki-laki itu menanyakan siapa yang membuat potret di dinding itu, perempuan itu hanya menceritakan bahwa pada suatu hari dalam sebuah musim kemarau panjang ada seorang anak perempuan mengantarkan bingkisan besar ke rumahnya, dan ternyata bingkisan itu adalah potret itu. Anak perempuan itu sama sekali tidak pernah datang ke sana lagi.
Laki-laki itu terus berjalan tergontai-gontai. Ketika seekor kucing hitam melintas di gang dan memotong jalannya, dia tidak menahan langkahnya. Kucing itu pun tidak perduli bahwa dia sedang berpapasan dengan seorang laki-laki. Tetapi, ketika ku-cing itu melompat ke tempat agak tinggi dan menyorotkan matanya ke arah laki-laki itu, laki-laki itu merasa keringatnya keluar lebih deras. Dan keringat itu rasanya bukan keringatnya sendiri, karena baunya sama benar dengan bau keringat perempuan tadi.
Sementara rasa hausnya memuncak sampai ke ubun-ubun kerongkongannya, laki-laki itu terus berjalan. Kata perempuan tadi, setiap kali laki-laki itu minta minum karena merasa haus. Dan setiap kali akan pulang, pasti laki-laki itu minta minum lagi untuk meninggalkan bekas bibir pada mulut gelas. Dan gelas itu masih tergeletak di rak buku.
Tiba-tiba laki-laki itu merasa salah jalan. Ketika masih berada di jalan besar tadi, seharusnya dia berjalan terus, kemudian membelok ke kiri. Ternyata tadi dia membelok ke kanan sebelum waktunya. Dia membelok ke kiri. Setelah tertegun sejenak, dia memutuskan untuk kembali menyusuri gang, dan untuk kemudian memasuki jalan yang benar.
Laki-laki itu masih berdiri tertegun ketika seekor kucing hitam kecil meloncat dari dinding di atas sana, lalu lari cepat memintasi jalannya. Ternyata kucing itu lari ke sebuah lorong di sebelah kanan. Dan ketika laki-laki itu melihat ke arah lorong, nampaklah olehnya sebuah lampu kecil, menerangi sesuatu yang tidak asing baginya, yaitu sumur. Mengapa dia tidak ke sana sebentar, menimba, dan minum?
"Maka berjalanlah dia agar cepat menuju ke sumur. Namun, sebelum dia benar-benar dekat dengan sumur, seorang laki-laki menegor dia.
"Mengapa malam-malam begini kamu berada di sini?"
Dengan cepat dia mengenal siapa laki-laki itu: kedua matanya bulat seperti mata burung hantu, lehernya kurus panjang dengan buah kuldi mendongkol dan selalu naik turun, sementara urat-urat tangannya membengkak menutupi kedua tangannya, dan tangan-tangan itu benar-benar kurus. Dialah laki-laki mencurigakan, dan dialah yang selalu mengawasinya di kantor.
"Mengapa malam-malam begini kamu berada di sini?" tanya laki-laki mencurigakan sekali lagi.
Dia tidak dapat menjawab. Matanya menangkap buah kuldi laki-laki mencurigakan, dan ingatannya melompat ke payudara perempuan tadi. Benar-benar payudara perempuan tadi memberinya kenikmatan, dan benar-benar buah kuldi laki-laki mencurigakan itu memuakkan. Dia seolah-olah melihat Adam, pada waktu mata Adam mendelik karena buah terlarang yang dimakannya menyangkut di kerongkongannya. Tiba-tiba dia merasa sedang berhadapan dengan iblis. Adam di hadapannya adalah iblis, demikian juga perempuan tadi. Payudara perempuan tadi, tidak lain adalah buah terlarang yang terlanjur tersangkut, kemudian menawarkan kenikmatan dan sekaligus tindak-tindak maksiat.
Rasa haus makin menggorok kerongkongannya. Dan ketika dia mengelus-elus kerongkongannya sendiri, sadarlah dia bahwa buah kuldinya sangat besar, naik turun, dan sangat menjijikkan. Tiba-tiba dia sadar, bahwa dia sendiri dan perempuan tadi tidak lain dan tidak bukan adalah sepasang iblis juga. Dan dia merasa benci terhadap perempuan itu, karena tadi dia tidak diijinkannya minum, karena, katanya, dia tidak mempunyai gelas lain kecuali gelas di atas rak buku itu. Dan gelas itu, katanya lebih lanjut, hanyalah untuk menghidupkan kenang-kenangan.
Ketika laki-laki mencurigakan menegurnya lagi, dia terus berjalan ke arah sumur. Dan tepat ketika dia memegang tali timba, laki-laki mencurigakan berkata:
"Minumlah sepuas-puasmu, kalau perlu sampai meletus perutmu, karena sumur ini adalah milik saya."
Dia melemparkan timba ke dalam sumur, dan ternyata sumur sangat dalam. Ketika laki-laki mencurigakan menceritakan perihal dirinya sendiri, dia sama sekali tidak mendengarkannya. Perlahan-lahan dan hati-hati sekali dia mengulur tali ke bawah, sampai akhirnya timba menyentuh air. Kemudian perlahan-lahan pula dia menarik tali timba ke atas.
Laki-laki mencurigakan terus bercerita. Beberapa waktu lalu dia membeli kebun kacang tidak jauh dari kantor laki-laki bertubuh kurus jangkung. Setelah melalui beberapa perkelahian, barulah pemilik lama mau menyerahkan kebun kacang itu meskipun uangnya telah lama diterima sebelumnya. Belum lama laki-laki mencurigakan itu berhasil memiliki tanah miliknya sendiri, terdengar berita bahwa kebun kacang itu akan dicaplok oleh laki-laki bertubuh kurus jangkung untuk perluasan kantornya. Laki-laki mencurigakan ini belum mau percaya, dan karena itu berusaha mencari penjelasan. Setiap kali dia mendekati kantor untuk mencari kabar, selalu dia diolok-olok oleh orang-orang kantor itu.
Selesailah sudah laki-laki bertubuh kurus jangkung minum. Tubuhnya merasa agak segar, namun tidak satu kata pun dari laki-laki mencurigakan ini yang masuk ke telinganya. Dia hanya berpikir, alangkah enaknya seandainya tadi dia diijinkan minum dari gelas di atas rak buku, sebab, setiap kali perempuan itu merindukannya, pastilah bekas bibirnya akan dijilat-jilat.
Masih sempat dia melihat laki-laki mencurigakan, sebelum dia melangkah untuk kembali ke gang tadi. Dia merasa benar-benar jijik melihat laki-laki mencurigakan. Mata laki-laki mencurigakan itu, bulat dan besar, menyembunyikan kelicikan tanpa tara. Leher laki-laki mencurigakan itu, yaitu leher yang panjang, mengingatkannya pada leher burung onta yang diracunnya sewaktu dia berjalan-jalan di kebun binatang. Dan buah kuldi itu, bagaikan buah kuldinya sendiri, adalah pertanda dosa Adam, yaitu dosa yang menurunkan siksa bagi manusia entah sampai kapan.
Ingin sekali dia cepat-cepat meninggalkan laki-laki mencurigakan. Namun, belum sempat dia melangkahkan kakinya lebih lanjut, laki-laki mencurigakan berlari-lari kecil ke arahnya, kemudian menghadangnya. Rasa jijiknya makin meledak. Sambil berusaha keras mengibaskan rasa jijiknya, dia mengambil jalan ke samping kiri.
Dia mempercepat langkah, tapi terpaksa terhenti ketika sekonyong-konyong terasa punggungnya patah. Ketika laki-laki mencurigakan berdiri di hadapannya lagi, dia terpaksa membongkokkan tubuhnya ke depan, karena terasa olehnya bahwa tubuhnya akan patah menjadi dua bagian. Ketika akhirnya rebah ke tanah, masih sempat dia membalik tubuhnya, dan melihat ke arah bulan. Memang bulan masih tetap di sana, di langit sana. Laki-laki mencurigakan membongkok, sementara dia merasa makin jijik. Dia ingin muntah. Memang akhirnya dia muntah, tapi yang dimuntahkannya adalah darah.
Dengan tenang, laki-laki mencurigakan menggumam:
"Ketahuilah, masalah kebun kacang hanyalah masalah permukaan. Perkelahian dengan pemilik lama mengenai kebun kacang juga bukan masalah berat, Memang saya sering berkelahi, tapi perkelahian-perkelahian itu, sekali lagi, bukan apa-apa bagi saya. Bagi musuh-musuh saya segala macam perkelahian sebenarnya juga bukan apa-apa. Saya hanya menikmati satu hal, yaitu kenyataan bahwa saya menyimpan jiwa iblis. Dan saya bangga akan jiwa iblis saya. Kamu pun sebenarnya iblis. Ketahuilah, sesama iblis belum tentu bisa bersekutu. Sesama iblis bisa saling mengganyang. Sudah semenjak pertama kali saya melihat kamu, saya yakin bahwa iblis di dalam jiwamu jauh lebih kuat daripada jiwa iblis kebanggaan saya. Benar-benar saya merasa takut terhadap kamu. Dan setiap kali merasa takut, pasti saya bertindak terlebih dahulu, tentu saja dengan persiapan cermat agar saya menang."
Dia menggumam dengan kesadaran penuh, bahwa laki-laki itu sudah tidak mungkin lagi mendengarnya. Meskipun demikian, laki-laki itu masih sempat mengingat beberapa kata-kata perempuan tadi:
"Laki-laki yang saya cintai itu tidak mati karena kanker seperti yang sering dipergunjingkan. Dia mati dibunuh dekat sumur tidak berapa jauh dari sini. Saya selalu menyimpan pakaiannya yang berlumuran darah."
Bulan tetap berputar-putar di atas sana.***
(Dimuat dalam Horison, Juli 1990)
Jaring-jaring Merah
Oleh: Helvy Tiana Rosa
Apakah kehidupan itu? Cut Dini, temanku, selalu saja marah bila mendengar jawabanku: Hidup adalah cabikan luka. Serpihan tanpa makna. Hari-hari yang meranggas lara.
Ya, sebab aku hanya bisa memendam amarah. Bukan, bukan pada rembulan yang mengikutiku saat ini atau pada gugusan bintang yang mengintai pedih dalam liang-liang diri. Tetapi karena aku tinggal sebatas luka. Seperti juga hidup itu.
Dan kini hari telah semakin gelap. Aku tersaruk-saruk berjalan sepanjang tiga kilometer dari Seurueke, menuju Buket Tangkurak, bebukitan penuh belukar dan pepohonan ini. Dadaku telah amat sesak, tetapi langkahku makin kupercepat. Lolong anjing malam bersahut-sahutan, seiring darah yang terus menetes dari kedua kakiku. Perih. Airmataku berderai-derai.
“Ugh!”
Aku tersandung gundukan tanah. Dalam remang malam, kulihat dua ekor anjing hutan mengorek-ngorek sesuatu, dan pergi sambil menyeret potongan mayat manusia. Mereka menatapku seolah aku akan berteriak kengerian.
Ngeri?
Oi, tahukah anjing-anjing buduk itu, aku melihat tiga sampai tujuh mayat sehari mengambang di sungai dekat rumahku! Aku juga pernah melihat Yunus Burong ditebas lehernya dan kepalanya dipertontonkan pada penduduk desa. Aku melihat orang- orang ditembak di atas sebuah truk kuning. Darah mereka muncrat ke mana-mana. Aku melihat tetang–gaku Rohani ditelanjangi, diperkosa beramai-ramai, sebelum rumah dan suaminya dibakar. Aku melihat saat Geuchik Harun diikat pada sebuah pohon dan ditembak berulangkali. Aku melihat semua itu! Ya, semuanya. Juga saat mereka membantai … keluargaku, tanpa alasan.
Ffffffhuuih, kutarik napas panjang. Jangan menangis lagi, Inong! Kering airmatamu nanti. Meski lelah, lebih baik meniru anjing-anjing itu.
Aku merangkak dan maju perlahan. Dengan tangan kosong kuraup gundukan tanah merah di hadapanku. Terus tanpa henti kugunakan kedua cakar tangan ini. Keringatku mengucur deras, wajah dan badanku terkena serpihan tanah merah. Sedikit pun tak kuhiraukan bau bangkai manusia yang menyengat hidung.
Tiba-tiba tanganku meraba sesuatu. Kudekatkan benda dingin itu ke mukaku. Tulang. Banyak tulang. Cakarku terus menggali. Kutemukan beberapa tengkorak, lalu remah-remah daging manusia. Ah, di mana? Di mana tangan kurus Mak? Mana jari manis dengan cincin khas itu? Juga cincin tembaga berbatu hijau dan arloji tua yang dikenakan ayah saat orang-orang bersenjata itu membawanya dalam keadaan luka parah. Di mana? Di mana tangan-tangan mereka? Di mana tulang-tulang mereka di tanam? Di mana wajah tampan Hamzah? Yang mana tengkoraknya?
Sekujur tubuhku gemetar menahan buncahan duka. Aku menggali, terus menggali. Hingga aku semakin lemas dan akhirnya kembali terisak pilu. Meratapi orang-orang yang kukasihi, yang beberapa waktu lalu digiring ke bukit ini.
Sssssssttt!
Tiba-tiba, di antara suara serangga malam, kupingku mendengar langkah-langkah orang. Sepatu-sepatu lars yang menginjak ranting dan daun kering. Mereka menuju ke arahku!
Aku harus menyanyi. Ya, menyanyi nyaring, dengan iringan dawai kepedihan dari sanubari sendiri.
“Perempuan gila itu!” suara seseorang gusar.
“Sayang, dulu ia cantik…,” ujar yang lain.
“Ya, juga sangat muda. Ah, sudahlah, biarkan saja,” kata yang ketiga. “Ia tak berbahaya. Hanya tertawa dan menangis. ”
Aku pura-pura tidak mendengar perkataan si loreng-loreng itu. Mereka gila karena mengira aku gila. Tak tahukah mereka bahwa aku tak menyanyi sendiri? Aku bernyanyi bersama bulan, awan dan udara malam. Bersama desir angin, burung hantu dan lolong anjing hutan. Bersama bayangan Ayah, Mak, Ma’e dan Agam. Kami menyanyi, kami menari bungong jeumpa. Lalu aku tersenyum malu, saat Hamzah yang telah meminangku, melintas di depan rumah dengan sepedanya. Dahulu. Ya, dahulu….
***
“Inong….”
Aku menggeliat. Cahaya mentari masuk dari celah-celah bilik. Hangat. Ah, di mana aku? Dipan ini penuh kutu busuk. Berarti…, ya, aku di rumah. Aku bangkit, mencoba duduk.
“Dari mana, Inong? Aku mencarimu seharian. Ureung-ureung menemukanmu di tepi jalan ke Buket Tangkurak, subuh tadi.”
Kutatap seraut wajah dalam kherudoung putih di hadapanku. Cut Dini. Tangannya lembut membelai kepalaku.
“Aku cuma jalan-jalan. Aku tidak mengganggu orang," jawabku sekenanya.
“Aku tahu. Kau anak baik. Kau tak akan mengganggu siapa pun…, tetapi jangan pergi ke bukit itu atau bahkan ke rumoh geudong lagi. Berbahaya. Lagi pula kau seorang muslimah. Tidak baik pergi sendirian,” kata Cut Dini sambil memberiku minum.
Kugaruk-garuk kepalaku. “Therimoung… ghaseh…,” kuteguk minuman itu.
Cut Dini. Ia sangat peduli. Matanya pun selalu menatapku penuh pancaran kasih.
Aku kembali merebahkan badan di atas dipan. Sebenarnya aku tak tahu banyak tentang Cut Dini. Aku belum begitu lama mengenalnya. Orang-orang bilang ia anggota … apa itu … LSM? Juga aktivis masjid. Ia kembali ke Aceh setelah tamat kuliah di Jakarta. Dan … cuma dia, di antara para tetangga, yang sudi berteman denganku. Ia memberiku makan, memperhatikanku, menceritakan banyak hal. Aku senang sekali.
Dulu, setelah keluargaku dibantai dan aku dicemari beramai-ramai, aku seperti terperosok dalam kubangan lumpur yang dalam. Sekuat tenaga kucoba untuk muncul, menggapai-gapai permukaan. Namun tiada tepi. Aku tak bisa bangkit, bahkan menyentuh apa pun, kecuali semua yang bernama kepahitan. Aku memakan dan meminum nyeri setiap hari. Sampai aku bertemu Cut Dini dan bisa menjadi burung. Segalanya terasa lebih ringan.
Tetapi tetap saja aku senang berteriak-teriak. Aku melempari atau memukul orang-orang yang lewat. Hingga suatu hari orang-orang desa akan memasungku. Kata mereka aku gila! Hah, dasar orang- orang gila! Cut Dini-lah yang melarang. Cut Dini juga yang mengingatkanku untuk mandi dan makan. Ia menyisir rambutku, mengajakku ke dokter, ke pengajian, atau sekedar jalan-jalan.
“Baju yang koyak itu jangan dipakai lagi,” kata Cut Dini suatu ketika.
“Aku suka,” kataku pendek. “Ini baju yang dijahitkan Mak. Aku memakainya ketika orang-orang jahat itu datang.”
“Itu baju yang tak pantas dilihat. Nanti orang-orang itu bisa menyakitimu lagi,” katanya pelan.
Kupandang baju ungu muda yang kupakai. Tangannya koyak, ketiaknya juga. Lalu di dekat perut, di belakang…, bahkan ada sisa-sisa darah kering di sana.
“Aku ingin memakainya,” lirihku. “Apa aku gila?” tanyaku.
Cut Dini menatap bola mataku dalam. “Menurutmu?”
Aku menggeleng kuat-kuat. Menggaruk-garuk kepalaku.
“Kau sakit. Kau sangat terpukul,” ujar Cut Dini. Kulihat ia menggigit bibirnya sesaat. Lalu dengan cekatan membungkus baju itu dengan koran.
Aku mengangguk-angguk. Terus mengangguk-angguk, sambil menggoyang-goyangkan kedua kakiku. Aku suka membantah orang, tetapi tidak Cut Dini.
“Sudahlah.”
Lalu seperti biasanya Cut Dini mengambil Al- Quran mungilnya dan membacanya dengan syahdu. Suaranya kadang berubah. Aku seperti mendengar Hamzah mengaji —lewat pengeras suara— di musala.
Ah, meski tak mengerti, aku ingin menangis setiap mendengar bacaan Al-Quran.
***
Siang itu aku sedang menjadi burung. Aku terbang tinggi dan kadang menukik seketika. Aku hinggap di ranting-ranting pohon belakang dan mematuki buah-buah di sana. Huh, semuanya busuk. Aku jadi ingin marah. Bagaimana kalau kucuri saja topi-topi merah si loreng dan kubakar. Hua…ha…ha, aku tertawa gelak-gelak.
“Siapa kalian?” tiba-tiba kudengar suara Cut Dini bergetar, di ruang tamu yang merangkap kamar tidurku.
Aku terbang dan hinggap pada meja kusam di samping rumah, lalu mengintip ke dalam lewat jendela yang rapuh. Dua lelaki tegap dengan rambut cepak menyodorkan sesuatu pada Cut Dini.
“Kami orang baik-baik. Kami hanya ingin memberikan sumbangan sebesar lima ratus ribu rupiah pada Inong.”
Aku nyengir. Lima ratus ribu? Horeeee! Apa bisa buat beli sayap?
“Kami minta ia tidak mengatakan apa pun pada orang asing. Ia atau bisa saja anda sebagai walinya menandatangani kertas bermaterai ini.”
Cut Dini membaca kertas itu. Kulihat wajahnya marah. Mengapa? Kugerak-gerakkan kepalaku menatap mimiknya, lebih lekat dari jendela.
“Tidak!! Bagaimana dengan pemerkosaan dan penyiksaan selama ini, penjagalan di rumoh geudong, mayat-mayat yang berserakan di Buket Tangkurak, Jembatan Kuning, Sungai Tamiang, Cot Panglima, Hutan Krueng Campli…dan di mana-mana!” suara Cut Dini meninggi. “Lalu perkampungan tiga ribu janda, anak-anak yatim yang terlantar…, keji that! Tidak!”
Kedua orang itu tampak gugup dan sesaat saling berpandangan. “Kami hanya menindak para GPK. Ini daerah operasi militer. Kami menjaga keamanan masyarakat.”
“Oh ya?” Nada Cut Dini sinis. “Kenyataannya masyarakat takut pada siapa? Dulu, banyak yang terpaksa menjadi cuak, memata-matai dan menganggap teman sendiri sebagai pengikut Hasan Tiro dari Gerakan Aceh Merdeka. Tetapi sekarang semua usai. Tak ada tempat bagi orang seperti kalian di sini.”
“Sudahlah, ambil saja uang ini buat anda. Lupakan saja gadis gila itu.”
Apa? Gadis gila?? Kukepakkan sayapku dan menukik ke arah dua lelaki itu. Kulempar mereka dengan apa pun yang kutemui di meja dan di lantai. Aku berlari ke dapur, dan kembali menimpuki mereka dengan panci dan penggorengan. Mereka berteriak-teriak seperti anak kecil dan berebutan ke luar rumah. Pasti itu ayah orang yang memperkosaku! Pasti ia teman para pembunuh itu! Pasti mereka orang-orang gila yang suka menakut-nakuti orang! Paling tidak mereka cuak! Aku benci cuak!
“Inong….”
Aku berhenti melempar. Aku berhenti jadi burung ajaib. Orang-orang itu kini hanya titik di kejauhan.
“Masya Allah, nanti perabotan itu rusak,” suara Cut Dini, tetap lembut. “Benahi yang rapi lagi, ya. Aku mau shalat lohor dulu,” katanya.
“Mengapa aku tak pernah diajak salat?” protesku. “Dulu aku shalat bersama keluargaku, sebelum aku bisa jadi burung,” tukasku.
“Jangan menjadi burung, bila ingin shalat seperti manusia,” kata Cut Dini tersenyum.
***
“Keluar, Zakariaaa! Keluar! Atau kami bakar rumah ini!!”
Aku terbangun dan mengucek kedua mataku. Ada apa? Pintu rumah kami digedor-gedor. Ayah berjalan ke arah pintu diikuti Mak. Lalu Ma’e dan Agam, abang dan adikku.
Ketika pintu dibuka, tiba-tiba saja Ayah diseret ke luar, juga Agam dan Ma’e! Beberapa orang mengangkat Mak dan membawanya pergi! Sebelum aku berteriak, beberapa tangan kekar merobek-robek bajuku! Aku meronta-ronta. Kudengar Ayah tak putus berdzikir. Dzikir itu lebih mirip jeritan yang menyayat hati.
“Ini pelajaran bagi anggota GPK!” teriak seorang lelaki berseragam. Kurasa ia seorang pemimpin. “Zakaria dan keluarganya membantu anak buah Hasan Tiro sejak lama!”
Warga desa menunduk. Mereka tak mampu membela kami. Dari kejauhan kulihat api berkobar. Puluhan orang ini telah membakar beberapa rumah!
“Jangan ada yang menunduk!”
Aku gemetar mendengar bentakan itu.
“Ayo lihat mereka. Kalian sama dengan warga Mane… bekerjasama dengan GPK!” suaranya lagi.
“Kami bukan GPK!”suara Ma’e. Ulon hana teupheu sapheu!”
“Lepaskan mereka. Kalian salah sasaran!” Ya Allah, itu suara Hamzah!
“Angkut orang yang bicara itu!”
Aku melihat Hamzah dipukul bertubi-tubi hingga limbung, lalu…ia diinjak-injak! Dan diseret pergi. Airmataku menderas.
“Siapa lagi yang mau membela?”tantang lelaki penyiksa itu pongah.
“Kami tidak membela, mereka memang bukan orang jahat,” suara Geuchik Harun. “Pak Zakaria hanya seorang muadzin. Jiibandum ureung biasa.” Samar-samar kulihat kepala desa kami itu diikat pada sebatang pohon.
Serentetan tembakan segera menghunjam tubuh Geuchik Harun, lalu Ma’e abangku! Aku histeris. Tak jauh, kulihat Agam tersungkur dan tak bergerak lagi, lalu Ayah yang berlumuran darah! Tangan-tangan kekar menyeret mereka ke arah truk.
“Bawa mereka ke bukit dekat jalan buntu! Juga gadis itu!”
Aku meronta, menendang, menggigit, mencakar, hingga aku letih sendiri. Dan aku tak ingat apa-apa lagi, saat tak lama kemudian, nyeri yang amat sangat merejam-rejam tubuhku!
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!”aku berteriak sekuat-kuatnya.
“Astaghfirullah, Inong! Inong, bangun!”dua tangan menggoncang-goncang badanku.
Airmataku menganak sungai, tetapi aku tak bisa bangun, sebab aku berada di dalam jaring! Banyak orang sepertiku di sini, di dalam jaring-jaring merah ini.
“Inong, istighfar….”
Tangan-tangan raksasa itu mengayun-ayunkan jaring. Aku dan kumpulan manusia di sini berjatuhan ke sana ke mari. Kami tak bisa keluar dari sini! Tolong! Toloooooong! Di mana sayapku? Di mana? Di mana tangan Mak dengan cincin khas di jari manisnya? Aku ingin menggenggamnya. Di mana Ayah, Agam dan Ma’e? Di mana wajah saleh milik Hamzah? Di mana tengkoraknya?
Tangan-tangan raksasa itu menggerakkan jaring ke sana ke mari. Aku jatuh lagi. Merah. Silau. Pusing. Pedih. Wajah-wajah dalam jaring pias. Wajah-wajah itu retak, terkelupas dan berdarah. Aku menjerit-jerit dalam perangkap. Di mana sayapku? Aku ingin terbang dari sini! Oiiii, tolong ambilkan sayapku! Aku ingin pindah ke awan! Di tanah kebanggaanku hanya tersisa nestapa!!
Tak ada yang mendengar. Sebuah pelukan yang sangat erat kurasakan. Lalu airmata seseorang yang menetes-netes dan bercampur dengan aliran air di pipiku.
“Allah tak akan membiarkan mereka, Inong! Tak akan! Kau harus sembuh, Inong! Semua sudah berlalu. Peristiwa empat tahun lalu dan rezim ini. Tegar, Inong! Tegar! La hawla wala quwwata illa bi 'l-Lah….”
Kabur. Samar kulihat Cut Dini. Wajah tulus dengan kerudung putih itu. Ia mengusap airmataku.
Lalu tak jauh di hadapanku, kulihat beberapa o-rang. Di antaranya berseragam. Tiba-tiba takutku naik lagi ke ubun-ubun. Aku menggigil dan mendekap Cut Dini erat-erat.
“Ia hanya satu dari ribuan korban kebiadaban itu, Pak. Tolong, beri kami keadilan. Bapak sudah lihat sendiri. Oknum-oknum itu menjarah segalanya dari perempuan ini!”
Takut-takut kuintip lelaki tegap yang sedang menatapku ini. Apakah ia membawa jaring-jaring untuk menangkapku lagi?
“Pergiiiii! Pergiiii semuaaaa!” teriakku. “Pergiiiiiiii!” aku menjerit sekuat-kuatnya. "Pergiiiiii!" aku menceracau. Sekujur badanku bergetar, terasa berputar. Orang-orang ini tersentak, menatapku kasihan. Hah, apa peduliku?! Aku ingin berteriak, mengamuk, memporakporandakan apa dan siapa pun yang ada di hadapanku! Aku….
Tiba-tiba suaraku hilang. Aku berteriak, tak ada suara yang keluar. Aku menangis tersedu-sedu, tak ada airmata yang mengalir. Aku mengamuk panik, tetapi kaku. Aku mencari bunyi, mencari bening, mencari gerak. Tak ada apa pun. Cuma luka nganga.
“Inong…, mereka akan membantu kita….”
Aku terkapar kembali. Menggelepar. Berdarah dalam jaring.***
Cipayung, 1998
Referensi:
- Data yang diterbitkan oleh Forum LSM Aceh, 5 Agustus 1998.
- Gatra, Republika, Terbit, Kompas ( semua terbitan Agustus 1998).
- Buletin Kontras no 1/Agustus 1998.
Daftar istilah:
Buket Tangkurak : Bukit Tengkorak
Geuchik : Kepala Desa
Cuak : orang yang jadi mata-mata tentara
Ma’e : panggilan untuk Ismail
Mak : Mak
rumoh geudong : rumah gedung (tempat penjagalan)
Mane : nama desa di Pidie
ureung-ureung : orang-orang
that : sekali
ulon hana teupheu sapheu : saya hanya orang biasa
therimoung ghaseh : terima kasih
kherudoung : kerudung
(Dimuat dalam Horison, April 1999)
Pemahat Abad
Oleh: Oka Rusmini
Kopag menjatuhkan pisau ukirnya yang runcing. Hampir saja pisau itu memahat kakinya. Semua gara-gara dia mencium bau yang aneh dari sudut pintu. Seperti bau daun-daun kering dan kayu basah. Aneh, dari mana datangnya bau yang membuatnya begitu gelisah? Bau itu semakin mendekat.
“Siapa itu?”
“Titiang.1 Luh Srenggi.”
“Srenggi? Srenggi siapa?!” Kopag semakin menggigil. Bau itu semakin mendekat dan menyesakkan dadanya. Tangannya jadi lapar. Dia memerlukan alat-alat pahatnya. Pisau-pisau yang runcing terbayang di otaknya. Kopag menggigil ketika bau itu benar-benar menelanjangi wujud laki-lakinya.
"Katakan padaku, siapa kau?!”
"Titiang yang akan melayani seluruh keperluan Ratu.2 Mulai hari ini dan seterusnya.” Suara itu terdengar gugup.
“Siapa tadi namamu?” Kopag mulai menenangkan dirinya sendiri.
“Luh Srenggi.” Suara itu terdengar bergetar. Suara itu adalah suara perempuan. Apa yang terjadi dengan dirinya? Kopag memaki dirinya sendiri. Aneh sekali, tiba-tiba saja dia seperti ditenggelamkan ke lautan. Suara itu dirasakan penuh dengan kejujuran, kasih sayang, dan sangat tulus. Kopag yakin dugaannya ini tidak meleset. Inilah perempuan itu, perempuan yang dicarinya berabad-abad. Sekarang Hyang Widhi mengirim untuknya. Seorang perempuan, benarkah suara ini milik seorang perempuan?
Ketika Kopag akan mengambil tongkatnya, Luh Srenggi cepat-cepat membantu. Tangan mereka bersentuhan. Kopag semakin gelisah. Kulit perempuan itu terasa seperti kulit kayu. Luar biasa. Perempuan itu pasti memiliki kecantikan yang melebihi kecantikan sebatang pohon, atau seonggok kayu yang paling sakral sekalipun.
Baru kali ini Kopag merasakan bisa menikmati hidupnya. Dia bisa memberikan penilaian yang begitu objektif terhadap benda hidup yang bernama manusia. Biasanya dia hanya dijadikan objek, sekedar mendengarkan keputusan orang-orang terdekatnya. Apa pun yang dikatakan orang- orang di sekitarnya, Kopag harus patuh. Kali ini, dia merasa menemukan kebenaran yang berbeda dengan kebenaran yang diyakini oleh orang-orang yang selama ini rajin menanamkan kebenaran yang telah menjadi ukuran mereka.
“Apakah di bumi ini wujud kebenaran itu sudah seragam, Gubreg?” Suara Kopag terdengar getir, “bahkan untuk menilai keindahan itu, aku juga harus memakai kriteria mereka?”
“Kebenaran mereka? Aku tidak yakin mereka mampu melihat seluruh keindahan hidup ini dengan benar!” Suara Kopag terdengar penuh tekanan. Pikirannya kacau!
Kopag sadar, sangat sadar. Dilahirkan sebagai laki-laki buta memang tidak menggairahkan. Karena tak ada perempuan-perempuan yang bisa dilihatnya dengan matanya. Tapi, apakah orang-orang yang memiliki kelengkapan utuh sebagai manusia ketika dilahirkan mampu menangkap seluruh rahasia kehidupan ini? Rahasia yang erat-erat digenggam dan disembunyikan alam? Salahkah kalau tiba-tiba saja Kopag menemukan kecantikan yang luar biasa pada diri Luh Srenggi. Kecantikan yang dia lihat dengan pikiran, perasaan, dan keindahannya sendiri. Salahkah?
Kecantikan perempuan muda itu adalah kecantikan yang sangat luar biasa. Tubuhnya seperti lekukan kayu. Seluruh wajahnya juga lekukan kayu. Dia adalah kayu terindah dan tercantik. Aneh sekali tak ada manusia yang bisa menangkap kecantikannya. Menghargai keindahan yang dititipkan alam padanya. Bahkan Gubreg, pelayan tua itu, juga tidak berkomentar ketika Kopag memuji keindahan perempuan delapan belas tahun itu. Apa yang sesungguhnya salah pada kriteria yang telah diberikan Kopag terhadap perempuan?
***
Kehidupan telah memaksa bocah laki-laki itu memakai label Ida Bagus Made Kopag, agar orang-orang mudah mengenalinya dan membedakan dirinya berbeda dengan manusia lainnya. Dia anak laki-laki kedua yang lahir dari keluarga terkaya di Griya. Gelar Ida Bagus menunjukkan bahwa dia adalah anak laki-laki dari golongan Brahmana, kasta tertinggi dalam struktur masyarakat Bali. Ayahnya seorang laki-laki sangat terhormat dan memiliki kedudukan tinggi di pemerintahan. Dia juga memiliki puluhan galeri lukis dan patung. Sayangnya laki-laki itu memiliki mata yang sangat liar. Laki-laki itu adalah binatang yang paling mengerikan. Kata orang, laki-laki itu bisa tidur dengan seluruh perempuan. Dia tidak pernah peduli, cantikkah perempuan itu, sehatkah dia? Bagi ayah Kopag, setiap makhluk yang memiliki lubang bisa dimasuki. Suatu hari, setelah berbulan-bulan tidak pulang, laki-laki itu pulang dalam kondisi yang menyakitkan. Tubuhnya kurus dan pucat. Belum lagi hutangnya yang tiba-tiba saja menumpuk. Seluruh kekayaan ludes. Dalam kondisi seperti itu, laki-laki itu memaksa perempuan yang dinikahinya untuk bersetubuh. Perempuan itu menolak. Dia tahu, laki-lakinya akan menitipkan daging binatang di rahimnya. Apa artinya kekuatan seorang perempuan? Terlebih, sejak kecil dia terbiasa dididik menjadi perempuan bangsawan yang menghormati laki-lakinya. Dia hamil. Lahirlah seorang laki-laki yang merenggut nyawa perempuan itu.
Laki-laki itu harus berperan sebagai laki-laki buta untuk menebus kelahiran dan hidupnya sendiri. Alangkah ajaibnya kalau hidup juga bisa dipermainkan, bisa dibuat sebuah pementasan. Seperti sebatang kayu dengan lekuknya yang begitu menggairahkan, di sanalah dunia itu dibuat untuk laki-laki yang sejak pertama berkenalan dengan aroma bumi dan hidup hanya merasakan kegelapan sebagai bahasanya, hidupnya. Kehidupan yang sering dimaki Kopag ternyata cukup demokratis. Dia memberi Kopag poin, yang tentu saja tidak dimiliki orang-orang. Dia bisa mengubah kayu kering menjadi sebuah karya seni yang memikat para intelektual seni rupa. Kopag telah merekonstruksi sejarah seni rupa. Kopag tidak saja memahat kayu, dia memahat pikirannya, otaknya, juga impian-impiannya. Untuk pertama kali, alam menyerah pada kekuasaannya, seperti Kopag juga menyerah pada kebutaan yang harus dia kenakan setiap saat. Kebutaan yang mengikuti dia terus-menerus.
***
Kopag menarik nafasnya dalam-dalam. Disentuhnya kayu kering yang selama ini selalu mengantarnya ke mana dia pergi. Jujur saja, Kopag sangat menyukai kayu yang mengenalkannya pada dunianya. Dunia yang diinginkan. Sebuah kesunyian dengan pagar-pagar keindahan. Tanpa teriakan iparnya yang sering menyesakkan kuping.
“Apa bisanya adikmu yang buta itu? Apa? Merepotkan!” Suara perempuan muda itu selalu menggelisahkannya. Ada-ada saja yang diributkannya. Tanaman di halaman samping rusak atau terinjak kakinya, kembang sepatu yang baru ditanam perempuan nyinyir itu tersangkut tongkatnya, atau posisi piring dan gelas berubah di dapur.
Suara iparnya itu akan terus menari-nari di sekitar telinganya. Bagaimana mungkin perempuan konon kata orang-orang di desanya sangat cantik dan santun itu bisa berkata begitu kasar. Teriakannya saja bisa memandulkan pisau pahatnya. Nama perempuan itu Ni Luh Putu Sari. Karena dia bukan kaum Brahmana, perempuan itu harus mengubah namanya menjadi Jero Melati. Karena perempuan Sudra, perempuan kebanyakan itu telah menikah dengan kakaknya dan menjadi keluarga Griya.
Orang-orang di luar hanya tahu bentuk tubuhnya yang konon sangat luar biasa, kulitnya yang sering jadi pujian, pokoknya seluruh tubuh perempuan itu selalu jadi pembicaraan kaum laki-laki. Aneh sekali, Kopag sering berpikir, bagaimana sesungguhnya sebuah penilaian yang objektif dalam hubungan antarmanusia di bumi ini. Iparnya yang luar biasa kasar dan cerewetnya jadi pujian dan pembicaraan seluruh laki-laki di Griya.
Bagi Kopag, perempuan itu adalah pemain sandiwara yang ulung. Saat ini dia sangat mengikuti ambisinya untuk masuk dalam lingkungan keluarga Brahmana. Perempuan itu benar-benar serius untuk memasuki perannya sebagai istri laki-laki Brahmana, dia harus menunjukkan pada seluruh manusia di desa ini bahwa dirinya berhak masuk dalam lingkungan keluarga bangsawan. Itu yang dirasakan Kopag, ketika untuk pertama kali iparnya itu menyalaminya. Getaran tangannya sudah seperti tangan-tangan mayat yang membusuk. Kopag juga merasakan setiap mulut perempuan itu terbuka, dia mencium bau darah. Anyir. Bau itu seolah berlomba-lomba meloncat dari bibirnya yang konon sangat mungil, merah, dan sangat pas. Bahkan Gubreg, parekan, pelayan setia yang merawat Kopag sejak kecil, selalu berkata bahwa beruntunglah kakaknya bisa mendapatkan perempuan tercantik di desa.
Masih kata Gubreg, Ni Luh Putu Sari yang sejak menikah dan masuk menjadi keluarga Griya bernama Jero Melati itu memiliki kulit yang sangat indah. Postur tubuhnya seperti putri-putri raja Bali.
“Luar biasa kecantikan Jero Melati, Ratu.”
“Seperti apa perempuan cantik itu, Gubreg? Tolong kau katakan seluruhnya. Aku ingin tahu, aku juga ingin merasakan. Saat ini aku mencoba percaya pada matamu.”
Laki-laki tua itu terdiam. Dipandangnya mata Kopag dalam-dalam. Ada rasa sakit mengelus dada tuanya. Ida Bagus Made Kopag memiliki tubuh yang sangat bagus. Tinggi, dan tangannya juga sangat cekatan memahat patung-patung. Sejak kecil kakeknya hanya mengajari Kopag bersentuhan dengan kayu-kayu untuk berkenalan dengan kehidupan. Atau sesekali mendatangkan guru yang mengajarinya membaca.
“Anak itu buta, Gubreg. Menanggung dosa ayahnya. Pertumbuhannya selalu mengingatkanku pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan anakku. Karmanya jatuh pada anaknya sendiri. Kegelapan itu jadi milik cucuku yang paling abadi. Aku masih percaya kehidupan itu bisa diajak bicara. Kau bisa lihat, kan? Kehidupan sendiri memberinya hadiah yang luar biasa. Cucuku memiliki seluruh mata manusia yang ada di bumi ini. Lihat, dia mampu membuat patung-patung dengan ukiran sangat sempurna. Jaga dia baik-baik, Gubreg. Anggap dia anakmu!” Itu pesan Ida Bagus Rai, sebelum berpulang.
“Gubreg, kau belum jawab pertanyaanku. Seperti apa perempuan cantik itu? Apa seperti bongkahan kayu beringin ini? Dingin, tapi mampu memikatku. Lihat, Gubreg, aku selalu tersentuh. Gubreg, rasa apa yang sering membuatku meluap, apa ini rasa yang dimiliki laki-laki? Ini wujud kelelakian itu?” suara Kopag terdengar pelan.
Hyang Widhi! Penguasa jagat! Kopag memang sudah besar, sudah menjelang dua puluh lima tahun. Dia juga rajin membaca buku-buku dengan huruf braile. Atau sesekali dia dikunjungi orang asing dari Prancis, Frans Kafkasau.
Laki-laki setengah baya itulah yang membuat Gubreg, jengkel! Ada-ada saja yang dibawanya. Kadang-kadang dia bacakan buku-buku bahasa asing, yang diterjemahkannya, tentang Michelangelo Buonorrty, yang konon, kata Frans, pematung jaman Renaisans.
Susah. Susah. Sejak bergaul dengan Frans ada-ada saja yang ditanyakan Kopag padanya.
“Kau tidak ingin menjawabnya, Gubreg?”
“Jangan bertanya yang aneh-aneh pada titiang, Ratu. Titiang tidak bisa menjelaskan seperti Frans. Tanyakan pada laki-laki bule itu!” Suara Gubreg terdengar penuh nada kecemburuan.
Laki-laki tua itu sekarang ini jadi cepat marah. Dadanya sering mendidih. Rasanya baru mendengar satu huruf keluar dari bibir laki-laki Prancis itu seluruh isi perutnya seperti keluar. Jengkel! Waktu Kopag sekarang habis untuk diskusi. Laki-laki bule itu telah memberinya didikan yang baru, perhatian yang lain. Kopag tidak lagi membutuhkannya. Ada yang hilang dalam tubuh laki-laki tua itu. Kehilangan yang dalam. Bagi Gubreg, Kopag sudah bagian dari nafasnya. Sejak kecil, dialah yang mengajari Kopag mempelajari tekstur kayu. Seluruh ilmu memahat dia alirkan dalam tubuh bocah kecil yang tidak berdaya itu. Dia juga yang mengajarinya bahwa semua benda punya jiwa, termasuk rangkaian pisau-pisau pahatnya. Gubreg pun mengajari Kopag menelanjangi tubuh pisau-pisau pahat, dan menikmati aroma ketajamannya yang luar biasa indahnya. Dia ingat teriakan Kopag ketika pertama kali menyentuh tubuh-tubuh pisau yang telanjang itu. Waktu itu umur Kopag tujuh tahun.
“Gubreg, tubuhku gemetar setiap menyentuh pisau-pisau ini. Keruncingannya, ketajamannya, begitu indah. Begitu penuh misteri. Luar biasa, Gubreg.”
Kilatan matahari menjilati keruncingan pisau pahat itu. Gubreg menyaksikan, betapa sinar matahari yang perkasa itu menjadi patah dan tak berdaya ketika menyentuh sedikit saja keruncingannya. Pisau justru seperti menantang matahari untuk bersabung. Di tangan Kopag pisau itu jadi begitu dingin, angkuh dan selalu lapar.
Sampai menjelang tengah malam, Gubreg belum juga bisa menjawab arti menjadi laki-laki. Perasaan apa yang sedang bertarung dalam tubuh Kopag? Gubreg takut. Takut sekali menjawab pertanyaan tentang esensi menjadi laki-laki.
***
Pagi-pagi sekali, Kopag sudah membuka jendela studionya.
“Aku ingin bercerita padamu,” suara Kopag terdengar penuh rasa ingin tahu.
“Tentang apa lagi, Ratu?”
“Kecantikan perempuan.”
“Titiang...titiang tidak bisa menceritakan kecantikan perempuan pada Ratu. Semua orang, Ratu, memiliki penilaian khusus tentang hal itu. Perempuan itu....”
Suara Gubreg terdengar patah. Berkali-kali dia menarik nafas. Dia mengerti. Sangat paham. Dia juga laki-laki, dia juga pernah merasakan seperti apa percikan nafsu itu ketika pertama kali menampar wujud manusianya. Begitu parah, dan teramat menggelisahkan ketika tubuhnya mulai lapar dan memerlukan tubuh lain untuk santapan. Rasa itu tiba-tiba saja muncul kembali dalam otak, dan tulang-tulangnya yang mulai rapuh membantunya merangkai masa lalunya kembali.
Waktu itu Gubreg seorang laki-laki kumal empat belas tahun. Sering sekali dia disuruh mengantar Dayu Centaga mandi di sungai Badung. Tubuh perempuan itu seperti ular yang melingkar dan menjepit batang-batang tubuhnya. Kakinya kram setiap melihat tubuh basah itu naik ke atas dengan kain yang hanya sebatas dada. Kaki perempuan itu putih, dan mampu meledakkan otaknya. Terlebih, Dayu Centaga selalu menyuruh Gubreg menggosok punggungnya dengan batu kali. Aroma tubuh perempuan itu sampai hari ini masih melekat erat di tubuhnya. Aroma itu tak bisa dihapus oleh usia yang dipinjam Gubreg pada hidup. Lama-lama Gubreg merasakan sakit yang luar biasa menyerang tubuhnya. Dia gelisah, dia luka, karena kelaparannya adalah kelaparan yang tidak pada tempatnya. Sebagai laki-laki Sudra, kebanyakan, dia sadar tubuhnya tidak boleh melahap tubuh perempuan Brahmana. Perempuan junjungannya, perempuan yang sangat dihormatinya. Tak ada yang bisa diceritakan kegelisahannya, dia adalah laki-laki tak berguna, yang hidup dari belas kasihan keluarga Dayu Centaga. Setiap mengingat batas yang ada antara dirinya dan Dayu Centaga, Gubreg selalu merasakan tubuhnya dilubangi. Dia sering terjaga tengah malam dengan nafas yang memburu. Hyang Widhi, Gubreg sadar rasa laparnya sudah tidak bisa dibendung lagi. Tubuhnya jadi pucat. Keluarga Griya mencarikan dia seorang Balian, dukun.
Balian tua itu memberinya jampi-jampi. Tubuhnya dilingkari asap yang sangat menyesakkan aliran pernafasannya. Kata Balian itu, Gubreg sempat membuang kotoran di pinggir sungai. Kebetulan si penunggu sungai sedang beristirahat. Masih kata Balian tua itu, tadinya penunggu sungai itu juga ingin mengganggu Dayu Centaga. Berkat kekuatan Gubreg, Dayu Centaga tidak terkena. Justru Gubreglah yang kena kemarahan si penunggu sungai. Untuk mengembalikan kesehatan Gubreg, keluarga Griya membawa sesaji untuk penunggu sungai.
Gubreg tidak bisa bercerita tentang kelaparan tubuh laki-lakinya. Dia pasrah ketika Balian tua...memandikan tubuhnya di pinggir sungai. Katanya agar roh jahat tidak mengenai keluarga Griya. Untuk menghormati kebaikan keluarga Griya, Gubreg bersedia menjalankan runtutan upacara itu.
Tak seorang pun tahu, komunikasi Balian tua itu dengan dunia gaib salah. Gubreg tidak sakit, tidak juga kesambet setan. Dia rasakan perubahan pada tubuhnya, karena aliran sungai dalam tubuhnya bukan lagi aliran sungai kecil, tetapi sudah menyerupai air bah. Dan Gubreg tahu air dalam tubuhnya memerlukan muara. Demi Hyang Widhi, dia merasakan cinta yang dalam pada Dayu Centaga. Cinta yang tidak mungkin dihapus. Cinta yang membuatnya jadi batu, dingin, tidak lagi bisa menikmati kegairahan manusiawi sebagai manusia. Sampai sekarang, menjelang tujuh puluh lima, Gubreg masih setia mengabdi di Griya. Tanpa istri, tanpa kegairahan sebagai laki-laki.
Kalau sekarang Kopag bertanya seperti apa kecantikan itu, Gubreg paham. Sesuatu yang dahsyat telah dititipkan alam pada tubuhnya.
Gubreg menatap tajam tubuh Kopag yang sedang merampungkan pahatannya.
“Gubreg, kau belum juga jawab pertanyaanku,” suara Kopag terdengar pelan. Dia menarik nafas berkali-kali, “Gubreg, kau ingat kata-kata Frans?”
“Yang mana?”
“Frans mengatakan keliaranku membentuk tubuh-tubuh manusia dalam kayu mengingatkan dia pada lukisan Pablo Picasso, Guemica. Pada dasarnya aku selalu penasaran, Gubreg. Kenapa kayu-kayu ini selalu mengajakku berdiskusi, mengajakku bicara, berdialog, dan berpikir. Aku selalu ingin tahu, selalu ingin mengupas dan melukai kayu-kayu itu. Rasa ingin tahu yang begitu besar, sampai menguliti otakku, tanganku, tubuhku. Aku juga ingin tahu arti setiap impian. Impian-impian yang dimiliki oleh po-hon ketika dia membesarkan ranting-rantingnya, mem-besarkan tubuhnya, sampai akhirnya potongan-potongan tubuh itu ada di tanganku. Aku juga memiliki impian-impian sendiri pada patahan tubuh pohon itu. Suatu hari Frans dan seorang temannya mengatakan, pahatanku tentang perempuan sangat sempurna. Kata mereka, sangat surealis. Kecantikan perempuan yang kuterjemahkan lewat kayu-kayu itu mengingatkan Frans pada keliaran Martha Graham, yang memanfaatkan seluruh tubuhnya untuk mewujudkan jati diri tokoh yang dimainkan. Gubreg, aku merasakan kecantikan perempuan itu melalui jari-jariku. Kayu-kayu dan pisau telah memberiku mata yang lain.”
Gubreg tetap diam. Dia mencoba memahami sesuatu yang sangat rahasia dan begitu dalam ingin disampaikan Kopag, seorang anak yang dibesarkan dengan cara-caranya, diajar memahami kehidupan. Gubreg bahkan rela bocah laki-laki itu mencuri lembar demi lembar rahasia perjalanan dan rasa sakitnya sebagai laki-laki yang menghabiskan seluruh hidupnya untuk mengabdi.
Berkat Kopag, keluarga besar ini kembali bisa hidup. Patung-patung Kopag laku keras dan diminati oleh kolektor dari dalam dan luar negeri. Sekarang ini keluarga ini tentram. Jero Melati tidak pernah ceriwis, perempuan itu bebas menggunakan uang Kopag semaunya. Bahkan, kakak Kopag sendiri bisa membuka galeri patung yang besar. Saat ini galeri itu sudah tumbuh besar dan menjadi satu-satunya galeri yang paling diakui di Bali karena karya patung yang masuk harus melalui seleksi dan pertimbangan yang teliti. Bulan kemarin, ada bantuan dana dari Jerman dan Prancis.
Gubreg tahu tak ada yang diinginkan Kopag. Laki-laki itu tidak pernah tahu apa arti ada uang atau tidak ada uang. Hanya satu yang ditangkap Gubreg, Kopag memerlukan perempuan.
***
“Kita harus carikan seorang istri untuk Ratu,” suara Gubreg terdengar sangat hati-hati. Mendengar komentar itu, Jero Melati tersenyum.
“Bagaimana kalau dia kawin dengan calon yang telah kusiapkan.”
“Jero sudah punya calon?”
“Ya. Aku sudah memikirkannya jauh-jauh hari.”
“Siapa?”
“Adik perempuanku,” jawab perempuan itu serius. Gubreg menatap mata perempuan itu tajam. Untuk pertama kali dia merasakan hawa jahat berendam dan menguasai tubuh cantik itu. Benar kata Kopag, perempuan satu ini memang bukan perempuan baik-baik. Otaknya hanya berisi kehormatan.
“Kau harus bisa meyakinkan dia bahwa adikku layak menjadi istrinya.” Suara perempuan itu terdengar mirip perintah dan pemaksaan. Gubreg diam. Dia tahu, adik Jero Melati adalah perempuan paling liar dan nakal. Kata orang-orang kampung, adik Jero Melati bisa menjual tubuhnya. Mengerikan! Padahal perempuan itu sangat cantik. Sayang, dia tidak tahan miskin. Padahal kemiskinan kalau dihayati memiliki keindahan tersendiri.
***
“Gubreg. Aku ingin bicara!” Kali ini suara Kopag terdengar serius. Gubreg mencoba memahami ke mana kira-kira arah pembicaraan Kopag. Lima menit tanpa hasil. Kopag seperti linglung, dia terus mengelilingi studionya.
“Ratu. Ratu ingin apa lagi? Jangan menakuti titiang. Ratu terlihat sangat gelisah.”
“Ya. Aku ingin kawin, Gubreg.” Suara Kopag terdengar sangat serius.
“Maaf Ratu, titiang juga sudah membicarakan dengan Jero dan kakak Ratu.”
“Apa kata mereka.”
“Mereka setuju. Bahkan merekalah yang akan memilihkan calon istri untuk Ratu.” Gubreg mengangkat wajahnya, ingin sekali dilihatnya wajah Kopag berseri. Aneh! Wajah itu tetap seperti batu.
“Aku sudah memiliki calon. Kali ini pilihanku tidak bisa diubah!”
“Siapa?”
“Luh Srenggi.”
“Ratu...?!” Gubreg seperti tercekik. Luh Srenggi, apakah kuping tuanya tidak salah dengar? Bukankah Luh Srenggi adalah perempuan yang menyiapkan seluruh keperluan Kopag, membersihkan studionya menyiapkan makan, dan mengambilkan pisau-pisau pahatnya? Perempuan itu bukan perempuan, dia lebih mirip makhluk yang mengerikan, kakinya pincang, punggungnya bongkok, ada daging besar tumbuh di atasnya, matanya yang kiri bolong, dia hanya memiliki satu mata. Wajahnya juga rusak berat. Kulitnya begitu kasar. Hyang Widhi! Dewa apa yang ada dalam tubuh Kopag. Sadarkah dia, tahukah dia makna kecantikan? Gubreg menarik nafas memegang dadanya kuat-kuat.
“Aku telah menidurkan perempuan itu setiap malam, Gubreg. Tubuhnya benar-benar lekukan kayu. Kulitnya juga kulit kayu. Kau tahu, ketika kujatuhkan tubuhku memasuki tubuhnya, aku tenggelam dan habis. Dia adalah perempuan tercantik. Perempuan yang mengalahkan kecantikan kayu-kayuku. Ketika dia telanjang, tak ada sebuah pisau pun bisa menandingi ketajamannya. Perempuan itu telah mengasah tubuh laki-lakiku.”
Gubreg ambruk. Sebuah pisau pahat menembus dadanya yang tipis.***
1. Saya
2. Panggilan kehormatan untuk bangsawan Bali
(Dimuat dalam Horison, Maret 2000)
Menjadi Batu
Oleh: Taufik Ikram Jamil
Dinihari.
“Pasti dari Jim,” kata hatiku.
Sambil mengangkat gagang telepon itu, aku membayangkan Jim kembali tercungap-cungap menceritakan keluarga Niru menjadi batu. Lalu ia bertanya bagaimana hal itu bisa terjadi, mengapa harus menjadi batu, dan apa yang dapat dilakukan untuk membantu mereka. Berkali-kali ia ulangi pertanyaan tersebut, ditingkahi desah ketakutan dan keasingannya menghadapi kenyataan itu.
“Ketika kutinggalkan sekejap tadi, hanya leher sampai kepala mereka saja yang belum menjadi batu,” kata Jim seperti yang sudah kuduga, ya seperti yang sudah kuduga. “Aku kira sebentar lagi semua tubuh mereka akan menjadi batu, tergolek bagai barang tak berguna. Tapi mereka manusia kan?”
Aku diam, tetapi aku sudah membayangkan, pertanyaan terakhir itu akan dijawab oleh Jim sendiri dengan mengatakan bahwa memang benarlah mereka manusia. Tetapi manusia yang telah menjadi batu tidak akan dapat memfungsikan dirinya, padahal bagian terpenting dalam hidup adalah memfungsikan diri. Sampai pada kalimat tersebut, Jim akan tersentak sendiri karena ia mafhum bahwa memfungsikan diri adalah sesuatu yang abstrak. Jangan-jangan menjadi batu merupakan upaya memfungsikan diri juga.
“Tapi mengapa harus menjadi batu?” tanya Jim. “Bagaimana caranya mereka menjadi batu?” lanjutnya. “Tak masuk akal, menjadi batu membiarkan diri melakoni benda mati,” kata Jim.
Beberapa saat ia terdiam.
“Ya, mereka membunuh diri,” simpul Jim. Cepat-cepat ia mengatakan, “Oh, betapa mengerikan. Aku takut....”
“Jim...!” panggilku. Tak ada jawaban. “Jim!” ulangku.
“Kau kan tahu betapa Niru adalah bagian dari keluargaku juga. Lima belas tahun yang lalu, bukan rentang waktu yang panjang untuk menelusuri hubungan kami. Ketika ia masih bujang lagi dan kini punya anak bersusun paku,” kata Jim datar. “Niru telah mengantarkan aku ke jenjang karier seperti sekarang dan menjadi modal besar bagiku sampai diangkat menjadi profesor. Ia dan keluarganya —sebelum kawin— memang pohon penelitianku, tetapi aku tak pemah menganggapnya sebagai sesuatu yang berasal dari luar diriku, sehingga ketika aku menelitinya atau orang kampung sekalian, aku merasa meneliti diriku sendiri,” kata Jim.
Tentu saja aku tahu karena akulah yang membawa Jim pertama kali ke desa Niru, sekitar 150 km dari sini, lantas berkenalan dengan Niru. Ya, Niru masih bujang bedengkang waktu itu; tak lama setelah berkawan akrab dengan Jim, ia yang kawin dengan orang sekampungnya, tetap memandu Jim di lapangan. Tak mengherankan kalau di antara keduanya terjalin hubungan antara pemandu dengan peneliti sampai di luar batas. Ketika Jim kembali ke negeri asalnya setelah tiga tahun menetap di desa Niru, aku menjadi perantara hubungan mereka berdua. Ketika Jim dikukuhkan sebagai doktor di bidang yang ditelitinya yakni antropologi ekonomi, Niru dan aku diundang menghadiri acara tersebut. Sayang, Niru tak mau datang dengan alasan yang tidak jelas walaupun segala sesuatunya ditanggung oleh Jim.
Hasil penelitian Jim di desa Niru sebenarnya tidaklah terlalu istimewa bagiku, barangkali disebabkan perhatian kami yang berbeda dan semua permasalahan di dalam penelitiannya sekaligus kualami sendiri dalam bentuk lain. Dalam kerangka yang lebih kecil dan sederhana dapatlah disebutkan bahwa penelitian Jim menggambarkan bagaimana di desa Niru terdapat berbagai hal yang teramat luar biasa secara ekonomi, tetapi masyarakatnya terbelakang. Suku Montai, begitu orang menamakan asal Niru, sebenarnya hampir tergolong primitif, tetapi hidup di tengah ladang minyak yang kaya raya dengan peralatan canggihnya. Belum lagi pembangunan perkebunan besar-besaran yang tak terbayangkan sebelumnya. Suku Montai berdampingan dengan hal-hal yang wah itu, namun jarak di antara keduanya sangat jauh seperti tak dapat diukur lagi secara metrik, tetapi oleh waktu. Sesuatu yang sebenamya secara umum dinikmati tidak saja oleh Niru dan Suku Montai, tetapi banyak orang lain lagi termasuk aku. Mereka dalam keadaan yang tidak bisa membela diri terlebih lagi tidak punya sembarang pembela pun.
“Halo..., Hallo...,” Jim agak berteriak. “Kau dengar atau tidak?”
“Teruskan, teruskan....”
“Aku takut, sangat takut. Aku belum pernah setakut ini.”
Aku menarik napas. Tampaknya aku harus melakukan tindakan karena sudah tiga kali ia menelepon, ketakutannya terasa semakin besar. Tetapi belum sempat aku menyelidiki keberadaannya seperti tindakan apa yang diharapkannya dariku, hubungan kami terputus. Cukup lama aku membiarkan gagang telepon melekap di telingaku dengan harapan Jim berbicara lagi, tetapi yang terdengar hanya tut ... tut ... tut....
***
Dinihari.
Aku membayangkan saat ini Jim berlari dari warung telepon yang seingatku terletak sekitar dua kilometer dari rumah Niru kalau mungkin ia menelepon dari tempat itu, menuju rumah sahabat kami tersebut. Keringat sebesar jagung segera saja mengalir di tubuhnya, dimulai dari puncak hidungnya yang tercacak. Sebentar ia tercegat di pintu dan sedikit saja ia menolak daun pintu dengan ujung telunjuk, cahaya pelita sudah menyergap mukanya. Wajahnya kelihatan menyala karena butir-butir keringat seperti tersimbah cahaya pelita yang merah kekuning-kuningan. Angin berkibar, wajahnya pun terlihat berayun. Jim kembali memutarkan badannya, turun ke tanah. Ia mencangkung pada pipa minyak yang bergaris tengah sekitar 80 sentimeter dan membentang tak sampai 15 meter dari rumah Niru. Menengadah. Cahaya bulan sepenggal dan kerlip-kerlip bintang yang tersapu awan hitam tidak menimbulkan sembarang kesan elok di hatinya, malah ia semakin gelisah.
Jim tak tahu apa yang harus dilakukannya. Kakinya tiba-tiba saja tertuntun kembali masuk ke dalam rumah Niru. Berat. Langsung saja matanya menyergap Niru yang tergolek di sudut. Kaki sampai dada lelaki itu sudah membatu, tinggal mukanya yang ranum seperti tidak mengalami apa-apa, mengajak Jim berbincang. Tak jauh dari Niru, enam anak kecil juga dalam keadaan demikian, menusuk-nusuk hati Jim. Juga Siah istri Niru yang tergeletak dekat dapur, membuat pemandangan di dalam rumah ini bagaikan satu hamparan yang terasa amat asing.
“Aku panggil Tuk Batin ke sini,” kata Jim.
“Jangan!”
“Bontik?”
“Jangan. Duduk saja di sini, sebelum fajar menyingsing,” kata Niru.
“Atau Katik, Leman, Raut, dan... .”
Terdengar Niru ketawa kecil. Matanya yang bundar memandang tubuhnya yang sudah membatu. Jim mengikuti arah mata itu dengan pandangan tanpa ia tahu apa maksudnya. Terasa begitu cepat waktu berlalu, padahal baru beberapa jam sebelumnya Jim dan Niru masih berbicara perkara biasa-biasa saja. Siah dan anak-anaknya ikut terlibat dalam pertemuan dua sahabat lama itu. Jim menyadari keberadaan Niru dan keluarganya seperti sekarang tak lama setelah ia mengajak Niru berjalan untuk makan angin di luar. Dulu, menjelang dini hari mereka selalu berjalan ke luar, ke pinggir hutan selatan. Sinar maupun cahaya dari maskapai minyak dan pabrik-pabrik sawit serta bedeng-bedengnya yang dipandang dari kegelapan kampung ini meskipun membuat hati mereka sayup, juga mampu menghidangkan suasana lain. Sesuatu yang sulit diterjemahkan kalau tidak berdiri pada bidang Niru maupun Jim.
Saat pertarna kali menelepon dini hari tadi, Jim memang mengatakan bahwa apa yang terjadi sekarang pada Niru dan keluarganya seperti tiba-tiba. Setelah berkali-kali mengajak berjalan ke luar yang dengan senyum ditolak Niru, lelaki itu akhimya mengeluarkan kakinya. Mengeluarkan kaki yang sudah menjadi batu. Jim terpelanting, tetapi tak lama kemudian ia cepat menguasai. Ketika Niru menunjuk kaki anak-anak dan istrinya, Jim pun sadar bahwa sesuatu telah terjadi pada keluarga ini. Kesimpulan menjadi batu dibuat Jim setelah ia melihat makin malam semakin banyak bagian tubuh Niru maupun anggota keluarganya yang menjadi batu.
“Tapi Niru, anak-anak, dan istrinya seperti tidak mengalami apa-apa,” kata Jim lewat telepon beberapa jam lalu. “Sungguh, semula aku tak percaya. Tetapi mana mungkin aku mempertahankan ketidakpercayaan itu kalau aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana perlahan-lahan badan mereka berubah menjadi batu. Aku memegang batu itu, keras sebagaimana layaknya batu. Kau tahu bagaimana batu kan?” kalimat Jim bertubi-tubi. Cepat pula ia bertanya, “Kau percaya cerita ini?”
“Percaya.”
“Kau percaya?”
“Karena kau tak mungkin berbohong.”
“Ya, aku tak mungkin berbohong.”
“Dan kau mendengar bagaimana Niru terus berbicara seperti biasa. Ia akan menceritakan ikan yang menghilang dari sungai, damar yang sulit dicari, dan....”
“Bagaimana kau tahu?”
Aku berdehem.
“Bagaimana kau tahu?” desak Jim.
“Lantas, apa lagi yang dapat dikatakan Niru?”
“Dan menjadi batu sebenarnya bukan pilihan kan? Tetapi mengapa mereka menjadi batu?”
Aku ingin menjawab pertanyaan itu, tetapi hujatan Jim _ya, aku katakan sebagai hujatan_ tentang menjadi batu tersebut terus saja meluncur dari mulutnya. Aku ingin mengatakan, tapi nantilah .... Ya, nanti saja. Apalagi waktu itu, tiba-tiba saja sambungan telepon terputus dan aku hanya dapat mendengar suara tut ... tut ... tut ....
“Sungguh aku tak dapat mengerti kalau menjadi batu sebagai suatu pilihan.”
Apa yang dapat dilakukan dengan menjadi batu, sementara sekian pertanyaanku kepada Niru hanyalah sia-sia. Ia sedikit pun tak mau menjawab pertanyaanku. Ia hanya mau mengenang masa-masa lampau, soal-soal kemesraan, dan bercerita tentang kayangan yang sudah hilang,” kata Jim dalam telepon sebentar tadi yang kembali terngiang-ngiang dalam telingaku. “Ini sungguh amat menakutkan aku. Aku takut,” sambung Jim, terdengar suaranya tersendat-sendat.
***
Sampai menjelang subuh, telepon masih terlentang. Belum ada lagi panggilan dari Jim, tapi aku yakin bahwa ia segera menelepon. Barangkali selama menunggu ini aku sempat tertidur dan terjaga karena suara batuk istriku. Kudengar juga suara anakku mengerang. Kendaraan mulai lewat di depan rumah. Dari jendela, aku melihat bulan tergantung yang cahayanya pucat karena disambar cahaya merkuri di tengah jalan. Bayangan Jim menyeruak di antara cahaya remang-remang di dalam rumah ini. Ia seperti duduk di ruang tengah, membaca majalah berita yang kubeli sore tadi. Kakinya terkepang, kadang-kadang bergoyang-goyang sebagai tanda bahwa ia menyenangi bacaan itu.
“Mengapa kau tak pernah bercerita tentang hamparan batu yang berbentuk manusia dan peralatan hidupnya sehari-hari di sini?” tanya Jim suatu malam, mungkin tujuh tahun yang lalu. Ia melihat halaman majalah yang memuat tulisan itu dan menyodorkan kepadaku. Pandangannya tidak lepas dari mataku meskipun aku sudah mengambil majalah tersebut sambil lewat saja, tak sedikit pun membacanya kecuali memandang gambar-gambar hamparan batu tersebut. Dari mata Jim aku tahu ia sebenamya berkali-kali melontarkan pertanyaan serupa, “Mengapa kau tak pernah cerita ada hamparan batu yang berbentuk manusia dan peralatan hidupnya sehari-hari di sini?”
Sebagai jawabannya aku memandang langit-langit, kemudian kembali memandang majalah itu dan mencari nama penulisnya. Tanpa sengaja aku memandang gambar batu-batu yang berbentuk manusia, tilam, sendok, lesung, bantal, bahkan alat kelamin lelaki maupun perempuan, yang pernah kusaksikan beberapa kali. Ada juga batu berbentuk kapal, limau, dan entah apa lagi. Konon, batu-batu tersebut adalah wujud dari tindakan sekelompok manusia yang tak mungkin lagi berbuat lain dalam menghadapi gelombang hidup terutama dalam menolak perintah raja. Sekarang batu-batu itu membesar dan konon pada suatu saat kelak akan memakan lahan sehingga mempersempit dan semakin mempersempit lahan yang ada. Setahuku, ada dua hamparan batu-batuan seperti itu di sini. Satu hamparan di pinggir pantai dan satu hamparan lagi di dalam sebuah goa di hutan lebat.
Tak ada tanggapan Jim terhadap jawabanku itu. Tapi ia tidak meneruskan bacaannya, malahan masuk ke dalam kamar yang memang kusediakan untuknya kalau ia datang ke sini. Tak lama kemudian ia sudah keluar lagi dengan amat necis. Bau parfumnya menyengat sampai aku harus mendengus-denguskan hidung. Seperti biasa ia hanya tersenyum kecil melihat kelakuanku itu sambil mengangkat bahu. Menyulut rokok sebatang dan menghisapnya dalam-dalam, ia kemudian mengatakan ingin keluar. Tak diajaknya aku, tetapi aku menawarkan diri untuk menemaninya sekedar basa-basi karena malam itu aku menunggu tamu, seorang teman lama. Dini hari, ketika mataku sudah terlayang, baru Jim pulang dengan bau penuh bir.
Keesokannya, pagi-pagi lagi Jim mengatakan akan pulang ke Tanah Airnya. Aku agak terkejut karena hal ini di luar programnya semula. Katanya, ia akan berada di sini barang sepekan dalam urusan apa yang disebutnya sebagai mengecas baterai, tetapi baru tiga hari ia sudah merindukan keluarganya. Aku tak banyak tanya saat itu dan apa pula gunanya karena Jim tidak pemah dapat dihalangi. Niatnya ke desa Niru dengan sendirinya batal walaupun aku sudah mengingatkannya. Sejak saat itu Jim tidak pernah lagi ke sini dan kabar mengenainya kudengar sekali-sekali. Sampailah beberapa hari lalu saat ia meneleponku dan menyatakan keinginannya untuk datang ke sini.
“Aku ingin reuni di Montai, tentu terutama dengan Niru dan keluarganya,” kata Jim seraya tidak lupa mengatakan bahwa ia sudah diangkat menjadi profesor. Di bandar udara Jim mengoceh banyak hal mengenai kedatangannya sekali ini terutama tentang penghormatannya atas Montai dan Niru khususnya yang mengantarkannya ke jenjang karier seperti sekarang.
Di desa itu sebagaimana diungkapkannya lewat telepon, Niru maupun orang sedesanya tetap seperti dahulu. Tak ada perubahan. Kalaupun ada perubahan, kelapa sawit di sana sudah menghasilkan sekian kali panen, jalan yang lebar, dan tanah yang kelihatan semakin tandus. Bangunan-bangunan kilang minyak makin menjulang, kendaraan tiada henti-hentinya lalu-lalang di desa itu. Persekitaran desa Niru semakin terang benderang dengan berbagai fasilitas, termasuk hotel dan warung telepon yang boleh dikatakan tidak begitu jauh dari rumah Niru.
Di sisi lain untuk menggambarkan keadaan tempat yang didiami Niru dan keluarganya, Jim cukup mengatakan bahwa rumah Niru masih terbuat dari kulit kayu dan tidak memiliki listrik. Rumah atau lebih tepat dikatakan pondok itu pun sudah mundur sampai tujuh kali, sehingga makin terpuruk ke dalam hutan karena pengembangan ladang minyak dan perkebunan. Jim juga mengatakan, tanah yang dibelinya seluas dua hektar untuk Niru dan sejumlah orang sebagai tanda mata itu sudah berpindah tangan tanpa ganti rugi sepeser pun dan di atasnya telah berdiri berdegam sebuah hotel. “Ketika kutanyakan hal ini, Niru hanya mengatakan: payah, payah...,” kata Jim.
Waktu itu aku tak sempat mengatakan apa saja yang telah dilakukan Niru dan warga kampung itu, bahkan kami di kota ini. Perlu waktu khusus untuk mengatakannya kepada Jim, tidak cukup hanya melalui telepon. Aku berniat sekali mengatakan hal ini kepadanya ketika ia pulang nanti. Tak ada maksud apa-apa kecuali agar ia paham bahwa kami tidak pernah menyerah kepada keadaan. Baiklah, setidak-tidaknya aku akan katakan sepatah dua kata tentang hal itu ketika Jim menelepon lagi yang kini sedang kutunggu-tunggu.
***
Ternyata penantianku tidak sia-sia. Persis saat azan subuh mulai berkumandang, telepon berderak. Suara napas Jim yang kukenal segera menyambar telingaku, sementara benakku membayangkan bahwa Jim akan mengabarkan kisah baru yang jauh lebih seru. Dari desah napasnya pula aku dapat meraba bagaimana Jim tercungap-cungap, menelan air liurnya beberapa kali, dan tak henti-hentinya mengusap muka. Ketika kutanyakan khabarnya, Jim menjawab dengan sedu-sedan.
“Sudahlah Jim, bawa bertenang.”
Lama tidak ada jawaban dan aku terus-menerus memintanya untuk bertenang.
“Bertenang?” tanyanya kemudian.
“Pulanglah dulu ke sini.”
“Bertenang dan pulang?”
Aku mengogam.
“Bagaimana aku dapat bertenang dan pulang dalam keadaan seperti ini?”
“Ya, memang sulit. Aku akan menjemputmu.”
“Kemudian membawa aku pulang?”
“Ya.”
“Bagaimana aku dapat melakukan hal itu, ketika....” Kalimat Jim terputus.
“Ketika kau melihat semua orang di desa itu menjadi batu?” aku memotong kalimat Jim. Tapi aku menyesal karena berkata seperti itu. Untunglah Jim tidak menangkap kelalaian tersebut, bahkan menjadikannya sebagai titik awal untuk menceritakan pengalamannya yang lain menjelang subuh itu.
“Ya. Ketika itu tanpa seizin Niru aku pergi ke rumah Bontik. Tetapi aku melihat, Bontik dan keluarganya juga sudah menjadi batu. Aku pergi ke rumah Tuk Batin, ia dan keluarganya juga begitu. Dari sinilah kemudian aku tahu bahwa semua penduduk desa ini sudah menjadi batu yang prosesnya sama dengan apa yang dialami Niru dan kusaksikan langsung. Kini mereka semuanya sudah menjadi batu,” kata Jim.
Bermacam-macam susunan orang-orang yang sudah menjadi batu itu. Pada beberapa rumah yang penghuninya tak dikenal Jim, orang yang menjadi batu terlihat di halaman itu pun dalam berbagai pose. Ada yang sedang mencangkung, berdiri bercekak pinggang, dan entah macam mana lagi. Bontik, kawan Niru sejak kecil dan cukup dikenal Jim, salah seorang manusia yang menjadi batu di halaman, sedangkan istri dan tiga orang anaknya berada di belakang rumah. Tiga anak mereka yang lain berada di dalam rumah dengan berbagai macam pose. Begitu pula Tuk Batin yang terlihat duduk di bendul dengan muka tegang, sedangkan istri dan anak-anaknya tergelimpang di halaman.
Barangkali dipengaruhi oleh kedekatan hati, ia melihat Niru yang sudah menjadi batu lebih dulu. Lelaki ini beserta anggota keluarganya berada dalam rumah. Tetapi Niru setengah duduk: kaki sampai pinggangnya sejajar dengan lantai kaki kanan menghimpit kaki kiri; sedangkan pinggang sampai kepalanya membuat garis 120 derajat. Tangan kanan menopang kepalanya, sementara tangan kiri melempai mengikuti bentuk pinggang. Tetapi mata Niru.... Matanya memandang tembus ke langit. Atap rumah yang terbuat dari daun nipah yang seharusnya menghalangi mata Niru memandang ke luar, ternyata bocor. Cahaya bulan sepenggal yang masuk ke dalam rumah melalui lubang itu tepat menimpa mata Niru, sehingga alat indera tersebut seperti menyala dan melahirkan suasana yang sungguh sulit dilukiskan kata-kata.
Ia menerangkan tentang bagaimana ia berlari dari satu rumah ke rumah lain dengan napas terengah-engah. Tidak sekali dua ia tersampuk benda-benda yang tak sempat dilihatnya sehingga ia tersungkur ke tanah. Luka pada beberapa bagian tubuhnya tak terasakan lagi. Ia berharap agar semuanya ini hanya mimpi kosong belaka, tetapi semakin besar harapan itu bergumul dalam pikiran dan perasaannya, semakin besarlah kesadarannya tentang kenyataan ini. Di antara rentangan sikap semacam itulah ia tergantung dan saling tarik-menarik. Ketika ia sampai pada ujung rentangan menolak, dengan cepat ia meluncur ke rentangan menerima kenyataan tersebut. Sebaliknya belum sempat ia menyadari keadaan dirinya menerima kenyataan itu dengan hati jernih, ia meluncur pula ke rentangan yang menolak.
Entah berapa kali Jim bolak-balik di antara satu rumah ke rumah lain yang sekaligus menyaksikan orang-orang sudah menjadi batu tanpa mengerti mengapa ia bertindak demikian. Seolah-olah bagian-bagian tubuhnya bekerja sendiri-sendiri. Ketika kakinya melangkah sesungguhnya tangannya hanya ingin berdiam, bahkan kadang-kadang terasa kalau kaki kanan ingin ke depan, kaki kirinya ingin ke belakang atau ke samping kanan maupun ke samping kiri, sementara otaknya melayang entah ke mana. Walhasil ia harus mengeluarkan tenaga sedemikian banyaknya dengan sia-sia. Ia merasa amat letih, tetapi ia tidak dapat mengenal keletihan itu sehingga tidak mampu pula diatasinya. Ia seperti orang sasau --di antara gila dengan waras.
Ia kemudian terhenyak di anak tangga rumah Niru tanpa dapat membagi perasaan. Dengan sedikit sisa kesadaran sebagai orang waras, selanjutnya ia memekik keras berkali-kali. Entah apa yang dipekiknya, ia tak tahu. Pekikan itu pulalah yang seolah-olah mengantarkan kakinya melangkah ke warung telepon dan kembali menelepon aku.
“Tapi aku bertambah kecewa, bertambah kecewa karena kau menyuruh aku pulang; seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa di sini. Seharusnya, kita berbuat sesuatu menghadapi kenyataan ini. Bukan bermaksud menjemputku pulang. Di mana letak dirimu sebagai manusia?”
Aku diam.
“Kemanusiaanmu sudah tak berguna. Kau sudah mati. Kau sedikit pun tidak memiliki perasaan,” Jim marah besar. Suaranya lantang berkumandang, terasa seperti jarum menusuk telingaku.
“Kau bangsat, taik kucing!” Jim menghempaskan gagang telepon.
Tanpa merasa tersinggung sedikit pun, aku juga meletakkan gagang telepon. Meraih kursi dan pelan-pelan meletakkan tongkeng di kursi, kemudian menyandarkan tubuhku ke sandarannya sehingga aku benar-benar rebah. Memandang ke langit-langit, aku berkata pelan, “Kalau saja Jim tahu bahwa nanti malam, giliranku, keluargaku, dan para tetangga yang menjadi batu seperti sudah dialami sekian banyak warga sebelumnya. Kalau saja Jim tahu, semuanya ini sudah direncanakan secara detil sejak dua tahun lalu sehingga aku mengetahui apa-apa saja yang dialaminya di desa Niru walaupun ia tidak menelepon.”
Sungguh, hanya dengan menjadi batu saja kami dapat bertahan.***
(Dimuat dalam Horison, September 1997)
Para Pemburu
Oleh: Agus Noor
Purnama mengapung di telaga, sesekali meleleh oleh arus gelombang. Kami memandanginya dengan gamang. Angin bergegas pergi oleh kedatangan kami. Seperti juga semua makhluk yang ketakutan mendengar gemuruh kaki kami. Hingga kami merasa benar-benar sendiri, ditangkup sunyi daun-daun yang mandi cahaya. Kami beristirahat di pinggir telaga itu, hanyut oleh pikiran kami. Meletakkan semua senjata yang selama ini kami jinjing dan gendong. Sebagian dari kami langsung merebahkan tubuh atau bersandaran pada batang pohon dan gundukan batu. Sebagian lagi menyempatkan diri membersihkan wajah terlebih dahulu, melulurkan kesejukan pada lengan dan kaki yang bengkak.
Inilah perjalanan terjauh dan terlelah kami, sebelum sampai ke telaga ini. Inilah pertama kali kami merasa begitu lelah, setelah bertahun-tahun memburu buruan kami yang bergerak begitu cepat. Kami seperti mengejar kilat. Seluruh kekuatan dan pengalaman kami sebagai pemburu telah kami keluarkan sampai tandas, tetapi kali ini, buruan kami tetap saja melenggang bebas. Membuat kami begitu merasa terhina. Seakan sia-sia kebesaran kami sebagai pemburu yang telah berabad-abad mengabdikan hidup dan peradaban kami hanya untuk berburu. Kami adalah bangsa pemburu yang besar. Siapakah yang tak tahu akan hal itu? Kami tak pernah gagal memburu sesuatu. Telah kami jelajahi seluruh hutan. Telah kami bongkar tiap lekuk pegunungan. Telah kami sibak semua palung lautan. Nenek moyang kami telah membentuk kami sebagai pemburu paling ulung.
Lagu-lagu kami adalah lagu-lagu perburuan. Legenda kami adalah penaklukan puluhan binatang buruan. Kami tak pernah tergoda menjadi petani atau pedagang. Tak ada yang lebih terhormat bagi kami, nenek moyang dan anak cucu kami, selain menjadi seorang pemburu besar yang sanggup merobohkan gajah dengan satu gerakan. Cerita-cerita penaklukan, mengantar tidur anak-anak kami. Menjadi hutan lebat yang tumbuh dalam kepala mereka. Setiap dari kami dibesarkan dalam belukar. Kami sudah tahu bagaimana menyembelih wildebeest, sejak kami masih dalam kandungan. Kami mengembara dari satu benua ke benua lainnya, untuk memburu binatang-binatang, bukan sebagai cara kami bertahan menghadapi hidup, tetapi lebih untuk kebanggaan dan kehormatan.
Sampai kemudian kami menyadari, betapa binatang-binatang di dunia ini perlahan-lahan telah habis kami buru. Membuat kami cemas, melihat kehormatan kami akan goyah suatu ketika. Apalah arti kami bila tak lagi hidup sebagai pemburu. Barangkali, binatang-binatang itu juga sudah terlalu hafal dengan kami. Maka mereka buru-buru menjauh pergi, begitu tercium bau kami. Tetapi mungkin juga memang binatang-binatang itu sudah habis kami bunuhi. Gajah, badak, macan, rusa, ular, serigala dan segala macamnya. Sampai kelinci, tupai dan tikus, telah lenyap kami tangkap. Maklumlah, dari tahun ke tahun, jumlah kami memang makin membesar. Setiap bulan hampir seratus anak kami lahir, sementara orang-orang tua kami bagai tak bisa mati. Mereka sudah renta, tapi tak gampang mati. Banyak di antara kami yang sudah berusia 7890 tahun, tetapi masih sanggup berlari mengejar antelope, kemudian menghantam kepala binatang itu dengan kepalan tangan, hingga pecah berantakan. Dan itulah kehormatan.
Tapi sudah lama kami kesulitan menegakkan kehormatan macam itu. Karena, seperti kami katakan tadi, semua binatang telah habis kami buru, kami bunuh.
“Perburuan tak mungkin berhenti!”
“Kita akan cepat renta bila sehari tak memburu apa pun!”
“Takdir tak bisa dihentikan.”
“Lantas bagaimana?”
“Apa pun yang terjadi kita mesti memburu sesuatu!”
“Memburu apa?”
Itu membuat kami terdiam. Sampai kemudian ide brilian terlontar. Kami akan memburu manusia, untuk menggantikan binatang yang kini telah musnah. Maka kami pun membeli ratusan budak. Mereka kami beri kesempatan untuk bebas, dengan cara melarikan diri. Mereka kami lepas ke tengah hutan, membiarkan mereka lari dan menghilang, baru kemudian kami memburu mereka. Itu menjadikan kami begitu bahagia. Bahkan membuat kami lebih merasa sempurna sebagai pemburu. Memburu budak-budak itu lebih mengasyikkan daripada memburu binatang. Mereka lebih menantang untuk kami taklukkan. Anak-anak kami pun nampaknya lebih suka dengan perburuan macam itu. Lantas, perlahan-lahan, kebiasaan baru tumbuh dalam kehidupan kami. Menjadi tradisi. Kami tak lagi memburu binatang, tapi manusia. Kami membeli juga para penjahat yang telah divonis mati. Kepada mereka kami tawarkan kebebasan, “Masuklah dalam hutan, lari. Selamatkan kehidupanmu. Jangan cemas, meski kami akan memburu kalian, kalian masih punya kesempatan untuk memperpanjang kehidupan. Meskipun kalian juga tak luput dari kematian. Tapi itu lebih baik bagi kalian, daripada mati di tiang gantungan: tak lagi punya pilihan. Mati dalam perburuan ini lebih terhormat bagi kalian. Anggap semua ini hanya permainan. Semoga nasib baik bersama kalian... .”
Dan para pesakitan itu pun kami lepas dengan upacara kehormatan. Kami iringi dengan lengkingan terompet dan juga dentuman meriam. Selamat jalan. Inilah hidup yang sesungguhnya, yang membuat kalian akan merasa memiliki harga sebagai seorang pesakitan. Adakah yang lebih menyenangkan, selain melakukan perburuan semacam ini? Mereka kami beri kehidupan sekaligus batas kematian. Setiap detik adalah pertarungan. Banyak juga di antara kami yang mati dalam perkelahian. Para penjahat itu, memang makhluk yang tak gampang menyerah. Liat dan sigap. Dan itu, sungguh, sasaran perburuan yang menggairahkan.
Rupanya, tak hanya kami yang suka dengan permainan semacam itu. Ketika kisah-kisah kami menjalar ke banyak negara, banyak orang di luar suku kami, mendatangi kami, untuk ikut menikmati perburuan itu. Mula-mula, banyak di antara kami yang menolak, karena hal itu dianggap akan mengotori kemurnian darah pemburu kami. Tetapi kami tak bisa menolak, ketika dari banyak yang datang kepada kami itu adalah para jenderal, orang-orang besar di negara mereka, para raja, puluhan kepala negara, para bangsawan dan pengusaha besar. Para bangsawan, yang memang memiliki kebiasaan berburu seperti kami dan memiliki lahan-lahan perburuan yang luas, mengijinkan tempat-tempat itu untuk kami kelola dan kembangkan sebagai ladang perburuan yang lebih menantang dan menyenangkan. Bahkan mereka menjanjikan kami lahan-lahan perburuan yang lebih luas. Para jenderal menyediakan kami senjata-senjata paling mutakhir. Para pengusaha mensubsidi kami modal bermilyar-milyar. Para raja dan kepala negara mempersilahkan kami untuk memilih rakyat mereka sebagai binatang buruan. Hingga kami tak lagi kekurangan buruan. Kami tak hanya punya kesempatan memburu para penjahat yang telah divonis mati, tetapi kami bebas memilih siapa pun yang paling menyenangkan kami buru. Malah sering para raja dan kepala negara memberi kemudahan kami dengan memberi lisensi untuk menghabisi para tokoh oposisi yang tak mereka sukai, para demonstran untuk kami habisi. Juga kaum intelektual yang selama ini mereka benci. Ah, begitu melimpah buruan kami.
Kami bangun juga istana-istana, tempat kami berpesta setelah seharian berburu. Kami menjadi kaum pemburu yang kian kokoh dan terhormat. Kami perlahan-lahan meninggalkan cara hidup kami di hutan, dengan setiap malam tidur di ranjang yang bersih dan nyaman. Kami tak lagi hanya terbiasa dengan bunyi pedang, tetapi juga denting gelas dalam kehangatan pesta.
“Ini darah seorang penyair untukmu, jangan sedih... .” Gelas kami beradu, dan kami tertawa bahagia. Begitulah memang mestinya nasib penyair yang tak menulis syair puja-puji bagi keagungan kami. Hidup pemburu agung!
Kami pun menjadi kelompok pemburu yang besar, yang melintas bagai badai dan gelombang, menggulung apa pun yang kami sukai. Di antara kemeriahan pesta, kami terus menuliskan sejarah kami yang agung. Perburuan bukan lagi perkara kebesaran dan kehormatan, tetapi juga, terkadang, keisengan. Kami, yang telah menjadi sekelompok pemburu yang paling kuat, dengan dukungan dana yang melimpah, pasokan senjata yang bagai anggur mengalir dalam gelas-gelas kami, menjadi tak tertandingi. Kami berdiri di puncak menara peradaban, sendiri. Itu sering membuat kami terusik sunyi. Apakah arti kekuatan bila tak ada tantangan yang sepadan? Tak ada lagi yang sanggup melawan kami. Ketika kami menjarah perempuan dan membunuhi anak-anak, ketika kami memburu ribuan orang Yahudi untuk kami kirim ke kamp konsentrasi, ketika kami menembaki anak-anak Palestina, ketika kami memburu dan membantai orang-orang muslim di Bosnia, ketika kami mengirim pasukan pemburu ke banyak negara untuk meluluhlantakkan apa saja, tak ada lagi kegairahan karena kemenangan. Tak ada lagi yang berani menggertak kami, sehingga permainan menjadi tak lagi begitu punya arti. Kami terus memburu, kami terus bergerak dari benua ke benua dari zaman ke zaman, melintasi gelombang waktu, menumpuk tengkorak kepala korban kami hingga menggunung sampai menyentuh awan, tetapi kami selalu dirundung sunyi. Apalah arti semua itu bagi jiwa pemburu kami? Semua itu bukan lagi gairah petualangan dan tantangan, tetapi penaklukan yang membosankan. Karena kami sudah terlalu kuat, hingga pertarungan menjadi tak sepadan. Kami seperti kehilangan buruan yang mengasyikkan.
“Kita harus melakukan sesuatu. Jangan biarkan anak-anak kita menjadi pucat dan pasi. Jangan biarkan mereka menjadi lembek karena rasa sunyi ini.”
Lalu seseorang yang paling tua di antara kami, yang sudah berumur 100 juta tahun lebih, menyarankan kami agar mengumpulkan para kiai. Suaranya sudah gemetar, seakan maut sudah menyentuh bibir orang tua itu.
“Untuk apa mengumpulkan para kiai itu?”
“Aku sudah mencium ajalku. Dan aku ingin, sebelum maut menjemputku, aku ingin menikmati perburuan yang paling menggairahkan.”
“Apa hubungannya dengan para kiai itu?”
“Kumpulkan mereka, dari seluruh dunia. Suruh mereka menyediakan malaikat untuk kita buru!”
Kami terpukau oleh gagasan itu. Membuat darah kami menggelembungkan jiwa pemburu kami. Gairah menjalar, membangkitkan imajinasi kami. Ya, malaikat, kenapa kami tak memburu malaikat?
“Jibril! bagaimana kalau kita minta Jibril!”
“Kami bersorai, anggur segera kami tuang dalam gelas, bersulang, menyambut hari depan kami yang gilang gemilang. Panji perburuan berkibar. Kami segera menghimpun topan. Kami segera mengeluarkan seluruh senjata kami. Dan tentu, kami segera mengumpulkan para kiai. Mereka kami datangkan dari semua penjuru, kalau perlu dengan paksa dan kekerasan.
“Kami ingin Jibril,” kata kami kepada mereka. “Kami tak mau tahu, bagaimana cara kalian mendatangkan Jibril bagi kami. Apakah kalian akan shalat sepanjang hari? Apakah kalian akan berdoa dan mengaji? Apakah kalian akan menangkar atau menjebak Jibril dengan sebuah perangkap? Kami tak mau tahu dengan itu semua. Sekarang, katakan kepada kami, kapan kalian bisa menyediakan Jibril bagi kami?”
Kami tatap wajah para kiai itu, mencari kepastian dalam mata mereka.
“Baiklah,” tegas kami, “kalian kami beri waktu satu bulan. Bila selama ini kalian tak bisa mendatangkan Jibril bagi kami, kami akan membikin perhitungan sendiri... .”
Mereka, para kiai itu, kami giring ke sebuah istana kami yang paling megah. Tetapi mereka menolak, dan meminta kami untuk membawa mereka ke sebuah kaki bukit di mana ada sebuah masjid kecil di pinggir hutan. Kami turut kemauan mereka, meski sesungguhnya heran. Apalagi ketika kami melihat sendiri masjid itu. Benar-benar masjid kecil yang tak terawat. Seluruh bangunan itu terbuat dari pelepah kayu, telah lapuk. Luasnya tak lebih dari lima kali lima tombak. Bagaimana tempat sekecil itu menampung jutaan kiai yang kami himpun dari seluruh penjuru ini.
“Kalian jangan bercanda!” teriak kami.
“Kalianlah yang bercanda, dengan meminta kami mendatangkan Jibril.”
“Baiklah... .”
Lantas kami membiarkan satu persatu para kiai itu masuk masjid kecil itu, membuat kami begitu ternganga, ketika hampir separo dari jutaan kiai itu sudah masuk ke dalam masjid, tetapi masjid itu tak juga penuh. Pintu itu terbuka untuk menerima siapa pun masuk ke dalamnya. Barisan kiai masih antri di depan masjid itu, berkelok-kelok mengikuti gigir bukit, seperti barisan semut yang begitu tertib menuju lubang sarang mereka. Jutaan kiai masuk ke dalam masjid yang bagi kami hanya cukup untuk tidur dua puluh orang, itu pun pasti sudah berhimpitan, bagaimana mungkin? Tapi, itulah yang kami saksikan. Sampai kemudian semua kiai telah masuk dalam masjid itu. Dan kami mendengar gema dzikir dari dalam sana, mengalun menidurkan rerumputan, sepanjang hari sepanjang malam. Gema itu melambung, menyentuh langit. Kadang kami merasa ada yang menggemericik dalam hati kami karena gema itu. Seperti batang-batang pohon yang bergoyang itu, seperti daun yang melayang-layang itu, yang hanyut dibuai dzikir para kiai. Kami memagarbetis masjid itu, tak membiarkan seekor tikus lolos dari amatan kami. Kami tak mau kecolongan. Kami tak mau ditipu para kiai itu, jangan-jangan semua itu sihir belaka. Kami terus berjaga, takut mereka akan keluar dan meloloskan diri ketika kami tertidur.
Satu bulan lewat, menguap begitu cepat, bersama angin dan embun. Membuat kami cemas, sekaligus marah, ketika para kiai itu tak juga muncul dari dalam masjid. Segera kami kirim seseorang untuk menemui mereka. Namun orang itu tak kembali. Membuat kami tambah cemas menunggu, kemudian kembali mengirim utusan untuk menemui para kiai di dalam masjid itu. Tetapi seperti yang pertama, orang kedua kami pun tak kembali. Kami panggil namanya, tetapi tak kunjung keluar jua. Kami kirim utusan kembali, memperingatkan para kiai bahwa waktu sudah habis buat mereka. Tapi seperti yang pertama dan kedua, utusan kami ini pun tak muncul lagi meski kami sudah menanti lebih lima hari. Begitulah berkali-kali, setiap orang yang kami kirim untuk menjumpai para kiai, tak pernah muncul kembali. Sementara suara dzikir itu terus saja bergema, membuat udara bergetar dan perasaan kami gemetar. Lantas kami tak bisa lagi sabar. Kami berteriak menyuruh para kiai itu keluar, tetapi hanya gema dzikir membalas suara kami. Kami sudah cukup punya pengertian, bukan?
Jangan salahkan kami. Dan kami segera menyerbu, masuk dalam masjid itu, tetapi, luar biasa, semua dari kami yang masuk ke dalam masjid itu, lenyap seketika, raib begitu saja. Tiba-tiba tubuh mereka hilang tak berbekas, bagai masuk ke tabir ruang dan waktu pada dimensi lain, tertelan dan lenyap. Kami panik. Kemarahan kami menyalakan api di tangan, berkobar dan segera kami lempar pada mesjid itu. Kami bakar masjid itu, hingga kayu-kayu bergemeretakan, dan api melahap cepat, membumbung.
Namun dzikir itu masih kami dengar, di pucuk api berkobar.
Pada saat itulah, seseorang di antara kami berteriak, membuat kami tengadah ke puncak api. Dan, ya Allah, di sana, di puncak kobaran api, kami melihat selesat biru cahaya menatap kami, dengan sayap terentang sampai ujung paling jauh dari semesta.
“Jibril!!”
“Jibril!!”
Seketika kami berteriak, antara takjub dan panik, gembira dan tak percaya, melihat impian kami sudah di depan mata. Apakah ini keajaiban yang dikirim bagi kami?
“Buru!”
Teriakan itu, mendadak menyadarkan kami, betapa memang inilah yang selama ini kami tunggu-tunggu. Jibril, kini telah muncul di hadapan kami, kenapa kami malah bengong begitu? Maka, dengan sigap kami segera meraih senjata-senjata kami. Tombak, anak panah, desing senapan mesin, roket dan basoka, dengan cepat berlesatan ke arah selesat cahaya biru itu yang dengan cepat bergerak dengan sayap mengepak.
“Kejar!”
Kami pun melesat, mengejar Jibril. Bertahun-tahun kami memburu. Membiarkan kaki kami koyak oleh duri, membiarkan rambut dan jenggot kami memanjang tak terawat. Kami tak punya waktu untuk memikirkan itu semua. Jiwa pemburu kami bergelora oleh gairah perburuan kali ini. Inilah perburuan paling menakjubkan bagi kami. Setelah berabad-abad kami hidup sebagai pemburu, setelah bermacam pengalaman perburuan membuat kami jadi pemburu sejati, inilah sesungguh-sesungguhnya perburuan yang sejati. Tombak terus beterbangan, roket terus berlesatan, jaring-jaring baja telah kami rentangkan, ranjau-ranjau telah kami tanam, perangkap telah kami pasang, agar kami mampu meringkus Jibril. Inilah buruan kami yang abadi. Ke mana pun Jibril melesat, kami memburunya.
Sampai kami tiba di pinggir telaga ini, yang menyimpan bayangan bulan. Sebagian besar dari kami kini benar-benar renta. Kami tak sempat istirahat. Kami tak pernah tidur di satu tempat, hingga telah lama anak-anak kami tak lahir. Kami begitu sibuk memburu Jibril. Banyak dari kami yang mati dalam perburuan ini, dan kami pun tak sempat menguburkannya. Karena kami harus terus mengejar Jibril. Kami tak mau kehilangan jejak. Dan memang, kami benar-benar tak pernah punya waktu istirahat. Ketika kami baru saja rebahan dan membasuh kelelahan kami di telaga itu pun, mengharap kesegaran akan membuat tenaga kami kembali muda, kami sudah harus kembali pergi ketika pada bayangan bulan, kami lihat jejak cahaya.
“Ke sana!” seseorang dari kami berteriak, dan langsung melesat. Di seberang telaga sana, kami melihat buruan abadi kami, mengepakkan sayap-sayap cahaya-Nya.
Maka kami pun kembali bangkit, meraih peralatan berburu kami. Segera menghambur, melanjutkan pemburuan abadi kami.***
Yogyakarta, 1995-1998
(Dongeng Buat Mas Danarto)
(Dimuat dalam Horison, Januari 2000)
Gank
Oleh: Syahril Latif
1
Gang Haji Abdul Jalil adalah sebuah gang sempit yang terletak persis di depan Kuburan Karet yang terkenal itu. Sebuah gang sempit yang tak berarti, sehingga kau tidak akan menjumpai dalam kartu pos bergambar untuk promosi pariwisata, seperti Taman Mini, Monas, Dunia Fantasi Ancol, Hotel Indonesia, dan lain sebagainya. Tapi inilah gambaran kota yang sebenarnya, di mana penduduk tinggal tumplek berdesakan.
Anak-anak remaja mengganti huruf pada Gang itu dengan k, sehingga menjadi Gank. Tak tahu siapa yang mengubahnya. Tapi semua orang seperti sudah maklum, dapat menduganya, siapa lagi kalau bukan salah seorang di antara kami.
Belakangan, ada yang mengubahnya: Gank Haji Abdul Jackal. Namun, apa pun namanya, semua orang mengenalnya sebagai Gang Haji Abdul Jalil. Kadang-kadang, untuk cepat dan mudahnya, oleh tukang, beca terutama, disingkat saja menjadi Gang Jalil.
Apalah arti sebuah nama.
2
Di gang itulah aku dan teman-teman tumbuh dan dibesarkan. Di sana, di jalanan yang sempit itu, anak-anak bermain gundu, main bola kaki, berkejaran, main layangan, main petak-umpet, main galasin. Sementara gadia-gadis kecilnya duduk bersila main masak-masakan, main congklak, atau melompat-lompat main engklek. Dan apabila ada mobil lewat, yang terpaksa merayap pelan bagai keong, anak-anak menyibak ke tepi. Kemudian mengumpul kembali memenuhi jalanan, setelah mobil berlalu. Seakan, seperti setelah biduk lalu kiambang bertaut.
3
Penghuni gang itu terdiri dari berbagai suku, yang bercampur-baur menjadi satu dengan penduduk asli Betawi, sehingga kami tak merasa lagi perbedaannya. Kami telah lebur jadi satu: penghuni Gang Haji Abdul Jalil.
4
Rata-rata, semua kami miskin dan karenanya kami saling mengenal dan akrab satu sama lain.
5
Sebagai gambaran kemiskinan, rumah-rumah, kami pun sederhana, berukuran kecil dan tak teratur bentuk dan susunannya.
Ada juga satu dua rumah gedung yang berpekarangan luas dan bertaman, membuat kehadirannya bagaikan putri raja di tengah rakyat gembel, yang segera mengundang tamu atau teman kami yang datang berkunjung, bertanya heran: “Rumah siapa yang cakep itu?”
“Itu rumah pegawai pajak,” begitu kami selalu menjelaskan.
“Pantas!” jawab mereka. Dan tanya lagi, “Yang di sebelahnya?”
“Rumah pegawai Bea Cukai.”
“Lebih pantas lagi,” kata mereka, dan tanya lagi, “Yang di seberangnya?”
“Itu mah, pegawai negeri biasa saja.”
“Kok sama hebatnya?”
“Maklum, menjabat bagian basah.”
“Bagian apa?”
“Tau, dengar-dengar bagian pembelian atau perizinan. Tak tahulah. Kok, ngurus hal orang lain, sih?
6
Di sini dapat kau jumpai segala macam orang: tukang sol sepatu, tukang kayu, montir, kenek, pedagang kaki lima, penjual nasi Padang dan Tegal, tukang cukur, guru sekolah, dosen, pelayan toko, sopir, makelar, satpam, tukang listrik, pegawai negeri dan swasta, bidan, perawat dan lain sebagainya.
7
Jika lagi kehabisan, ibu-ibu kami saling pinjam garam atau korek api atau bumbu masakan kepada tetangga. Kadang-kadang mereka saling antar-mengantar sayuran atau makanan kecil. Kadang menumpang menjahit baju anak di rumah tetangga yang punya mesin jahit. Dan andaikata ada pompa air yang rusak, atau listrik yang korsleting, tetangga lain akan cepat turun tangan memberikan bantuan perbaikan.
8
Sesekali, ibu-ibu kami terlibat juga dalam pertengkaran kecil. Biasanya, soal anak-anak, yang berantem. Anehnya, sementara ibu-ibu itu masih bersungut-sungut, anak-anak mereka sudah berbaikan kembali.
9
Kurasa gang kami tak pernah sepi. Macam-macamlah sumber kebisingan itu: radio atau kaset yang tak henti-hentinya distel, teriakan anak-anak bermain, teriakan penjaja sayuran dan makanan. Dan lepas tengah hari, di saat warga sedang terkantuk-kantuk disengat panas Jakarta, terdengar mengalun suara anak-anak mengeja Juz Amma dari madrasah:
“Aanakum, Ainakum, Iinakum, Aunakum, Uunakum, Baanakum, Bainakum, Biinakum, Baunakum, Buunakum, Taanakum, Tainakum, Tiinakum, Taunakum, Tuunakum, Tsaanakum, Tsainakum, Tsiinakum, Tsaunakum, Tsuunakum ....”
Ejaan itu mengalun dalam irama yang khas, mengasyikkan, mengantar kantuk, melayang jauh dihantar angin siang.
10
Apa saja yang dimasak tetangga, tak bisa dirahasiakan. Aromanya akan mengambang ke mana-mana, ke sepanjang gang. Yang paling cepat ketahuan, kalau ibumu menggoreng ikan asin. Yang ini, sungguh menitikkan air liur.
11
Lepas Isya dan makan malam, boleh dikata selalu ada permainan domino, lebih terkenal: gaple, di luar pekarangan rumah. Pada malam minggu, bisa-bisa berlangsung hingga beduk subuh. Begitulah cara ayah-ayah kami melepaskan lelah setelah seharian mencari nafkah membanting tulang. Atau juga, begitulah cara mereka membanting kesal ke atas meja gaple. Tak tahulah.
12
Berbeda sedikit dengan hari-hari biasa, sekali sebulan pada petang Jumat, orang tua-tua kami mengadakan pengajian di mesjid. Kami yang muda-muda, sebagai basa-basi, ikut hadir. Nampaknya kehadiran kami melegakan hati mereka.
Di tengah pengajian sedang berlangsung, ayah-ayah kami pada mengantuk. Heran, kalau main gaple semalam suntuk, mata itu bisa melotot terus sampai pagi, ditingkah senda gurau dan gelak tawa tak berkeputusan. Menurut Ustadz Malik, setengah melucu, setengah menyindir: “Mata yang mengantuk kalau dibawa mendengar pengajian, tanda setan sedang mengencinginya!”
Tiba-tiba, semua membuka matanya lebar-lebar, sedikit kaget dan lantas tertawa. Menertawakan siapa?
13
Jika yang tua-tua senang gaple, kami yang muda-muda pun tak mau ketinggalan duduk menggerombol: ngobrol ngalor-ngidul, menyanyi dan main gitar, persis pengamen jalanan. Tempatnya: gardu jaga siskamling. Kami menyebutnya ‘markas’.
Semua jenis lagu kami senang, mulai dari dangdut, pop sampai keroncong. Tapi yang mendapat tempat di hati kami, agaknya dangdut dan pop itulah. Sekali-sekali ada juga yang mencoba seriosa, atau belagak memainkan musik jazz dengan gitarnya, tapi tak kena: sumbang, dan yang lain segera menyorakinya. Sesekali kami larut juga dalam irama gambus.
14
Sekali-sekali, anak-anak cewek ikut nimbrung bersama kami, tak sampai larut. Sebentar mereka sudah dipanggil ibu mereka. Atau disusul adiknya disuruh pulang.
15
Bagiku, semua anak-anak Gang Haji Abdul Jalil adalah teman. Tapi rasanya lebih intim dengan Hamzah, Martin, Najib, Tony Handoko dan beberapa anak tertentu.
Usia kami tak jauh beda, hampir sebaya. Dulu ketika masih kecil, kami sering berantem. Sekarang tidak, kami saling menjaga, saling menenggang. Dan kalau bisa ingin berbuat lebih baik kepada yang lain.
16
Hamzah gitaris andalan kami, sejak jadi mahasiswa Sastra Inggris paling getol nyanyi Inggris. Agaknya dangdut seperti sudah dilupakannya. Atau dikuburnya? Pokoknya lagu Barat melulu. “Inggris, ni yee?!” ejek anak-anak.
“Maklum, deh,” tambah yang lain.
Tapi Hamzah tidak marah. Tak acuh.
Dan sekarang, bacaannya bukan komik lagi, bukan cerita silat lagi. Pokoknya, berat, deh! Bayangin, kalau dia lagi sendirian di teras rumahnya, kalian tahu, dia sedang baca apa?
George Bernard Shaw atau Hemingway atau Tolstoy atau Albert Camus atau Dokter Zhivagonya Boris Pasternak atau Thomas Elliot!
Pokoknya: berat!
17
Kalau si Martin lain lagi. Sejak jadi pemain teater, gayanya overacting. Selangit. Ia ikut salah satu kelompok teater yang sering mentas di TIM. Di situlah ia bercokol.
Gaya bicaranya, gerak tangan, jalannya, cara tersenyum, ekspresi wajah dan lain sebagainya, kayaknya bukan lagi Martin yang kami kenal selama ini: Martin yang lugu dan agak pemalu. Tiba-tiba saja ia telah menjadi manusia aneh di tengah-tengah kami. Merasa lebih penting dan menonjol dari yang lain. Gayanya mirip-mirip Rendra, maunya.
Kalau ia bicara, seakan ia jauh dari kita, nada suaranya agak dilantunkan bagaikan orang berdiri di atas panggung. Agaknya ia tak bisa lagi mengecilkan suaranya. Kami tak tahu pasti, apakah dia masih bisa berbisik.
Anak-anak hampir tak dapat menahan ketawa.
Akhir-akhir ini ia agak jarang nongol di ‘markas’? Waktunya dihabiskannya di TIM, disibukkan oleh latihan-latihan teaternya. Kadang-kadang ikut mentas ke kota-kota lain!
18
Kukira, si Najiblah yang membuat kami semua merasa heran. Itu, Najib anak Ustadz Malik, guru ngaji di gang kami. Soalnya setelah gagal sipenmaru, benar-benar ia putus sekolah. Mau melanjutkan ke Perguruan Tinggi Swasta, ia tahu diri, tak mungkin, biaya kuliah terlalu tinggi, di luar jangkauan.
Apalah yang dapat diharapkan dari pencarian ayahnya yang ustadz. Maka dengan senjata ijazah SMA-nya diterobosnya rimba perkantoran kota Jakarta. Masuk kantor keluar kantor. Akan hasil perburuannya itu, bagaikan buku yang belum habis dibaca kita sudah tahu jalan ceritanya, tentu kau sudah dapat menebak. Tapi Allah memang Maha Pemurah, Pengasih dan Penyayang, akhirnya Najib mendapat juga apa yang dicarinya, kalau itu diartikan secara harfiah: kerja. Pokoknya, kerja. Apakah ia suka atau tidak.
Nah, bersamaan dengan itu Allah ingin menguji Najib, menguji keimanannya. Agaknya ia kalah. Satu-satunya perusahaan yang mau menerimanya adalah sebuah Pub, rumah minum. Artinya, setelah Najib ditest, kemudian ikut training untuk jadi Bartender, Najib mulai bekerja di sana.
Sejak itu kami kehilangan seorang teman kongkow. Karena Najib bekerja malam hari hingga subuh. Siang hari ia tidur, seperti musang.
Ayahnya Ustadz Malik tak tahu putranya bekerja di tempat haram itu. Yang ia tahu, sesuai menurut apa yang dikatakan Najib ketika suatu kali ayahnya bertanya, Najib bekerja sebagai Satpam di sebuah perusahaan. “Jangan lupa shalat,” pesan ayahnya.
Jelas Najib berbohong. Dan ia tahu betul berbohong itu dosa. Bekerja di bar itu dosa. Dan bahkan kini ia sudah tak shalat lagi. Lingkungannya tak memungkinkan, dan di mana mau shalat, dan tak ada tempo, dan ia tak mau jadi bahan tertawaan teman-temannya.
Sebenarnya, Najib merasa sangat terhimpit, tapi dilakoninya terus. Sampai kapan?
Dan kami, dan semua orang di gang, merasa berkewajiban menyimpan rahasia ini kepada Ustadz Malik. Orang tak ingin menghancurkan perasaannya.
19
Sebaliknya, siapa sangka, jika Allah berkehendak memberi hidayah kepada hambanya, Tony Handoko yang agak ugal-ugalan itu, anak pegawai pajak yang gedongan itu, bersikeras pada papanya mau masuk pesantren. Ketika hal itu disampaikan, bukan main kagetnya sang papa, bagaikan disambar petir di siang bolong. Kaget, heran, berang, bingung, tak alang kepalang.
Teriak papanya: “Mau jadi apa kau?! Mau jadi santri miskin?!” Suaranya menggelegar sepanjang gang. Selanjutnya diberondongnya Tony dengan omelan tak berkeputusan, bagaikan rentetan tembakan senapan mesin sebagaimana yang kau lihat dalam film Rambo, atau kayak petasan gantung waktu sunatan. Papanya menyesalkan sangat keinginan Tony itu. Papanya sudah berangan-angan supaya Tony jadi akuntan dan akan mengirimnya ke Amerika. Papanya menganggap keputusan Tony itu benar-benar gila.
Setelah pernyataan pemberitahuan itu kepada papanya dan diberondong habis-habisan, Tony bungkem, merunduk terus, tak membantah sepatah pun, sampai papanya reda dan terhenyak di kursi.
Beberapa hari kemudian, kami, Tony dan aku berangkat naik kereta api ke Jawa Timur, ke Pesantren Bangil. Tony memintaku. Ia memerlukan teman dalam perjalanannya. Bahkan ia minta aku menemaninya selama seminggu di pesantren. Untunglah hal itu diizinkan Pak Kiai, pimpinan pesantren itu.
20
Sehari setelah keberangkatan Tony, papanya jatuh sakit. Begitu Surat Kilat Khusus yang kami terima, pada hari ketiga, dari ibu Tony. Ia diminta ibunya pulang sebentar untuk menjenguk papanya. Tapi Tony tak mau. Dan sebagaimana dikatakannya dalam surat kepada ibunya, kepadaku ia berkata: “Nanti sebentar papa akan sembuh juga. Papa memang selalu begitu. Maunya perintahnya saja yang mesti diturut.”
Aku mencoba melunakkan hatinya, “Toh tidak apa pulang buat sebentar, bukan?”
“Tidak sekarang,” jawabnya pasti. “Sekarang saya lagi kesal sama papa. Coba, Ma, saya dibilang sudah sesat? Dituduh mendapat pengajian yang sesat? .... Dalam batin, saya bertanya: siapa yang sesat? Saya atau papa? Apa yang papa fikirkan hanya duit melulu ... seakan dengan itu dapat dibeli semuanya: gengsi, martabat, kesenangan ... tapi miskin rohani. Dunia, dunia dan kesenangan melulu.… Apa dengan kekayaan itu dapat dibeli kebahagiaan akhirat? Papa sudah dipengaruhi oleh Dajjal yang bermata satu, hanya mencari kesenangan dunia…. Tidak! Saya tidak akan pulang! Saya sudah bosan dengan suasana rumah!”
Tony menarik nafas panjang, nampak kesal. Dan katanya: “Coba fikir, masak papa tega menuduh saya subversif. Ikut pengajian gelap, pengajian subversif, pengajian yang disusupi faham komunis. Jelas ini fitnah! .... Ya, Allah. Engkaulah Yang Maha Tahu! Dan papa sampai hati akan mengadukan kelompok pengajian kami kepada yang berwajib, agar semua kami ditangkap, guru ngaji kami ditangkap! La hawla wa la quwwata illa bi 'l-Lah.
Kini, kulihat air matanya menggenang, hampir menangis.
Lanjutnya: “Kalau tidaklah karena takut dosa, menjadi anak durhaka, hampir saya tidak bisa memaafkan papa. Saya hanya bisa berdoa, semoga Allah memberi papa taufiq dan hidayah. Saya percaya masih tersimpan benih-benih iman dalam dada papa. Sekarang sedang tersapu oleh gemerlapnya keindahan dunia
21
Sebenarnya, yang suka “ekstrim” bukan Tony Handoko seorang. Ada lagi. Kau lihatlah si Aisah, teman Maryam (nanti kalau ada tempo aku cerita padamu), teman kami juga. Nah, Aisah yang satu ini, sekarang pakai jilbab (itu istilah yang ngepop sekarang, tak lain tak bukan, itu kata lain dari pada kerudung). Dan kesan pertama kita melihatnya, persis seperti kaum wanita pasidaran Iran, anak buah fanatik pengikut Imam Khomeini, sebagaimana yang kita lihat di majalah-majalah atawa koran-koran. Belakangan ada lagi yang menyebutnya pakaian wanita Ikhwanul Muslimin Mesir, pimpinan Imam Hassan Al-Banna. Tapi, apa pun namanya, menurut Ustadz Malik, “Itulah pakaian Muslimah yang sebenarnya.”
Pakaian yang menutup aurat. Sesuai dengan apa yang termaktub dalam Al-Quran, surah Al-Ahzab ayat 59: “Hai, Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, istri-istri orang mu'min. Hendaklah mereka mengulurkan kain kerudung/jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, agar mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun-Penyayang.” Dan dari Hadis Rasulullah Saw. dapat saya kutipkan sebuah Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud dari Aisyah r.a.: suatu ketika Asma binti Abu Bakar masuk ke tempat Rasulullah sedang Asma memakai baju yang tipis (membayang tubuhnya), maka Rasulullah melengah seraya berkata: “Hai Asma, wanita yang telah sampai masa haid tidak boleh terlihat kecuali ini dan ini,” dan beliau menunjuk kepada muka dan kedua telapak tangannya.
Sebenarnya, masih ada beberapa ayat dan hadis, tapi Saudara-saudara dapat mencarinya sendiri dalam Al-Quran, misalnya pada An Nur ayat 31, Al A’raaf ayat 26 dan beberapa Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad!
Pokoknya, sejak Aisah menjadi eskrim, maaf, ekstrim itu, di mana saja, kapan saja, ia selalu berjilbab! Anak-anak yang iseng, menjulukinya dengan “pakaian ninja”. Tapi Aisah tak acuh saja.
Dan sejak itu, kayaknya Aisah tak punya lagi barang sepotong pun baju model lain. Kayaknya semua pakaian rok, blus yang dulu, baik yang maxi, midi, apalagi mini, sudah dibakar ludes! Atau dihanyutkan ke Kali Malang (tak jauh dari gang kami).
“Apa pakaian-pakaian yang dulu itu sudah kau sedekahkan, barangkali, Aisah?” Suatu kali aku coba menduga kepadanya.
“Itu namanya, sama saja kita membagi dosa kepada yang lain,” jawabnya. “Menyuruh orang membuka aurat, ia berdosa dan aku pun berdosa. Dan dosaku dua kali lipat: dosa karena telah memberi yang salah, dan dosa yang dilakukan orang itu.”
“Kau ini aneh, Aisah,” kataku pula. “Dulu sebelum begini malah kau seorang modis, perancang busana.... Sekarang siapa yang mau menjahitkan pakaian padamu kalau hanya jilbab melulu?”
“Lupakanlah itu,” katanya. “Itu waktu saya masih jahiliyah. Semoga Allah mengampunkan ketidaktahuanku. Dan siapa yang mau menjahitkan kepada saya? Terserahlah, siapa yang mau saja. Rezeki di tangan Allah.”
Mantap sekali ia, fikirku.
Aisah boleh bermantap-mantap. Tapi lihatlah betapa cobaan yang dihadapinya. Gara-gara pakaian jilbab itulah, Aisah mendapat kerepotan di sekolahnya (sebuah SMA Negeri di bilangan Kebayoran Baru). Oleh kepala sekolah, ia dianggap melanggar peraturan seragam sekolah, walau warnanya sudah putih di atas dan abu-abu di bawah (sudah disesuaikan Aisah). Namun ia tetap dianggap melanggar. Soalnya: jilbab yang kayak ninja itu, baju lengan panjang dan rok yang komprang kedodoran itu!
Kepala Sekolah sudah memberi peringatan beberapa kali, lisan dan tulisan, dengan ancaman sewaktu-waktu bisa dikeluarkan dari sekolah. Aku tak tahu bagaimana kesudahannya. Yang kutahu Aisah tetap tegar. Berkata mantap kepada kami anak-anak gang.
“Salah apa saya jika saya mengamalkan ajaran agama saya?! Toh, hal itu dijamin oleh Undang-Undang Dasar Empat Lima kita! Baca tuh pasal 29 ayat 2, bahwa negara menjamin kemerdekaan dan kebebasan setiap warga negara untuk memeluk suatu agama atau kepercayaan dan untuk beribadah sebagaimana yang diajarkan oleh agama maupun kepercayaan itu! Nah, mana yang lebih tinggi kedudukan hukumnya UUD 45 atau Peraturan Seragam Sekolah?!”
“Jelas UUD 45, dong,” jawab kami spontan memberi semangat dan membenarkan Aisah. Dan bertepuk tangan serempak.
Aisah melanjutkan: “Itu tuh, kalau mau ditertibkan juga, tertibkanlah siswa-siswa yang suka berantem itu, yang terlibat narkotik itu, yang mabuk-mabukan itu, yang merokok itu, yang suka keluyuran di jalanan atau ke disko pada jam-jam pelajaran! Ke sana alamat penertiban itu! Bukan kepada hak asasi orang?! Orang yang baik-baik seperti kita-kita ini lagi, ini enggak ge-er, ya (senyum, aduh manisnya)....”
Lagi-lagi kami keplok, senang sekali. Tiba-tiba seseorang memberi komando: “Tepuk pra-mu-ka!” Plok plok plok... plok plok plok... plok plok plok plok plok plok plok. Semua bertepuk kegirangan bagaikan anak-anak pramuka.
Rupanya Aisah belum selesai, belum merasa puas, katanya sambil setengah berbisik, mencorongkan kedua telapak tangannya ke moncong: “Jangan-jangan kepala sekolah itu bekas PKI, ‘kali. Kan hanya orang-orang PKI yang sangat anti agama?”
“Ya, ‘kali,” celetuk kami, membenarkan.
Mengembangkan kedua tangannya, mengangkat bahu, Aisah mengeluh: “Boleh jadi semua kita telah menjadi orang-orang munafik terhadap agama yang kita anut. Tilawatul Quran kita rayakan secara besar-besaran dengan biaya jutaan, tak tanggung-tanggung! Tetapi sebaliknya, pengamalannya kita jegal. Kita curiga dengan berbagai prasangka. Apakah ini tidak munafik namanya? Atau mungkin ada penamaan lain?”
“Munafiiiik...!” teriak anak-anak serempak.
“PKIiiiiiiii...!” tambah kami lagi.
22
Di mana pun, dasar anak-anak, suka becanda, suka menggoda. Apabila Aisah lewat di depan ‘markas’, tak pernah luput ia jadi godaan. Begitu ia lewat, anak-anak yang tadinya asyik-asyiknya menyanyi dangdut atau pop, segera mengalihkan iramanya ke kasidahan:
“Indung-indung kepala lindung
Hujan di udik di sini mendung
Anak siapa pakai kerudung
Mata melirik kaki kesandung...”
Aisah terus berlalu dengan senyum-senyum dikulum. Mungkin, dalam hati masing-masing kami, berkata: “Alangkah manisnya anak ini...?”
23
Suatu kali sedang aku asyik mentes kaset yang akan kubeli di sebuah toko di Benhil, kulihat Aisah berjalan seorang diri pulang sekolah. Serombongan cowok SMA yang berpapasan dengannya menggoda Aisah dengan sikap agak kurang sopan, mengitarinya seakan hendak memangsa, persis kayak segerombolan anjing hendak berebut tulang.
“Waduh, alimnya.”
“Sorangan wae?”
“Mari, gue anterin, yuk?”
“Ntar lu digampar bokapnya!”
“Enggak apa asal gue dapat anaknya yang ca'em.”
Dan macam-macam lagi.
Namun Aisah diam saja. Jalan terus.
“Wah, kalian ini tak tahu aturan!” ujar yang lain belagak memarahi teman-temannya. “Ucapin salam dulu, dong.”
“O ya lupa, assalamu'alaikum, Neng?”
Dengan lembut Aisah menjawab, “Wa'alaikum salam.”
Anak-anak pada sorak kegirangan.
Kuatir mereka menggoda lebih jauh lagi, buru-buru aku keluar, kupanggil Aisah dengan suara lantang untuk mengagetkan anak-anak itu. Aku sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Aku berhasil. Mereka menyingkir secara teratur. Sekilas kudengar.
“Ada cowoknya, Mek!”
Lalu kutarik Aisah ke toko kaset.
“Kau tidak diapa-apakan mereka?” tanyaku.
“Tidak.”
“Anak-anak berengsek!”
“Mereka cuma iseng.”
“Kurang ajar,” kataku, geram. “Tapi, ya ampun, kenapa anak-anak gituan kau kasih hati?”
“Kasih hati bagaimana?”
“Salam mereka kau jawab. Cuekin aja!”
“Dosa lho, salam tak dijawab. Bukankah salam itu doa, yang artinya selamat dan sejahteralah anda. Sepantasnya kita mendoakan mereka pula.”
“Ya, ampun...,” kataku tak habis fikir pada Aisah yang satu ini.
24
Lain Aisah, lain pula Maryam. Gadis kecil yang kemarin-kemarin ini masih ingusan, masih suka main congklak dengan teman-teman sebayanya, main engklek, main loncat karet, tiba-tiba seperti disunglap, dari kuncup mekar menjadi bunga yang indah. Gadis kecil itu tumbuh jadi remaja yang amat cantik dan mempesona. Dan Maryam sadar akan perubahan dirinya.
Penampilan yang pertama mengejutkan banyak orang adalah ketika suatu kali ia ikut acara perkenalan penyanyi remaja di TV. Sejak itu ia dikenal secara luas. Semua orang kagum padanya. Bukan pada nyanyian, melainkan kecantikannya yang membius itu.
Maka sejak itu, kami tak merasa heran, kalau berganti-ganti saja pemuda-pemuda luar datang berkunjung ke rumahnya. Kemudian pasangan anak muda itu pergi ke luar rumah untuk latihan menyanyi. Di lain waktu, ada lagi yang mengajaknya pergi menonton, ke restoran, dan macam-macam acara lain. Dan, selalu dengan muka baru: penyanyi tenar ibukota, pemain film yang sedang in, anak teater yang lagi ngepop, pemain tenis yang lagi ngetop.... Dan yang paling akhir anak orang kaya bermobil Baby Benz. Pokoknya selalu dengan cowok baru!
Dan setiap kali Maryam dan padangannya lewat di depan ‘markas’, maka terdengar bisik-bisik yang dikeraskan:
“Baru lagi, ni yee?!”
25
Maryam memang cantik. Yang tercantik di gang kami. Bahkan yang tercantik di ibukota republik ini, demikian menurut Hamzah.
Kukira, Hamzah menaruh hati pada Maryam. Hamzah belum pernah mengatakan secara terus terang.
“Tapi apalah arti kecantikan jika tidak disertai dengan ‘kematangan dan kedalaman’,” kata Hamzah pula, berfilsafat. Kali ini tampak serius dengan muka murung.
Dari bacaan berat mana pula Hamzah memperoleh ‘kematangan dan kedalaman’ itu, aku tak tahu.
26
Suatu hari, berani-berani takut, kutanyakan pada Hamzah apakah ia mencintai Maryam.
“Tidak!” jawabnya tegas.
Aku terperangah.
27
Tapi akhimya aku tahu juga, mungkin anak-anak lain tidak, ketika Maryam menyebarkan undangan perkawinannya dengan anak penguasa Real Estate, yang ber-Baby Benz itu, Hamzah mendadak pindah ke Rawamangun. Indekos di sebuah kamar yang sederhana. Memutuskan hidup jadi pengarang dan berhenti kuliah. Sekarang ia bekerja di sebuah majalah.
Dalam puisi-puisi dan cerpen-cerpennya dapat kutangkap kesepian hati yang dibawanya ke mana pun ia pergi, seperti ada sesuatu yang terlepas dan hilang, yang tak mungkin dapat diraih kembali.
28
Dari bisik-bisik anak-anak cewek dapat kutangkap bahwa sebenarnya Maryam pun mencintai Hamzah. Namun perasaan ini disimpannya sendiri. Ia tak hendak dan berani menyatakan kepada ayah ibunya. Maryam seorang anak yang baik, seorang anak yang patuh. Dan terlebih dari semua itu, ia ingin membahagiakan kedua orang tuanya. Untuk itu ia siap berkorban. Semoga hal itu menjadi tanda baktinya buat mereka yang telah bersusah payah, membesarkannya dalam kemiskinan yang berkepanjangan.
29
Akhir-akhir ini, aku tak merasa betah lagi duduk lama-lama di ‘markas’ kami. Dalam senda gurau dan nyanyian diam-diam menyelinap kesepian ke dalam hatiku. Di antara kawan tak kulihat lagi Hamzah, yang pergi membawa luka hatinya dalam kesepian di kamar indekosnya jauh di Rawamangun sana. Mungkin di malam-malam begini ia sedang mengetik puisi-puisi atau cerpen-cerpen, tempat di mana ia melarikan kepedihannya.
Tony Handoko mungkin sedang terbenam dalam kitab kuning bertuliskan Arab gundul. Atau mungkin ia sedang larut dalam zikir yang dalam. Nun jauh di desa Bangil, terpencil, jauh dari keramaian kota.
Najib mungkin sedang mencampur minuman haram satu dengan yang lainnya, sambil mengenang ayahnya sedang mengaji di rumah. Batinnya tertekan. Namun ia tak bisa berbuat lain.
Sedang mengapakah Martin sekarang? Lakon apakah yang sedang diperankannya sekarang? Hamlet tokoh yang selalu dibuai bimbang? Lama ia tak pulang. Aku tak tahu sedang mentas di kota mana ia sekarang.
Masing-masing teman pergi membawa nasibnya sendiri-sendiri.
30
Suatu hari ayahku berkata dengan sedikit keras kepadaku: “Syamsu, apakah kau tak merasa malu, nongkrong terus dengan bocah-bocah itu? Teman-teman sebayamu sudah pada bekerja! Contohlah mereka itu! Lagi pula, ayah sudah tak sanggup lagi membiayai sekolahmu. Adik-adikmu masih banyak yang perlu ayah perhatikan.”
31
Malam hari ketika aku pulang dari mencari pekerjaan yang belum juga kudapatkan, aku selalu lewat di depan ‘markas’. Ramainya masih seperti biasa. Tapi sudah tentu tak kulihat lagi di sana Najib, Tony Handoko, Martin dan Hamzah. Tiba-tiba aku merasa teramat sepi, tertekan sedikit oleh perasaan rindu.***
(Dimuat dalam Horison, Agustus 1990)
Lonceng
Oleh: Motinggo Busye
Jam dengan merk Junghun itu belakangan ini menyengsarakanku. Istriku menjadi perempuan yang bawel. Ini karena ulah jam itu. Padahal barang itu kami beli untuk menambah kebahagiaan istriku dan aku. Tinggi jam itu setinggi tubuhku. Bila loncengnya berbunyi, maka terdengarlah sebuah nyanyi. Nyanyian ini mengisi kalbu istriku dan kalbuku sendiri.
Walaupun akhirnya mengesalkan, tetap saja aku mencoba memetik kenangan lama yang indah setelah jam Junghun itu mengisi ruang tengah rumah kami. Kami dulu mempertimbangkannya cukup lama untuk memutuskan di mana harus diletakkan jam yang sebesar itu. Jika ditaruh di ruang tamu, kelak tamuku akan cepat pulang, sebab kehadirannya merasa dikontrol oleh jam. Sedangkan kami berdua membutuhkan tamu.
“Sebentar lagi kita akan merayakan ulang tahun perkawinan kita yang kedua puluh lima, ya Sam?” ujar istriku suatu sore. Sore itu, aku dan Ina sedang duduk-duduk berdua sembari minum teh dan makan jeruk. “Hari itu ulang tahun perkawinan perak kita.”
“Kamu tentu ingat tanggalnya, Ina,” kataku.
“Betul, Sam. Kita menikah pada 10 November dua puluh lima tahun yang lalu.”
“Kalau begitu tinggal 4 hari lagi.”
“Ingat enggak, siapa yang datang pada pesta kita itu?”
“Mantan pacarmu,” kataku.
“Juga mantan pacarmu,” katanya.
Kami ketawa bersama. Kami suka mengulangi lelucon yang sama itu setiap ada bekas teman sekelas hadir. Tentu lelucon ini menambah semarak suami-istri. Orang yang kurang rasa humor mungkin heran. Mereka harus diberitahu, bahwa mantan pacar istriku adalah aku, dan mantan pacarku adalah istriku Ina.
Kuingat sekali, hanya untuk perkawinan perak itu saja kami berdua sangat sibuk.
Kami telah pergi ke Pasar Glodok untuk mencari sebuah barang yang bisa dipajang di rumah dan punya kesan abadi. Setelah dua tiga toko kami masuki, tak ada satu pun benda yang berkenan di hati kami berdua. Ketika kami lewati beberapa toko, secara mendadak dan serentak langkah kami berhenti. Terdengar satu nada indah mirip lagu yang menyentuh perasaan kami. Aku dan istriku saling menatap.
“Kita menemukan pilihan jam antik,” ujar istriku.
“Ini benar-benar abadi,” kataku.
“Tanyakan harganya, Sam,” kata istriku. Makin larut perkawinan kami, makin sering aku disuruh istriku dengan nada setengah memerintah. Apa suami-suami yang lain di dunia ini juga seperti itu, aku tak tahu dan tak perlu tahu.
Istriku melotot setelah aku sebutkan harga yang diberitahukan pemilik toko jam itu.
“Merknya Junghun,” ujar sang pemilik toko. "Merk ini nomor satu. Di toko saya cuma tinggal satu ini.”
“Ya kurangilah separohnya,” ujar istriku.
Kebiasaan istriku adalah sama dengan kebiasaan banyak perempuan di jagat ini: menawar terlalu rendah dan berlama-lama untuk jenis satu barang. Kadang sudah pergi kembali lagi ke toko sebagaimana terjadi pada hari itu.
“Coba Nyonya cari di seluruh Glodok ini. Cuma saya yang jual merk Junghun ini, dan ini juga satu-satunya.”
Istriku telah dikunci tanpa alternatif. Lalu, ketika uang dihitung, kurang sedikit. Sebagaimana biasa, aku menggenapi kekurangan itu. Ketika setiba di rumah, istriku bilang, “Sebenarnya aku menguji apakah kau masih kikir. Maka kutinggalkan beberapa lembar di tasku agar kamu ikut membayar juga, Sam.”
Memang begitu. Dari masa berpacaran dulu, kami menganut aliran navy-navy. Kami meniru para pelaut yang suka bayar masing-masing bila makan di restoran. Kebiasaan ini bukan selalu buruk. Kami justru menciptakan humor baru ketika harus ber-navy-navy.
Jam Junghun telah kami taruh di ruang tengah. Dia selama tiga hari kami tunggu berbunyi. Saat itu adalah pukul 00.00 pada hari 10 November.
Ketika loncengnya berbunyi menyanyikan irama indah itu, aku meremas jari tangan istriku. Ketika loncengnya berbunyi 1 kali, remasanku lebih kuat lagi. Dan ketika gema 12 kali masih mendengung, aku dan istriku berpelukan.
Lonceng jam itu memberikan zat rohaniah pada diri kami. Kebetulan kami berdua menyukai musik klasik. Tapi irama lagu lonceng jam ini melebihi seluruh musik klasik kesukaan kami.
Bertahun-tahun kami menikmati duduk berdua menunggu lonceng jam itu bernyanyi setiap seperempat jam. Ketika pada seperempat jam, dia menyanyikan satu bait saja. Ketika setengah jam, dia menyanyikan dua bait. Ketika tiba tiga perempat jam, tiga bait, dan pada waktu satu jam, empat bait komplit.
“Kita tak pernah merasa tua oleh lonceng jam ini ya, Sam?” kata istriku.
“Ya. Padahal jam ini sudah 15 tahun di rumah kita,” kataku.
“Mungkin kamu betah di rumah karena lonceng ini,” kata istriku lagi.
“Tapi aku betah di rumah bukan karena lonceng jam ini. Aku betah di rumah karena sudah memasuki pensiun, dan terutama karena adanya kamu.”
“Sudah gaek masih gombal,” kata istriku.
Pernah juga istriku bertanya, “Kenapa kamu tidak kawin lagi saja, Sam?”
Makin tua dia masih pencemburu seperti dulu. Tetapi pertanyaan itu agak aneh di telingaku.
“Aku tahu, ketika aku harus berhenti sewaktu kita menikah sudah pasti ada seorang gadis yang senang,” katanya.
”Si Aimah,“ sambungnya.
Peraturan kantor memang, jika ada dua orang menikah di satu ruang kerja, yang perempuan harus diberhentikan dengan hormat. Jadi Ina cuma berdinas 1 tahun kerja saja.
Orang yang sama sekelas di SMA, sama pula di perguruan tinggi, dan sama pula selesainya, akan sama nasibnya jika melamar di kantor yang sama di bidang yang sama pula: jika menikah, yang perempuan harus mengalah menjadi penunggu rumah.
“Kalau aku bicara soal si Aimah, kamu suka membisu. Padahal dia amat mencintaimu, Sam.”
Aku memilih diam. Akhirnya aku bertengkar juga karena dia lagi-lagi menyebut nama Aimah.
“Kalau kamu kawin sama Aimah, mungkin kamu sudah punya anak dan cucu. Perkawinan kita 40 tahun tanpa anak dan cucu,” ucapnya. Dan inilah yang bikin aku marah dan kami bertengkar.
Ketika pertengkaran itu terjadi, lonceng jam menyanyikan lagu itu. Sebelum empat bait lagu itu bergetar, aku dan Ina sudah berpelukan.
“Kita tak perlu bertengkar lagi. Yang ada di sini adalah aku, kamu dan jam dengan loncengnya itu.”
Tetapi, ajaib sekali. Biasanya kalau jam itu mati, aku bisa memperbaikinya. Yaitu menaikkan kerekan rantai tiga bandulan itu, lalu menyetel jarum panjang dan jarum pendeknya untuk menyesuaikan waktu. Kali ini loncengnya berbunyi tidak cocok lagi dengan waktu. Dia tidak berbunyi 12 kali pada waktu pukul 12.
“Kau bilang dulu kamu menguasai ilmu listrik. Tapi kenapa betulin jam saja sudah salah. Bahkan ngawur. Pukul 12 bunyinya 6 kali.”
“Sudahlah. Jangan jadi nenek sihir lagi, Ina,” kataku.
“Itu logis saja, Sam. Aku kan tidak bilang kamu tolol.”
“Sudah, diam kamu. Kamu makin tua makin cerewet.”
“Kamu makin tua makin tolol.”
“Aku mau keluar.”
“Mau cari Aimah?”
“Bawel kamu.”
Aku mencari ahli jam. Menurut pemilik toko di Glodok itu, ada orang Arab di Tanah Abang, namanya Mahboub Assegaf, ahli pembetulan jam dan piano. Ketika aku tiba di rumah Arab itu, orang di rumah itu mengatakan, bahwa “Ami Assegaf” sudah wafat. Kalau mau beli buah kurma dan kismis, ada dijual di sini.
“Aku tak bertemu dengan orang Arab itu,” kataku pada Ina.
“Oh si Aimah itu turunan Arab ya?”
“Coba tenang, Ina. Kita jual saja jam Junghun ini. Kita beli yang baru,” kataku.
Dia marah. Bahkan mencak-mencak. Dia katakan, "Jam ini penuh kenangan. Bertahun-tahun dia membuat kita berdua menikmati irama loncengnya yang pernah bernyanyi merdu. Jangan, Sam, kita tak boleh merusak kenangan yang diberikannya.”
Aku mengalah. Tapi itu tidak berarti aku tak 'kan bertengkar lagi dengan Ina. Dan aku gigih terus memperbaikinya. Dan istriku terus pula menertawakan kegagalanku walau tanpa perkataan “tolol”.
Dua tahun menjelang ulang tahun perkawinan emas kami, aku terus berusaha agar jam Junghun itu bisa menyanyi lagi, dan bunyinya harus tepat 12 kali pada pukul 00.00 tengah malam 10 November. Dimulai dengan cekcok mulut lagi, aku pergi ke Jatinegara. Seorang tukang arloji kubawa ke rumahku. Istriku senyum mencemoohinya.
“Tenang dulu, Ina. Dia ini ahli jam generasi penerus ayahnya. Bahkan dia mengenal Ami Mahboub Assegaf,” kataku ketika memperkenalkan tukang arloji itu kepada Ina.
Istriku mendehem. Anak muda itu bekerja keras. Keringat membasahi bajunya, sekaligus menyebarkan bau ketiaknya di ruang tengah kami yang nyaman. Akhirnya dia berkata putus asa: “Maaf, jam ini berbunyi 36 kali."
“Cukup, Nak. Memang dia gila,” kata istriku.
Yang mulai menjadi korban jam Junghun adalah Ina. Dia mulai berlangganan dokter spesialis penyakit dalam. Ia menderita tekanan darah tinggi. Suatu malam dia menjerit karena satu mimpi buruk. Katanya, jam gila itu berbunyi 120 kali.
“Sabar, Ina. Kita jangan panik. Manusia tidak boleh ditaklukkan oleh benda yang bermerk Junghun. Aku akan coba perbaiki sendiri. Manusia harus mengalahkan benda mati ini,” kataku yakin.
Istriku menyebut lagi perkataan “tolol” itu. Ini menambah semangatku, sampai aku berhasil! Aku merayakan pesta emas 50 tahun perkawinan kami. Tengah malam pukul 00.00 jam itu bernyanyi empat bait komplit, lalu mendentingkan loncengnya 12 kali. Sayang, saat itu istriku tidak mendengarnya, dan tak 'kan pernah mendengarnya.
Ya, kurayakan pesta emas perkawinan itu seorang diri, diiringi kemerduan lonceng jam Junghun yang amat sangat indah.***
(Dimuat dalam Horison, September 1999)
Lelaki Tua dari Noumea
Oleh: Waluya DS
Seperti biasanya untuk menghilangkan ketegangan urat-urat badannya lelaki tua itu mengambil bubble bath. Sering satu atau dua jam merendam diri sambil mempermainkan buih-buih sabun yang memenuhi bath tub dia bisa merasakan kesendiriannya dan melupakan persoalan-persoalan yang menjerat perasan serta pemikiran. Buih-buih sabun itu semakin bertambah setiap kali dia berkecimpung.
Diamatinya kedua telapak tangannya yang penuh dengan buih-buih sabun yang memantulkan warna-warni pelangi. Sesekali ditiupnya buih-buih itu dan beberapa gelembung melayang berputar-putar. Dan setiap kali gelembung-gelembung sabun itu pecah dia merasakan satu kekecewaan seperti tergugah dari impian yang mempesonakan. Persis seperti masa kanak-kanaknya di halaman belakang rumahnya di Noumea, dengan pipa dari semacam rumput kering dia menghembus air embun dan belasan gelembung beterbangan dipermainkan angin. Suatu kali, satu gelembung tetap bergantung di ujung pipa rumput kering itu tak mau pergi. Dengan hati-hati dihembusnya gelembung itu yang semakin membesar. Warna-warni pelangi terpantul dengan indahnya. Juga nampak bayangan dirinya yang lucu. Dia pikir bila gelembung ini terbang nanti bersama potret dirinya itu, dia pasti akan bisa melihat rumah-rumah, pepohonan serta sungai-sungai dari angkasa. Tapi dia belum mau melepaskan gelembung itu karena dia takut potret dirinya itu nanti akan merasa sendiri dan sepi di angkasa. Diamatinya dengan lebih teliti gelembung itu, mungkin ada awan atau saudaranya yang lain di dalam gelembung itu. Dengan hati-hati ditusuknya gelembung itu dengan ujung jarinya. Dan dia begitu tertegun, permainan dan impiannya justru mengukuhkan rasa sepi dan sendiri.
“Di negeri leluhur kita, Nak, kau tak akan pernah merasa sepi atau sendiri.” Begitu tutur ibunya suatu hari waktu dia merengek karena tak ada kawan bermain dan beberapa saudara tuanya tak ada di rumah, sedang kedua orang tuanya selalu sibuk dengan usaha dagang mereka.
“Ceritakanlah negeri leluhur itu padaku, Ibu?”
Bila ada waktu ibunya dengan tak bosan-bosan bercerita dongeng-dongeng Panji, Ken Arok, Damarwulan, Joko Tingkir, Aryo Jipang, Ki Pemanahan, Sutawijoyo, bahkan juga bagaimana keramatnya Kreto Kencono Kanjeng Susuhunan. Dongeng-dongeng itu begitu indah dan memukau. Dan dia tak bisa mengerti kenapa orang tuanya meninggalkan Negeri Leluhur yang begitu mempesona. Setiap pertanyaan yang dilontarkannya selalu lewat tanpa terjawab.
Hanya secara kebetulan suatu hari salah seorang saudaranya begitu jengkel dengan pertanyaan yang selalu berulang-ulang memberikan jawaban yang cukup memuaskan.
“Rupanya dongeng-dongeng ibu telah begitu meracunimu, Rio.”
“Namaku Aryo dan bukan Rio,” protesnya. Dia lebih senang dipanggil dengan nama sebenarnya yang lebih punya bobot karena nama Aryo mencerminkan darah bangsawan yang mengalir di tubuhnya.
“Nah, apa kataku, Rio. Kebanggaan yang baru kau tunjukkan itu tak ada artinya sekali di sini. Jangan kau biarkan angan-anganmu menggelembung dan menelan dirimu sendiri nanti.”
“Tapi namaku bukan Rio,” potongnya.
“Kau mau tahu jawabanku atau mau protes melulu?”
Dia hanya mengangguk karena jawaban saudaranya terasa lebih penting daripada mempertengkarkan namanya.
“Bagus. Kau sudah menunjukkan satu kemajuan ke arah pemikiran yang praktis dan realistis. Lupakanlah dongeng-dongeng dan Negeri Leluhur itu. Lebih baik kau coba membina hidupmu di sini; itu lebih penting.”
“Tapi itu hidupku sendiri.”
“Aku hanya ingin supaya kau tak kecewa nanti. Setiap adat dan kebudayaan punya kelebihan dan kekurangan yang tak bisa dicomot di sana-sini. Kau hanya harus terima utuh.”
“Maksudmu?”
“Dengan bapak kita di Negeri Leluhur dahulu, dia merasa terpenjara oleh adat dan kebudayaan yang lebih merupakan beban daripada usaha manusia untuk memuliakan hidupnya. Sebagai putra seorang pangeran yang dilahirkan oleh salah seorang selir, bapak merasa tidak punya tempat dan hak.
Pertemuannya dengan Tuan van Stifhout, pendeta Belanda yang akhirnya membaptisnya sebagai orang Kristen telah membukakan lembaran baru dalam hidupnya. Dengan salah seorang anggota jemaah gereja yang lain Babah Loo Cin Yong, bapak melakukan usaha dagang bersama yang cukup berhasil. Sebagai keluarga bangsawan jadi Kristen dan punya usaha dagang dengan orang Cina terlalu memalukan keluarga. Banyak usaha dilakukan untuk mendepak bapak. Salah satu di antaranya, waktu itu kau masih dalam kandungan, ada huru-hara yang dilakukan oleh kalangan tentara penjajah Belanda yang didalangi Tuan Sneevliet. Didesas-desuskan bahwa bapak ikut terlibat hanya karena pernah terlihat berbicara dengan Tuan Semaun yang merupakan kader Tuan Sneevliet. Dan juga diberitakan bahwa usaha dagang bapak sebenarnya hanyalah usaha terselubung untuk memudahkan gerakan kader-kader Komunis. Tentu hasil usaha dagang itu juga dipakai untuk membiayai kegiatan mereka. Orang selalu dengan gampang mencelupkan tangan untuk ikut mengeruhkan suasana, bukan? Untuk menghindarkan hal-hal yang tidak di inginkan, karena cintanya pada kita semua, bapak membawa kita untuk memulai hidup baru di Noumea.
Pernah kudengar bapak sedang bicara pada ibu bahwa bapak tidak menyesal sama sekali meninggalkan Jawa. Bahkan dia merasa beruntung mengambil keputusan sebelum tuduhan atas dirinya menjadi-jadi. Beberapa tahun setelah kita menetap di Noumea, bapak dengar khabar bahwa orang- orang Komunis atau yang dicurigai sebagai Komunis dibuang ke Digul oleh pemerintah penjajahan.”
Jawaban saudaranya itu justru menimbulkan beberapa pertanyaan baru. Kenapa harus merisaukan martabat keluarga yang sebetulnya tidak dengan tulus menerima bapaknya sebagai bagian dari keluarga itu? Bukankah tanggung jawab bapaknya sebenarnya hanya pada keluarga mereka sendiri? Seharusnya bapaknya lebih baik tetap di Jawa untuk membuktikan bahwa dia tak ada hubungan sama sekali dengan kaum Komunis. Dengan melarikan diri bukankah ini justru memperkuat tuduhan yang sebenarnya, bukan?
Semua perayaan itu selalu menggodanya, namun dia hanya diam saja karena sudah berjanji tak akan bertanya-tanya lagi. Memang tidak gampang memisahkan benang yang kusut. Lebih baik memulai satu kehidupan yang baru seperti nasehat saudaranya. Tapi tak bisa di sini, di Noumea yang semasa bukan tempatnya. Dia betul-betul merasa tersisih mencari tempat berpijak meskipun saat ini hanyalah dalam dongeng-dongeng dan kerinduan pada Ratu Adil. Mungkin dongeng-dongeng dan riwayat bapaknya sebetulnya tak pernah ada. Bagaimana kalau semua itu hanya tutur kata untuk menghiburnya saja? Tapi setiap kali melihat sekelilingnya, orang-orang Perancis, orang-orang Kanak, dan dirinya begitu berbeda. Hanyalah orang Kanak orang pribumi. Orang Perancis datang dari Eropa dan dirinya pasti punya tanah asal.
Betapa gembiranya ia ketika suatu hari sebuah kapal berlabuh dengan kelasi-kelasi yang bisa berbicara bahasa Jawa yang sedikit-sedikit dia bisa mengerti. Kapal itu bernama Dewa Ruci, sebuah nama yang pernah didengar dari dongeng ibunya. Dan para kelasi itu bilang kapal ini akan jadi kapal pelatih bagi pelaut-pelaut Indonesia. Dia merasa tidak begitu akrab dengan nama Indonesia. Para kelasi itu menjelaskan bahwa daerah ini hampir meliputi sebagian besar daerah Sumpah Palapa Gajah Mada. Dan pulau Jawa hanyalah sebagian kecil dari Indonesia. Dia merasa bangga ketika tahu bahwa tak ada pemerintah penjajahan lagi. Semua urusan ketatanegaraan sudah diatur oleh orang pribumi sendiri. Sedang Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi daerah istimewa di bawah kekuasaan Sri Sultan Hamengku Buwono.
Dia merasa begitu bahagia bahwa ternyata dongeng ibunya bukan hanya omong kosong belaka. Tapi ternyata punya pijaksana yang nyata bahwa keturunan Parikesit masih punya kekuasaan di pulau Jawa. Apalagi ketika dia tahu bahwa Sri Sultan menjabat wakil presiden. Tiba-tiba dia merasa punya tugas yang harus diemban untuk mengembalikan kekuasaan mutlak Sri Sultan.
“Kau sudah gila, Rio! Lupakanlah angan-anganmu itu. Kita semua punya hidup yang harus diurus di sini. Kau kira orang-orang Jawa di sana tak mampu mengatasi tantangan hidup mereka dan memerlukan uluran tanganmu?” damprat saudaranya ketika dia merasa sebagai titisan Nabi Musa yang harus membawa orang-orang Jawa di Kaledonia kembali ke tanah leluhur.
“Tapi bukankah itu justru kelebihan kita?” belanya. “Lihatlah orang-orang Perancis ke mana mereka berkiblat. Daerah ini bukanlah daerah Pasifik, tapi daerah Perancis Selatan. Kehidupan dan tata cara mereka tak ada yang berubah bukan? Lalu bagaimana dengan pendatang-pendatang Vietnam? Mereka mengirimkan uang dan senjata untuk melanjutkan perjuangan melawan kekuatan Komunis. Kalau kita tak mau tahu-menahu soal asal-usul kita dan hanya memikirkan hidup kita di sini saja, kita tak akan jauh berbeda dengan orang Kanak. Mereka menjadi golongan minoritas dan kehilangan hak di tempat mereka sendiri. Kau tahu satu-satunya kesalahan mereka justru karena mereka tidak berasal dari mana-mana.”
“Bicaramu sudah begitu ngawur. Mungkin kami harus mengundang dokter jiwa untuk memeriksamu.
Dengarkan kami baik-baik, Rio. Akhir-akhir ini kami semua merasa begitu khawatir tentang kegilaanmu yang semakin parah. Kami sadar menghadapi beban mental merawat Jatmiko yang mati tidak hidup pun tidak, begitu berat. Apalagi masih harus menga-suh cucumu Dewi bukan soal yang gampang.
Sadarlah, Rio, dan jangan kau biarkan kegilaanmu itu berlarut-larut. Cobalah turun tangan bersama kami mengembangkan keluarga. Dengan melakukan hal-hal yang positif akan mengembangkan self esteemmu.”
Dia merasa usahanya membujuk sanak saudaranya sia-sia belaka. Tak ada seorang pun selain istrinya yang setia mencoba memahami jalan pikirannya.
Memang langkah pertama mewujudkan impiannya itu semakin kabur setelah Jatmiko, anak satu-satunya mendapatkm kecelakaan ketika menyelam di laut. Dia ditemukan dalam keadaan lumpuh. Kata dokter otaknya sudah rusak karena kekurangan zat asam. Jatmiko memang masih hidup. Tapi yang ada tinggallah tubuhnya yang harus ditunggu kerelaannya melepaskan dunia yang fana.
Rasa kehilangan Jatmiko bisa segera terobati karena sepenuhnya perhatiannya tertumpah pada Dewi yang kehilangan ibunya waktu dilahirkan. Tumbuh harapannya suatu hari nanti Dewi akan bertemu dengan salah seorang pangeran dari Jawa dan mereka akan menurunkan Ratu Adil yang senantiasa dinantikan itu. Dewi memang tumbuh menjadi wanita yang anggun semampai dengan tingkah yang lembut mempesona di samping otaknya yang cukup cemerlang.
Untuk menjembati pertemuan Dewi dengan pangeran dari Jawa itu Dewi dikirimkannya ke Melbaourne untuk menggali ilmu di Universitas Monash. Dari seorang kawan dia mendengar bahwa di Monash ada seorang Profesor Yahudi yang ahli dalam bidang politik di Indonesia dan juga seorang Profesor Belanda yang ahli dalam masalah Mataram. Namun setelah beberapa tahun di Melbourne, lewat surat-suratnya Dewi tidak pernah menyebutkan pengetahuan barunya soal Jawa. Dia begitu tertegun membaca surat terakhir Dewi padanya:
Jangan marah, Kakek, dari Profesor-profesor itu aku tak belajar apa-apa sama sekali. Mata inti dari kuliah-kuliah mereka bisa dengan gampang kudapatkan dari buku-buku. Soalnya setiap orang bisa punya pendapat. Dan pendapat tanpa diberi ujud nyata dalam perbuatan bagiku tak ada nilainya sama sekali. Aku lebih menemukan arti serta diriku sendiri dengan belajar melukis di Victorian College of The Arts.
Sekali lagi gelembung-gelembung impiannya retak. Tapi dia masih belum merasa bahwa impian itu sudah di luar jangkauannya. Dia merasa perlu pergi ke Melbourne untuk memberi beberapa petunjuk pada Dewi.
“Jangan tergesa-gesa marah, Rio. Bukan salah Dewi kalau dia tidak mengerti rencanamu. Dewi bukan sebangsa serdadu yang hanya menjalankan perintah tanpa berpikir atau mengajukan pertanyaan.” bujuk dan peringatan istrinya yang hampir selama perkawinan mereka hanya selalu mengiyakan kehendaknya dan hampir tidak pernah menyatakan pendapat sendiri.
Dia harus merasa tetap tawakal dan sabar. Banyak garis bengkok yang masih bisa diluruskan pikirnya. Tanpa memberi khabar pada Dewi, dia dan istrinya menuju ke Australia. Setelah mendarat di lapangan terbang Tullamarine mereka langsung menuju Hotel Windsor di bilangan kota. Melbourne terasa begitu teratur dan rapi. Sedang kesan pertamanya seperti begitu formal dan konservatif. Dia begitu senang bahwa Hotel Windsor adalah hotel yang mapan punya sentuhan kolonial. Tidak seperti hotel-hotel modern yang baru yang begitu trendi.
Setelah makan siang mereka menelpon Dewi yang tidak menyangka sama sekali bahwa kakek dan neneknya ada di Melbourne.
“Kakek dan nenek menginap di hotel apa?”
“Windsor di Spring Street,” jawabnya sambil memberikan nomor kamar mereka.
“Wah, itu hotel yang mewah. Kakek dan Nenek seperti sedang berbulan madu saja,” goda Dewi walaupun dia tahu bahwa kakeknya selalu punya selera yang tinggi. “Untung tidak ke Southern Cross, salah-salah kakek dan nenek bisa dikira turis dari Jepang.”
Sejauh ini dia masih merasa bisa mengontrol keadaan. Dia pikir kalau Dewi memang tertarik pada dunia seni mungkin lebih baik dikirim ke Yogyakarta. Di situ ada perguruan tinggi seni lukis dan sekaligus juga merupakan pusat kegiatan kesenian tradisionil Jawa yang adi luhung. Berada di Yogya pasti akan menghasilkan pengalaman langsung mengenal dan terlihat dalam tata cara adat istiadat Jawa. Dan peluang untuk ketemu dengan Sang Pangeran Jawa itu juga akan lebih besar.
“What a lovely surprise,” Dewi dengan wajah yang berseri-seri muncul di depan kamar ketika dia membuka pintu, langsung memberikan ciuman di kedua belah pipinya. “I have a surprise for both of you too. Tapi kenalkan dulu, John. Ini Rio dan Handayani, kakek dan nenekku.”
Ya Allah ya Rabbi. Tak ada angin, tak ada mendung dan hujan tapi geledek segera menyambar. Sejak kapan Dewi berbahasa Inggris pada mereka. Mungkin karena ada John; tapi paling tidak pada mulanya Dewi seharusnya menyapa dalam bahasa Jawa. Tapi masalah berikutnya yang disampaikan oleh Dewi secara kalem itu menyambar seperti ledakan bom atom Perancis di Atol. Dewi sedang menantikan kelahiran anak pertamanya!
Merasa dirinya sebagai priyayi Jawa dia tak bisa menunjukkan perasaannya yang sebenarnya. Sedapat mungkin diusahakan menunjukkan sikap kebijaksanaan calon seorang eyang buyut. John ternyata memang calon sang ayah yang tinggal bersama Dewi selama dua tahun belakangan ini. Tapi mereka tidak pernah menyebutkam rencana kawin sama sekali. Sebelum mereka pergi, karena John harus memberi kuliah dalam waktu setengah jam lagi, ternyata dia masih bisa menahan diri dengan mengajak mereka makan bersama malam nanti.
“Ya, Dewi akan telpon dulu nanti waktu pulang dari periksa di ahli kandungan,” ucap Dewi sebelum pergi.
Dia tidak bisa mengerti sama sekali bahwa Dewi bicara hamil di luar perkawinan tanpa rasa rikuh atau malu, bahkan seperti bangga sekali. Dihempaskannya badannya ke kasur dan langit-langit kamar seolah berputar. Dari bathroom terdengar bunyi kran dibuka. Gemericik air mengingatkannya pada kolam hias di halaman depan rumahnya.
“Lebih baik kau mandi dulu, Rio. Air sudah kusiapkan semua,” kata istrinya sambil menghampirinya. “Kita bisa bicara dengan tenang nanti.”
Dia lepaskan semua pakaiannya dan dibiarkannya terpuruk di karpet. Sebentar lagi istrinya pasti akan membenahi. Dengan telanjang dia berjalan menyeberang kamar menuju ke bathroom. Sebelum masuk ke bath tub dilihatnya bayangan tubuhnya di kaca, masih nampak cukup tampan untuk seumurnya. Dia membaringkan dirinya di bath tub dengan hanya kepalanya yang menyembul keluar. Dalam hati dipujinya istrinya yang selalu dengan baik menyiapkan air untuknya, tidak terlalu panas dan campuran bubble bath cukup creamy dan kaya akan buih.
“Mandi yang bersih, Rio, kau banyak sekali kokot bolot seperti kuli yang tidak pernah mandi.” Dia ingat ibunya selalu menegurnya bila ia terlalu lama bermain-main saja di bath tub. Sekarang tidak pernah ada seorang pun yang mengganggunya. Biasanya bila sudah terlalu lama istrinya pasti masuk ke bathroom dengan membawa handuk yang bersih atau piyama.
“Rio, kau mau piyama atau ganti pakaian untuk nanti malam sekaligus?” tanya istrinya membangunkannya dari segala kenangan.
“Beri aku pakaian yang bersih, aku kepingin jalan-jalan sebentar di Bourke Street.”
Istrinya hanya mengangguk dan cepat-cepat keluar karena mendengar bunyi telpon berdering. Dia tersenyum sendiri, ingin dia menyebut istrinya Sembadra karena begitu bakti dan setia seperti istri Arjuna. Dikeringkannya tubuhnya dengan handuk lalu ditaburinya dengan talek yang lembut baunya.
“Dewi yang baru saja telpon,” kata istrinya sambil memberinya sepasang pakaian yang bersih. “Dia bilang kalau kita mau makan yang agak kerakyatan kita bisa ke Victoria Street, ke restauran Vietnam. Tapi kalau kita kepingin makanan Barat dengan suasana yang tidak terlalu formal, lebih-lebih kalau kau mau mencoba sausages atau sate buaya sebagai entree, kita bisa ke Grill Room di basement, pintu masuknya dari Little Collins. Lalu kita bisa dapat supper di Graund Floor untuk ngobrol sambil mendengarkan permainan piano.” Dia tidak begitu mengacuhkan kata-kata istrinya dan sibuk mengenakan pakaiannya yang bersih.
“Rio kau dengarkan aku atau tidak?”
Lama tak ada jawaban. Sesaat kemudian dia berbalik menghadapi istrinya.
“Ya. Dan aku begitu heran bahwa kau hanya tenang-tenang seolah-olah tak punya pendapat sendiri.”
“Pendapat dalam hal apa?” tanya istrinya.
“Kau tahu kenapa kita kemari!? Untuk apa kita ke Melbourne?”
“Kau jangan membentakku seperti itu, Rio.”
Dia begitu tersentak ketika untuk pertama kalinya istrinya berani menegurnya.
“Dewi! Dia, dia....”
“O, itu. Kuharap kita bisa berbicara secara lebih beradab,” potong istrinya. Dia begitu geram mendengar kata-kata istrinya yang datar tapi cukup tajam.
“Sejak kapan kau ikut memusuhiku?”
“Kau mau mendengarkan pendapatku atau hanya mau memancing pertengkaran saja?”
Dia hanya melotot tak bisa percaya bahwa wanita yang sedang bicara di depannya adalah istrinya yang sudah bertahun-tahun hidup bersamanya.
“Kalau soal impian gilamu mengenai Negeri Leluhur itu terus terang saja aku tak punya. Meskipun keturunan orang Jawa aku hanyalah wong cilik keturunan kuli kontrak. Aku tak mau bicara, aku tak punya pendapat karena aku tidak tahu sama sekali soal Negeri Leluhur itu. Tapi soal Dewi, ya dia hamil, Rio. Anak yang dia kandung itu adalah buyut kita sendiri.
Kau boleh punya ukuran moral yang tinggi untuk hidupmu sendiri, Rio. Tapi kau tak boleh memaksakan ukuran itu untuk hidup orang lain.”
Dia menarik napas panjang dan melangkah menuju ke jendela sambil setengah berkata pada dirinya sendiri, “Kesalahanku kenapa aku tidak pernah berusaha mencari saudara-saudara bapakku di Jawa. Kalau aku tahu mereka, dulu Dewi pasti kukirim ke sana.”
“Kau tahu, Rio, kesalahanmu justru kenapa kau selalu bicara apa maumu saja dan tidak pernah memikirkan keinginan dan pikiran orang lain.”
Hening dan mereka berdua saling bertatapan.
“Aku mau pesan minuman, kau mau juga?” tanya istrinya.
Dia tidak menjawab dan istrinya pergi menelpon room service memesan sebotol anggur kesenangannya dan minta diberi dua gelas.
“Jangan kau anggap aku melawanmu, Rio. Aku bicara dengan jujur seperti ini karena aku mencintaimu. Aku tidak peduli apakah kau mencintaiku atau tidak. Apakah kau anggap aku ini babu atau istrimu itu tidak soal bagiku. Cinta yang tulus adalah cinta yang tanpa pamrih. Ia adalah pengorbanan itu sendiri.”
Tiba-tiba dia tidak tahan melihat air mata meleleh di pipi istrinya. Namun ia mencoba menutupi keharuannya. Dibukanya pintu ketika pelayan datang membawa pesanan istrinya. Ditandatanganinya nota bon supaya bill itu dimasukkan dalam rekeningnya nanti. Pelayan itu tersenyum lebar menerima tip yang lumayan.
“Shall I open the bottle now, Sir?”
Dia hanya mengangguk dan pelayan itu membuka botol serta menuangkan anggur ke kedua gelas untuk dia dan istrinya. Dia reguk anggur itu setelah si pelayan pergi.
“Rio, apa yang kita cari dalam hidup ini selain kebahagiaan? Bagiku yang lain-lain tidak soal selama Dewi merasa bahagia untuk dirinya sendiri.”
Dia hanya mengangguk dan pelan-pelan terasa pundaknya yang berat menjadi ringan. Istrinya memandangnya dengan pandangan tidak percaya.***
(Dimuat dalam Horison, Maret 1990)
Tempat yang Terindah untuk Mati
Oleh: Seno Gumira Ajidarma
Kami, 10.000 pasukan berkuda, akhirnya keluar dari hutan itu. Di hadapan kami kini terbentang padang stepa yang begitu luas bagaikan tiada bertepi. Setelah hampir berminggu-minggu hanya merayapi jalan setapak di antara pohon-pohon dan semak belukar, padang yang terbuka itu bagaikan pelepasan yang lebih dari memadai untuk melampiaskan kerinduan kami akan kebebasan, lepas dari kungkungan jurang dan tebing yang serba menjulang dan mencekam.
“Pacu!”
Orang-orang yang berada paling depan sebenamya tidak usah menunggu diperintah untuk memacu kudanya, bahkan kuda-kuda itu sendiri bagaikan tidak lagi menunggu perintah untuk segera memacu diri mereka, melesat secepat-cepatnya bagaikan berpacu dengan angin dingin yang bertiup begitu kencang menggigilkan tulang.
“Pacu! Pacu! Pacu!”
Kami semua berpacu sepanjang padang stepa yang terbuka sambil berteriak-teriak menuntaskan kegembiraan kami. Kuda-kuda kami berpacu dengan riang, dengan tenaga baru yang seolah-olah begitu saja datang dari langit. Kuda-kuda kami menggebu, melesat dan menggebu, seperti mengerti betapa jiwa kami telah lama begitu tertekan dalam perjalanan berat menempuh hutan yang rapat, gelap, dan penuh dengan rintangan. Kami menggebu begitu laju, seolah-olah bahkan jiwa kami kalau bisa lepas dari belenggu badan, mendesing menuju kebebasan. Namun sekarang, cuma inilah yang bisa kami lakukan, berpacu melawan angin, dan berteriak-teriak meluapkan kegembiraan kami.
“Huuuu! Huuuuu! Huuuu!”
Satu per satu penunggang kuda yang keluar dari hutan segera melaju. Kami, 10.000 pasukan berkuda, berderap melaju menuju cakrawala. Padang stepa diselimuti salju yang tipis, dingin angin bagaikan mengiris wajah-wajah kami yang sebetulnya toh cuma tampak matanya saja. Seluruh tubuh kami terbungkus jubah bulu binatang yang tebal dan berat. Kami juga mengenakan topi dan sepatu dari kulit binatang berbulu tebal. Semuanya terbungkus, begitu juga tangan kami yang memegang kendali. Para pembawa panji, bendera, dan umbul-umbul kini membuka jalan ke depan. Bendera raksasa yang berkibar dan menyibak angin itu terlihat menggetarkan. Kuda-kuda kami saling berpacu dengan perkasa, bumi bergetar oleh derap pasukan yang melaju dan menggebu.
Kaki-kaki kuda kami bagaikan tak mengenal lelah, berpacu dan berpacu, surai kuda-kuda kami yang tebal melambai-lambai dengan megah dan seluruh gerak tubuh mereka bagaikan menari dengan indah. Langit hanya biru. Cahaya matahari menyiram padang. Setiap orang memacu kudanya ke cakrawala yang melingkar 360 derajat. Hutan di belakang kami kini bagaikan titik-titik hitam, dan segera lenyap di balik kaki langit. Kami bagaikan berpacu di atas permadani tanpa tepi. Selama berjam-jam kami akan berpacu dan kami akan tahu bahwa pemandangan ini tidak akan pernah berubah. Di telinga kami angin bersiut dan menderu. Kami terus-menerus berderap sepanjang padang. Kami bersedia membayar segalanya untuk perasaan merdeka yang kami dapatkan. Jangankan berpacu yang begitu menggembirakan, bahkan perjalanan berminggu-minggu di dalam hutan yang melelahkan pun kami lakukan asalkan kami bisa mencapai tempat tujuan. Kami tahu, perjalanan kami masih jauh lagi, kini kami mengambil peluang untuk meraih kegembiraan.
Kuda-kuda kami terus berpacu dengan laju. Kuda-kuda memang lebih dari sekadar bagian hidup kami. Tanpa kuda, apalah artinya kami? Kuda-kuda kami selalu mengerti apa yang kami inginkan, dan mereka selalu memenuhi segala kehendak kami dengan memuaskan. Kami tidak mengerti apa jadinya hidup kami tanpa kuda. Kami selalu bepergian, selalu berpindah, selalu bertualang. Kami selalu berpindah sesuai dengan pergantian musim, perjalanan angin, dan peredaran bintang. Semua ini tak bisa lancar tanpa kuda sepanjang pengembaraan. Kini kami semua sudah siap menempuh perjalanan yang terakhir, dan kuda-kuda kami tetap setia mengikuti sampai akhir tujuan. Kuda-kuda kami masih terus berderap, bagai berpacu dengan angin. Telinga kami semua penuh dengan desau, yang kadang-kadang terdengar seperti sebuah percakapan, namun yang maknanya seperti selalu menghindari kepastian.
Sampai di manakah suatu perjalanan berakhir? Apakah mungkin suatu perjalanan berakhir? Apakah mesti suatu perjalanan berakhir? Sudah bertahun-tahun kami mengembara dan kami tidak pernah merasa yakin kapan suatu perjalanan bisa berakhir. Kami mengembara dan menjelajah segenap permukaan bumi untuk mencari suatu akhir, namun sampai sekarang tiada satu alasan pun bisa menghentikan kami. Kami menyeberangi sungai, kami mendaki celah-celah gunung, kami mengarungi gurun pasir, dan kini kami berpacu di tengah padang tanpa tepi, tapi kami tidak juga ingin berhenti. Kami bisa berhenti dan menetap di suatu tempat untuk satu, dua, bahkan bisa lima tahun, namun kami selalu berangkat kembali. Rumah kami sekarang adalah perjalanan itu sendiri.
Padang stepa yang terbuka masih tidak memperlihatkan apa-apa kecuali hamparan rumput kering yang kelabu dengan polesan salju. Begitu luasnya padang gurun ini sehingga kami merasa berjalan di tempat. Apakah yang terjadi di tempat-tempat lain ketika kami berpacu? Panah seorang pemburu sedang melesat ke jantung seekor rusa ketika kami berpacu. Burung-burung kondor beterbangan melingkar di langit mengincar pengembara yang sekarat kehausan ketika kami berpacu. Seekor ikan salmon menangkap umpan dan tersendal pancing ke udara ketika kami berpacu. Benarkah seekor gajah menegakkan belalainya dan melengkingkan bunyi terompetnya nun entah di mana ketika kami berpacu? Seseorang mendayung perahu menuju matahari terbenam ketika kami berpacu.
Kami berpacu, berpacu, dan berpacu.
“Huuuuu! Huuuuuu! Huuuuuuu!”
Kami berderap dan berpacu memburu matahari yang terbenam ke balik cakrawala. Langit yang tadi bagai tempurung raksasa membiru kini semburat merah terbakar. Matahari terasa betapa berat, menancap kemerahan bagai kuil yang menanti penziarah dari segenap penjuru bumi. Kami berderap dan berpacu menuju matahari itu. Langit masih membara. Kami, 10.000 pasukan berkuda, menjadi bayang-bayang kehitaman yang melesat ke suatu arah. Kalau matahari itu menghilang di balik cakrawala, kami harus memburunya ke balik cakrawala.
***
Tempat itu dinamakan Lembah Sepuluh Rembulan. Ada sepuluh danau di lembah yang luas membentang itu dan seharusnya ada sepuluh rembulan mengapung di atas sepuluh danau. Namun, ketika kami akhirnya sampai ke lembah itu, musim dingin belum berakhir sehingga sepuluh danau itu masih menjadi dataran salju. Bila bulan yang perak itu muncul di langit malam, cahayanya dipantulkan kembali oleh permukaan danau yang diselimuti salju. Di setiap danau itu setiap 1.000 orang dari kami berkemah. Di Lembah Sepuluh Rembulan inilah kami akan menunggu 100.000 saudara-saudara kami.
Seseorang dari kami tampak meniup seruling di kejauhan itu. Ia meniup seruling sambil duduk di sebuah batu di atas tebing, seolah-olah berhadapan dengan rembulan - bahkan rembulan seperti turun ke bumi hanya untuk mendengarkannya meniup seruling.
Tapi apakah rembulan mengerti arti lagu seruling itu? Seruling itu berkisah tentang riwayat kami yang panjang dengan bahasa kami sendiri. Apakah rembulan bisa memahami, betapa nun di sebuah benua yang jauh bertahun-tahun yang silam suku kami berkemas untuk sebuah perjalanan yang tak kami ketahui kapan akan berakhir? Apakah rembulan mengerti, betapa berat penderitaan suku kami sepanjang perjalanan mengarungi benua itu, menghadapi segenap rintangan alam maupun suku-suku musuh kami? Apakah rembulan mampu menangkap gelora semangat pengembaraan kami? Tak terhitung lagi berapa orang telah mati dan berapa bayi telah dilahirkan sepanjang perjalanan dari kampung ke kampung, dari lembah ke lembah, dari bukit ke bukit, semenjak begitu banyak tahun yang telah lama berlalu.
Ia meniup seruling di atas tebing. Berkisah tentang kafilah panjang yang menyeberangi gurun, orang-orang yang mengendarai kuda dengan tertunduk, dan anak-anak yang tidur dengan gelisah di dalam gerobak-gerobak penuh barang dan bahan makanan, sementara seorang nenek tua bersenandung dengan suara buruk tentang tanah air yang sudah mereka tinggalkan.
Lembah Sepuluh Rembulan adalah suatu lembah gersang dengan dataran yang sangat luas. Kami membiarkan kuda kami menjilati lelehan salju dan merumput di sana-sini. Kami siapkan kantung-kantung tidur dan selimut kami. Bukit-bukit batu yang menjulang dan membentuk lembah ini melindungi kami dari angin sehingga kami bisa menyalakan api unggun. Di setiap api unggun masih tampak orang-orang membakar sisa-sisa daging perbekalan mereka dan mengunyahnya dengan lahap. Beberapa orang masih minum susu hangat yang beraroma teh, dan mendengarkan seseorang bercerita.
"Maka sang raja pun jatuh cinta kepada wanita dari negeri seberang itu...."
Kami selalu membutuhkan cerita, seruling, dan kuda. Kami memuja rembulan dan matahari. Kami menyembah langit, kami menyembah bumi. Kami mencintai keindahan seperti mencintai kehidupan itu sendiri.
Apakah yang akan kami lakukan selama hari-hari penantian kami? Tidur tanpa tenda adalah suatu siksaan yang berat bagi kami, karena musim dingin yang selalu berangin akan terus-menerus menguji ketabahan hati kami. Barangkali kami akan memanfaatkan waktu untuk berburu, bukan hanya karena daging binatang buruan kami perlukan untuk menimbun perbekalan yang mulai menipis, tapi juga karena kulit berbulunya yang tebal kami butuhkan untuk membuat tenda. Apabila 100.000 saudara-saudara kami tiba, mereka yang sebagian terdiri dari wanita, anak-anak, dan orang tua, akan membutuhkan tenda-tenda itu. Tenda-tenda kami adalah tenda yang besar dan hangat, sudah berabad-abad bentuk tenda kami tidak pernah berubah. Di dalam tenda itu kami bisa memasak sekaligus menghangatkan diri kami.
Ketika kami semua bersiap tidur dan memandang bintang gemintang di langit, peniup seruling itu masih di sana, melanjutkan kerinduannya yang panjang akan kampung halaman kami yang terletak di sebuah dataran tinggi di tepi sungai, dengan latar belakang pegunungan yang menjulang megah. Seruling itu mengingatkan kami kembali kepada kampung halaman leluhur kami yang sungainya tidak pernah membeku, di mana bila senja tiba di tepi sungai akan terdengar derai tawa ceria gadis-gadis yang mandi, sementara di kejauhan terdengar gemerincing anting-anting dari daun telinga yang panjang itu dicuci. Suara-suara itu dibawa angin ke bukit-bukit di mana anak-anak gembala memainkan serulingnya sambil tiduran di atas kerbau -- inikah sebabnya suara seruling itu membuat kami diam? Kami sedih. Kami pasrah. Kadang kami tidak tahu apa yang harus kami perbuat.
Kemudian, ketika suara seruling itu lenyap ke balik malam barangkali kami masih mendengarnya di dalam mimpi-mimpi kami, menjelma gambar-gambar yang berkelebat dari masa lalu kami. Betapa selalu masa lalu berada dalam diri kami, dan kami menyukainya karena memang tidak pernah ingin kehilangan masa lalu kami yang semakin hari serasa semakin indah.
Kami sudah menempuh perjalanan yang panjang dan kini kami ingin tidur. Angin masih terus bertiup dan tak akan pemah berhenti. Kami mengerti betapa angin akan mengembara ke segenap penjuru bumi, bahkan ia menyeberangi samudera mahaluas, menghubungkan kami dengan segenap unsur kehidupan. Betapa segala hal di muka bumi ini saling berkaitan.
Kemudian, tinggal kesunyian di Lembah Sepuluh Rembulan. Kami, 10.000 pasukan berkuda, tertidur dengan pulas, tiada yang mendengkur sama sekali. Di Lembah Sepuluh Rembulan hanya terdengar desau angin. Gemeretak api unggun segera berakhir. Tinggal bara api menyala diam-diam, makin lama makin menghilang. Maka terlihatlah gerak cahaya rembulan yang memantul di dinding-dinding batu. Rupa-rupanya bulan yang turun mendengarkan suara seruling mengangkasa kembali. Bertengger di atas sana. Sesekali tertutup awan.
***
Setahun kemudian seorang pengawal di atas tebing berteriak.
“Hooooiiiii! Mereka sudah datang!”
Kami semua segera melompat ke atas kuda, dan memacunya ke tempat-tempat yang tinggi. Sebagian yang lain malah langsung keluar dari celah lembah, dan terbentanglah di hadapan kami pemandangan yang menggembirakan itu, pemandangan yang kami nantikan. Tak kurang dari 100.000 saudara-saudara kami muncul dengan meyakinkan dari balik kaki langit.
Hari sudah menjelang senja, langit bagai tenda raksasa berwarna ungu. Saudara-saudara kami masih merupakan sosok-sosok hitam yang seolah-olah berjalan di tempat. Dengan perasaan yang sangat tidak sabar dan menggebu-gebu, kami berlari-lari turun dari bukit, langsung melompat ke atas kuda kami. Dengan segera, kami menggebu menyambut 100.000 saudara-saudara kami yang masih merupakan sosok-sosok hitam di kaki langit itu. Ketika saudara-saudara kami melihat kami datang menyambut mereka, sebagian dari mereka yang mengendarai unta dan berkuda segera melesat ke depan ingin segera bertemu dengan kami.
Senja itu langit yang ungu serasa begitu cerah. Tiada yang lebih menggairahkan selain kehendak yang menggebu menjumpai orang-orang tercinta. Mereka semua telah menempuh perjalanan yang panjang di jalan yang telah kami rintis. Tentulah jumlah mereka sudah tidak genap 100.000 orang lagi. Tentu ada yang mati dan lahir sepanjang perjalanan, seperti yang sudah-sudah, kami baru akan mengetahuinya nanti.
Kemudian kami melihat panji, bendera, dan umbul-umbul yang sama. Berkibar dengan megah, bergetar-getar dalam tiupan angin. Semua ini menggetarkan jiwa kami dan kami merasa betapa setiap detik dalam hidup kami sangat mempunyai arti. Kami menggebu dengan perasaan rindu dan penuh dengan cinta. Seperti apakah mereka kini?
“Huuu! Huuuu! Huuuu!”
Kaki-kaki kuda, berderap dan berpacu. Sosok-sosok hitam itu makin lama makin membesar. Mereka yang terdepan akhirnya bertemu muka dengan kami. Masing-masing dari kami kemudian berhenti dan berhadapan. Rombongan yang terdepan itu masih menanti mereka yang terseok di belakang, dengan gerobak, kereta, gajah dan unta. Lebih banyak lagi yang berjalan kaki.
Kami semua turun dari kuda.
“Akbar!"
“Abdul!”
Kami semua berpelukan dengan penuh rindu dan penuh dendam. Kami tahu hari-hari akan menjadi lebih berat, namun kami juga tahu hari-hari kami akan lebih menggembirakan. Suku kami telah bersatu kembali di bawah langit dan bumi yang sama. Wajah-wajah mereka tampak lelah dan kuyu, seluruh pakaian mereka usang dan kelabu, penuh dengan debu, namun betapa dari sinar mata mereka terpancar jiwa pasrah dan ikhlas, siap menempuh perjalanan untuk mati. Kami menyatu kembali dalam gairah kehidupan yang panas. Angin begitu dingin, namun tiada akan ada satu pun halangan kini bagi kami untuk mengungkapkan sukacita kami.
Begitulah kami akan membaca puisi di tepi danau, menari di atas perahu, memetik kecapi di puncak bukit, dan melakukan meditasi bersama dari malam sampai pagi di bawah rembulan dan matahari. Kami menatap saudara-saudara kami yang baru tiba dan merasa sedih meskipun gembira. Betapa mereka begitu tabah, dan kini begitu kurus. Wanita dan anak-anak kami berambut kasar dan merah. Semua orang tampak tak terurus, tapi siapakah yang akan bisa tampak terurus dalam perjalanan panjang, menyeberang dari benua ke benua hanya untuk selalu pergi dan tak akan pernah kembali?
Kami terus-menerus saling berpelukan dengan jerit dan tangis yang makin menjadi-jadi.
“Sarita!”
“Maneka!”
Mengapa kita bisa terus-menerus memikirkan seseorang meskipun kita berjarak begitu jauh dari seseorang itu dan telah berpisah begitu lama sehingga kadang-kadang sebenamya susah mempertahankan ingatan atas seseorang itu dari hari ke hari dalam suatu perjalanan yang terus-menerus berubah warna? Namun, betapa tiada jarak lagi kini bagi kami. Kami semua menemukan masing-masing keluarga, kami berjalan kembali ke Lembah Sepuluh Rembulan sambil menyenandungkan lagu syukur dari hati. Langit memberkati kami. Paduan suara lagu kami dipantulkan kembali oleh dinding-dinding tebing dan semua ini hanya mengingatkan betapa kami sebagai manusia sungguh memiliki nilai yang hakiki.
Kami membagi diri kami berdasarkan pemukiman di sepuluh danau sehingga setiap 10.000 orang dari saudara-saudara kami yang baru tiba akan bergabung dengan setiap 1.000 orang dari pasukan berkuda kami. Kami tahu kami akan menyanyi dan menari malam ini. Kami akan membakar daging rusa dan kami akan memakannya sepuas hati. Kami akan membagi arak dan anggur dan kami akan menuangkannya ke atas daging bakar yang merah berasap membangkitkan lapar.
Kami begitu siap untuk bahagia, tapi kami menahan kegembiraan meluap kami sebagai bekal menahan penderitaan pada masa-masa yang akan datang. Kami tidak bermabuk-mabukan dan lupa daratan, kami menyalurkan kebahagiaan kami dengan suatu cara yang hanya kami bisa melakukannya. Maka begitulah kami segera bekerja begitu tiba di Lembah Sepuluh Rembulan. Kami mendirikan tenda bagi orang-orang yang sakit, kami mengatur pengelompokan sesuai dengan asal-usul setiap keluarga di kampung kami. Saudara-saudara kami yang baru datang itu begitu lelah dan begitu kurus sehingga agaknya kami masih akan bertahan beberapa lama lagi di sini sebelum kelak berkemas dan berangkat kembali.
Kini semuanya sudah berada di Lembah Sepuluh Rembulan. Kami yang telah tinggal di sini selama setahun, bisa melihat bagaimana sepuluh rembulan itu mengapung di atas sepuluh danau selama musim panas yang tetap saja dingin. Saudara-saudara kami yang 100.000 orang itu datang pada musim dingin, jadi mereka hanya melihat sepuluh danau yang membeku. Bahkan ketebalan es di atas danau itu mampu menahan beban gajah yang berjalan di atasnya. Gajah-gajah yang kami bawa berbulu tebal, begitu juga unta dan kuda-kuda kami. Mereka begitu jinak, begitu mengerti, dan begitu penurut sehingga kami sungguh berterima kasih dengan segala pengorbanan mereka dalam perjalanan kami.
Dalam perjalanan itu 53 orang dari kami meninggal, dan kami menguburkannya di tengah jalan, sementara itu 53 bayi dilahirkan sehingga jumlah saudara-saudara kami yang baru datang itu tetap genap berjumlah 100.000 orang. Adapun pasukan berkuda yang merintis jalan masih tetap berjumlah 10.000 orang.
Begitulah selama beberapa bulan yang tenang kami tinggal di Lembah Sepuluh Rembulan. Pada musim semi danau masih membeku, namun rerumputan menjadi lebih hijau. Ketika tiba musim panas, kami semua, 110.000 orang, berkemas dan bersiap melanjutkan perjalanan.
Kami berangkat pada pagi subuh. Bulan masih menggantung di langit. Dari atas tebing kami menoleh untuk terakhir kalinya ke Lembah Sepuluh Rembulan. Kami melihat sepuluh rembulan mengapung di atas sepuluh danau, dan setiap orang yang melihatnya tersenyum dalam hati.
***
Sudah berbulan-bulan kami terus berjalan. Ketika matahari terbenam kami semua beristirahat dan tidur. Sebelum matahari terbit kami sudah berangkat lagi. Kami semua, 110.000 orang, melangkah perlahan-lahan menapaki jalan yang telah dikodratkan bagi kami. Begitulah kami berjalan, berjalan, dan berjalan mengarungi gurun, menempuh ngarai, menembus badai, dan menyeberangi sungai. Kami tidak pernah memacu kuda kami kecuali jika kami putuskan berhenti sebentar untuk berburu. Kami terus-menerus berjalan dengan hati yang terpaut kepada cahaya. Ada semacam cahaya dari langit dalam hati yang terus-menerus bergerak setiap kali kami melangkah mendekatinya. Kami, 110.000 anak manusia terus-menerus melangkah, kuda dan unta melangkah pelan tapi pasti seperti doa yang diucapkan perlahan, khusyuk dan meyakinkan.
Kami jarang bercakap-cakap di antara kami karena hati kami sekarang hanya berisi penyerahan diri kepada kehidupan. Bayi-bayi seperti tahu diri untuk tidak menangis, bahkan mata mereka pun bagai menatap sesuatu yang penuh dengan pesona. Barangkali mereka juga melihat cahaya itu yang hanya bisa ditatap dengan mata hati di langit jiwa masing-masing yang mengerti dari mana hidup ini datang dan ke mana hidup ini pergi. Kami berjalan menapaki jalur di antara lembah, mendaki gunung-gunung batu, dan menapaki gigir-gigirnya yang mengerikan. Kami, 110.000 orang, dengan bayi di gendongan, orang sakit dalam tanduan, dan hewan-hewan peliharaan yang tak boleh ditinggalkan, merayap di jurang yang curam, jalanan setapak berlumut yang begitu licin dan terlalu sering memelesetkan.
Kadangkala tiba saatnya seorang wanita harus melahirkan di tengah jalan, maka sebagian dari kami pun berhenti mengurusnya, sementara yang lain meneruskan perjalanan. Rombongan kami membentuk barisan yang panjang bila melewati celah yang curam, menyebar seperti semut bila tiba di padang terbentang. Mereka yang telah menjadi tua, lemah, dan lumpuh kami naikkan ke atas gajah-gajah kami yang masih setia. Gajah-gajah ini berbadan besar, namun seperti tidak mendapat halangan jika berjalan di dalam hutan, kaki mereka yang besar menapak dengan lincah di jalan setapak dan keseimbangan gajah-gajah ini sangat baik dalam pendakian dinding-dinding yang curam. Tentu mereka tahu jalan yang terbaik buat gajah sehingga kadang-kadang mereka harus memisahkan diri untuk bertemu lagi di suatu tempat lain. Kadang-kadang perpisahan ini bisa sampai berhari-hari lamanya, tapi kami rombongan 110.000 orang dengan segala hewan peliharaan tidak pernah benar-benar saling terpisah.
Begitulah di antara kami kemudian ada yang meninggal dan kami pun segera menguburnya tanpa meninggalkan upacara yang diharuskan. Semua orang yang pergi mendahului mati dalam pelukan cahaya. Mata mereka mengatakannya. Mereka yang mati dalam perjalanan ini sebenarnyalah mati dalam kebahagiaan. Arwah mereka membubung menyusuri cahaya, menuju sebuah dunia di alam sana yang hanya bisa dihayati setelah kematian. Itulah dunia yang kami rindukan, dunia yang kami impikan dari abad ke abad, dari dongeng ke dongeng, dari segala keinginan dan kehendak yang sejak lama terlukis di gua-gua leluhur kami yang begitu gelap di mana mereka merindukan cahaya keabadian.
Kami melangkah, menapak pelan, terus-menerus berjalan, dengan kepastian bahwa jalan cahaya itu akan kami temukan. Setelah bertahun-tahun menempuh perjalanan yang serasa alangkah panjang dari benua ke benua, kami kemudian merasa terbimbing oleh tanda-tanda cahaya dalam jiwa kami yang penuh dengan keyakinan. Dari gurun ke gurun rombongan kami berjalan, sudah lama juga kami tidak menjumpai tempat pemukiman maupun binatang. Dalam kenangan kami masih tergambar dengan jelas betapa di tempat-tempat yang kami lewati pemandangan terpampang begitu indah sehingga kami kadangkala merasa terkecoh karena mengira inilah tempat yang kami rindukan. Namun kami tahu, meskipun matahari terbenam yang jingga itu begitu memukau di latar langit yang ungu, ini bukanlah tempat yang dimaksudkan dalam mimpi-mimpi kami tentang tempat yang terindah untuk menuju kematian karena tempat itu memang tidak terletak di muka bumi ini.
Tentu saja kami masih selalu teringat betapa pada awal keberangkatan segalanya terasa menggemparkan. Kami berangkat meninggalkan sebuah negeri di sebuah pulau yang segera menjadi kosong. Kami melewati desa dan kota yang penduduknya melihat kami lewat bagai pawai panjang dari sebuah tontonan yang mengherankan. Sebegitu buruknyakah kehidupan sehingga kematian bisa menjadi impian terindah bagi 110.000 orang yang tadinya hidup tenteram di tepi sebuah sungai dengan latar belakang pegunungan biru yang menjulang bagai tempat persemayaman dewa-dewa dari suatu dunia entah di mana bagai negeri yang hanya ada dalam dongengan? Kami pergi meninggalkan kampung halaman kami dengan meninggalkan segala kebahagiaan yang telah kami dapatkan demi panggilan dari cahaya dalam mimpi-mimpi kami.
Dunia kami memang berubah semenjak menerima tanda-tanda yang begitu memikat untuk diberi tanggapan. Kami semua bisa mengalami mimpi-mimpi yang sama dari malam ke malam yang penuh keanehan di mana bunyi genderang terdengar dari langit dan dari seberang sungai bagaikan terdengar paduan suara yang mengalun merdu dan menyejukkan. Kami semua terpana dan terpesona dan merasa segala-galanya tiada berarti lagi selain keinginan untuk menuju sumber suara dan mimpi-mimpi itu. Dari hari ke hari, semakin banyak tanda-tanda dalam mimpi-mimpi malam kami dan betapa kami semua semakin merasa bahwa hanya dengan menuju tempat yang kami inginkan itulah terletak arti kehidupan kami. Maka begitulah hidup kami berubah ketika mendadak kami semua harus berkemas mempersiapkan sebuah perjalanan yang belum bisa diketahui berapa lama dan kapan akan berakhir. Orang-orang tua di kampung mengatakan bahwa suku kami selalu mengalami hal-hal yang demikian semenjak abad-abad yang telah lama silam. Kami tak lagi mengerti apakah mimpi-mimpi kami merupakan warisan darah yang diturunkan ataukah memang datang dari langit malam yang penuh dengan khayalan.
Langit merah di kaki langit. Kami, 110.000 anak manusia, masih terus-menerus berjalan di atas bumi yang fana.
***
Kemudian, tibalah kami pada suatu pagi di mana kami setelah bangun dari tidur yang panjang merasa tidak usah berjalan ke mana-mana lagi. Kami tahu betapa ketika kami menutup mata dan kemudian membukanya lagi, kami telah melakukan perjalanan bersama cahaya ke suatu tempat yang tiada tertera dalam peta mana pun di muka bumi. Memang masih seperti gunung-gemunung tapi bukan gunung-gemunung, memang masih seperti hamparan salju yang terpoles di sana-sini dengan hewan-hewan ternak berbulu tebal tapi bukan hamparan salju yang terpoles-poles di sana-sini dengan hewan-hewan ternak berbulu tebal, memang, memang, memang langit yang ungu membiru dan menggelap di kaki langit masih seperti sesuatu yang terdapat di muka bumi tapi bukan langit yang ungu membiru dan menggelap di kaki langit masih seperti sesuatu yang terdapat di muka bumi.
Garis cahaya yang meluncur sepanjang kaki langit melingkari kami. Tanpa diperintah setiap orang lantas melakukan semua persiapan untuk menanti saat itu. Kami membasuh wajah dan telapak tangan kami dengan segantang air dari masing-masing perbekalan kami. Kami menanak sarapan pagi kami dengan percakapan sesedikit mungkin dan kami makan perlahan-lahan tapi pasti untuk meyakinkan betapa kami akan menyambut saat-saat terbaik dalam hidup kami dengan perut terisi. Semua orang mempersiapkan dirinya tanpa kata tanpa angan-angan tanpa pertanyaan karena semua ini telah mengisi jiwa dan pikiran kami selama melakukan perjalanan bertahun-tahun mengikuti cahaya di dalam langit jiwa kami.
Inilah pagi yang berembun dan berkabut yang perlahan-lahan berpendar menampakkan siapa berada di selatan dan siapa berada di utara. Dari balik kabut itu, tampak kuda-kuda kami yang perkasa menatap kami dengan pandangan seolah-olah mengerti tentang segala hal yang akan terjadi. Pastilah dunia ini begitu luas dan begitu penuh kemungkinan sehingga jalan cahaya dalam impian ternyata mampu menampung 110.000 orang seketika lengkap dengan hewan-hewan peliharaan dan itu pun ternyata belum apa-apa. Kemudian kabut menjadi semakin tipis, mengambang, dan pergi. Kami tahu semuanya akan pergi dan berlalu seperti juga berakhimya perjalanan kami yang terlalu sulit untuk bisa diceritakan dengan kata-kata.
Langit ungu muda. Tiada mega di langit -- kami merasa saat-saat itu memang segera akan sampai. Sembari berjalan kian kemari setelah mengenakan busana terbaik yang kami miliki, kami menikmati setiap detik dari saat-saat kebahagiaan kami yang fana. Kami belum lagi mengerti kebahagiaan macam apakah yang masih bisa kami dapatkan lagi dalam kehidupan yang abadi. Hewan-hewan peliharaan kami pun seperti tampak mempersiapkan diri. Gajah-gajah, unta-unta, dan kuda-kuda, mereka pun banyak yang mati sepanjang perjalanan, namun kami selalu mendapatkan gantinya. Kami merasa sangat berterima kasih kepada hewan-hewan peliharaan kami dan kami merasa lebih dari layak bisa membawanya membubung ke Negeri Cahaya.
Maka langit pun terkuak dan kami terkesiap. Kami hanya bisa menunduk dan merendahkan diri, hanya tegak di atas lutut kami. Tubuh kami bergetar dengan hebat dan kami merasa kecut. Tiada suara yang menggelegar, namun dada kami berdebar bagaikan terdengar suara yang menggelegar. Cahaya yang terang menyilaukan segera memutihkan dunia kami. Kami tetap menunduk dengan perasaan tercekat, namun kami melihat segala-galanya memutih diserap cahaya. Padang rumput memutih, panji, bendera dan umbul-umbul kami yang berwarna merah pun memutih, segala-galanya memutih. Kami mencoba mengingat segala sesuatu yang berwarna dari kenangan dan mimpi-mimpi kami, namun cahaya itu menembus dunia angan-angan kami sehingga segala sesuatu yang kami pandang dengan mata terbuka maupun tertutup berwarna putih. Kulit hewan peliharaan kami pun memutih, seperti juga seluruh busana terbaik yang kami kenakan, sepatu, kulit dan rambut kami, segalanya memutih lantas mengertap berkilauan seperti cahaya itu sendiri.
Begitulah kami semua, kemudian tidak bisa saling melihat karena di sekitar kami hanya cahaya yang berdenyar-denyar menyilaukan membuat kami masing-masing untuk pertama kalinya merasa sangat sendiri setelah dari hari ke hari hampir selalu bersama-sama semenjak dilahirkan di kampung kami. Tiada lagi angin bertiup, tiada lagi debu mengepul, kuda-kuda berpacu, bayi menangis, dan suara seruling dari atas tebing pada malam bulan purnama. Sungguh semua ini terlalu menarik untuk ditinggalkan, namun seperti juga air sungai dari sebuah sumber mata air di puncak gunung yang mengalir menuju lautan, begitu pula kami jalani kodrat kehidupan kami dengan tulus dan penuh keyakinan dengan perasaan bahwa semua ini memang suatu anugerah yang terlalu menyenangkan. Begitulah kami menyerahkan diri dengan segala dosa dalam tubuh dan jiwa untuk disucikan oleh cahaya itu sebelum kami berangkat ke akhir tujuan kami.
Lantas kami alami bagaimana jiwa kami diluncurkan. Dari kelam ke kelam, dari cahaya ke cahaya, kelak-kelok labirin yang memusingkan, gua pelangi yang menyilaukan.
Kami berangkat melewati tujuh rembulan, tujuh matahari, dan berdoa di dalam tujuh kuil di atas awan. Langit yang berlapis-lapis memeluk jiwa kami dan kami kemudian merasa mampu berada di segala arah, dari barat sampai ke timur, dari selatan sampai ke utara, secara serentak tanpa harus merasa berada di tempat yang berlain-lainan. Begitulah rombongan kami, 110.000 anak manusia, bangkit kembali dari tumpuan lutut kami dan kembali menaiki kuda-kuda kami menyusuri jalan cahaya di langit yang telah terhampar di hadapan kami.
Kini kami semua telah menjadi anak cahaya yang memutih dan tidak saling mengenal perbedaan-perbedaan kami karena kami semua hanyalah anak-anak cahaya yang saling menyilaukan dan saling melupakan. Hanya zat yang hanya bisa merasa bahagia di jalan yang terindah menuju kematian. Tiada lagi yang bisa kami lakukan selain meneruskan perjalanan, dengan atau tanpa badan, sendiri-sendiri maupun bersama rombongan. Tiada yang lebih penting lagi kini selain perjalanan menuju ketiadaan. Tiada yang lebih berharga lagi selain keindahan dalam kematian.
***
Kulihat di sepanjang langit, kemah-kemah awan. Apakah aku harus berhenti, atau meneruskan perjalanan? Setelah bertahun-tahun menjadi bagian dari suatu perjalanan panjang ke satu tujuan kurindukan diriku sendiri yang selalu berbisik perlahan-lahan. Semakin jauh aku berjalan, semakin aku terikat kepada kenangan, semakin aku merasa diriku bukan bagian dari rombongan. Sudah begitu jauh aku berjalan, dengan segala derita dan pengabdian, dalam penyucian cahaya berkilatan, betapa bisa cahaya kesaksian tiada melihat kebohongan?
Kulihat satu per satu dari kami, 109.999 anak cahaya, ditelan gua-gua kebahagiaan di atas awan. Barangkali ini memang tempat yang terindah untuk mati. Aku melihat seribu cahaya berenang dan berkelebatan. Kulihat 109.999 anak cahaya melebur ke dalam cahaya gemerlapan. Tinggal aku sendirian, menaiki kuda putih di atas awan, melihat-lihat pemandangan.***
Ulaanbaatar - Jakarta, Maret-Juni 1996
(Dimuat dalam Horison, Juli 1996)
Enclave*
Oleh: Ramadhan KH
“Arigato gozaimasu! Arigato gozaimasu!” (Terima kasih! Terima kasih!), Okayama-san mengucapkan kata-kata itu sambil membungkukkan badannya dalam-dalam, beberapa kali. Sungguh, dengan perasaan haru dan suara hikmat ia lepaskan isi hatinya itu dengan tulus. Ia merasa benar-benar gembira. Gembira sekali. Wajahnya jadi cerah seperti langit yang ada di atasnya.
Beberapa meter di depannya berdiri Pak Marta yang menerima ucapan terima kasih Okayama itu.
“Massugu! Massugu! Maju lagi! Maju lagi! Ayo, ke sana lagi! Lihat dari sana, dari tepian yang lebih jauh.” Pak Marta menganjurkan Okayama supaya melangkah lebih jauh, melihat lautan itu dari tempat yang lebih dekat ke pantai, sambil mengibas-ngibaskan tangannya.
“Hay! Hay!” kata Okayama sambil lari-lari kecil, mengikuti anjuran Pak Marta. Ia senang mengikuti petunjuk Pak Marta, sahabat besannya, orang yang dirasakannya benar menjadi penolongnya di hari tua.
Di sebuah onggokan ia berhenti, lalu menatap ke kejauhan. Nikmat benar dirasakannya menerawang, mengikuti goresan kaki langit, menyapu lautan yang biru dan mengikuti gelombang yang beruntun bergantian sampai ke pantai.
“Tempat ini bagus sekali. Negeri ini indah sekali,” gumamnya, lalu menarik senyum sendirian.
Dari kejauhan ia berteriak dalam bahasa yang jauh daripada dikuasainya, tetapi sudah mulai dipelajarinya dengan tekun: “Bagusu-neh, bagusu-neh,” (Bagus, bagus) sambil melambai-lambaikan tangannya.
Seraya melangkah ia mereka-reka kembali rencananya yang sudah bermalam-malam bersama menantunya, Subarkah, membicarakannya. Dan tentu saja ia pernah merundingkannya juga dengan anaknya, Michiko, yang kali ini tertinggal di Osaka, tidak ikut terbang ke Jakarta.
“Bagusu-neh! Bagusu-neh!” ulangnya di depan Pak Marta.
“Senang? Senang punya tanah ini?” tanya Pak Marta dalam bahasa Jepang.
“Aaahh, senang, senang,” kata Okayama. “Tetapi ... tetapi ... ini bukan tanah saya. Ini tanah Subarkah dan Michiko. Bukan tanah saya.” Ia seperti mau menjelaskan kepada semua pihak, kepada penduduk di kampung itu, kepada pepohonan dan binatang-binatang yang ada di sana, bahwa tanah itu bukan miliknya, melainkan milik anaknya dan menantunya. Tetapi hati kecilnya tidak bisa membohonginya. Ia merasa, ia memilikinya juga, karena uang yang dibelikan tanah itu adalah uang simpanannya. Dan ia gembira, sangat gembira, bahwa Subarkah menetapkan, tanah itu atas nama istrinya, Michiko, di dalam surat-surat jual belinya. Malahan terakhir sudah dicantumkan dalam sertifikatnya, bahwa tanah itu milik Michiko, Nyonya Subarkah.
Pak Marta mengajak bicara Okayama-san dalam bahasa Jepang. Ia masih bisa berbicara dalam bahasa yang dulu pernah dikuasainya dengan benar selama jaman Jepang. Waktu itu ia duduk di sekolah menengah di Bogor dan terkenal di antara sesama teman sekolahnya sebagai murid yang paling pintar bahasa Jepangnya.
Kalau tidak terpatahkan oleh kekalahan Jepang dalam peperangan, kemungkinan besar ia sudah dikirimkan ke Negeri Sakura untuk melanjutkan sekolahnya.
Bicaralah lagi Okayama-san dalam bahasanya. “Saya sekali lagi mesti mengucapkan terima kasih kepada Pak Marta-san, sudah menolong anak-anak saya, sehingga mereka mendapatkan tanah ini. Bagus sekali tanah ini. Kalau terlaksana, anak-anak saya akan mendirikan rumah di sini, dengan kebunnya yang bagus. Apa pohon kaki (kesemek, bahasa Jepang) bisa tumbuh di sini?”
“O, bisa tentu bisa. Disebutnya di sini, pohon kesemek,” jawab Pak Marta.
“Apa bunga anggrek bisa tumbuh di sini?”
“Bisa, bisa,” jawab Pak Marta meyakinkan sambil menatap Okayama. “Semua tanaman bisa hidup di sini. Lihat itu, pohon-pohon kelapa bagus-bagus di sini. Lihat, pohon pisang, pisang yang disukai Okayama-san, pisang raja, pisang ambon, pisang lumut, bisa hidup di sini. Asal diurus. Tanahnya, dicampur sedikit dengan tanah dari kebun saya di Cisaat. Bakal jadi bagus. Tidak ada tanaman yang tidak bisa tumbuh di sini. Tapi jangan minta pohon sakura tentunya. Hahahaha,” Pak Marta tertawa, diikuti oleh Okayama-san. Juga Subarkah, sang menantu yang juga ada di sana mendampingi sang mertua, tertawa lebar. Ia pun senang bisa membuat mertuanya gembira. Bukan spesial karena istrinya jadi pemilik tanah itu di sana, melainkan karena mertuanya bisa mendapat kesibukan yang bakal disukainya: bercocok tanam, di hari tuanya.
Bahwa Okayama-san, kini merasa senang, uangnya bisa dipakai anaknya untuk membeli tanah di tepi pantai di daerah Sukabumi Selatan itu, adalah disebabkan pengetahuannya bahwa di Jepang mustahil ia bisa membeli tanah seluas itu. Di Jepang, apalagi di seputar Tokyo, orang menjual tanah dengan ukuran jengkalan, bukan meteran, karena mahalnya, sejuta Yen sejengkal. Sekarang, di tepi Samudera Hindia yang elok itu, Michiko, anaknya, bisa memiliki tanah seluas satu hektar lebih. “Untuk siapa lagi uangku itu kalau bukan untuk Michiko (anak tunggalnya),” Okayama pernah berpikir. Sebab itu ia berikan uang senilai empat puluh juta rupiah, sebegitu yang diperlukan Michiko, untuk membeli tanah di kampung Sindanglaut, di tepi pantai di Sukabumi Selatan itu. Okayama yang sudah pensiun dan ditinggalkan istrinya meninggal tiga tahun yang lalu, punya rencana berlibur tiga kali dalam setahun, dan setiap kali berada di Sindanglaut untuk barang dua atau tiga bulan.
Di atas tanah seluas satu hektar lebih milik Michiko itu, sekarang sudah ada rumah kecil yang masih sederhana. Tapi nanti rumah tua itu akan diganti dengan bangunan yang bagus. Okayama sudah punya gambar bentuk rumah yang akan dibangunnya di atas tanah milik keturunannya itu. Sebuah rumah potongan Jepang dengan jendela-jendela dan atap potongan khas Jepang. Dan gambaran itu buat Okayama sekarang, dengan uang yang sudah diperhitungkannya cukup, bukan mimpi pagi. Rencananya pun sudah bisa mulai dilaksanakan.
***
Okayama-san bersahabat kental dengan Kakutani-san. Mereka sama-sama duda. Tinggal tidak berjauhan. Dan sewaktu Okayama sudah berada lagi di Osaka, segera ia bercerita kepada Kakutani bahwa ia baru saja membeli tanah di Indonesia. Ia ceritakan dengan terperinci sekali berapa harga tanah yang dibelinya, atas nama siapa, di mana letaknya Sidanglaut itu, pemandangan seputar itu, dan sebagainya dan sebagainya.
“Dan bagusnya, bagusnya pemandangan di sana! Luar biasa! Pasti kamu pun akan suka,” kata Okayama-san kepada Kakutani-san yang juga mempunyai cukup uang simpanannya.
“Dan istimewa lagi,” cerita Okayama kepada Kakutani, “dari tempat itu, selain ada laut yang bagus, ada daerah yang masih dihuni oleh badak, badak yang terkenal. Kesukaan kamu kan masuk hutan, melihat binatang langka?”
“Ya, ya. Apa sungguh begitu?”
“Sungguh!” kata Okayama meyakinkan.
“Tapi, bagaimana saya bisa membeli tanah di sana? Saya kan tidak punya menantu orang Indonesia,” kata Kakutani dengan nada rendah, seperti sudah tidak punya harapan.
“Mengapa kamu tidak punya akal?” kata Okayama. “Kamu kan belum punya istri lagi. Kalau saya seusiamu (--Kakutani lebih muda--), saya akan kawin lagi. Dan... akan mengambil wanita Indonesia. Cantik-cantik lho, hahaha....”
Kakutani seperti kena goncangan yang membuat ia sadar. Ia pun pernah bertemu dengan ibu Subarkah, besan Okayama, waktu datang di Osaka. Dan terkenang sampai sekarang, bahwa wanita itu benar cantik walaupun sudah ada usia. “Pasti ia cantik sekali waktu mudanya,” komentar Kakutani di dalam hatinya waktu ia pertama kali melihatnya. Tetapi ia tidak punya keinginan lebih jauh, karena ayah Subarkah masih ada.
“Cantik-cantik?” Kakutani seperti mau tambah diyakinkan, dengan nada suara seperti berhasrat.
“Beneran. Cantik-cantik. Kalau kita jalan ke Sindanglaut itu, kita bisa lewat di sebuah kampung yang namanya Kadupandak. Saya pernah dibawa oleh kenalan saya lewat di sana. Di Kadupandak itu banyak sekali yang cantik. Sungguh! Kamu bisa bergairah lagi jika lewat di kampung itu. Saya pun waktu lewat di sana, merasa jadi muda kembali. Hahaha! Dan... dengan uangmu yang ada di bank sekarang, kamu bisa dapatkan seorang. Kebiasaan mereka pun baik-baik. Mereka tidak perlu kita ajar lagi supaya tinggal di rumah. Itu sudah kebiasaan mereka.”
Kakutani jadi berpikir beneran. Dan terbetik hasratnya: “Kalau istriku setia, dan mau menerima kebiasaanku, dan bisa membeli tanah yang luas, mengapa pula aku mesti simpan uang itu? Dengan uang cuma sebegitu mustahil aku bisa membeli tanah di negeriku sendiri ini. Kalau istriku menyenangkan, mengapa aku harus kikir dengan tidak memberikan uang kepadanya untuk bisa memiliki tanah yang luas dan bagus, dengan pemandangan yang indah seperti yang diceritakan Okayama? Aku pun tentu bisa menikmatinya.” Ia pun ingat, bahwa ia sekarang sudah sebatang kara.
***
Saatnya pun tiba. Kakutani dan Okayama sudah ada di Jakarta.
Malahan ini yang kedua kalinya sudah. Mereka berdua menginap di sebuah hotel di jalan Thamrin, dan sudah pergi ke Sindanglaut.
Cepat sekali prosesnya, Kakutani memperlihatkan seorang wanita yang lumayan cantiknya kepada Okayama. Ia, pada mulanya, tidak ceritakan bahwa Nurseha, begitu nama perempuan yang dibawanya, ditemukannya di sebuah panti pijat.
“Kami akan kawin,” kata Kakutani kepada Okayama.
Waktu ada kesempatan berdua Kakutani dan Okayama, Kakutani bercerita bahwa Nurseha memenuhi hasratnya dan tidak banyak permintaannya. “Hanya meminta supaya saya masuk agamanya. Dan saya sepakati. Nampaknya agamanya kuat. Cuma keadaan ekonominya saja yang pernah membawa dia ke tempat panti pijat,” kata Kakutani setelah didesak di mana mereka bertemu.
“Kalau sudah begitu, apa bisa ia sekarang tinggal di rumah?” tanya Okayama yang ragu.
“Ia berjanji. Dan kamu yang mengatakan bahwa perempuan Indonesia itu bisa tinggal di rumah, bukan? Nulseha (--ia tidak bisa mengucapkan r--) sendiri sudah janji, cuma kalau bersama saya ia akan ke luar rumah.” Kakutani sudah bisa melupakan apa yang telah terjadi dan dialami Nurseha sebelum ini. Ia bisa menghapus apa yang sudah-sudah. Yang dipentingkannya hari depannya.
“Bagus, bagus kalau begitu,” kata Okayama. ”Dan soal tanah itu, bagaimana?” tanya Okayama lagi setelah ia ingat pada tanah yang sudah diinjaknya bersama, di samping tanah Michiko.
“Jadi. Tentu saja jadi. Itu kan benar bagus. Dan benar murah,” kata Kakutani. “Sesudah kami nikah, saya akan belikan istri saya tanah yang itu.” Kakutani menarik wajah bangga dan serius.
“Kapan akan nikah?” tanya Okayama-san.
“Secepatnya,” jawab Kakutani-san.
***
Benar juga. Tidak lama setelah itu. Kakutani dan Nurseha melangsungkan perhelatan di Sukabumi, disaksikan oleh Okayama. Pernikahan itu dilaksanakan di depan penghulu, setelah Kakutani memenuhi syarat yang diminta oleh Nurseha dan keluarganya.
Tanah di Sindanglaut yang berdempetan dengan milik Michiko pun kemudian dibeli Nurseha atas namanya. Lebih luas daripada yang dimiliki Michiko dan lebih mahal harganya. Tetapi terbeli oleh Nurseha yang membuat surat janji, bahwa kalau sampai ia dan suaminya bercerai, uang senilai pembelian tanah itu akan dikembalikan. Nurseha merasa pintar. Ia sudah menghitung, bahwa nilai tanah akan cepat naik, dan uang rupiah tak akan bisa mengejar harga tanah. Tetapi Kakutani-san merasa pintar juga, ia merasa senang, bahwa ia nanti bisa berlibur di tempat yang bagus itu, di tepi pantai yang lautnya biru, cerah langitnya, dan gelombangnya amat memikat. Apalagi di pagi hari, atau di sore menuju senja. Dan ia pegang surat-surat tanah itu.
“Mustahil aku bisa punya tanah sebagus itu dan seluas itu di negeriku sendiri,” pikir Kakutani. “Aku akan sering saja berada di sana.”
***
Di sebuah organisasi di kotanya, Kakutani punya sahabat akrab, Kanazawa-san, tempat ia menceritakan rahasia hidupnya. Sebab itu pula ia tak beralangan menceritakan tentang tanah yang dibelinya, atas nama Nurseha yang pernah ditemukannya di sebuah panti pijat, tapi sekarang sudah jadi istrinya.
Kanazawa-san, pemborong bangunan, tergerak juga hatinya. Ia pun ingin memiliki tanah sebagus seperti yang diceritakan temannya. “Benar murah,” pikirnya, setelah ia membandingkan dengan harga tanah di negerinya. Soal jarak Jepang - Indonesia, tak dirasakannya jauh. Ia pun sudah beberapa kali membaca brosur-brosur tentang perjalanan ke Indonesia dan apa yang bisa dilihat di negeri di sebelah selatan itu.
“Tapi bagaimana kami bisa membeli tanah di sana?” tanya Kanazawa kepada teman akrabnya.
“Bisa. Pasti bisa. Kata orang di sana, di sana segala bisa diatur. Pasti ada cara-caranya. Apalagi sekarang, segala di sana sudah terbuka. Kita diajak oleh mereka untuk datang ke sana, untuk usaha. Tetapi yang pasti lagi, kita bisa tinggal di sana semusim-semusim. Kalau musim dingin di sini, dan kamu merasa encok di sini, kita bisa tinggal di sana. Di sana kan selalu ada matahari. Percayalah, kamu akan senang tinggal di sana. Pantainya bagus. Lautnya bagus, bagus sekali. Kamu tidak akan bisa membeli tanah seluas itu dengan seluruh kekayaanmu yang kamu miliki di sini. Tentu yang ukurannya luas yah,” kata Kakutani.
***
Kanazawa-san terbang bersama Kakutani dan Okayama ke Jakarta. Lalu mereka pergi ke Sindanglaut. Kanazawa-san takjub melihat daerah pantai Samudera Hindia itu.
“Bagaimana cara membelinya?” tanya Kanazawa.
“Ini, ini orangnya yang bisa membantu kita,” kata Kakutani sambil menunjuk seorang laki-laki yang bekerja di Kecamatan di Sidanglaut, yang tempo hari mengatur pembelian tanah untuk Michiko dan Nurseha.
“Bapak ini, Pak Kosasih, bisa menolong kita,” kata Okayama sambil memegang tangan Kosasih.
Kosasih yang pernah membantu kedua orang itu dengan urusan tanah di sana, dengan kebutuhannya, tersenyum lebar. Ia tentu saja senang. Sudah dua kali ia pernah mengatur jual beli tanah dengan orang- orang Jepang itu dan memasukkan uang ke kantongnya sendiri lebih dari lumayan. Tetapi, sebenamya hati nuraninya pernah goyang, terasa tak menentu, tetapi keuntungan yang diperolehnya menghapus kegelisahannya itu. “Tak ada kesalahan saya,” pikirnya. “Yang satu kali untuk menantunya bersama anaknya. Yang kedua kali untuk istrinya. Orang kita-kita juga. Sah-sah saja,” pikirnya.
Okayama dan Kakutani lalu mengajak bicara Kosasih yang sudah siap untuk membantu. Sudah tergitik juga hati Kosasih oleh gambaran bahwa kali ini ia bisa beruntung banyak lagi. Ia mengetahui, ada sebidang tanah luas yang juga tidak jauh letaknya dari tanah Michiko. Tanah itu bekas perkebunan kecil, tapi sudah tidak terurus. Dan akan dijual. Tetapi terhalang oleh beberapa rumah kampung dari tanah Michiko.
“Tidak jadi soal. Rumah-rumah kampung itu bisa dipindahkan,” kata Kosasih dengan menarik senyum lebar. Ia pun yakin, bahwa yang dikatakannya itu bisa jadi kenyataan. “Apa yang tidak bisa dengan uang?” pikirnya.
Ketiga orang Jepang itu pergi ke tanah bekas perkebunan kecil itu, dibarengi oleh Kosasih dan dua orang kawannya, seorang yang lebih tua, Ramdan, seorang lagi yang lebih muda, Garnida.
Ada kekurangan di tanah bekas perkebunan kecil itu yang terasa oleh Kanazawa-san. Tetapi Kosasih, lewat Okayama yang sudah tambah pintar berbahasa Indonesia, bisa meyakinkan, bahwa kekurangan yang dirasakan oleh Kanazawa itu nanti bisa diatasi. Tanah itu tidak nempel pada pantai.
Kanazawa-san menginginkan membuat semacam hotel di sana.
“Tetapi hotel akan laku kalau menempel pada laut,” kata Kanazawa kepada Okayama dan Kakutani.
Kosasih seperti bisa menangkap apa yang diinginkan oleh Kanazawa. Sebab itu ia cepat berkata kepada Okayama: “Kami bisa atur. Tidak ada yang tidak bisa diatur di sini. Tanah yang menghalang-halangi itu, antara lahan ini dan laut, bisa diatur supaya jadi jalan ke pantai. Supaya nyambung jadi bagian tanah ini,” kata Kosasih sambil menarik wajah senyum dan meyakinkan. Ia pun yakin dengan uang segala bisa beres. Ia merasa, bahwa atasan-atasannya yang ada di Kecamatan dan di Kabupaten akan setuju, sehamparan tanah yang ada di tepi laut itu digabungkan saja dengan tanah bekas perkebunan kecil itu.
Ia berpikir lagi. “Ini jadinya proyek pembangunan.” Kata "pembangunan" itu melintas sejenak saja di kepalanya, tapi menyebabkannya jadi merasa kuat. Kata pembangunan itu mengubah kesulitan yang tadi pernah mengganjal sebentar di hatinya.
“Pasti bisa! Pasti bisa!” kata Kosasih kepada Kanazawa. Kemudian kepalanya digerakkannya menghadap ke arah Kakutani, lalu ke arah Okayama, meminta dukungan. Ia menunggu kepastian.
Ketiga orang Jepang itu mengangguk-angguk. Lalu mereka berbicara dalam bahasa mereka. Kosasih mendengarkan saja, tak mengerti sepatah kata pun, tapi harapan menyelinap di antara perasaannya.
“Ya, asal benar bisa diatur begitu, tuan Kanazawa tertarik," kata Okayama.
***
Selang beberapa waktu, Okayama-san, Kakutani-san dan Kanazawa-san sudah berada di Indonesia lagi. Mereka tidak membuang waktu. Sindanglaut mereka tuju.
Masing-masing mengatur kepemilikannya. Okayama yang sekali ini didampingi Michiko dan suaminya, Subarkah, sudah mulai dengan membangun rumah yang mereka cita-citakan. Rumah tua sudah dibongkar. Tiang-tiang baru sudah dipancangkan. Kakutani-san pun langsung mengukur-ukur tanah yang akan dipakai untuk bangunan rumah yang bakal dihuni bersama Nurseha. Ia tidak kepalang bergerak, segala bahan yang diperlukannya sudah ia siapkan dari dan di negerinya. Tinggallah nanti ia mencari tukang-tukang yang bakal diperbantukan kepada arsitek Jepang yang bakal membangun rumahnya itu.
Kanazawa-san dikerumuni oleh pegawai-pegawai dari Kecamatan Sindanglaut. Beberapa orang pegawai Kabupaten Sukabumi pun ada di sekelilingnya.
Rencana bangunan hotel sudah siap. Soal tanah yang menghalang-halangi sudah terpecahkan. Dengan duit, apa yang tidak bisa dibereskan di kampung ini, pikirnya. Dan ia sudah jadi lebih pandai, atas anjuran penasihatnya ia sudah menggaet orang di Jakarta penguasa penting.
Penghuni beberapa rumah yang menghalang-halangi antara tanah Michiko dan Kanazawa pun sudah sepakat untuk pindah. Entah berapa ongkos memindahkan mereka yang sebenarnya. Orang-orang Jepang itu tidak tahu. Uang siluman tak jelas masuk ke kantong saku siapa. Tanah yang menghalangi-halangi perkebunan kecil dengan laut itu pun sudah diatur oleh orang-orang di kantor Kecamatan, di kantor Kabupaten, malahan di kantor Gubernuran, sehingga bisa dipakai untuk keperluan Kanazawa-san yang punya uang banyak. Kanazawa-san nampak tenang-tenang saja. Sebab memang setelah diperhitungkannya, masih jauh lebih murah daripada jika harus membangun di negerinya.
Maka pembangunan dimulai di daerah itu.
Nampak sekali ada kesibukan di wilayah yang tadinya kampung itu. Dan bertambah lagi kericuhan di daerah itu, karena bukan saja Okayama-san, Kakutani-san dan Kanazawa-san yang membangun di sana, melainkan ada Saito-san, ada Tanaka-san, Takahashi-san dan beberapa lagi orang Jepang yang bukan saja tertarik, melainkan sudah mulai membangun di daerah yang tadinya masih ladang tegalan, sawah musiman dan kebun terlantar itu.
Orang-orang Jepang itu mendengar kemungkinan-kemungkinan itu dari mulut ke mulut. Brosur-brosur pariwisata pun sampai pada mereka. Dan semua menghitung: tanah di Sindanglaut itu benar-benar jauh lebih murah dibandingkan dengan yang ada di Tokyo, atau yang di Osaka atau yang di Okinawa sekalipun. Mereka seperti sudah berpikir, bahwa dunia ini untuk kita semua, untuk semua penghuni bumi. “Untuk siapa saja, untuk kita, yang bisa membelinya dan membangunnya,” pikir mereka. Untuk pihak yang pintar, pikirnya. Ya, semua kedudukan pun bisa kita capai, pikir mereka. Dan mereka ingat pada beberapa kursi yang ada di sejumlah negara di luar negeri mereka yang sudah diduduki oleh bangsa mereka, keturunan mereka.
***
Maka ramailah pembangunan di Sindanglaut. Kebanyakan peralatan dan malahan bahan-bahannya pun didatangkan dari Jepang. Sebab kebanyakan pemilik tanah itu _lewat menantu, istri, sahabat dan pelbagai cara dan ilmu yang tak jelas duduk perkaranya_ memungkinkan rumah-rumah dan bangunan lainnya di sana berbentuk seperti di kampung asal mereka. Sampai-sampai bangunan yang seperti toko dan hotel pun disusun dan berbentuk bangunan Jepang.
***
Pak Marta datang di Sindanglaut. Ia pun sudah mendengar kabar dari orang tua Subarkah, sahabat kentalnya, bahwa di kampung di tepi Samudera Hindia itu sudah berdiri satu daerah enclave, daerah kantong Jepang.
“Siapa yang salah?” pikirnya, lalu ia sebentar merenung.
Ia menjawab sendiri: Okayama-san adalah mertua Subarkah. Michiko adalah istri Subarkah. Nurseha adalah istri Kakutani. Kanazawa-san adalah pengusaha yang diajak datang untuk menanam modal. Ia sudah bergabung dengan anak-anak pembesar di Jakarta. Saito-san idem dito. Okahara-san sami mawon. Anaka-san menempuh jalan yang juga tidak seberapa sulit dirasakannya. Kosasih sudah punya rumah baru dan istri baru di Sukabumi dan keluyuran dengan mobil Suzuki yang paling mutakhir. Garnida sudah naik motor Honda yang paling diidam-idamkannya dan paling disenanginya.
Lebih dari duapuluh orang Jepang sudah membangun di daerah Sindanglaut itu, di atas tanah yang lebih dari dua ratus hektar. Jangan ditanya asal usul tanah itu: tanah wakaf pun sudah berubah catatannya.
Tinggallah Ramdan yang berjongkok menatap orang-orang yang sedang mengangkat-angkat kayu dan besi itu dari kejauhan. Bukan saja hatinya terganggu, gamang, untuk ikut serta dalam pembangunan itu, tetapi ia sudah tua. Melangkah pun sudah sakit-sakitan. Di hatinya ia merasa tertinggal, karena rumahnya pun sudah tergusur.
“Tetapi siapa di daerah ini yang tidak tergusur, Pak Marta?!” kata Ramdan kepada Pak Marta yang duduk di kursi di depannya. Suara Ramdan terdengar melas sekali, menyayat hati orang yang diajaknya bicara.
Pak Marta tidak sanggup menatap wajah Ramdan yang sudah kurus dan keriput itu. Ia arahkan tatapannya ke kejauhan, ke langit yang bersih, ke kaki langit, ke lautan yang biru, ke ombak yang bergelombang.
“Pilihanku benar,” kata Pak Marta kepada Ramdan yang tetap jongkok di dekatnya. “Tempat ini bagus, benar bagus. Tetapi....” Ia tidak meneruskan ingatannya. Ia seperti menelannya.
“Jangan jongkok terus begitu, Bapak,” ajak Pak Marta kepada Ramdan. “Duduklah di sini. Di sini masih ada kursi.”
Ramdan mengikuti ajakan Pak Marta, bangkit dan duduk di kursi.
“Bagaimana perasaan Bapak melihat kampung ini sekarang?” tanya Pak Marta. Ia sendiri diliputi beberapa pertanyaan yang tidak bisa dijawabnya sendiri. Ia gundah, terjepit antara sesal dan senang. Ia ingat, permulaannya amat sederhana. Kelanjutannya jadi amat serius.
Dengan ragu, Ramdan, orang tua itu, menjawab: “Entahlah. Dulu saya pernah benci kepada orang-orang Jepang itu, Pak Marta.”
Pak Marta cepat mengerti.
Sementara itu Kosasih datang. Ia menarik wajah gembira. Mukanya pun nampak licin, bersih. Sudah gemukan bentuk badannya dibanding dengan beberapa bulan yang lalu. Pakaiannya serba baru dan mencolok. Kendaraannya, mobil Suzuki diparkirnya di halaman kantornya. Percakapannya menunjukkan kegembiraan yang luar biasa. Ia merasa berjasa, terutama kepada istri-istrinya, anak-anaknya, orang tuanya, mertua-mertuanya. Ia sudah bisa membelikan mereka pelbagai barang modern yang biasa ditayangkan di televisi yang ia saksikan di rumahnya.
“Berapa umur Bapak?” tanya Pak Marta kepada Kosasih. “Tidak mengalami jaman Jepang?”
“Ah, saya belum lahir waktu itu,” jawab Kosasih.
“Bapak bekerja di Kecamatan, kan?” kata Pak Marta.
“Ya, Pak. Tadinya saya mau dipindahkan ke Sukabumi, tapi saya menolak. Daerah ini mesti dibangun, Pak.” Ia setengah membusungkan dada. Hati kecilnya berbisik jujur. “Di sini lebih menguntungkan.”
Di tengah itu Garnida muncul dengan menaiki motornya.
“Wah, kamu sudah punya motor segala sekarang, yah,” kata Pak Marta.
“Alhamdulillah, Pak,” kata Garnida.
“Maju yah. Hasil kerja di sini?” tanya Pak Marta.
Ramdan mengetahui silsilah pembelian motor itu. Maka ia menyelip menyambung pembicaraan: “Rumahnya, rumah orang tuanya, digusur, Pak. Ia pindah ke kampung di balik bukit itu.”
“Ya, Pak Kosasih membujuk kami, Pak,” kata Garnida. Ia bicara sesungguhnya. Ia tidak menatap ke masa depan, juga tidak pernah berkenalan dengan buku-buku tentang masa lampau. Ia terhitung pemuda masa sekarang yang diusik oleh pelbagai tayangan barang jualan di layar kaca dan hanya memikirkan masa ini, hari ini, saat ini, detik ini.
Sekali Garnida bertatapan muka dengan Ramdan. Masing-masing dengan pikirannya sendiri. Tak ada jembatan penghubung yang mengaitkan pembicaraan serius di antara mereka. Dan yang tua serta yang muda, sudah seperti kelelahan jika harus berpikir.
Suasana pun seperti direka untuk jadi demikian.
Sementara itu pembangunan di daerah enclave berjalan terus, mengikuti pihak yang menginginkan. ***
*) Enclave = Daerah kantong.
(Dimuat dalam Horison, September 1997)