Selasa, 28 Oktober 2008

Koleksi Cerpen

Potret Itu, Gelas Itu, Pakaian Itu
Oleh: Budi Darma

Sungguh menakjubkan, bahwa ketika hari sudah petang dan lampu jalanan mulai dinyalakan, perempuan itu membuka jendela dan memandang keluar. Alis perempuan itu hitam tebal, melindungi matanya, dan mata itu tajam dan sebentar bergerak-gerak. Ketika melihat laki-laki bertubuh kurus jangkung berdiri di pinggir jalan, mata perempuan itu bergerak-gerak cepat ke kanan dan ke kiri.

Laki-laki bertubuh kurus jangkung memang sudah menantikan saat-saat seperti ini, kemudian meloncat ke pekarangan melalui pagar tanaman, pagar tanaman yang sebetulnya tidak begitu tinggi.
Beberapa saat kemudian mereka berdua sudah berada di dalam kamar. Dengan tangan gemetar, perempuan itu menutup jendela dengan hati-hati, dengan sebelumnya menyelidik cepat-cepat apakah perbuatannya terintai oleh orang lain. Laki-laki bertubuh kurus jangkung itu juga gemetar.
Lampu di dalam kamar sudah menyala, tapi sangat samar. Dengan tidak memandang ke arah laki-laki itu, perempuan itu menuding ke arah dinding sebelah kanan. Di bawah potret ada sebuah gelas, terletak di se­buah rak buku kecil. Dan di dalam rak terdapat beberapa buku, dan judul buku-buku itu tidak mung­kin dibaca karena sinar lampu sangat samar.
Laki-laki itu mengangguk mengerti. Dia men­de­kati dinding di sebelah kanan. Matanya berganti-ganti melihat potret laki-laki itu, kemudian gelas, dan ke­mu­­dian beberapa buku. Tubuhnya agak mem­bong­kok manakala dia melihat-lihat buku-buku di dalam rak.
Ketika perempuan itu menjawil tangan kirinya, perhatian laki-laki bertubuh kurus jangkung itu masih terlarut ke dalam potret laki-laki di dinding. Agak ter­kejut juga dia ketika dia merasa dijawil. Dan ta­hulah dia sekarang, bahwa perempuan itu sedang me­nuding-nuding ke arah sebuah tempat tidur kecil.
Ada sebuah meja kecil dengan bunga segar di dekat tempat tidur itu. Di dekat tempat tidur ada pula se­bu­ah kursi. Dan yang mengherankan laki-laki itu ada­lah, mengapa di dekat tempat tidur tidak ada potret se­orang la­ki-laki, misalnya saja potret laki-laki yang ter­gan­tung di dinding sebelah kiri. Tapi laki-laki itu ti­dak bertanya, karena perempuan itu sudah menje­laskan:
"Dia tidak mau potretnya dipasang di sini."
Belum sempat bertanya apa-apa, laki-laki itu su­dah ditarik oleh perempuan itu untuk mendekati sebuah almari. Dan ketika perempuan itu membuka almari, terasalah bau enak menebar di dalam kamar remang-remang itu. Dan laki-laki itu tidak terkejut melihat, beberapa pakaian laki-laki di dalam almari.
Laki-laki itu terus diam ketika perempuan itu meng­udal-udal beberapa pakaian dari dalam almari. Meskipun demikian, laki-laki itu agak terkejut, ketika melihat pakaian di sebelah dalam almari itu ternyata penuh cipratan darah. Dan segeralah perempuan itu mengguyurkan minyak wangi dengan khidmat dan hormat ke pakaian itu.
Setelah perempuan itu menutup almari dan laki-laki itu duduk dekat tempat-tidur, perempuan itu berjalan ke arah tombol listrik, dan mematikan lampu bercahaya lemah itu.
"Apakah yang tadi kau lihat pada potret yang tergantung di dinding itu?" tanya perempuan itu.
"Saya tidak pernah melihat laki-laki seagung itu. Sungguh agung dia. Jengkal demi jengkal wajahnya menunjukkan keagungan luar biasa."
"Apa lagi?"
"Apa lagi? Ya, apa lagi? Tentu saja saya menga­gum­i dia. Matanya sungguh menakjubkan. Alangkah se­nangnya kau menjadi istrinya."
"Apa lagi?"
"Apa lagi? Ya, apa lagi? Saya yakin dia laki-laki gagah, kendatipun nampaknya tubuhnya hanyalah kurus jangkung. Dia pasti laki-laki ramah."
"Apa lagi?"
"Apa lagi? Ya, apa lagi? Saya kagum pada raut wa­jahnya. Dia pasti mempunyai wibawa besar, wi­ba­wa tinggi. Saya mengaguminya."
"Hanya itu?"
Laki-laki itu kehabisan akal dan kehabisan kata. Maka berbicaralah dia asal berbicara, tentunya tanpa mengetahui apa yang dikatakannya:
"Tentu saja tidak. Saya heran mengapa laki-laki semulia ini bisa mati terganyang kanker. Heran. Saya heran mengapa takdir tidak memberinya umur pan­jang, untuk memberikan kesempatan kepadanya guna lebih memuliakan cita-citanya dalam mengangkat har­kat, martabat, dan derajat sesamanya."
"Siapa yang mengatakan dia dihabisi kanker?"
Laki-laki itu diam. Dia ingat, pada suatu malam dia melihat seorang anak perempuan kecil memotret di­rinya. Kalau tidak keliru, dia dipotret sekitar tiga bulan lalu, di Balai Wartawan ketika diadakan per­te­muan antara beberapa pedagang dengan wartawan. Begitu cepat anak perempuan itu memotretnya, ke­mu­dian berjalan bergegas dan menyelinap di antara sekian banyak orang. Akhirnya laki-laki itu tahu, bahwa anak perempuan itu datang bersama seorang perempuan beralis hitam tebal dan bermata tajam. Ketika laki-laki itu berusaha menemui anak perem­puan itu, pertemuan dinyatakan bubar. Dan karena dia harus menemui beberapa temannya, perempuan beralis hitam tebal dan bermata tajam serta anak pe­rem­puan itu terlepas dari tangannya.
"Laki-laki itulah yang saya cintai," kata perem­puan itu. "Karena itulah potretnya saya pasang di situ. Dan karena itu pulalah gelas peninggalannya sa­ya taruh di bawah potretnya. Dia selalu minum dari gelas itu setiap kali dia datang ke sini. Bekas-be­kas bibirnya masih ada di situ. Dan setiap kali saya merindukannya, selalu saya usap-usap mulut gelas itu dengan pinggiran mulut saya. Sering mulut gelas itu saya lumat-lumat dengan bibir saya seperti pada waktu saya melumat-lumat bibirnya. Dan sering juga mulut gelas itu saya gosok-gosokkan ke payudara sa­ya, seperti dia sendiri dahulu sering mengagumi pa­yu­­dara saya. Dan buku-buku dalam rak itu adalah buku-buku kegemarannya. Setiap kali dia ke sini selalu dia membuka-buka halaman-halaman buku itu. Begitu gemar dia membuka-bukanya, segemar dia membuka-buka lembar demi lembar pakaian yang saya kenakan."
Laki-laki itu diam. Dia tidak tahu mengapa se­ko­nyong-konyong siang tadi dia menemukan sebuah su­rat tergeletak di meja kerjanya di kantor. Ketika dia menanyakan kepada sekretarisnya, beberapa ba­wah­annya, dan juga beberapa pesuruh siapa ge­rang­an yang menaruhkan surat itu di atas mejanya, tidak seorang pun tahu. Laki- laki itu hanya tahu bah­wa sudah beberapa hari ini ada seorang laki-laki men­cu­rigakan secara berkala mengitari kantornya. Setiap kali laki-laki itu akan masuk kantor, laki-laki men­cu­ri­gakan selalu menghadangnya dekat pintu, ke­mu­dian mengawasinya dengan pandangan tidak enak. Dan setiap laki-laki itu akan meninggalkan kantor, laki-laki mencurigakan selalu menghadangnya di de­kat pintu dengan menggumamkan suara tidak jelas. Ke­mudian dia sering melihat laki-laki mencurigakan berseliweran tidak jauh dari jendela kaca yang me­mi­sahkan kantornya dengan kebun kacang. Dan se­tiap kali pandangan mata mereka bertemu, laki-laki men­curigakan selalu memandanginya dengan sikap tertegun.
Surat itulah, yang mungkin telah disampaikan oleh laki-laki mencurigakan itu, yang telah meng­an­tar­kannya ke rumah perempuan beralis hitam tebal dan bermata tajam.
"Dari sekian banyak laki-laki yang saya ke­nal, dialah laki-laki yang saya cintai," kata perempuan itu lagi. Dan kemudian pe­rempuan itu bercerita mengenai gelas itu lagi, mengenai buku-buku itu lagi, dan akhir­nya mengenai payudaranya.
"Rupanya laki-laki lain yang pernah saya kenal tidak begitu menyukai payudara saya. Hanya dialah yang sering membisikkan kata-kata aneh ke payudara saya segera setelah dia menjelek-jelekkan sekian banyak pe­rem­­puan lain. Senang sekali dia memban­ding-bandingkan payudara saya dengan payu­da­ra mereka, dan tentu saja tubuh saya de­ngan tubuh mereka. Dia bercerita menge­nai perem­puan-perempuan dan dengan sangat terbuka, dengan nada sangat melecehkan me­reka, dan tentu saja de­ngan nada mengagung-agung­kan saya. Betul yang kau ka­ta­kan tadi, dia laki-laki me­ng­agumkan, sangat me­nga­gum­kan. Bagi saya, mungkin dia jauh lebih agung dan jauh lebih meng­a­gum­kan dibanding dengan Nabi Yusuf. Ingat, Nabi Yusuf tidak suka merayu, semen­ta­ra dia suka merayu, ya­itu merayu sekian banyak pe­­­rem­puan, sampai akhirnya dia jatuh di hadapan sa­­­ya, menjilati kaki sa­ya. Setiap kali didekati pe­rem­puan, Nabi Yu­suf selalu mengingatkan perempuan yang men­de­katinya dan juga dirinya sendiri akan masa depan ma­nusia, apabila manusia telah mati kelak. Ketika seorang perempuan berusaha merayu­nya dan me­nga­ta­­kan bahwa rambut Nabi Yusuf sangat indah, ber­ka­talah Nabi Yusuf, 'Rambut inilah yang pertama kali akan berhamburan dari tubuh saya setelah nyawa saya meloncat dari tubuh saya.' Dan ketika seorang perem­puan merayunya lagi, berkatalah Nabi Yusuf, 'Kelak tanah akan melumatkan wajah saya.'
Laki-laki yang potretnya di sana itu sangat ber­be­da. Dia selalu melihat ke depan, tanpa mau me­nger­ti bahwa pada suatu saat maut akan menjemputnya. Dia selalu membisikkan kata-kata indah mengenai kegunaan dan kenikmatan hidup. Tanpa per­nah mengatakannya, dia selalu berpikir un­tuk memanfaatkan detik demi detik untuk berjasa, memberi kenikmatan bagi orang lain, dan juga bagi di­ri­nya sendiri. Sering dia bercerita menge­nai mimpi-mimpi indah, seperti misalnya memperluas usaha-usa­ha dagangannya kalau perlu dengan menak­luk­kan musuh-musuhnya, kemudian membangun ru­mah-rumah yatim piatu, mendirikan sekolah-seko­lah, membantu rumah sakit-rumah sakit, dan entah apa ­lagi. Dia sangat suka membantu orang-orang papa dan orang-orang yang ingin maju, tapi sekaligus sa­ngat membenci orang-orang malas dan tidak mem­pu­nyai otak. Dalam keadaan lelah dia men­datangi saya, untuk menikmati tubuh saya dan sekaligus meng­­­­­­­­hidangkan kenikmatan bagi saya. Dia datang untuk mencari gairah hidup, agar dia menjadi lebih segar, lebih bersemangat, dan lebih mampu beribadah dalam bentuk kerja keras. Setiap inci tubuhnya ada­lah pertanda keagungannya, demikian pula setiap de­ngan nafasnya."
"Dan manakah anak perempuan yang memotret dahulu?"
"Ciumlah tangan saya sebelum saya menjawab pertanyaanmu."
Belum selesai dia mencium tangan kanan perem­puan itu, perempuan itu sudah menyodorkan tangan kirinya.
"Ulangilah pertanyaanmu tadi."
"Manakah anak perempuan yang memotret da­hulu?"
"Anak perempuan? Maaf, saya tidak tahu ke arah mana pembicaraanmu. Andaikata kau bermaksud un­tuk menanyakan apakah saya mempunyai anak pe­rem­puan, saya dapat menjawab bahwa saya tidak mem­punyai anak perempuan. Ketahuilah anak pe­rem­­puan suka rewel, demikianlah kata laki-laki yang saya cintai. Dan andaikata saya mempunyai anak, saya tidak akan mengijinkannya memotret."
"Mengapa?"
"Menurut laki-laki yang saya cintai itu, memotret hanyalah menghabiskan uang. Setiap orang harus ber­hemat. Dan mungkin karena itu pulalah dia tidak su­ka anak perempuan, sebab dia sering mengatakan bah­wa anak perempuan hanya memboroskan saja. Dia juga tidak suka potret, karena potret hanyalah menghabiskan uang."
"Benarkah laki-laki seagung itu mempunyai jalan pikiran demikian?"
"Memang saya sering menemui kesulitan dalam me­ngorek apa yang sebenarnya berkelebat di dalam nuraninya. Sering kata-katanya melompat demikian saja dari puncak otaknya, sementara kelebat hati nuraninya yang sesungguhnya tidak terucapkannya. Saya sendiri yakin dia sama sekali tidak pelit. Dia pas­ti menyimpan rahasia mengapa dia tidak menyukai anak perempuan. Dan saya pernah berhasil mengo­rek­­nya, ketika dia mengigau dalam tidurnya. Mes­ki­pun demikian, kata-katanya hanyalah pendek dan ti­dak jelas, sehingga sulit bagi saya untuk menaf­sir­kan­­nya. Tapi saya tahu, dia berhati agung.
Bagi dia, laki-laki tidak bisa bebas dari perem­pu­an, dan perempuan pada dasarnya adalah beban. Eva sengaja diciptakan Tuhan untuk menemani Adam, tapi sekaligus untuk melancarkan wahyu-wahyu se­tan. Istri paman Nabi Muhammad, Ummu Jamil na­ma­nya, justru akan mencelakakan keponakan suami­nya sendiri. Siapa yang akan mencelakakan Nabi Nuh, tidak lain dan tidak bukan adalah istrinya sendiri. Ne­geri Sodom juga hancur lebur, setelah istri Nabi Luth, nabi yang dipercaya oleh Tuhan untuk me­ne­gak­kan ketaqwaan di negeri itu, mengkhianati sua­mi­nya habis-habisan. Adalah pula Siti Qodariah, se­orang wanita, yang berusaha mencelakakan Nabi Yu­suf setelah usahanya untuk menikmati keindahan tubuh Nabi Yusuf gagal. Belasan tahun perang di Tro­ya adalah juga perang untuk memperebutkan perem­­puan. Laki-laki sudah ditakdirkan untuk tidak mam­pu mengalahkan nafsunya sendiri, dan perempuan ter­lanjur sudah diciptakan untuk memperbudak nafsu laki-laki."
Belum sempat laki-laki itu bertanya, perempuan itu menyuruhnya berjongkok di lantai dan menjilati kakinya.
"Setiap laki-laki harus menjilati kaki saya," ka­ta­nya.
Se­telah selesai menjilati seluruh bagian tubuh pe­rem­puan itu dan setelah selesai mengucapkan selamat ting­gal, laki-laki itu keluar lewat pintu, dan pintu itu se­gera ditutup dari dalam, kemudian laki-laki itu me­lon­cat keluar melalui pagar tanaman.
Laki-laki itu merasa bahwa malam telah larut be­nar. Ketika memasuki sebuah gang, dia berjalan agak sempoyongan. Bau wangi tubuh perempuan yang ba­ru saja ditinggalkannya masih melekat pada seluruh bagian tubuhnya sendiri. Dan keringat dari celah-ce­lah kulitnya terasa begitu asing, karena yang ter­cium olehnya adalah keringat perempuan itu.
Heran benar laki-laki itu, mengapa tadi dia tidak menanyakan siapa nama perempuan itu. Hapal-hapal ingat kalau tidak salah perempuan itu menamakan di­rinya Maemunnah. Atau mungkin Robinggah. Mung­­­­­­­­­kin juga dia Jurbbah. Bukankah dia Immlah? Ya, pokoknya pakai "ah", entah itu Siffiah, entah Monissah, atau Markammah.
Dia ingat, perempuan itu tidak pernah menyebut-nyebut nama laki-laki yang potretnya tergantung di dinding. Dan laki-laki yang potretnya tergantung di dinding itu bukanlah suami perempuan itu. Laki-laki itu hanya kadang-kadang datang ke sana untuk me­­nyibuk-nyibukkan dirinya. Ini sudah berlangsung selama beberapa tahun, ujar perempuan itu.
Ketika laki-laki itu menanyakan siapa yang mem­bu­at potret di dinding itu, perempuan itu hanya men­ce­ritakan bahwa pada suatu hari dalam sebuah mu­sim kemarau panjang ada seorang anak perempuan me­ngan­tarkan bingkisan besar ke rumahnya, dan ternyata bingkisan itu adalah potret itu. Anak pe­rem­puan itu sama sekali tidak pernah datang ke­ sa­na lagi.
Laki-laki itu terus berjalan tergontai-gontai. Ke­ti­ka seekor kucing hitam melintas di gang dan me­mo­tong jalannya, dia tidak menahan langkahnya. Kucing itu pun tidak perduli bahwa dia sedang ber­pa­pasan dengan seorang laki-laki. Tetapi, ketika ku-cing itu melompat ke tempat agak tinggi dan menyo­rotkan matanya ke arah laki-laki itu, laki-laki itu me­rasa keringatnya keluar lebih deras. Dan keringat itu rasanya bukan keringatnya sendiri, karena baunya sama benar dengan bau keringat perempuan tadi.
Sementara rasa hausnya memuncak sampai ke ubun-ubun kerongkongannya, laki-laki itu terus ber­jalan. Kata perempuan tadi, setiap kali laki-laki itu min­ta minum karena merasa haus. Dan setiap kali akan pulang, pasti laki-laki itu minta minum lagi un­tuk meninggalkan bekas bibir pada mulut gelas. Dan gelas itu masih tergeletak di rak buku.
Tiba-tiba laki-laki itu merasa salah jalan. Ketika masih berada di jalan besar tadi, seharusnya dia ber­jalan terus, kemudian membelok ke kiri. Ternyata tadi dia membelok ke kanan sebelum waktunya. Dia membelok ke kiri. Setelah tertegun sejenak, dia me­mu­­tuskan untuk kembali menyusuri gang, dan untuk kemudian memasuki jalan yang benar.
Laki-laki itu masih berdiri tertegun ketika seekor kucing hitam kecil meloncat dari dinding di atas sana, lalu lari cepat memintasi jalannya. Ternyata kucing itu lari ke sebuah lorong di sebelah kanan. Dan ketika laki-laki itu melihat ke arah lorong, nampaklah olehnya sebuah lampu ke­cil, menerangi sesuatu yang tidak asing baginya, yaitu sumur. Mengapa dia ti­dak ke sana seben­tar, me­­­­­­­­nim­­­­ba, dan mi­num?
"Maka berjalanlah dia agar cepat menuju ke su­mur. Namun, sebelum dia benar-benar dekat de­­­­­ngan sumur, seorang la­ki-laki menegor dia.
"Mengapa malam-ma­­­­lam begini kamu ber­ada di sini?"
Dengan cepat dia me­nge­nal siapa laki-laki itu: kedua matanya bulat se­per­ti mata burung hantu, lehernya kurus panjang dengan buah kuldi men­dong­kol dan selalu naik tu­run, sementara urat-urat tangannya mem­beng­kak me­nutupi ke­dua ta­ngan­nya, dan tangan-tangan itu be­nar-benar ku­rus. Dialah laki-laki mencurigakan, dan dialah yang selalu me­nga­wasinya di kantor.
"Mengapa malam-malam begini kamu berada di sini?" tanya laki-laki mencurigakan sekali lagi.
Dia tidak dapat menjawab. Matanya menangkap buah kuldi laki-laki mencurigakan, dan ingatannya melompat ke payudara perempuan tadi. Benar-benar payudara perempuan tadi memberinya kenikmatan, dan benar-benar buah kuldi laki-laki mencurigakan itu memuakkan. Dia seolah-olah melihat Adam, pada waktu mata Adam mendelik karena buah terlarang yang dimakannya menyangkut di kerongkongannya. Tiba-tiba dia merasa sedang berhadapan dengan iblis. Adam di hadapannya adalah iblis, demikian juga perempuan tadi. Payudara perempuan tadi, tidak lain adalah buah terlarang yang terlanjur tersangkut, ke­mu­­dian menawarkan kenikmatan dan sekaligus tin­dak-tindak maksiat.
Rasa haus makin menggorok kerongkongannya. Dan ketika dia mengelus-elus kerongkongannya sen­diri, sadarlah dia bahwa buah kuldinya sangat be­sar, naik turun, dan sangat menjijikkan. Tiba-tiba dia sadar, bahwa dia sendiri dan perempuan tadi tidak lain dan tidak bukan adalah sepasang iblis juga. Dan dia merasa benci terhadap perempuan itu, karena tadi dia tidak diijinkannya minum, karena, katanya, dia tidak mempunyai gelas lain kecuali gelas di atas rak buku itu. Dan gelas itu, katanya lebih lanjut, hanyalah untuk menghidupkan kenang-kenangan.
Ketika laki-laki mencurigakan menegurnya lagi, dia terus berjalan ke arah sumur. Dan tepat ketika dia memegang tali tim­ba, laki-laki mencuri­ga­kan berkata:
"Minumlah sepuas-pu­­­as­mu, kalau perlu sam­­­­­­pai meletus perut­mu, karena sumur ini ada­­­­lah milik saya."
Dia melemparkan tim­­ba ke dalam sumur, dan ternyata sumur sa­ngat dalam. Ketika laki-laki mencurigakan men­ce­ritakan perihal dirinya sendiri, dia sama sekali ti­dak mendengarkannya. Perlahan-lahan dan hati-hati sekali dia mengulur ta­li ke bawah, sampai akhir­nya timba me­nyen­tuh air. Kemudian perla­han-lahan pula dia me­narik tali timba ke atas.
Laki-laki men­curi­ga­kan terus bercerita. Beberapa waktu lalu dia membeli kebun kacang tidak jauh dari kantor laki-laki ber­tu­buh kurus jangkung. Setelah melalui beberapa per­ke­lahian, barulah pemilik lama mau menyerahkan ke­bun kacang itu meskipun uang­nya telah lama di­te­rima sebelumnya. Belum lama laki-laki men­cu­rig­akan itu berhasil memiliki tanah milik­nya sendiri, ter­dengar berita bahwa kebun ka­cang itu akan di­caplok oleh laki-laki bertubuh kurus jang­kung untuk per­luas­an kantornya. Laki-laki men­curi­gakan ini belum mau percaya, dan karena itu ber­usa­ha mencari pen­je­lasan. Setiap kali dia mendekati kantor untuk men­cari kabar, selalu dia diolok-olok oleh orang-orang kantor itu.
Selesailah sudah laki-laki bertubuh kurus jang­kung minum. Tubuhnya merasa agak segar, namun tidak satu kata pun dari laki-laki mencurigakan ini yang masuk ke telinganya. Dia hanya berpikir, alang­kah enaknya seandainya tadi dia diijinkan minum da­ri gelas di atas rak buku, sebab, setiap kali perem­pu­­an itu merindukannya, pastilah bekas bibirnya akan di­ji­lat-jilat.
Masih sempat dia me­lihat laki-laki men­cu­rigakan, sebelum dia melangkah untuk kem­bali ke gang tadi. Dia me­rasa benar-benar ji­jik melihat laki-laki men­­curigakan. Mata la­ki-laki mencurigakan itu, bulat dan besar, me­nyem­bunyikan keli­cikan tanpa tara. Leher laki-laki mencurigakan itu, yaitu leher yang pan­­­­jang, meng­ingat­kannya pada leher bu­rung onta yang dira­cun­nya sewaktu dia ber­jalan-jalan di kebun binatang. Dan buah kul­di itu, bagaikan bu­ah kuldinya sendiri, adalah pertanda dosa Adam, yaitu dosa yang me­nurunkan siksa ba­gi manusia entah sam­pai kapan.
Ingin sekali dia ce­pat-cepat mening­gal­kan laki-laki mencuri­ga­kan. Namun, belum sem­pat dia melangkahkan kakinya lebih lanjut, laki-laki mencurigakan berlari-lari kecil ke arahnya, ke­mu­dian menghadangnya. Rasa jijiknya makin me­le­dak. Sam­bil berusaha keras mengibaskan rasa jijiknya, dia meng­ambil jalan ke samping kiri.
Dia mempercepat langkah, tapi terpaksa terhenti ketika sekonyong-konyong terasa punggungnya pa­tah. Ketika laki-laki mencurigakan berdiri di ha­dap­an­­nya lagi, dia terpaksa membongkokkan tubuhnya ke depan, karena terasa olehnya bahwa tubuhnya akan patah menjadi dua bagian. Ketika akhirnya re­bah ke tanah, masih sempat dia membalik tubuhnya, dan melihat ke arah bulan. Memang bulan masih tetap di sana, di langit sana. Laki-laki mencurigakan mem­bong­kok, sementara dia merasa makin jijik. Dia ingin muntah. Memang akhirnya dia muntah, tapi yang dimuntahkannya adalah darah.
Dengan tenang, laki-laki mencurigakan meng­gu­mam:
"Ketahuilah, masalah kebun kacang hanyalah ma­sa­lah permukaan. Perkelahian dengan pemilik lama mengenai kebun kacang juga bukan masalah berat, Memang saya sering berkelahi, tapi perkelahian-per­ke­lahian itu, sekali lagi, bukan apa-apa bagi saya. Bagi musuh-musuh saya segala macam perkelahian sebenarnya juga bukan apa-apa. Saya hanya menik­ma­ti satu hal, yaitu kenyataan bahwa saya me­nyim­pan jiwa iblis. Dan saya bangga akan jiwa iblis saya. Kamu pun sebenarnya iblis. Ketahuilah, sesama iblis belum tentu bisa bersekutu. Sesama iblis bisa saling mengganyang. Sudah semenjak pertama kali saya me­lihat kamu, saya yakin bahwa iblis di dalam ji­wamu jauh lebih kuat daripada jiwa iblis kebang­gaan saya. Benar-benar saya merasa takut terhadap kamu. Dan se­tiap kali merasa takut, pasti saya ber­tin­dak terlebih dahulu, tentu saja dengan persiapan cermat agar saya menang."
Dia menggumam dengan kesadaran penuh, bahwa laki-laki itu sudah tidak mungkin lagi mendengarnya. Meskipun demikian, laki-laki itu masih sempat mengingat beberapa kata-kata perempuan tadi:
"Laki-laki yang saya cintai itu tidak mati karena kanker seperti yang sering dipergunjingkan. Dia mati dibunuh dekat sumur tidak berapa jauh dari sini. Saya selalu menyimpan pakaiannya yang berlumuran darah."
Bulan tetap berputar-putar di atas sana.***

(Dimuat dalam Horison, Juli 1990)


Jaring-jaring Merah
Oleh: Helvy Tiana Rosa

Apakah kehidupan itu? Cut Di­ni, temanku, selalu saja marah bila mendengar jawabanku: Hidup ada­lah cabikan luka. Serpihan tan­pa mak­na. Hari-hari yang me­rang­gas lara.
Ya, sebab aku hanya bisa me­men­­­dam amarah. Bukan, bukan pa­­da rembulan yang mengikutiku sa­­at ini atau pada gugusan bintang yang mengintai pedih dalam liang-liang diri. Tetapi karena aku tinggal se­batas luka. Seperti juga hidup itu.
Dan kini hari telah semakin gelap. Aku tersaruk-saruk berjalan se­­panjang tiga kilometer dari Seu­rue­­ke, menuju Buket Tangkurak, be­­­bukitan penuh belukar dan pepo­hon­an ini. Dadaku telah amat se­sak, tetapi langkahku makin ku­per­cepat. Lolong anjing malam ber­sa­hut-sahutan, seiring darah yang te­rus menetes dari kedua kakiku. Perih. Airmataku berderai-derai.
“Ugh!”
Aku tersandung gundukan ta­nah. Dalam remang malam, ku­li­hat dua ekor anjing hutan me­ngo­rek-ngorek sesuatu, dan pergi sam­bil menyeret potongan mayat ma­nu­sia. Mereka menatap­ku seolah aku akan berteriak kengerian.
Ngeri?
Oi, tahukah anjing-anjing bu­duk itu, aku melihat tiga sampai tu­juh mayat sehari mengambang di su­­ngai dekat rumahku! Aku juga per­nah melihat Yunus Burong dite­bas lehernya dan kepalanya diper­ton­tonkan pada penduduk desa. Aku melihat orang- orang ditem­bak di atas sebuah truk ku­ning. Darah me­reka muncrat ke ma­na-mana. Aku melihat te­tang­–gaku Rohani di­te­lanjangi, diper­ko­sa beramai-ra­mai, sebelum ru­mah dan suaminya dibakar. Aku me­lihat saat Geuchik Harun diikat pa­da sebuah pohon dan ditembak ber­ulangkali. Aku me­lihat semua itu! Ya, semuanya. Ju­ga saat mere­ka membantai … ke­luar­ga­ku, tan­pa alasan.
Ffffffhuuih, kutarik napas pan­jang. Jangan me­na­ngis­ lagi, Inong! Ke­ring airmatamu nanti. Meski le­lah, lebih baik meniru anjing-anjing itu.
Aku merangkak dan maju per­lahan. Dengan ta­­ngan kosong ku­ra­up gundukan tanah me­rah di ha­da­panku. Terus tanpa henti ku­gu­nakan kedua cakar tangan ini. Ke­ri­ngatku meng­u­cur deras, wajah dan badanku terkena serpihan ta­nah merah. Sedikit pun tak kuhi­rau­­kan bau bang­kai manusia yang me­nyengat hidung.
Tiba-tiba tanganku meraba se­su­atu. Kudekatkan benda dingin itu ke mukaku. Tulang. Ba­nyak tulang. Ca­karku terus menggali. Ku­te­mu­kan beberapa teng­korak, lalu re­mah-remah da­ging manusia. Ah, di ma­na? Di mana tangan kurus Mak?­­ Mana jari manis dengan cin­cin khas itu? Juga cincin tembaga ber­batu hijau dan arloji tua yang dike­nakan ayah saat orang-orang ber­sen­­jata itu membawanya da­lam keadaan luka parah. Di ma­na? Di ma­­na tangan-ta­ngan mereka? Di ma­na tu­lang-tulang mereka di ta­nam? Di mana wajah tampan Ham­­­­zah? Yang mana teng­korak­nya?
Se­kujur tubuhku gemetar me­na­han buncahan duka. Aku meng­gali, terus meng­gali. Hing­ga aku se­ma­kin le­mas dan akhirnya kembali terisak pilu. Meratapi orang-orang yang kukasihi, yang beberapa wak­tu lalu digiring ke bukit ini.
Sssssssttt!
Tiba-tiba, di antara suara se­rang­­­­­ga malam, ku­ping­ku men­de­ngar langkah-langkah orang. Se­pa­tu-sepatu lars yang menginjak ranting dan daun kering. Mereka me­nu­ju ke arahku!
Aku harus menyanyi. Ya, me­nya­­nyi nyaring, dengan iringan da­wai kepedihan dari sanubari sendiri.
“Perempuan gila itu!” suara se­se­orang gusar.
“Sayang, dulu ia cantik…,” ujar yang lain.
“Ya, juga sangat muda. Ah, su­dahlah, biarkan saja,” kata yang ketiga. “Ia tak berbahaya. Hanya ter­ta­wa dan menangis. ”
Aku pura-pura tidak mendengar perkataan si lo­reng-loreng itu. Me­re­ka gila karena mengira aku gila. Tak tahukah mereka bahwa aku tak menyanyi sendiri? Aku ber­nyanyi ber­sama bulan, awan dan udara ma­lam. Bersama desir angin, bu­rung hantu dan lolong an­jing hutan. Bersama bayangan Ayah, Mak, Ma’e dan Agam. Kami me­nyanyi, kami menari bungong jeum­pa. Lalu aku tersenyum malu, saat Ham­zah yang telah me­mi­nang­ku, melintas di depan rumah de­ngan se­pe­danya. Dahulu. Ya, dahulu….
***

“Inong….”
Aku menggeliat. Cahaya men­tari masuk dari ce­lah-celah bilik. Ha­ngat. Ah, di mana aku? Dipan ini penuh kutu busuk. Berarti…, ya, aku di rumah. Aku bangkit, men­co­ba duduk.
“Dari mana, Inong? Aku men­cari­­mu seharian. Ureung-ureung menemukanmu di tepi jalan ke Bu­ket Tangkurak, subuh tadi.”
Kutatap seraut wajah dalam khe­­­rudoung putih di hadapanku. Cut Dini. Tangannya lembut mem­be­lai kepalaku.
“Aku cuma jalan-jalan. Aku ti­dak mengganggu orang," jawabku sekenanya.
“Aku tahu. Kau anak ba­ik. Kau tak akan meng­gang­gu­ siapa pun…, tetapi jangan pergi ke bukit itu atau bahkan ke rumoh geudong lagi. Ber­ba­ha­ya. Lagi pula kau seorang muslimah. Tidak baik pergi sen­­dirian,” kata Cut Dini sam­­­bil mem­beri­ku minum.
Kugaruk-garuk kepalaku. “The­ri­moung… ghaseh…,” kuteguk minuman itu.
Cut Dini. Ia sangat pe­duli. Ma­ta­­­nya pun selalu me­na­tapku penuh pancaran ka­sih.
Aku kembali merebahkan ba­dan di atas dipan. Sebe­nar­nya aku tak tahu banyak ten­tang Cut Dini. Aku be­lum begitu lama menge­nalnya. Orang-orang bilang ia ang­go­ta … apa itu … LSM? Juga akti­vis masjid. Ia kem­bali ke Aceh sete­lah tamat kuliah di Jakarta. Dan … cuma dia, di an­tara para te­tangga, yang sudi ber­teman de­nganku. Ia mem­be­ri­ku ma­kan, mem­perhatikanku, men­ceritakan banyak hal. Aku senang se­kali.
Dulu, setelah keluargaku diban­tai dan aku dice­mari beramai-ra­mai, aku seperti terperosok dalam ku­bangan lumpur yang dalam. Se­kuat tenaga kucoba un­tuk mun­cul, menggapai-gapai permu­ka­an. Na­mun tiada tepi. Aku tak bi­sa bang­kit, bahkan me­nyen­­­tuh apa pun, ke­cua­li semua yang ber­na­ma kepa­hit­an. Aku memakan dan memi­num nyeri setiap hari. Sampai aku ber­temu Cut Dini dan bisa menjadi bu­rung. Segalanya te­­rasa lebih ri­ngan.
Tetapi tetap saja aku senang ber­­­­­­­teriak-teriak. Aku melempari atau memukul orang-orang yang le­­­wat. Hingga suatu hari orang-orang desa akan me­ma­sungku. Ka­­ta mereka aku gila! Hah, dasar orang- orang gila! Cut Dini-lah yang me­­larang. Cut Dini juga yang meng­ingatkanku untuk mandi dan ma­kan. Ia menyisir rambutku, me­ng­ajak­­ku ke dokter, ke pe­nga­jian, atau sekedar jalan-jalan.
“Baju yang koyak itu jangan dipa­kai lagi,” kata Cut Dini suatu ketika.
“Aku suka,” kataku pen­dek. “Ini baju yang di­ja­hitkan Mak. Aku memakainya ketika orang-orang jahat itu datang.”
“Itu baju yang tak pantas dilihat. Nanti orang-orang itu bisa menya­kiti­mu lagi,” ka­ta­nya pelan.
Kupandang baju ungu mu­da yang kupakai. Tangannya koyak, ketiaknya juga. Lalu di dekat perut, di ­belakang…, bahkan ada sisa-sisa darah ke­­ring di sana.
“Aku ingin memakainya,” lirih­ku. “Apa aku gila?” ta­nyaku.
Cut Dini menatap bola ma­­­­­­­­­­­­­­­­­taku dalam. “Menurut­mu?”
Aku menggeleng kuat-ku­at. Meng­garuk-garuk ke­pa­la­ku.
“Kau sakit. Kau sangat ter­pu­kul,” ujar Cut Dini. Kulihat ia meng­gi­git bibirnya sesaat. Lalu dengan cekatan mem­bung­kus baju itu de­ngan ko­ran.
Aku mengangguk-angguk. Te­rus mengangguk-angguk, sambil meng­goyang-go­yang­kan kedua ka­kiku. Aku suka membantah orang, tetapi tidak Cut Dini.
“Sudahlah.”
Lalu seperti biasanya Cut Dini mengambil Al- Quran mungilnya dan membacanya deng­an syahdu. Sua­ranya kadang berubah. Aku se­perti mendengar Hamzah me­ng­a­ji —lewat pe­nge­ras suara— di mu­sala.
Ah, meski tak mengerti, aku ingin menangis setiap mendengar ba­­­caan Al-Quran.

***

Siang itu aku sedang menjadi burung. Aku ter­bang tinggi dan ka­dang menukik seke­tika. Aku hinggap di ranting-ranting po­hon belakang dan me­matuki buah-bu­ah di sana. Huh, se­mu­anya busuk. Aku jadi ingin marah. Bagaimana kalau kucuri saja topi-topi merah si loreng dan kubakar. Hua…­ha…ha, aku tertawa gelak-ge­lak.
“Siapa kalian?” tiba-tiba ku­de­ngar suara Cut Dini ber­getar, di ru­ang tamu yang merangkap ka­mar ti­durku.
Aku terbang dan hinggap pada meja kusam di samping rumah, lalu meng­intip ke da­lam le­wat jendela yang ra­puh. Dua lelaki tegap de­ngan ram­but cepak me­nyo­dor­kan se­su­atu pada Cut Di­ni.
“Kami orang ba­ik-baik. Kami ha­nya ingin mem­be­ri­kan sum­bang­an sebesar li­ma ra­­­­­tus ri­bu rupiah pa­da Inong.”­
Aku nyengir. Li­ma ratus ri­bu? Horeeee! Apa bisa bu­at be­li sa­yap?
“Kami minta ia tidak me­nga­­ta­kan apa pun pada orang asing. Ia atau bisa saja anda se­ba­gai walinya me­nan­da­ta­ngani kertas bermaterai ini.”
Cut Dini membaca kertas itu. Kulihat wajahnya marah. Menga­pa? Kugerak-gerakkan kepalaku me­natap mimiknya, lebih lekat dari jendela.
“Tidak!! Bagaimana de­ngan pe­merkosaan dan pe­nyik­­saan se­lama ini, pen­jagal­an di rumoh geu­dong, mayat-mayat yang ber­se­rakan di Bu­ket Tangkurak, Jem­ba­tan Ku­ning, Sungai Tamiang, Cot Pang­­lima, Hutan Krueng Cam­pli…dan di mana-mana!” suara Cut Dini meninggi. “La­­­lu per­­kam­pungan tiga ribu janda, anak-anak yatim yang terlantar…, keji that! Tidak!”
Kedua orang itu tampak gugup dan sesaat saling ber­pan­­dangan. “Kami hanya menindak para GPK. Ini daerah operasi militer. Kami menjaga keamanan ma­sya­ra­­­kat.”
“Oh ya?” Nada Cut Dini sinis. “Ke­nyataannya ma­­syarakat takut pada siapa? Dulu, banyak yang ter­paksa menjadi cuak, memata-matai dan meng­ang­gap teman sen­diri sebagai pengikut Hasan Tiro da­ri Ge­ra­kan Aceh Merdeka. Te­tapi sekarang semua usai. Tak ada tempat bagi orang seperti kalian di sini.”
“Sudahlah, ambil saja uang ini buat anda. Lu­pa­kan saja gadis gila itu.”
Apa? Gadis gila?? Kukepakkan sayapku dan me­nu­kik ke arah dua lelaki itu. Kulempar mereka de­­­ngan apa pun yang kutemui di meja dan di lantai. Aku berlari ke dapur, dan kembali menimpuki mereka de­ngan panci dan peng­gorengan. Me­reka berteriak-teriak seper­ti anak ke­cil dan berebutan ke luar ru­mah. Pas­ti itu ayah orang yang mem­perkosaku! Pasti ia te­man para pem­­bunuh itu! Pasti mereka orang-orang gila yang suka menakut-na­kuti or­­­ang! Paling tidak mereka cu­ak! Aku benci cuak!
“Inong….”
Aku berhenti melempar. Aku berhenti jadi burung ajaib. Orang-orang itu kini hanya titik di ke­ja­uh­an.
“Masya Allah, nanti perabotan itu rusak,” suara Cut Dini, tetap lembut. “Benahi yang rapi lagi, ya. Aku mau shalat lohor dulu,” kata­nya.
“Mengapa aku tak pernah di­ajak salat?” protesku. “Dulu aku sha­lat bersama keluargaku, se­be­lum aku bisa jadi burung,” tukasku.
“Jangan menjadi burung, bila ingin shalat seperti manusia,” kata Cut Dini tersenyum.

***

“Keluar, Zakariaaa! Ke­lu­ar! Atau kami bakar rumah ini!!”
Aku terbangun dan meng­ucek kedua mataku. Ada apa? Pintu rumah kami digedor-ge­dor. Ayah berjalan ke arah pin­tu diikuti Mak. Lalu Ma’e dan Agam, abang dan adikku.
Ketika pintu dibuka, tiba-tiba saja Ayah diseret ke luar, juga Agam dan Ma’e! Beberapa orang meng­­­­angkat Mak dan memba­wa­nya pergi! Sebelum aku berteriak, beberapa tangan kekar merobek-robek bajuku! Aku meronta-ronta. Kudengar Ayah tak putus berdzikir. Dzi­kir itu lebih mirip jeritan yang menyayat hati.
“Ini pelajaran bagi anggota GPK!” teriak seorang lelaki ber­­­­se­ra­gam. Kurasa ia seorang pe­mim­pin. “Zakaria dan ke­lu­ar­ga­nya membantu anak buah Hasan Tiro se­jak la­ma!”
Warga desa menunduk. Me­re­ka tak mampu mem­bela kami. Dari kejauhan kulihat api berkobar. Pu­luh­­an orang ini telah membakar be­berapa rumah!
“Jangan ada yang menunduk!”
Aku gemetar mendengar ben­tak­an itu.
“Ayo lihat mereka. Kali­an sama dengan warga Ma­ne… beker­ja­sa­ma de­ngan GPK!” suaranya la­gi.
“Kami bukan GPK!”­su­a­ra Ma’e. Ulon hana teup­heu sapheu!”
“Lepaskan mereka. Ka­lian sa­lah sasaran!” Ya Allah, itu suara Ham­zah!
“Angkut orang yang bicara itu!”
Aku melihat Hamzah dipukul bertubi-tubi hingga limbung, la­lu…ia diinjak-injak! Dan diseret per­gi. Air­ma­ta­ku menderas.
“Siapa lagi yang mau mem­be­la?”tantang lelaki penyiksa itu po­ngah.
“Kami tidak membela, mereka memang bukan orang jahat,” suara Geuchik Harun. “Pak Zakaria ha­nya seorang muadzin. Jiiban­dum ureung biasa.” Sa­mar-samar ku­lihat kepala de­sa kami itu diikat pa­da se­batang pohon.
Serentetan tembakan segera menghunjam tubuh Geuchik Harun, lalu Ma’e abangku! Aku histeris. Tak jauh, kulihat Agam tersungkur dan tak bergerak lagi, lalu Ayah yang berlumuran darah! Tangan-tangan kekar menyeret mereka ke arah truk.
“Bawa mereka ke bukit dekat jalan buntu! Juga gadis itu!”
Aku meronta, me­nen­dang,­ meng­­gigit, mencakar, hing­ga aku letih sendiri. Dan aku tak ingat apa-apa lagi, saat tak lama kemudian, nyeri yang amat sangat me­rejam-rejam tubuhku!
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!”aku berteriak se­kuat-kuatnya.
“Astaghfirullah, Inong! Inong, bangun!”dua tangan meng­gon­cang-goncang ba­dan­ku.
Air­mataku menganak su­ngai, tetapi aku tak bisa ba­ngun, sebab aku berada di da­­­lam jaring! Banyak orang se­pertiku di sini, di dalam ja­ring-jaring merah ini.
“Inong, istighfar….”
Tangan-tangan raksasa itu meng­­­­ayun-ayunkan jaring. Aku dan kumpulan manusia di sini ber­jatuhan ke sana ke ma­ri. Kami tak bisa keluar dari sini! Tolong! Toloo­o­o­o­ong! Di mana sayapku? Di ma­na? Di mana tangan Mak de­ngan cin­cin khas di jari ma­nisnya? Aku ingin menggeng­gamnya. Di mana Ayah, Agam dan Ma’e? Di mana wajah saleh milik Hamzah? Di mana tengkoraknya?
Tangan-tangan raksasa itu meng­­­gerakkan jaring ke sana ke ma­­ri. Aku jatuh lagi. Merah. Silau. Pusing. Pedih. Wajah-wajah dalam jaring pias. Wajah-wajah itu retak, ter­kelupas dan berdarah. Aku men­jerit-jerit dalam perang­kap. Di ma­na sayapku? Aku ingin ter­bang dari sini! Oiiii, tolong ambilkan sayapku! Aku ingin pindah ke awan! Di tanah ke­banggaanku hanya tersisa nes­ta­pa!!
Tak ada yang mendengar. Se­buah pelukan yang sangat erat ku­rasakan. Lalu airmata seseorang yang menetes-netes dan ber­cam­pur dengan aliran air di pipiku.
“Allah tak akan mem­biarkan mereka, Inong! Tak akan! Kau harus sem­buh, Inong! Semua sudah ber­lalu. Peristiwa empat tahun lalu dan rezim ini. Te­gar, Inong! Tegar! La hawla wala quwwata illa bi 'l-Lah….”
Ka­bur. Samar kulihat Cut Dini. Wajah tulus de­ngan kerudung putih itu. Ia me­­ngusap airmataku.
Lalu tak jauh di hada­pan­ku, ku­lihat beberapa o-rang. Di antara­nya ber­se­ra­gam. Tiba-tiba takutku na­ik lagi ke ubun-ubun. Aku meng­­gi­gil dan men­de­kap Cut Dini erat-erat.
“Ia hanya satu dari ribu­an kor­ban kebiadaban itu, Pak. Tolong, beri kami kea­dil­an. Bapak sudah lihat sen­­diri. Oknum-oknum itu men­­jarah segalanya dari pe­­rem­puan ini!”
Takut-takut kuintip lela­ki tegap yang sedang me­na­tap­­ku ini. Apa­kah ia mem­­bawa jaring-jaring un­tuk menangkapku lagi?
“Pergiiiii! Pergiiii se­mua­aaa!” te­riakku. “Per­gii­ii­iiii!” aku menjerit seku­at-kuatnya. "Pergiiiiii!" aku men­­­­­ceracau. Sekujur ba­dan­­ku ber­ge­tar, terasa ber­pu­­tar. Orang-orang ini ter­sen­tak, me­na­tapku kasih­an. Hah, apa peduliku?! Aku ingin ber­te­riak, me­nga­­muk, mem­porak­po­ran­­­dakan apa dan siapa pun yang a­da di hadapanku! Aku….
Tiba-tiba suaraku hilang. Aku ber­­teriak, tak ada suara yang kelu­­­ar. Aku menangis tersedu-se­du, tak ada airmata yang mengalir. A­ku mengamuk panik, teta­pi kaku. A­ku mencari bunyi, men­cari bening, men­­­­cari gerak. Tak ada apa pun. Cu­ma luka nga­nga.
“Inong…, mereka akan mem­ban­tu kita….”
Aku terkapar kembali. Meng­gele­par. Berdarah da­lam jaring.***

Cipayung, 1998


Referensi:
- Data yang diterbitkan oleh Forum LSM Aceh, 5 Agustus 1998.
- Gatra, Republika, Terbit, Kompas ( semua terbitan Agustus 1998).
- Buletin Kontras no 1/Agustus 1998.

Daftar istilah:
Buket Tangkurak : Bukit Tengkorak
Geuchik : Kepala Desa
Cuak : orang yang jadi mata-mata tentara
Ma’e : panggilan untuk Ismail
Mak : Mak
rumoh geudong : rumah gedung (tempat penjagalan)
Mane : nama desa di Pidie
ureung-ureung : orang-orang
that : sekali
ulon hana teupheu sapheu : saya hanya orang biasa
therimoung ghaseh : terima kasih
kherudoung : kerudung

(Dimuat dalam Horison, April 1999)



Pemahat Abad
Oleh: Oka Rusmini

Kopag menjatuhkan pisau ukirnya yang runcing. Hampir saja pisau itu memahat kakinya. Semua gara-gara dia mencium bau yang aneh dari sudut pintu. Seperti bau daun-daun kering dan kayu basah. Aneh, dari mana datangnya bau yang membuatnya begitu gelisah? Bau itu semakin mendekat.
“Siapa itu?”
“Titiang.1 Luh Srenggi.”
“Srenggi? Srenggi siapa?!” Kopag semakin menggigil. Bau itu semakin mendekat dan menyesakkan dadanya. Tangannya jadi lapar. Dia memerlukan alat-alat pahatnya. Pisau-pisau yang runcing terbayang di otaknya. Kopag menggigil ketika bau itu benar-benar menelanjangi wujud laki-lakinya.
"Katakan padaku, siapa kau?!”
"Titiang yang akan melayani seluruh keperluan Ratu.2 Mulai hari ini dan seterusnya.” Suara itu ter­de­ngar gugup.
“Siapa tadi namamu?” Kopag mulai menenangkan dirinya sendiri.
“Luh Srenggi.” Suara itu terdengar bergetar. Suara itu adalah suara perempuan. Apa yang terjadi dengan dirinya? Kopag memaki dirinya sendiri. Aneh sekali, tiba-tiba saja dia seperti ditenggelamkan ke lautan. Suara itu dirasakan penuh dengan keju­juran, kasih sa­yang, dan sangat tulus. Kopag yakin dugaannya ini tidak meleset. Inilah perempuan itu, perempuan yang dicarinya berabad-abad. Sekarang Hyang Widhi me­ngirim untuknya. Seorang perempuan, benarkah sua­ra ini milik seorang perempuan?
Ketika Kopag akan meng­ambil tongkatnya, Luh Srenggi cepat-cepat membantu. Ta­ngan mereka bersentuhan. Ko­pag semakin gelisah. Kulit pe­rem­puan itu terasa seperti kulit kayu. Luar biasa. Perem­puan itu pasti memiliki kecantikan yang melebihi kecantikan se­ba­tang pohon, atau seonggok ka­yu yang paling sakral se­ka­li­pun.
Baru kali ini Kopag me­ra­sa­kan bisa menikmati hidup­nya. Dia bisa memberikan pe­ni­laian yang begitu objektif ter­ha­dap benda hidup yang ber­na­­ma manusia. Biasanya dia ha­nya dijadikan objek, sekedar mendengarkan keputusan orang-orang terdekatnya. Apa pun yang dikatakan orang- orang di sekitarnya, Kopag ha­rus patuh. Kali ini, dia merasa me­nemukan kebenaran yang berbeda dengan kebenaran yang diyakini oleh orang-orang yang selama ini rajin me­na­nam­kan kebenaran yang telah menjadi ukuran mereka.
“Apakah di bumi ini wujud kebenaran itu sudah seragam, Gubreg?” Suara Kopag terdengar getir, “bahkan untuk menilai keindahan itu, aku juga harus memakai kriteria mereka?”
“Kebenaran mereka? Aku tidak yakin mereka mampu melihat seluruh keindahan hidup ini dengan benar!” Suara Kopag terdengar penuh tekanan. Pikir­an­nya kacau!
Kopag sadar, sangat sadar. Dilahirkan sebagai laki-laki buta memang tidak menggairahkan. Karena tak ada perempuan-perempuan yang bisa dilihatnya dengan matanya. Tapi, apakah orang-orang yang me­mi­liki kelengkapan utuh sebagai manusia ketika di­la­hir­kan mampu menangkap seluruh rahasia ke­hi­dup­an ini? Rahasia yang erat-erat digenggam dan di­sem­bunyikan alam? Salahkah kalau tiba-tiba saja Ko­pag menemukan kecantikan yang luar biasa pada diri Luh Srenggi. Kecantikan yang dia lihat dengan pi­­kiran, perasaan, dan keindahannya sendiri. Salah­kah?
Kecantikan perempuan muda itu adalah ke­can­tik­an yang sangat luar biasa. Tubuhnya seperti le­kuk­­an kayu. Seluruh wajahnya juga lekukan kayu. Dia adalah kayu terindah dan tercantik. Aneh sekali tak ada manusia yang bisa menangkap ke­can­tik­an­nya­. Menghar­gai keindahan yang dititipkan alam padanya. Bah­kan Gubreg, pelayan tua itu, juga tidak berkomentar ke­tika Kopag memuji keindahan perempuan delapan belas tahun itu. Apa yang sesungguhnya sa­lah pada kriteria yang telah di­be­rikan Kopag terhadap pe­rem­puan?

***
Kehidupan telah memaksa bocah laki-laki itu memakai label Ida Bagus Made Kopag, agar orang-orang mudah menge­nali­nya dan membedakan dirinya ber­­beda dengan manusia lain­nya. Dia anak laki-laki kedua yang lahir dari keluarga terkaya di Griya. Gelar Ida Bagus me­nun­jukkan bahwa dia adalah anak laki-laki dari golongan Brah­­­mana, kasta tertinggi da­lam struktur masyarakat Bali. Ayah­nya seorang laki-laki sa­ngat ter­hor­mat dan memiliki ke­du­dukan tinggi di peme­rin­tah­an. Dia juga memiliki puluhan galeri lukis dan patung. Sayangnya laki-laki itu memiliki mata yang sangat liar. Laki-laki itu adalah binatang yang paling mengerikan. Kata orang, laki-laki itu bisa tidur dengan seluruh perem­puan. Dia tidak pernah peduli, cantikkah perempuan itu, sehatkah dia? Bagi ayah Kopag, setiap makhluk yang memiliki lubang bisa dimasuki. Suatu hari, se­te­lah berbulan-bulan tidak pulang, laki-laki itu pulang dalam kondisi yang menyakitkan. Tubuhnya kurus dan pucat. Belum lagi hutangnya yang tiba-tiba saja me­num­puk. Seluruh kekayaan ludes. Dalam kondisi seperti itu, laki-laki itu memaksa perempuan yang di­nikahinya untuk bersetubuh. Perempuan itu me­no­lak. Dia tahu, laki-lakinya akan menitipkan daging binatang di rahimnya. Apa artinya kekuatan seorang perempuan? Terlebih, sejak kecil dia terbiasa dididik menjadi perempuan bangsawan yang menghormati laki-lakinya. Dia hamil. Lahirlah seorang laki-laki yang mereng­gut nyawa perempuan itu.
Laki-laki itu harus berperan sebagai laki-laki buta untuk menebus kelahiran dan hidupnya sendiri. Alang­­kah ajaibnya kalau hidup juga bisa diper­main­kan, bisa dibuat sebuah pementasan. Seperti sebatang kayu dengan lekuknya yang begitu menggairahkan, di sanalah dunia itu dibuat untuk laki-laki yang sejak pertama berkenalan dengan aroma bumi dan hidup hanya merasakan kegelapan sebagai bahasanya, hi­dup­nya. Kehidupan yang sering dimaki Kopag ter­nya­ta cukup demokratis. Dia memberi Kopag poin, yang tentu saja tidak dimiliki orang-orang. Dia bisa mengubah kayu kering menjadi sebuah karya seni yang memikat para intelektual seni rupa. Kopag telah merekonstruksi sejarah seni rupa. Kopag tidak saja memahat kayu, dia memahat pikirannya, otaknya, ju­­ga impian-impiannya. Untuk pertama kali, alam me­­­­­­­­­­­­nyerah pada kekuasaannya, seperti Kopag juga me­nyerah pada kebutaan yang harus dia kenakan se­tiap saat. Kebutaan yang mengikuti dia terus-me­ne­rus.

***
Kopag menarik nafasnya dalam-dalam. Dise­n­tuh­nya kayu kering yang selama ini selalu mengantarnya ke mana dia pergi. Jujur saja, Kopag sangat menyukai kayu yang mengenalkannya pada dunianya. Dunia yang diinginkan. Sebuah kesunyian dengan pagar-pa­gar kein­dahan. Tanpa teriakan iparnya yang sering me­nyesakkan kuping.
“Apa bisanya adikmu yang buta itu? Apa? Me­re­pot­kan!” Suara perempuan muda itu selalu meng­ge­li­­sahkannya. Ada-ada saja yang diributkannya. Ta­na­­man di halaman samping rusak atau terinjak ka­ki­nya, kembang sepatu yang baru ditanam pe­rem­puan nyinyir itu tersangkut tongkatnya, atau posisi piring dan gelas berubah di dapur.
Suara iparnya itu akan terus menari-nari di sekitar telinga­nya. Bagaimana mungkin perempuan konon kata orang-orang di desa­nya sangat cantik dan santun itu bisa berkata begitu kasar. Teriakannya saja bisa me­mandulkan pisau pahatnya. Nama perempuan itu Ni Luh Putu Sari. Karena dia bukan kaum Brahmana, perempuan itu harus mengubah namanya menjadi Je­ro Melati. Karena perempuan Sudra, perempuan kebanyakan itu telah menikah dengan kakaknya dan menjadi keluarga Griya.
Orang-orang di luar hanya tahu bentuk tubuhnya yang konon sangat luar biasa, kulitnya yang sering jadi pujian, pokoknya seluruh tubuh perempuan itu selalu jadi pembicaraan kaum laki-laki. Aneh sekali, Kopag sering berpikir, bagaimana sesungguhnya se­buah penilaian yang objektif dalam hubungan antar­manusia di bumi ini. Iparnya yang luar biasa ka­sar dan cerewetnya jadi pujian dan pembicaraan se­l­uruh laki-laki di Griya.
Bagi Kopag, perempuan itu adalah pemain san­di­wara yang ulung. Saat ini dia sangat mengikuti ambisinya untuk masuk dalam lingkungan keluarga Brahmana. Perempuan itu benar-benar serius untuk memasuki perannya sebagai istri laki-laki Brahmana, dia harus menunjukkan pada seluruh manusia di desa ini bahwa dirinya berhak masuk dalam lingkungan ke­luarga bangsawan. Itu yang dira­sakan Kopag, ketika untuk pertama kali iparnya itu menyalaminya. Getar­an tangannya sudah seperti tangan-tangan mayat yang membu­suk. Kopag juga merasakan setiap mulut perempuan itu terbuka, dia mencium bau darah. Anyir. Bau itu seolah berlomba-lomba meloncat dari bi­birnya yang konon sangat mungil, merah, dan sangat pas. Bahkan Gubreg, parekan, pelayan setia yang merawat Kopag sejak kecil, selalu berkata bahwa ber­untunglah kakaknya bisa mendapat­kan perempuan tercantik di desa.
Masih kata Gubreg, Ni Luh Putu Sari yang sejak menikah dan masuk menjadi keluarga Griya bernama Jero Melati itu memiliki kulit yang sangat indah. Postur tubuhnya seperti putri-putri raja Bali.
“Luar biasa kecantikan Jero Melati, Ratu.”
“Seperti apa perempuan cantik itu, Gubreg? Tolong kau kata­kan seluruhnya. Aku ingin tahu, aku juga ingin merasakan. Saat ini aku mencoba percaya pada matamu.”
Laki-laki tua itu terdiam. Dipandangnya mata Ko­pag dalam-dalam. Ada rasa sakit mengelus dada tua­nya. Ida Bagus Made Kopag memiliki tubuh yang sa­­­­­­­­­­ngat bagus. Tinggi, dan tangannya juga sangat ce­katan memahat patung-patung. Sejak kecil kakek­nya hanya mengajari Kopag bersentuhan dengan ka­yu-kayu untuk berkenalan dengan kehidupan. Atau se­sekali mendatangkan guru yang mengajari­nya mem­baca.
“Anak itu buta, Gubreg. Menanggung dosa ayah­nya. Pertumbu­hannya selalu mengingatkanku pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan anakku. Kar­ma­nya jatuh pada anaknya sendiri. Kegelapan itu jadi milik cucuku yang paling abadi. Aku masih percaya kehidupan itu bisa diajak bicara. Kau bisa lihat, kan? Kehidupan sendiri memberinya hadiah yang luar biasa. Cucuku memiliki seluruh mata ma­nu­sia yang ada di bumi ini. Lihat, dia mampu mem­buat pa­tung-pa­tung dengan ukiran sangat sempurna. Jaga dia baik-baik, Gubreg. Anggap dia anakmu!” Itu pesan Ida Bagus Rai, sebelum ber­pulang.
“Gubreg, kau belum jawab pertanyaanku. Seperti apa perempuan cantik itu? Apa seperti bongkahan kayu beringin ini? Dingin, tapi mampu memikatku. Lihat, Gubreg, aku selalu tersentuh. Gubreg, rasa apa yang sering membuatku meluap, apa ini rasa yang di­miliki laki-laki? Ini wujud kelelakian itu?” suara Kopag terdengar pelan.
Hyang Widhi! Penguasa jagat! Kopag memang sudah besar, sudah menjelang dua puluh lima tahun. Dia juga rajin membaca buku-buku dengan huruf braile. Atau sesekali dia dikunjungi orang asing dari Prancis, Frans Kafkasau.
Laki-laki setengah baya itulah yang membuat Gubreg, jengkel! Ada-ada saja yang dibawanya. Kadang-kadang dia bacakan buku-buku bahasa asing, yang diterjemahkannya, tentang Michelangelo Buo­norrty, yang konon, kata Frans, pematung jaman Renaisans.
Susah. Susah. Sejak bergaul dengan Frans ada-ada saja yang ditanyakan Kopag padanya.
“Kau tidak ingin menjawabnya, Gubreg?”
“Jangan bertanya yang aneh-aneh pada titiang, Ratu. Titiang tidak bisa menjelaskan seperti Frans. Tanyakan pada laki-laki bule itu!” Suara Gubreg ter­dengar penuh nada kecemburuan.
Laki-laki tua itu seka­rang ini jadi cepat marah. Dadanya sering mendidih. Rasanya baru mendengar satu huruf keluar dari bibir laki-laki Prancis itu se­luruh isi perutnya seperti ke­luar. Jengkel! Waktu Ko­pag sekarang habis un­tuk diskusi. Laki-laki bule itu telah memberinya di­dik­an yang baru, perhatian yang lain. Kopag tidak lagi membutuhkannya. Ada yang hilang dalam tubuh laki-laki tua itu. Kehilangan yang dalam. Bagi Gubreg, Kopag sudah bagian dari nafasnya. Sejak kecil, dialah yang mengajari Kopag mempelajari tekstur kayu. Seluruh ilmu memahat dia alirkan dalam tubuh bocah kecil yang tidak berdaya itu. Dia juga yang mengajarinya bahwa semua benda punya jiwa, ter­masuk rangkaian pisau-pisau pahatnya. Gubreg pun mengajari Kopag menelanjangi tubuh pisau-pisau pahat, dan menikmati aroma ketajamannya yang luar biasa indahnya. Dia ingat teriakan Kopag ketika pertama kali menyentuh tubuh-tubuh pisau yang telanjang itu. Waktu itu umur Kopag tujuh tahun.
“Gubreg, tubuhku gemetar setiap menyentuh pisau-pisau ini. Keruncingannya, ketajamannya, begitu indah. Begitu penuh misteri. Luar biasa, Gub­reg.”
Kilatan matahari menjilati keruncingan pisau pa­hat itu. Gubreg menyaksikan, betapa sinar ma­ta­hari yang perkasa itu menja­di patah dan tak berdaya ke­tika menyentuh sedikit saja keruncin­gannya. Pisau justru seperti menantang matahari untuk bersabung. Di tangan Kopag pisau itu jadi begitu dingin, angkuh dan selalu lapar.
Sampai menjelang tengah malam, Gubreg belum juga bisa menja­wab arti menjadi laki-laki. Perasaan apa yang sedang bertarung dalam tubuh Kopag? Gub­reg takut. Takut sekali menjawab perta­nyaan tentang esensi menjadi laki-laki.
***

Pagi-pagi sekali, Kopag sudah membuka jendela studionya.
“Aku ingin bercerita padamu,” suara Kopag ter­de­ngar penuh rasa ingin tahu.
“Tentang apa lagi, Ratu?”
“Kecantikan perempuan.”
“Titiang...titiang tidak bisa menceritakan kecan­tikan perem­puan pada Ratu. Semua orang, Ratu, me­mi­liki penilaian khusus tentang hal itu. Perempuan itu....”
Suara Gubreg ter­de­ngar patah. Berkali-kali dia menarik nafas. Dia me­nger­­­­ti. Sangat paham. Dia juga laki-laki, dia juga per­nah merasakan seperti apa percikan nafsu itu ketika pertama kali menampar wu­jud manusianya. Begitu parah, dan teramat meng­ge­­lisahkan ketika tubuh­nya mulai lapar dan me­mer­lukan tubuh lain untuk santapan. Rasa itu tiba-ti­ba saja muncul kembali da­­lam otak, dan tulang-tulangnya yang mulai rapuh membantunya merangkai masa lalunya kembali.
Waktu itu Gubreg seorang laki-laki kumal empat belas tahun. Sering sekali dia disuruh mengantar Da­yu Centaga mandi di sungai Badung. Tubuh perem­puan itu seperti ular yang melingkar dan menjepit ba­tang-batang tubuhnya. Kakinya kram setiap me­lihat tubuh basah itu naik ke atas dengan kain yang hanya sebatas dada. Kaki perempuan itu putih, dan mampu meledakkan otaknya. Terlebih, Dayu Cen­ta­­­ga selalu menyuruh Gubreg menggosok pung­gung­nya dengan batu kali. Aroma tubuh perempuan itu sampai hari ini masih mele­kat erat di tubuhnya. Aro­ma itu tak bisa dihapus oleh usia yang dipinjam Gub­reg pada hidup. Lama-lama Gubreg merasakan sakit yang luar biasa menyerang tubuhnya. Dia geli­sah, dia luka, karena kelaparannya adalah kelaparan yang tidak pada tempatnya. Sebagai laki-laki Sudra, ke­­ba­nyakan, dia sadar tubuhnya tidak boleh melahap tu­buh perempuan Brahmana. Perempuan junjungan­nya, perem­puan yang sangat dihormatinya. Tak ada yang bisa diceritakan kegelisahannya, dia adalah laki-laki tak berguna, yang hidup dari belas kasihan ke­luar­­ga Dayu Centaga. Setiap mengingat batas yang ada an­tara dirinya dan Dayu Centaga, Gubreg selalu me­rasakan tubuhnya dilubangi. Dia sering terjaga tengah malam dengan nafas yang memburu. Hyang Widhi, Gubreg sadar rasa laparnya sudah tidak bisa diben­dung lagi. Tubuhnya jadi pucat. Ke­luarga Griya mencari­kan dia seorang Balian, dukun.
Balian tua itu memberinya jampi-jampi. Tubuhnya dilingkari asap yang sa­ngat menyesakkan aliran pernafasannya. Ka­ta Balian itu, Gubreg sempat membuang kotoran di pinggir sungai. Kebetulan si penunggu sungai sedang beristirahat. Masih kata Balian tua itu, tadinya penunggu sungai itu juga ingin mengganggu Dayu Centaga. Berkat kekuatan Gubreg, Dayu Centaga tidak terkena. Justru Gubreglah yang kena ke­­­marahan si penunggu sungai. Untuk me­ngem­­­balikan kesehatan Gubreg, keluarga Griya membawa sesaji untuk penunggu sungai.
Gubreg tidak bisa bercerita tentang kela­par­an tubuh laki-lakinya. Dia pasrah ketika Balian tua...memandikan tubuhnya di pinggir sungai. Kata­nya agar roh jahat tidak mengenai keluarga Griya. Untuk menghormati kebaikan keluarga Griya, Gubreg bersedia menjalankan runtutan upacara itu.
Tak seorang pun tahu, komunikasi Balian tua itu dengan dunia gaib salah. Gubreg tidak sakit, tidak juga kesambet setan. Dia rasakan perubahan pada tu­buhnya, karena aliran sungai dalam tubuhnya bukan lagi aliran sungai kecil, tetapi sudah menyer­upai air bah. Dan Gubreg tahu air dalam tubuhnya memer­lu­kan muara. Demi Hyang Widhi, dia merasakan cin­ta yang dalam pada Dayu Centa­ga. Cinta yang tidak mungkin dihapus. Cinta yang membuatnya jadi batu, dingin, tidak lagi bisa menikmati kegairahan manu­sia­wi sebagai manusia. Sampai sekarang, menjelang tujuh puluh lima, Gubreg masih setia mengabdi di Griya. Tanpa istri, tanpa kegaira­han sebagai laki-laki.
Kalau sekarang Kopag bertanya seperti apa ke­can­tikan itu, Gubreg paham. Sesuatu yang dahsyat te­lah dititipkan alam pada tubuhnya.
Gubreg menatap tajam tubuh Kopag yang sedang merampungkan pahatannya.
“Gubreg, kau belum juga jawab pertanyaanku,” suara Kopag terdengar pelan. Dia menarik nafas berkali-kali, “Gubreg, kau ingat kata-kata Frans?”
“Yang mana?”
“Frans mengatakan keliaranku membentuk tubuh-tubuh manusia dalam kayu mengingatkan dia pada lukisan Pablo Picasso, Guemica. Pada dasarnya aku se­lalu penasaran, Gubreg. Kenapa kayu-kayu ini se­la­lu mengajakku berdiskusi, mengajakku bicara, ber­dialog, dan berpikir. Aku selalu ingin tahu, selalu ingin mengupas dan melu­kai kayu-kayu itu. Rasa ingin tahu yang begitu besar, sampai menguliti otak­ku, tanganku, tubuhku. Aku juga ingin tahu arti se­tiap impian. Impian-impian yang dimiliki oleh po-hon ketika dia membesarkan ranting-rantingnya, mem-besarkan tubuhnya, sam­pai akhir­nya potongan-po­tongan tubuh itu ada di tanganku. Aku juga memiliki impian-impian sendiri pada patahan tubuh pohon itu. Sua­tu hari Frans dan seorang temannya mengatakan, pahatanku tentang pe­rem­­puan sangat sempurna. Kata mereka, sangat surealis. Kecantikan perempuan yang kuterjemahkan lewat kayu-kayu itu mengingatkan Frans pada ke­liar­an Martha Graham, yang memanfaatkan seluruh tubuhnya untuk mewujudkan jati diri tokoh yang dimainkan. Gubreg, aku merasakan kecantikan pe­rem­puan itu melalui jari-jariku. Kayu-kayu dan pisau te­l­ah memberiku mata yang lain.”
Gubreg tetap diam. Dia mencoba memahami se­suatu yang sangat rahasia dan begitu dalam ingin di­sam­paikan Kopag, seorang anak yang dibesarkan de­ngan cara-caranya, diajar memahami kehidupan. Gub­reg bahkan rela bocah laki-laki itu mencuri lembar de­­mi lembar rahasia perjalanan dan rasa sakitnya se­ba­gai laki-laki yang menghabiskan seluruh hidupnya untuk mengabdi.
Berkat Kopag, keluarga besar ini kembali bisa hidup. Patung-patung Kopag laku keras dan diminati oleh kolektor dari dalam dan luar negeri. Sekarang ini keluarga ini tentram. Jero Melati tidak pernah ce­ri­wis, perempuan itu bebas menggunakan uang Ko­pag semau­nya. Bahkan, kakak Kopag sendiri bisa mem­buka galeri patung yang besar. Saat ini galeri itu sudah tumbuh besar dan menjadi satu-satunya galeri yang paling diakui di Bali karena karya patung yang masuk harus melalui seleksi dan pertimbangan yang teliti. Bulan kemarin, ada bantuan dana dari Jerman dan Prancis.
Gubreg tahu tak ada yang diinginkan Kopag. Laki-laki itu tidak pernah tahu apa arti ada uang atau tidak ada uang. Hanya satu yang ditangkap Gubreg, Kopag memerlukan perempuan.

***
“Kita harus carikan seorang istri untuk Ratu,” suara Gubreg terdengar sangat hati-hati. Mendengar komentar itu, Jero Melati tersenyum.
“Bagaimana kalau dia kawin dengan calon yang telah kusiap­kan.”
“Jero sudah punya calon?”
“Ya. Aku sudah memikirkannya jauh-jauh hari.”
“Siapa?”
“Adik perempuanku,” jawab perempuan itu serius. Gubreg menatap mata perempuan itu tajam. Untuk per­tama kali dia merasa­kan hawa jahat berendam dan menguasai tubuh cantik itu. Benar kata Kopag, perempuan satu ini memang bukan perempuan baik-baik. Otaknya hanya berisi kehormatan.
“Kau harus bisa meyakinkan dia bahwa adikku layak menjadi istrinya.” Suara perempuan itu ter­dengar mirip perintah dan pemaksaan. Gubreg diam. Dia tahu, adik Jero Melati adalah perem­puan paling liar dan nakal. Kata orang-orang kampung, adik Jero Melati bisa menjual tubuhnya. Mengerikan! Padahal perempuan itu sangat cantik. Sayang, dia tidak tahan miskin. Padahal kemiskinan kalau dihayati memiliki keindahan tersendiri.

***
“Gubreg. Aku ingin bicara!” Kali ini suara Kopag terdengar serius. Gubreg mencoba memahami ke ma­na kira-kira arah pembicaraan Kopag. Lima menit tanpa hasil. Kopag seperti linglung, dia terus me­nge­­lilingi studionya.
“Ratu. Ratu ingin apa lagi? Jangan menakuti titiang. Ratu terlihat sangat gelisah.”
“Ya. Aku ingin kawin, Gubreg.” Suara Kopag terdengar sangat serius.
“Maaf Ratu, titiang juga sudah membicarakan dengan Jero dan kakak Ratu.”
“Apa kata mereka.”
“Mereka setuju. Bahkan merekalah yang akan me­milihkan calon istri untuk Ratu.” Gubreg meng­ang­­kat wajahnya, ingin sekali dili­hatnya wajah Kopag berseri. Aneh! Wajah itu tetap seperti batu.
“Aku sudah memiliki calon. Kali ini pilihanku ti­dak bisa diubah!”
“Siapa?”
“Luh Srenggi.”
“Ratu...?!” Gubreg seperti tercekik. Luh Srenggi, apa­kah kuping tuanya tidak salah dengar? Bukankah Luh Srenggi adalah perempuan yang menyiapkan se­luruh keperluan Kopag, membersihkan studionya me­nyiapkan makan, dan mengambilkan pisau-pisau pahat­nya? Perempuan itu bukan perempuan, dia lebih mirip makhluk yang mengerikan, kakinya pincang, pung­gungnya bongkok, ada daging besar tumbuh di atasnya, matanya yang kiri bolong, dia hanya memiliki satu mata. Wajahnya juga rusak berat. Kulitnya be­gitu kasar. Hyang Widhi! Dewa apa yang ada dalam tubuh Kopag. Sadarkah dia, tahukah dia makna ke­can­tikan? Gubreg menarik nafas memegang da­da­nya kuat-kuat.
“Aku telah menidurkan perempuan itu setiap ma­lam, Gubreg. Tubuhnya benar-benar lekukan kayu. Ku­litnya juga kulit kayu. Kau tahu, ketika kujatuhkan tubuhku memasuki tubuhnya, aku tenggelam dan habis. Dia adalah perempuan tercantik. Perempuan yang menga­lahkan kecantikan kayu-kayuku. Ketika dia telanjang, tak ada sebuah pisau pun bisa menan­dingi ketajamannya. Perempuan itu telah mengasah tubuh laki-lakiku.”
Gubreg ambruk. Sebuah pisau pahat menembus dadanya yang tipis.***

1. Saya
2. Panggilan kehormatan untuk bangsawan Bali

(Dimuat dalam Horison, Maret 2000)


Menjadi Batu
Oleh: Taufik Ikram Jamil

Dinihari.
“Pasti dari Jim,” kata hatiku.
Sambil mengangkat gagang telepon itu, aku membayangkan Jim kembali tercungap-cungap menceritakan keluarga Niru menjadi batu. Lalu ia bertanya bagaimana hal itu bisa terjadi, mengapa harus menjadi batu, dan apa yang dapat dilakukan untuk membantu mereka. Ber­kali-kali ia ulangi pertanyaan tersebut, ditingkahi desah ketakutan dan keasingannya menghadapi kenyataan itu.
“Ketika kutinggalkan sekejap tadi, hanya leher sampai kepala mereka saja yang belum menjadi batu,” ka­ta Jim seperti yang sudah kuduga, ya seperti yang sudah kuduga. “Aku kira sebentar lagi semua tubuh me­reka akan menjadi batu, tergolek bagai barang tak berguna. Tapi mereka manusia kan?”
Aku diam, tetapi aku sudah membayangkan, pertanyaan terakhir itu akan dijawab oleh Jim sendiri dengan mengatakan bahwa memang benarlah mereka manusia. Tetapi manusia yang telah menjadi batu tidak akan dapat memfungsikan dirinya, padahal bagian terpenting dalam hidup adalah memfungsikan diri. Sampai pada kalimat tersebut, Jim akan ter­sen­tak sendiri karena ia mafhum bahwa memfungsikan diri adalah sesuatu yang abstrak. Jangan-jangan men­jadi batu merupakan upaya memfungsikan diri juga.
“Tapi mengapa harus menjadi batu?” tanya Jim. “Bagaimana caranya mereka menjadi batu?” lan­jut­nya. “Tak masuk akal, menjadi batu membiarkan diri melakoni benda mati,” kata Jim.
Beberapa saat ia terdiam.
“Ya, mereka membunuh diri,” simpul Jim. Cepat-cepat ia mengatakan, “Oh, betapa mengerikan. Aku takut....”
“Jim...!” panggilku. Tak ada jawaban. “Jim!” ulangku.
“Kau kan tahu betapa Niru adalah bagian dari ke­luargaku juga. Lima belas tahun yang lalu, bukan rentang waktu yang panjang untuk menelusuri hu­bungan kami. Ketika ia masih bujang lagi dan kini pu­nya anak bersusun paku,” kata Jim datar. “Niru telah mengantarkan aku ke jenjang karier seperti sekarang dan menjadi modal besar ba­giku sampai diangkat menjadi profesor. Ia dan ke­luarganya —sebelum kawin— memang po­hon penelitianku, tetapi aku tak pemah meng­ang­gap­nya sebagai sesuatu yang ber­asal dari luar diriku, sehingga ke­tika aku me­ne­li­ti­nya atau orang kampung se­ka­lian, aku me­rasa meneliti diriku sen­diri,” kata Jim.
Tentu saja aku tahu karena akulah yang membawa Jim pertama kali ke desa Niru, se­kitar 150 km dari sini, lan­tas berkenalan dengan Niru. Ya, Niru masih bu­jang bedeng­kang waktu itu; tak lama se­­telah ber­kawan akrab de­ngan Jim, ia yang kawin de­ngan orang se­kam­pungnya, tetap meman­du Jim di la­pang­an. Tak meng­he­rankan kalau di antara ke­duanya terjalin hu­bung­an an­­­­­tara pemandu dengan peneliti sampai di luar batas. Ketika Jim kembali ke negeri asalnya se­te­lah tiga tahun menetap di desa Ni­ru, aku menjadi pe­rantara hubungan mereka ber­dua. Ketika Jim dikukuhkan sebagai doktor di bidang yang ditelitinya yak­ni antropologi ekonomi, Niru dan aku diundang meng­hadiri acara tersebut. Sayang, Niru tak mau da­tang dengan alasan yang tidak jelas walau­pun segala sesuatunya ditanggung oleh Jim.
Hasil penelitian Jim di desa Niru sebenarnya ti­dak­lah terlalu istimewa bagiku, barangkali di­se­bab­kan perhatian kami yang berbeda dan semua per­masalahan di dalam penelitiannya sekaligus kualami sendiri dalam bentuk lain. Dalam kerangka yang lebih kecil dan sederhana dapatlah disebutkan bahwa pe­nelitian Jim menggambarkan bagaimana di desa Niru terdapat berbagai hal yang teramat luar biasa secara ekonomi, tetapi masyarakatnya terbelakang. Suku Montai, begitu orang menamakan asal Niru, se­be­narnya hampir tergolong primitif, tetapi hidup di te­ngah ladang minyak yang kaya raya dengan per­alatan cang­gihnya. Belum lagi pembangunan per­ke­bunan besar-besaran yang tak terbayangkan se­be­lum­nya. Suku Montai berdampingan dengan hal-hal yang wah itu, namun jarak di antara keduanya sangat jauh seperti tak dapat diukur lagi secara metrik, tetapi oleh waktu. Sesuatu yang sebenamya secara umum di­nik­mati tidak saja oleh Niru dan Suku Montai, tetapi ba­nyak orang lain lagi termasuk aku. Mereka dalam keadaan yang tidak bisa membela diri terlebih lagi tidak punya sembarang pembela pun.
“Halo..., Hallo...,” Jim agak berteriak. “Kau dengar atau tidak?”
“Teruskan, teruskan....”
“Aku takut, sangat takut. Aku belum pernah setakut ini.”
Aku menarik napas. Tam­paknya aku harus mela­kukan tindakan karena sudah tiga ka­li ia menel­epon, keta­kut­annya terasa semakin besar. Tetapi belum sem­­­pat aku me­nye­lidiki keberadaannya se­per­ti tin­dakan apa yang di­ha­rap­­kannya dariku, hubungan ka­mi terputus. Cukup lama aku mem­biar­kan gagang telepon melekap di telingaku dengan harapan Jim berbicara lagi, tetapi yang terdengar hanya tut ... tut ... tut....

***
Dinihari.
Aku membayangkan saat ini Jim berlari dari warung telepon yang seingatku ter­le­tak sekitar dua kilometer dari rumah Niru kalau mungkin ia menelepon dari tempat itu, menuju rumah sahabat kami tersebut. Keringat sebesar jagung segera saja mengalir di tubuhnya, dimulai dari puncak hidungnya yang tercacak. Se­bentar ia tercegat di pintu dan sedikit saja ia me­no­lak daun pintu dengan ujung telunjuk, cahaya pelita sudah menyergap mukanya. Wajahnya kelihat­an menyala karena butir-butir keringat seperti tersim­bah cahaya pelita yang merah kekuning-ku­ningan. Angin berkibar, wajahnya pun terlihat berayun. Jim kembali memutarkan badannya, turun ke tanah. Ia me­n­cang­kung pada pipa minyak yang bergaris tengah sekitar 80 sentimeter dan mem­ben­tang tak sampai 15 meter dari rumah Niru. Me­ne­nga­dah. Cahaya bulan se­peng­gal dan kerlip-kerlip bin­tang yang ter­sapu awan hitam tidak menimbulkan sembarang ke­san elok di hatinya, malah ia semakin gelisah.
Jim tak tahu apa yang harus dilakukannya. Ka­ki­nya tiba-tiba saja tertuntun kembali masuk ke dalam rumah Niru. Berat. Langsung saja matanya menyer­gap Niru yang tergolek di sudut. Kaki sampai dada lelaki itu sudah membatu, tinggal mukanya yang ranum seperti tidak mengalami apa-apa, mengajak Jim berbincang. Tak jauh dari Niru, enam anak kecil juga dalam keadaan demikian, menusuk-nusuk hati Jim. Juga Siah istri Niru yang tergeletak dekat dapur, membuat pemandangan di dalam rumah ini bagaikan satu hamparan yang terasa amat asing.
“Aku panggil Tuk Batin ke sini,” kata Jim.
“Jangan!”
“Bontik?”
“Jangan. Duduk saja di sini, sebelum fajar me­nying­sing,” kata Niru.
“Atau Katik, Leman, Ra­ut, dan... .”
Terdengar Niru ketawa kecil. Matanya yang bundar memandang tubuhnya yang sudah membatu. Jim meng­ikuti arah mata itu dengan pan­dangan tanpa ia tahu apa maksudnya. Terasa begitu cepat waktu berlalu, padahal baru beberapa jam sebe­lum­nya Jim dan Niru masih berbicara perkara biasa-biasa saja. Siah dan anak-anaknya ikut terlibat dalam pertemuan dua sahabat lama itu. Jim me­nyadari ke­beradaan Niru dan keluarganya seperti se­k­a­­­­rang tak lama setelah ia mengajak Niru berjalan untuk makan angin di luar. Dulu, menjelang dini hari mereka selalu ber­jalan ke luar, ke pinggir hutan se­latan. Sinar mau­pun cahaya dari maskapai minyak dan pabrik-pabrik sawit serta be­deng-be­deng­nya yang di­pan­dang dari kegelapan kampung ini meskipun membuat hati mereka sayup, juga mampu menghidangkan suasana lain. Sesuatu yang sulit diterjemahkan kalau ti­dak berdiri pada bidang Niru maupun Jim.
Saat pertarna kali menelepon dini hari tadi, Jim me­mang mengatakan bahwa apa yang terjadi se­ka­rang pada Niru dan keluarganya seperti tiba-tiba. Se­telah berkali-kali mengajak berjalan ke luar yang de­ngan senyum ditolak Niru, lelaki itu akhimya menge­luar­kan kakinya. Mengeluarkan kaki yang sudah men­jadi batu. Jim terpelanting, tetapi tak lama kemudian ia cepat menguasai. Ketika Niru menunjuk kaki anak-anak dan istrinya, Jim pun sadar bahwa sesuatu te­lah terjadi pada keluarga ini. Kesimpulan menjadi batu dibuat Jim setelah ia melihat makin malam se­ma­kin banyak bagian tubuh Niru maupun anggota keluarganya yang menjadi batu.
“Tapi Niru, anak-anak, dan istrinya seperti tidak mengalami apa-apa,” kata Jim lewat telepon beberapa jam lalu. “Sungguh, semula aku tak percaya. Tetapi ma­na mungkin aku mempertahankan ketidak­per­ca­ya­an itu kalau aku melihat dengan mata kepalaku sen­­diri bagaimana perlahan-lahan badan mereka berubah menjadi batu. Aku memegang batu itu, keras sebagaimana layaknya batu. Kau tahu bagaimana batu kan?” kalimat Jim bertubi-tubi. Cepat pula ia ber­tanya, “Kau percaya cerita ini?”
“Percaya.”
“Kau percaya?”
“Karena kau tak mungkin berbohong.”
“Ya, aku tak mungkin berbohong.”
“Dan kau mendengar bagaimana Niru terus ber­bi­cara seperti biasa. Ia akan menceritakan ikan yang meng­­hilang dari sungai, damar yang sulit dicari, dan....”
“Bagaimana kau tahu?”
Aku berdehem.
“Bagaimana kau tahu?” desak Jim.
“Lantas, apa lagi yang dapat dikatakan Niru?”
“Dan menjadi batu se­be­narnya bukan pilihan kan? Te­tapi mengapa mereka men­jadi batu?”
Aku ingin menjawab per­ta­nyaan itu, tetapi hujatan Jim _ya, aku katakan se­ba­gai hujatan_ tentang men­ja­di batu tersebut terus sa­ja me­lun­cur dari mulutnya. Aku ingin mengatakan, tapi nan­­ti­lah .... Ya, nanti saja. Apa­lagi waktu itu, ti­ba-tiba sa­­ja sambungan telepon ter­putus dan aku hanya dapat men­­­de­ngar suara tut ... tut ... tut ....
“Sungguh aku tak dapat me­ngerti kalau menjadi batu sebagai suatu pilihan.”
Apa yang dapat dilakukan dengan menjadi batu, semen­tara sekian pertanyaanku kepada Niru ha­nya­lah sia-sia. Ia sedikit pun tak mau menjawab perta­nya­anku. Ia hanya mau mengenang ma­sa-masa lam­pau, soal-soal kemesraan, dan berc­e­rita tentang ka­yang­an yang sudah hilang,” kata Jim dalam telepon sebentar tadi yang kembali terngiang-ngiang dalam telingaku. “Ini sungguh amat me­nakut­­­­­kan aku. Aku takut,” sam­bung Jim, terdengar suar­a­nya tersendat-sendat.

***
Sampai menjelang subuh, telepon masih ter­len­tang. Belum ada lagi panggilan dari Jim, tapi aku yakin bahwa ia segera menelepon. Barangkali selama me­nung­­gu ini aku sempat tertidur dan terjaga karena su­ara batuk istriku. Kudengar juga suara anakku me­nge­rang. Kendaraan mulai lewat di depan rumah. Dari jen­dela, aku melihat bulan tergantung yang caha­ya­nya pucat karena disambar cahaya merkuri di tengah jalan. Bayangan Jim menyeruak di antara cahaya re­mang-remang di dalam rumah ini. Ia seperti duduk di ruang tengah, membaca majalah berita yang kubeli sore tadi. Kakinya ter­ke­pang, kadang-kadang bergoyang-goyang se­ba­gai tanda bahwa ia me­nyenangi bacaan itu.
“Mengapa kau tak per­nah bercerita tentang ham­­­­­­­­­­paran batu yang ber­ben­tuk manusia dan per­alatan hidupnya sehari-hari di sini?” tanya Jim su­atu malam, mungkin tu­­­­juh tahun yang lalu. Ia me­lihat halaman majalah yang memuat tulisan itu dan menyodorkan ke­pa­da­ku. Pandangannya ti­dak lepas dari mataku me­s­­­­kipun aku sudah meng­­­­­­­ambil majalah ter­sebut sambil lewat saja, tak sedikit pun mem­ba­canya kecuali me­man­dang gambar-gambar ham­­paran batu tersebut. Dari mata Jim aku tahu ia sebenamya berkali-kali melontarkan pertanyaan serupa, “Mengapa kau tak pernah cerita ada ham­paran batu yang berbentuk manusia dan peralatan hi­dupnya sehari-hari di sini?”
Sebagai jawabannya aku memandang langit-la­ngit, kemudian kembali memandang majalah itu dan men­cari nama penulisnya. Tanpa sengaja aku me­man­dang gambar batu-batu yang berbentuk manusia, tilam, sendok, lesung, bantal, bahkan alat kelamin le­laki maupun perempuan, yang pernah kusaksikan beberapa kali. Ada juga batu berbentuk kapal, limau, dan entah apa lagi. Konon, batu-batu tersebut adalah wujud dari tindakan sekelompok manusia yang tak mungkin lagi berbuat lain dalam menghadapi ge­lom­bang hidup terutama dalam menolak perintah raja. Sekarang batu-batu itu membesar dan konon pada suatu saat kelak akan memakan lahan sehingga mem­persempit dan semakin mempersempit lahan yang ada. Setahuku, ada dua hamparan batu-batuan seperti itu di sini. Satu hamparan di pinggir pantai dan satu hamparan lagi di dalam sebuah goa di hutan lebat.
Tak ada tanggapan Jim terhadap jawabanku itu. Tapi ia tidak meneruskan bacaannya, malahan masuk ke dalam kamar yang memang kusediakan untuknya kalau ia datang ke sini. Tak lama kemudian ia sudah keluar lagi dengan amat necis. Bau parfumnya me­nye­­ngat sampai aku harus mendengus-denguskan hidung. Seperti biasa ia hanya tersenyum kecil me­li­hat kelakuanku itu sambil meng­­angkat bahu. Me­nyu­­lut rokok sebatang dan menghisapnya dalam-dalam, ia kemudian me­nga­takan ingin keluar. Tak di­ajak­nya aku, tetapi aku menawarkan diri untuk menemaninya sekedar ba­sa-basi karena malam itu aku menunggu tamu, se­orang teman lama. Dini ha­ri, ketika mataku sudah terlayang, baru Jim pulang dengan bau penuh bir.
Keesokannya, pagi-pa­gi lagi Jim mengatakan akan pulang ke Tanah Air­nya. Aku agak terkejut ka­re­na hal ini di luar prog­ram­nya semula. Katanya, ia akan berada di sini ba­rang sepekan dalam urus­an apa yang disebutnya sebagai mengecas baterai, tetapi baru tiga hari ia su­dah merindukan keluar­ga­nya. Aku tak banyak tanya saat itu dan apa pula gunanya karena Jim tidak pemah dapat dihalangi. Niatnya ke desa Niru dengan sen­diri­nya batal walaupun aku sudah mengingatkannya. Sejak saat itu Jim tidak pernah lagi ke sini dan kabar mengenainya kudengar sekali-sekali. Sampailah be­berapa hari lalu saat ia meneleponku dan me­nya­ta­kan keinginannya untuk datang ke sini.
“Aku ingin reuni di Montai, tentu terutama dengan Niru dan keluarganya,” kata Jim seraya tidak lupa mengatakan bahwa ia sudah diangkat menjadi pro­fe­sor. Di bandar udara Jim mengoceh banyak hal me­nge­nai kedatangannya sekali ini terutama tentang penghormatannya atas Montai dan Niru khususnya yang mengantarkannya ke jenjang karier seperti se­karang.
Di desa itu sebagaimana diungkapkannya lewat te­lepon, Niru maupun orang sedesanya tetap seperti da­hulu. Tak ada perubahan. Kalaupun ada peru­bah­an, kelapa sawit di sana sudah menghasilkan sekian kali panen, jalan yang lebar, dan tanah yang kelihatan semakin tandus. Bangunan-bangunan kilang minyak makin menjulang, kendaraan tiada henti-hentinya lalu-lalang di desa itu. Persekitaran desa Niru se­ma­kin terang benderang dengan berbagai fasilitas, ter­ma­suk hotel dan warung telepon yang boleh dika­ta­kan tidak begitu jauh dari rumah Niru.
Di sisi lain untuk menggambarkan keadaan tempat yang didiami Niru dan keluarganya, Jim cukup mengatakan bahwa rumah Niru masih terbuat dari kulit kayu dan tidak memiliki listrik. Rumah atau lebih tepat dikatakan pondok itu pun sudah mundur sampai tujuh kali, sehingga makin terpuruk ke dalam hutan karena pengembangan ladang minyak dan perkebunan. Jim juga mengatakan, tanah yang dibe­linya seluas dua hektar untuk Niru dan sejumlah orang sebagai tanda mata itu sudah berpindah tangan tanpa ganti rugi sepeser pun dan di atasnya telah ber­diri berdegam sebuah hotel. “Ketika kutanyakan hal ini, Niru hanya mengatakan: payah, payah...,” kata Jim.
Waktu itu aku tak sem­­­­­pat mengatakan apa saja yang telah dilakukan Niru dan warga kam­pung itu, bahkan kami di kota ini. Perlu waktu khu­sus untuk meng­a­ta­kannya kepada Jim, tidak cukup hanya melalui te­lepon. Aku berniat se­kali mengatakan hal ini kepa­danya ketika ia pu­lang nanti. Tak ada mak­sud apa-apa kecuali agar ia paham bahwa kami tidak pernah menyerah kepada keadaan. Baik­lah, setidak-tidaknya aku akan katakan sepatah dua kata tentang hal itu ketika Jim menelepon lagi yang kini sedang kutunggu-tunggu.

***
Ternyata penantianku tidak sia-sia. Persis saat azan subuh mulai berkumandang, telepon berderak. Suara napas Jim yang kukenal segera menyambar telingaku, sementara benakku membayangkan bahwa Jim akan mengabarkan kisah baru yang jauh lebih seru. Dari desah napasnya pula aku dapat meraba bagaimana Jim tercungap-cungap, menelan air liurnya beberapa kali, dan tak henti-hentinya mengusap mu­ka. Ketika kutanyakan khabarnya, Jim menjawab dengan sedu-sedan.
“Sudahlah Jim, bawa bertenang.”
Lama tidak ada jawaban dan aku terus-menerus memintanya untuk bertenang.
“Bertenang?” tanyanya kemudian.
“Pulanglah dulu ke sini.”
“Bertenang dan pulang?”
Aku mengogam.
“Bagaimana aku dapat bertenang dan pulang dalam keadaan seperti ini?”
“Ya, memang sulit. Aku akan menjemputmu.”
“Kemudian membawa aku pulang?”
“Ya.”
“Bagaimana aku dapat melakukan hal itu, ke­tika....” Kalimat Jim terputus.
“Ketika kau melihat semua orang di desa itu men­jadi batu?” aku memotong kalimat Jim. Tapi aku me­nyesal karena berkata seperti itu. Untunglah Jim tidak menangkap kelalaian tersebut, bahkan men­ja­dikan­nya sebagai titik awal untuk menceritakan pe­nga­­lamannya yang lain menjelang subuh itu.
“Ya. Ketika itu tanpa seizin Niru aku pergi ke rumah Bontik. Tetapi aku melihat, Bontik dan ke­luar­ganya juga sudah menjadi batu. Aku pergi ke rumah Tuk Batin, ia dan keluarganya juga begitu. Da­­ri sinilah kemudian aku tahu bahwa semua pen­duduk desa ini sudah men­­jadi batu yang pro­ses­nya sama dengan apa yang dialami Niru dan kusaksikan langsung. Ki­ni mereka semuanya su­dah menjadi batu,” kata Jim.
Bermacam-macam su­­­­­­­­sunan orang-orang yang sudah menjadi batu itu. Pada beberapa rumah yang penghuninya tak dikenal Jim, orang yang men­jadi batu terlihat di halaman itu pun dalam berbagai pose. Ada yang sedang mencangkung, berdiri berce­kak pinggang, dan entah macam mana lagi. Bontik, kawan Niru sejak kecil dan cukup dikenal Jim, salah se­orang manusia yang menjadi batu di halaman, se­dang­kan istri dan tiga orang anaknya berada di be­lakang rumah. Tiga anak mereka yang lain berada di dalam rumah dengan berbagai macam pose. Begitu pula Tuk Batin yang terlihat duduk di bendul dengan mu­ka tegang, sedangkan istri dan anak-anaknya tergelimpang di halaman.
Barangkali dipengaruhi oleh kedekatan hati, ia melihat Niru yang sudah menjadi batu lebih dulu. Lelaki ini beserta anggota keluarganya berada dalam rumah. Tetapi Niru setengah duduk: kaki sampai ping­­gangnya sejajar dengan lantai kaki kanan meng­him­pit kaki kiri; sedangkan pinggang sampai kepa­la­nya membuat garis 120 derajat. Tangan kanan me­no­­pang kepalanya, sementara tangan kiri melempai meng­­ikuti bentuk pinggang. Tetapi mata Niru.... Ma­ta­nya memandang tembus ke langit. Atap rumah yang terbuat dari daun nipah yang seharusnya menghalangi mata Niru memandang ke luar, ternyata bocor. Cahaya bulan sepenggal yang masuk ke dalam rumah melalui lubang itu tepat menimpa mata Niru, se­hing­ga alat indera tersebut seperti menyala dan me­lahir­kan suasana yang sungguh sulit dilukiskan kata-kata.
Ia menerangkan tentang bagaimana ia berlari dari satu rumah ke rumah lain dengan napas terengah-engah. Tidak sekali dua ia tersampuk benda-benda yang tak sempat dilihatnya sehingga ia tersungkur ke tanah. Luka pada beberapa bagian tubuhnya tak terasakan lagi. Ia berharap agar semuanya ini hanya mimpi kosong belaka, tetapi semakin besar harapan itu bergumul dalam pikiran dan perasaannya, semakin besarlah kesadarannya tentang kenyataan ini. Di antara rentangan sikap semacam itulah ia tergantung dan saling tarik-menarik. Ketika ia sampai pada ujung rentangan menolak, dengan cepat ia meluncur ke rentangan menerima kenyataan tersebut. Sebalik­nya belum sempat ia menyadari keadaan dirinya me­ne­rima kenyataan itu dengan hati jernih, ia meluncur pu­la ke rentangan yang menolak.
Entah berapa kali Jim bolak-balik di antara satu rumah ke rumah lain yang sekaligus menyaksikan orang-orang sudah menjadi batu tanpa mengerti mengapa ia bertindak demikian. Seolah-olah bagian-bagian tubuhnya bekerja sendiri-sendiri. Ketika kakinya melangkah sesungguhnya tangannya hanya ingin berdiam, bahkan kadang-kadang terasa kalau kaki kanan ingin ke depan, kaki kirinya ingin ke belakang atau ke samping kanan maupun ke samping kiri, sementara otaknya melayang entah ke mana. Walhasil ia harus mengeluarkan tenaga sedemikian banyaknya dengan sia-sia. Ia merasa amat letih, tetapi ia tidak dapat mengenal keletihan itu sehingga tidak mampu pula diatasinya. Ia seperti orang sasau --di antara gila dengan waras.
Ia kemudian terhenyak di anak tangga ru­mah Ni­ru tanpa dapat membagi perasaan. Dengan sedikit si­sa kesadaran sebagai orang waras, selanjutnya ia memekik keras berkali-kali. Entah apa yang dipe­kik­nya, ia tak tahu. Pekikan itu pulalah yang seolah-olah mengan­tar­kan kakinya melangkah ke warung telepon dan kembali menelepon aku.
“Tapi aku bertambah kecewa, bertambah kecewa karena kau menyuruh aku pulang; seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa di sini. Seharusnya, kita berbuat sesuatu menghadapi kenyataan ini. Bukan bermaksud men­jem­put­ku pulang. Di mana letak dirimu sebagai ma­nu­sia?”
Aku diam.
“Kemanusiaanmu sudah tak berguna. Kau sudah mati. Kau sedikit pun tidak memiliki perasaan,” Jim marah besar. Suaranya lantang ber­kumandang, terasa seperti jarum menusuk telingaku.
“Kau bangsat, taik kucing!” Jim menghempaskan gagang telepon.
Tanpa merasa tersinggung sedikit pun, aku juga meletakkan gagang telepon. Meraih kursi dan pelan-pelan meletakkan tongkeng di kursi, kemudian me­nyan­darkan tubuhku ke sandarannya sehingga aku benar-benar rebah. Memandang ke langit-langit, aku berkata pelan, “Kalau saja Jim tahu bahwa nanti malam, giliranku, keluargaku, dan para tetangga yang menjadi batu seperti sudah dialami sekian banyak warga sebelumnya. Kalau saja Jim tahu, semuanya ini sudah direncanakan secara detil sejak dua tahun lalu sehingga aku mengetahui apa-apa saja yang di­alaminya di desa Niru walaupun ia tidak menelepon.”
Sungguh, hanya dengan menjadi batu saja kami dapat bertahan.***

(Dimuat dalam Horison, September 1997)


Para Pemburu
Oleh: Agus Noor

Purnama mengapung di telaga, sesekali meleleh oleh arus gelombang. Kami me­man­dangi­nya dengan gamang. Angin bergegas pergi oleh kedatangan kami. Seperti juga semua makhluk yang ketakutan mendengar gemuruh kaki kami. Hingga kami merasa benar-benar sendiri, ditangkup sunyi daun-daun yang mandi cahaya. Kami beri­stirahat di pinggir telaga itu, hanyut oleh pikiran kami. Mele­takkan semua senjata yang selama ini kami jinjing dan gendong. Sebagian dari kami langsung merebahkan tubuh atau bersandaran pada batang pohon dan gundukan batu. Sebagian lagi menyempatkan diri membersihkan wajah terlebih dahulu, melulurkan kesejukan pada lengan dan kaki yang bengkak.
Inilah perjalanan terjauh dan terlelah kami, se­belum sampai ke telaga ini. Inilah pertama kali kami merasa begitu lelah, setelah bertahun-tahun memburu buruan kami yang bergerak begitu cepat. Kami seperti mengejar kilat. Seluruh kekuatan dan pengala­man kami sebagai pemburu telah kami keluarkan sampai tandas, tetapi kali ini, buruan kami tetap saja melenggang bebas. Membuat kami begitu merasa terhina. Seakan sia-sia kebesaran kami sebagai pemburu yang telah berabad-abad mengabdikan hi­dup dan peradaban kami hanya untuk berburu. Kami adalah bangsa pemburu yang besar. Siapakah yang tak tahu akan hal itu? Kami tak pernah gagal mem­buru sesuatu. Telah kami jelajahi seluruh hutan. Telah kami bongkar tiap lekuk pegunungan. Telah kami sibak semua palung lautan. Nenek moyang kami telah membentuk kami sebagai pemburu paling ulung.
Lagu-lagu kami adalah lagu-lagu perburuan. Legenda kami adalah penaklukan puluhan bina­tang buruan. Kami tak pernah ter­go­­da menjadi petani atau peda­gang. Tak ada yang lebih terhormat bagi kami, nenek moyang dan anak cucu kami, selain menjadi seor­ang pemburu besar yang sanggup merobohkan gajah dengan satu gerakan. Cerita-ce­rita penaklukan, mengantar tidur anak-anak kami. Menjadi hutan lebat yang tumbuh da­lam kepala mereka. Setiap dari kami dibesarkan dalam be­lu­kar. Kami sudah tahu bagai­ma­­na menyembelih wildebeest, sejak kami masih dalam kan­dung­an. Kami mengembara dari satu benua ke benua lain­nya, untuk memburu bina­tang-binatang, bukan sebagai cara kami bertahan menghadapi hi­dup, tetapi lebih untuk ke­bang­ga­an dan kehormatan.
Sampai kemudian kami me­nyadari, betapa binatang-binatang di dunia ini perlahan-lahan telah habis kami buru. Membuat kami cemas, melihat kehormatan kami akan goyah suatu ketika. Apalah arti kami bila tak lagi hidup sebagai pemburu. Barangkali, bina­tang-binatang itu juga sudah terlalu hafal dengan kami. Maka mereka buru-buru menjauh pergi, begitu tercium bau kami. Tetapi mungkin juga memang binatang-binatang itu sudah habis kami bunu­hi. Gajah, badak, macan, rusa, ular, serigala dan segala macamn­ya. Sampai kelinci, tupai dan tikus, telah lenyap kami tangkap. Maklumlah, dari tahun ke tahun, jumlah kami memang makin membesar. Setiap bulan hampir seratus anak kami lahir, sementara orang-orang tua kami bagai tak bisa mati. Mereka sudah renta, tapi tak gampang mati. Banyak di antara kami yang sudah berusia 7890 ta­hun, tetapi masih sanggup berlari mengejar antelope, kemudian menghan­tam kepala binatang itu dengan kepalan tangan, hingga pecah berantakan. Dan itulah kehormatan.
Tapi sudah lama kami kesulitan menegakkan kehormatan macam itu. Karena, seperti kami ka­takan tadi, semua binatang telah habis kami buru, kami bunuh.
“Perburuan tak mungkin berhenti!”
“Kita akan cepat renta bila sehari tak memburu apa pun!”
“Takdir tak bisa dihentikan.”
“Lantas bagaimana?”
“Apa pun yang terjadi kita mesti memburu sesuatu!”
“Memburu apa?”
Itu membuat kami terdiam. Sampai kemudian ide brilian ter­lontar. Kami akan memburu manusia, untuk menggantikan binatang yang kini telah musnah. Maka kami pun membeli ratusan budak. Mereka kami beri kesempatan untuk bebas, dengan cara melarikan diri. Me­reka kami lepas ke tengah hu­tan, membiarkan mereka lari dan menghilang, baru kemudian kami memburu mereka. Itu men­jadikan kami begitu ba­ha­gia. Bahkan membuat kami le­bih merasa sempurna sebagai pem­buru. Memburu budak-bu­dak itu lebih mengasyikkan da­ri­pada memburu binatang. Me­re­ka lebih menantang untuk ka­mi tak­luk­kan. Anak-anak kami pun nampaknya lebih suka de­ngan perburuan macam itu. Lan­­­tas, perlahan-lahan, kebia­sa­an baru tumbuh dalam ke­hi­dupan kami. Menjadi tradisi. Kami tak lagi memburu binatang, tapi manusia. Kami membeli juga para penjahat yang telah divonis mati. Kepada mereka kami tawarkan kebebasan, “Masuk­lah dalam hutan, lari. Selamatkan kehidupanmu. Ja­ngan cemas, meski kami akan memburu kalian, ka­lian masih punya kesempatan untuk memper­panjang kehidupan. Meskipun kalian juga tak luput dari kematian. Tapi itu lebih baik bagi kalian, daripada ma­ti di tiang gantun­gan: tak lagi punya pilihan. Mati dalam perburuan ini lebih terhormat bagi kalian. Ang­gap semua ini hanya permainan. Semoga nasib baik ber­sama kalian... .”
Dan para pesakitan itu pun kami lepas dengan upa­cara kehor­matan. Kami iringi dengan lengkingan terompet dan juga dentuman meriam. Selamat jalan. Inilah hidup yang sesungguhnya, yang membuat kalian akan merasa memiliki harga sebagai seorang pe­saki­tan. Adakah yang lebih menyenangkan, selain melakukan perburuan semacam ini? Mereka kami beri kehidupan sekaligus batas kematian. Setiap detik adalah pertarungan. Banyak juga di antara kami yang mati dalam perkelahian. Para penjahat itu, memang makhluk yang tak gampang menyerah. Liat dan sigap. Dan itu, sungguh, sasaran perburuan yang meng­gai­rahkan.
Rupanya, tak hanya kami yang suka dengan per­main­an semacam itu. Ketika kisah-kisah kami men­jalar ke banyak negara, banyak orang di luar suku ka­­mi, mendatangi kami, untuk ikut menikmati per­bu­ruan itu. Mula-mula, banyak di antara kami yang menolak, karena hal itu dianggap akan mengotori ke­murnian darah pemburu kami. Tetapi kami tak bisa menolak, ketika dari banyak yang datang kepada ka­mi itu adalah para jenderal, orang-orang besar di negara mereka, para raja, puluhan kepala negara, para bangsawan dan pengusaha besar. Para bangsawan, yang memang memiliki ke­­bia­saan berburu se­per­ti kami dan memiliki la­han-lahan perburuan yang luas, mengijinkan tem­pat-tem­pat itu untuk kami kelola dan kem­bang­kan sebagai ladang perburuan yang le­bih me­nan­­tang dan menye­nang­kan. Bahkan mereka men­­­janjikan kami lahan-lahan perburuan yang le­bih luas. Para jen­deral me­nyediakan kami senjata-senjata paling mutakhir. Para pengusaha mensub­sidi kami modal bermilyar-milyar. Para raja dan ke­pa­la negara mem­per­silah­kan kami untuk memilih rakyat mereka sebagai binatang buruan. Hingga kami tak lagi kekurangan buruan. Kami tak hanya punya ke­sem­patan memburu para penjahat yang telah di­vo­nis mati, tetapi kami bebas memilih siapa pun yang pa­ling menyenangkan ka­mi buru. Malah sering para raja dan kepala negara mem­­beri kemudahan ka­mi dengan memberi lisensi untuk menghabisi para tokoh oposisi yang tak mereka sukai, para de­mons­tran untuk kami habisi. Juga kaum intelektual yang se­lama ini mereka benci. Ah, begitu melimpah bu­ruan kami.
Kami bangun juga istana-istana, tempat kami berpesta setelah seharian berburu. Kami menjadi kaum pemburu yang kian kokoh dan terhormat. Kami perlahan-lahan meninggalkan cara hidup kami di hutan, dengan setiap malam tidur di ranjang yang bersih dan nyaman. Kami tak lagi hanya terbiasa dengan bunyi pedang, tetapi juga denting gelas dalam kehangatan pesta.
“Ini darah seorang penyair untukmu, jangan se­dih... .” Gelas kami beradu, dan kami tertawa ba­hagia. Begitulah memang mestinya nasib penyair yang tak menulis syair puja-puji bagi keagungan kami. Hidup pemburu agung!
Kami pun menjadi kelompok pemburu yang besar, yang melintas bagai badai dan gelombang, meng­gu­lung apa pun yang kami sukai. Di antara kemeriahan pesta, kami terus menuliskan sejarah kami yang agung. Perburuan bukan lagi perkara kebesaran dan kehormatan, tetapi juga, terkadang, keisengan. Ka­mi, yang telah menjadi se­ke­lompok pemburu yang pa­ling kuat, dengan du­kun­gan dana yang me­lim­pah, pasokan senjata yang bagai anggur mengalir da­lam ge­las-gelas kami, men­­jadi tak tertandingi. Kami ber­diri di puncak menara per­adaban, sendiri. Itu se­ring membuat kami ter­usik sunyi. Apakah arti ke­kuat­an bila tak ada tan­tangan yang sepadan? Tak ada lagi yang sanggup me­la­wan kami. Ketika ka­mi menjarah perem­puan dan membunuhi anak-anak, ketika kami mem­bu­ru ri­buan orang Yahudi un­tuk kami kirim ke kamp kon­sen­trasi, ketika kami me­nem­ba­ki anak-anak Pa­­lestina, ketika kami mem­­­­buru dan membantai orang-orang muslim di Bos­­nia, ketika kami me­ngirim pasukan pem­bu­ru ke ba­nyak negara untuk me­luluhlantakkan apa sa­ja, tak ada lagi kegairahan karena kemenangan. Tak ada lagi yang berani menggertak kami, sehingga permainan menjadi tak lagi begitu punya arti. Kami terus memburu, kami terus bergerak dari benua ke benua dari zaman ke zaman, melintasi gelombang waktu, menumpuk tengkorak kepala korban kami hingga menggunung sampai menyentuh awan, tetapi kami selalu dirundung sunyi. Apalah arti semua itu bagi jiwa pemburu kami? Semua itu bukan lagi gairah petualangan dan tantangan, tetapi penaklukan yang membosankan. Karena kami sudah terlalu kuat, hingga pertarungan menjadi tak sepadan. Kami seperti kehilangan buruan yang mengasyikkan.
“Kita harus melakukan sesuatu. Jangan biarkan anak-anak kita menjadi pucat dan pasi. Jangan biar­kan mereka menjadi lembek karena rasa sunyi ini.”
Lalu seseorang yang paling tua di antara kami, yang sudah berumur 100 juta tahun lebih, menyaran­kan kami agar mengumpulkan para kiai. Suaranya sudah gemetar, seakan maut sudah menyentuh bibir orang tua itu.
“Untuk apa mengumpulkan para kiai itu?”
“Aku sudah mencium ajalku. Dan aku ingin, sebe­lum maut menjemputku, aku ingin menikmati per­bu­ruan yang paling menggair­ahkan.”
“Apa hubungannya dengan para kiai itu?”
“Kumpulkan mereka, dari seluruh dunia. Suruh mereka menye­diakan malaikat untuk kita buru!”
Kami terpukau oleh gagasan itu. Membuat darah kami mengge­lembungkan jiwa pemburu kami. Gairah menjalar, membangkitkan imajinasi kami. Ya, malaikat, kenapa kami tak memburu malaikat?
“Jibril! bagaimana kalau kita minta Jibril!”
“Kami bersorai, anggur segera kami tuang dalam gelas, bersu­lang, me­nyam­but hari depan kami yang gi­lang gemilang. Panji per­bu­ruan berkibar. Kami segera meng­himpun topan. Kami se­gera menge­luarkan selu­ruh senjata kami. Dan tentu, kami segera mengumpulkan para kiai. Mereka kami da­tang­kan dari semua penjuru, kalau perlu dengan paksa dan kekerasan.
“Kami ingin Jibril,” kata ka­mi kepada mereka. “Kami tak mau tahu, bagaimana ca­ra kalian mendatangkan Jib­ril bagi kami. Apakah kalian akan shalat sepanjang hari? Apakah kalian akan berdoa dan mengaji? Apakah kalian akan menangkar atau menjebak Jibril dengan sebuah perangkap? Kami tak mau tahu dengan itu semua. Sekarang, katakan kepada kami, kapan kalian bisa menyediakan Jibril bagi kami?”
Kami tatap wajah para kiai itu, mencari kepastian dalam mata mereka.
“Baiklah,” tegas kami, “kalian kami beri waktu satu bulan. Bila selama ini kalian tak bisa men­da­tang­kan Jibril bagi kami, kami akan membikin per­hi­tungan sendiri... .”
Mereka, para kiai itu, kami giring ke sebuah ista­na kami yang paling megah. Tetapi mereka menolak, dan meminta kami untuk membawa mereka ke se­buah kaki bukit di mana ada sebuah masjid kecil di ping­gir hutan. Kami turut kemauan mereka, meski sesung­guhnya heran. Apalagi ketika kami melihat sendiri masjid itu. Benar-benar masjid kecil yang tak terawat. Seluruh bangunan itu terbuat dari pelepah kayu, telah lapuk. Luasnya tak lebih dari lima kali li­ma tombak. Bagaimana tempat sekecil itu me­nam­pung jutaan kiai yang kami himpun dari seluruh penjuru ini.
“Kalian jangan bercanda!” teriak kami.
“Kalianlah yang bercanda, dengan meminta kami mendatangkan Jibril.”
“Baiklah... .”
Lantas kami membiarkan satu persatu para kiai itu masuk masjid kecil itu, membuat kami begitu ternganga, ketika hampir separo dari jutaan kiai itu sudah masuk ke dalam masjid, tetapi masjid itu tak juga penuh. Pintu itu terbuka untuk menerima siapa pun masuk ke dalamnya. Barisan kiai masih antri di depan masjid itu, berkelok-kelok mengikuti gigir bukit, seperti barisan semut yang begitu tertib menuju lubang sarang mereka. Jutaan kiai masuk ke dalam masjid yang bagi kami hanya cukup untuk tidur dua puluh orang, itu pun pasti sudah ber­himpitan, bagaimana mung­kin? Tapi, itulah yang kami saksikan. Sampai ke­mu­dian semua kiai telah ma­suk dalam masjid itu. Dan ka­mi mendengar gema dzikir dari dalam sana, mengalun menidurkan rerumputan, se­pan­jang hari sepanjang malam. Gema itu melam­bung, menyentuh langit. Ka­dang kami merasa ada yang menggemericik dalam hati kami karena gema itu. Se­perti batang-batang pohon yang bergoyang itu, seperti daun yang mel­ayang-layang itu, yang hanyut dibuai dzikir para kiai. Kami me­ma­garbetis masjid itu, tak membiarkan seekor tikus lolos dari amatan kami. Kami tak mau kecolongan. Kami tak mau ditipu para kiai itu, jangan-jangan semua itu sihir belaka. Kami terus berja­ga, takut me­re­ka akan keluar dan meloloskan diri ketika kami tertidur.
Satu bulan lewat, menguap begitu cepat, bersama angin dan embun. Membuat kami cemas, sekaligus ma­rah, ketika para kiai itu tak juga muncul dari dalam masjid. Segera kami kirim seseorang untuk menemui mereka. Namun orang itu tak kembali. Membuat ka­mi tambah cemas menunggu, kemudian kembali me­ngirim utusan untuk menemui para kiai di dalam mas­jid itu. Tetapi seperti yang perta­ma, orang kedua kami pun tak kembali. Kami panggil namanya, tetapi tak kunjung keluar jua. Kami kirim utusan kembali, mem­­­­per­ingatkan para kiai bahwa waktu sudah habis buat mereka. Tapi seperti yang pertama dan kedua, utusan kami ini pun tak muncul lagi meski kami sudah menanti lebih lima hari. Begitulah berkali-kali, setiap orang yang kami kirim untuk menjumpai para kiai, tak pernah muncul kembali. Sementara suara dzikir itu terus saja bergema, membuat udara bergetar dan perasaan kami gemetar. Lantas kami tak bisa lagi sabar. Kami berteriak menyuruh para kiai itu keluar, tetapi hanya gema dzikir membalas suara kami. Kami sudah cukup punya pengertian, bukan?
Jangan salahkan kami. Dan kami segera me­nyer­bu, masuk dalam masjid itu, tetapi, luar biasa, semua dari kami yang masuk ke dalam masjid itu, lenyap seketika, raib begitu saja. Tiba-tiba tubuh mereka hilang tak berbekas, bagai masuk ke tabir ruang dan waktu pada dimensi lain, tertelan dan lenyap. Kami panik. Kemara­han kami menyalakan api di tangan, berkobar dan segera kami lempar pada mesjid itu. Kami bakar masjid itu, hingga kayu-kayu ber­ge­me­re­takan, dan api melahap cepat, membumbung.
Namun dzikir itu masih kami dengar, di pucuk api berkobar.
Pada saat itulah, seseorang di antara kami ber­te­riak, mem­buat kami tengadah ke puncak api. Dan, ya Allah, di sana, di puncak kobaran api, kami melihat selesat biru cahaya menatap kami, dengan sayap terentang sampai ujung paling jauh dari semes­ta.
“Jibril!!”
“Jibril!!”
Seketika kami berteriak, antara takjub dan panik, gembira dan tak percaya, melihat impian kami sudah di depan mata. Apakah ini keajaiban yang dikirim bagi kami?
“Buru!”
Teriakan itu, mendadak menyadarkan kami, betapa memang inilah yang selama ini kami tunggu-tunggu. Jibril, kini telah muncul di hadapan kami, kenapa kami malah bengong begitu? Maka, dengan sigap kami segera meraih senjata-senjata kami. Tom­bak, anak panah, desing senapan mesin, roket dan basoka, dengan cepat berlesatan ke arah selesat ca­ha­ya biru itu yang dengan cepat bergerak dengan sayap mengepak.
“Kejar!”
Kami pun melesat, mengejar Jibril. Bertahun-ta­hun kami memburu. Membiarkan kaki kami koyak oleh duri, membiarkan rambut dan jenggot kami memanjang tak terawat. Kami tak punya waktu untuk memikirkan itu semua. Jiwa pemburu kami bergelora oleh gairah perburuan kali ini. Inilah per­buruan paling menakjubkan bagi kami. Setelah ber­abad-abad kami hidup sebagai pemburu, setelah ber­ma­cam pengalaman perburuan membuat kami jadi pem­buru sejati, inilah sesungguh-sesungguhnya per­bu­ruan yang sejati. Tombak terus beterbangan, roket te­rus berlesatan, jaring-jaring baja telah kami ren­tangkan, ranjau-ranjau telah kami tanam, perang­kap telah kami pasang, agar kami mampu meringkus Jibril. Inilah buruan kami yang abadi. Ke mana pun Jibril melesat, kami memburunya.
Sam­pai kami tiba di pinggir telaga ini, yang me­nyimpan bayangan bulan. Sebagian besar dari kami ki­ni benar-benar renta. Kami tak sempat istirahat. Kami tak pernah tidur di satu tempat, hingga telah lama anak-anak kami tak lahir. Kami begitu sibuk memburu Jibril. Banyak dari kami yang mati dalam perburuan ini, dan kami pun tak sempat me­ngu­bur­kan­nya. Karena kami harus terus mengejar Jibril. Kami tak mau kehilangan jejak. Dan memang, kami benar-benar tak pernah punya waktu istirahat. Ketika kami baru saja rebahan dan membasuh kelelahan kami di telaga itu pun, mengharap kesegaran akan membuat tenaga kami kembali muda, kami sudah harus kembali pergi ketika pada bayangan bulan, kami lihat jejak cahaya.
“Ke sana!” seseorang dari kami berteriak, dan lang­sung mele­sat. Di seberang telaga sana, kami melihat buruan abadi kami, mengepakkan sayap-sayap ca­ha­ya-Nya.
Ma­ka kami pun kembali bangkit, meraih peralatan berburu kami. Segera menghambur, melanjutkan pem­buruan abadi kami.***

Yogyakarta, 1995-1998
(Dongeng Buat Mas Danarto)

(Dimuat dalam Horison, Januari 2000)


Gank
Oleh: Syahril Latif

1
Gang Haji Abdul Jalil adalah sebuah gang sempit yang terletak persis di depan Kuburan Karet yang terkenal itu. Sebuah gang sempit yang tak berarti, sehingga kau tidak akan menjumpai dalam kartu pos bergambar untuk promosi pariwisata, seperti Taman Mini, Monas, Dunia Fantasi Ancol, Hotel Indonesia, dan lain sebagainya. Tapi inilah gambaran kota yang sebenarnya, di mana penduduk tinggal tumplek berdesakan.
Anak-anak remaja mengganti huruf pada Gang itu dengan k, sehingga menjadi Gank. Tak tahu siapa yang mengubahnya. Tapi semua orang seperti sudah maklum, dapat menduganya, siapa lagi kalau bukan salah seorang di antara kami.
Belakangan, ada yang mengubahnya: Gank Haji Abdul Jackal. Namun, apa pun namanya, semua orang mengenalnya sebagai Gang Haji Abdul Jalil. Kadang-kadang, untuk cepat dan mudahnya, oleh tukang, beca terutama, disingkat saja menjadi Gang Jalil.
Apalah arti sebuah nama.

2
Di gang itulah aku dan teman-teman tumbuh dan dibesarkan. Di sana, di jalanan yang sempit itu, anak-anak bermain gundu, main bola kaki, berkejaran, main layangan, main petak-umpet, main galasin. Sementara gadia-gadis kecilnya duduk bersila main masak-masakan, main congklak, atau melompat-lom­pat main engklek. Dan apabila ada mobil lewat, yang terpaksa merayap pelan bagai keong, anak-anak menyibak ke tepi. Kemudian mengumpul kembali memenuhi jalanan, setelah mobil berlalu. Seakan, seperti setelah biduk lalu kiambang bertaut.
3
Penghuni gang itu terdiri dari berbagai suku, yang bercampur-baur menjadi satu dengan pen­duduk asli Betawi, sehingga kami tak merasa lagi per­be­da­an­nya. Kami telah lebur jadi satu: penghuni Gang Haji Abdul Jalil.

4
Rata-rata, semua kami miskin dan karenanya kami saling mengenal dan akrab satu sama lain.

5
Sebagai gambaran kemiskinan, rumah-rumah, kami pun sederhana, berukuran kecil dan tak teratur bentuk dan susunannya.
Ada juga satu dua rumah gedung yang ber­pe­ka­rang­an luas dan bertaman, membuat ke­ha­di­r­an­nya bagaikan putri raja di tengah rakyat gembel, yang se­ge­ra mengundang tamu atau teman kami yang da­tang berkunjung, bertanya heran: “Rumah siapa yang cakep itu?”
“Itu rumah pegawai pajak,” begitu kami selalu menjelaskan.
“Pantas!” jawab mereka. Dan tanya lagi, “Yang di sebelahnya?”
“Rumah pegawai Bea Cukai.”
“Lebih pantas lagi,” kata mereka, dan tanya lagi, “Yang di seberangnya?”
“Itu mah, pegawai negeri biasa saja.”
“Kok sama hebatnya?”
“Maklum, menjabat bagian basah.”
“Bagian apa?”
“Tau, dengar-dengar bagian pembelian atau per­izinan. Tak tahulah. Kok, ngurus hal orang lain, sih?

6
Di sini dapat kau jumpai segala macam orang: tukang sol sepatu, tukang kayu, montir, kenek, pedagang kaki lima, penjual nasi Padang dan Tegal, tukang cukur, guru sekolah, dosen, pelayan toko, sopir, makelar, satpam, tukang listrik, pegawai negeri dan swasta, bidan, perawat dan lain sebagainya.

7
Jika lagi kehabisan, ibu-ibu kami saling pinjam garam atau korek api atau bumbu masakan kepada tetangga. Kadang-kadang mereka saling antar-meng­antar sayuran atau makanan kecil. Kadang menum­pang menjahit baju anak di rumah tetangga yang pu­nya mesin jahit. Dan andaikata ada pompa air yang rusak, atau listrik yang korsleting, tetangga lain akan cepat turun tangan memberikan bantuan perbaikan.

8
Sesekali, ibu-ibu kami terlibat juga dalam per­teng­karan kecil. Biasanya, soal anak-anak, yang be­ran­­tem. Anehnya, sementara ibu-ibu itu masih ber­sungut-sungut, anak-anak mereka sudah ber­baik­an kembali.

9
Kurasa gang kami tak pernah sepi. Macam-ma­cam­lah sumber kebisingan itu: radio atau kaset yang tak henti-hentinya distel, teriakan anak-anak bermain, teriakan penjaja sayuran dan makanan. Dan lepas tengah hari, di saat warga sedang terkantuk-kantuk dise­ngat panas Jakarta, terdengar mengalun suara anak-anak mengeja Juz Amma dari madrasah:
“Aanakum, Ainakum, Iinakum, Aunakum, Uuna­kum, Baanakum, Bainakum, Biinakum, Baunakum, Buu­na­kum, Taanakum, Tainakum, Tiinakum, Taunakum, Tu­una­kum, Tsaanakum, Tsainakum, Tsiinakum, Tsauna­kum, Tsuunakum ....”
Ejaan itu mengalun dalam irama yang khas, meng­asyik­kan, mengantar kantuk, melayang jauh dihantar angin siang.

10
Apa saja yang dimasak tetangga, tak bisa dir­a­ha­sia­kan. Aromanya akan mengambang ke mana-mana, ke sepanjang gang. Yang paling cepat ketahuan, kalau ibumu menggoreng ikan asin. Yang ini, sungguh me­nitikkan air liur.

11
Lepas Isya dan makan malam, boleh dikata selalu ada permainan domino, lebih terkenal: gaple, di luar pekarangan rumah. Pada malam minggu, bisa-bisa berlangsung hingga beduk subuh. Begitulah cara ayah-ayah kami melepaskan lelah setelah seharian men­­­cari nafkah membanting tulang. Atau juga, begitulah cara mereka membanting kesal ke atas meja gaple. Tak tahulah.

12
Berbeda sedikit dengan hari-hari biasa, sekali se­bu­lan pada petang Jumat, orang tua-tua kami me­nga­­dakan pengajian di mesjid. Kami yang muda-mu­da, sebagai basa-basi, ikut hadir. Nampaknya keha­dir­an kami melegakan hati mereka.
Di tengah pengajian sedang berlangsung, ayah-ayah kami pada mengantuk. Heran, kalau main gaple se­ma­­lam suntuk, mata itu bisa melotot terus sampai pa­­gi, ditingkah senda gurau dan gelak tawa tak ber­ke­­pu­tusan. Menurut Ustadz Malik, setengah melucu, setengah menyindir: “Mata yang mengantuk kalau di­bawa mendengar pengajian, tanda setan sedang me­ngen­cinginya!”
Tiba-tiba, semua membuka matanya lebar-lebar, sedikit kaget dan lantas tertawa. Menertawakan siapa?

13
Jika yang tua-tua senang gaple, kami yang muda-mu­da pun tak mau ketinggalan duduk meng­ge­rom­bol: ngobrol ngalor-ngidul, menyanyi dan main gitar, per­sis pengamen jalanan. Tempatnya: gardu jaga sis­kamling. Kami menyebutnya ‘markas’.
Se­mua jenis lagu kami senang, mulai dari dangdut, pop sampai keroncong. Tapi yang mendapat tempat di hati kami, agaknya dangdut dan pop itulah. Sekali-sekali ada juga yang mencoba seriosa, atau belagak memainkan musik jazz dengan gitarnya, tapi tak ke­na: sumbang, dan yang lain segera menyorakinya. Se­se­kali kami larut juga dalam irama gambus.

14
Sekali-sekali, anak-anak cewek ikut nimbrung bersama kami, tak sampai larut. Sebentar mereka su­dah dipanggil ibu mereka. Atau disusul adiknya di­suruh pulang.

15
Bagiku, semua anak-anak Gang Haji Abdul Jalil adalah teman. Tapi rasanya lebih intim dengan Ham­zah, Martin, Najib, Tony Handoko dan beberapa anak tertentu.
Usia kami tak jauh beda, hampir sebaya. Dulu ke­tika masih kecil, kami sering berantem. Sekarang ti­dak, kami saling menjaga, saling menenggang. Dan kalau bisa ingin berbuat lebih baik kepada yang lain.

16
Hamzah gitaris andalan kami, sejak jadi maha­sis­wa Sastra Inggris paling getol nyanyi Inggris. Agak­nya dangdut seperti sudah dilupakannya. Atau diku­bur­nya? Pokoknya lagu Barat melulu. “Inggris, ni yee?!” ejek anak-anak.
“Maklum, deh,” tambah yang lain.
Tapi Hamzah tidak marah. Tak acuh.
Dan sekarang, bacaannya bukan komik lagi, bukan cerita silat lagi. Pokoknya, berat, deh! Bayangin, kalau dia lagi sendirian di teras rumahnya, kalian tahu, dia sedang baca apa?
George Bernard Shaw atau Hemingway atau Tols­toy atau Albert Camus atau Dokter Zhivagonya Bo­ris Pasternak atau Thomas Elliot!
Pokoknya: berat!

17
Kalau si Martin lain lagi. Sejak jadi pemain teater, gayanya overacting. Selangit. Ia ikut salah satu ke­lom­pok teater yang sering mentas di TIM. Di situlah ia bercokol.
Gaya bicaranya, gerak tangan, jalannya, cara ter­se­nyum, ekspresi wajah dan lain sebagainya, kayak­nya bukan lagi Martin yang kami kenal selama ini: Martin yang lugu dan agak pemalu. Tiba-tiba saja ia te­lah menjadi manusia aneh di tengah-tengah kami. Merasa lebih penting dan menonjol dari yang lain. Ga­yanya mirip-mirip Rendra, maunya.
Kalau ia bicara, seakan ia jauh dari kita, nada sua­ra­nya agak dilantunkan bagaikan orang berdiri di atas panggung. Agaknya ia tak bisa lagi mengecilkan su­a­ra­nya. Kami tak tahu pasti, apakah dia masih bisa berbisik.
Anak-anak hampir tak dapat menahan ketawa.
Akhir-akhir ini ia agak jarang nongol di ‘markas’? Waktunya dihabiskannya di TIM, disibukkan oleh latihan-latihan teaternya. Kadang-kadang ikut mentas ke kota-kota lain!

18
Kukira, si Najiblah yang membuat kami semua merasa heran. Itu, Najib anak Ustadz Malik, guru ngaji di gang kami. Soalnya setelah gagal sipenmaru, benar-benar ia putus sekolah. Mau melanjutkan ke Perguruan Tinggi Swasta, ia tahu diri, tak mungkin, biaya kuliah terlalu tinggi, di luar jangkauan.
Apalah yang dapat diharapkan dari pencarian ayahnya yang ustadz. Maka dengan senjata ijazah SMA-nya diterobosnya rimba perkantoran kota Jakarta. Masuk kantor keluar kantor. Akan hasil perburuannya itu, bagaikan buku yang belum habis dibaca kita sudah tahu jalan ceritanya, tentu kau sudah dapat menebak. Tapi Allah memang Maha Pemurah, Pengasih dan Penyayang, akhirnya Najib mendapat juga apa yang dicarinya, kalau itu diartikan secara harfiah: kerja. Pokoknya, kerja. Apakah ia suka atau tidak.
Nah, bersamaan dengan itu Allah ingin menguji Najib, menguji keimanannya. Agaknya ia kalah. Satu-satunya perusahaan yang mau menerimanya adalah sebuah Pub, rumah minum. Artinya, setelah Najib ditest, kemudian ikut training untuk jadi Bartender, Najib mulai bekerja di sana.
Sejak itu kami kehilangan seorang teman kong­kow. Karena Najib bekerja malam hari hingga subuh. Siang hari ia tidur, seperti musang.
Ayahnya Ustadz Malik tak tahu putranya bekerja di tempat haram itu. Yang ia tahu, sesuai menurut apa yang dikatakan Najib ketika suatu kali ayahnya bertanya, Najib bekerja sebagai Satpam di sebuah pe­rusahaan. “Jangan lupa shalat,” pesan ayahnya.
Jelas Najib berbohong. Dan ia tahu betul ber­bohong itu dosa. Bekerja di bar itu dosa. Dan bahkan kini ia sudah tak shalat lagi. Lingkungannya tak me­mung­kinkan, dan di mana mau shalat, dan tak ada tem­­po, dan ia tak mau jadi ba­han tertawaan teman-te­mannya.
Sebenarnya, Najib me­ra­sa sangat terhimpit, tapi di­lakoninya terus. Sampai ka­pan?
Dan kami, dan semua orang di gang, merasa ber­ke­wa­jiban menyimpan rahasia ini kepada Ustadz Malik. Orang tak ingin menghancurkan pe­ra­sa­annya.

19
Sebaliknya, siapa sang­ka, jika Allah ber­kehen­dak mem­beri hida­yah ke­pa­da hamba­nya, Tony Han­do­ko yang agak ugal-ugal­­­an itu, anak pe­­­­­gawai pajak yang ge­dongan itu, bersi­ke­ras pa­da papa­nya mau masuk pe­san­­tren. Ketika hal itu di­sampaikan, bu­­­­­­­kan main ka­get­nya sang papa, ba­gai­kan disambar petir di siang bo­long. Kaget, heran, be­rang, bingung, tak alang ke­palang.
Teriak papanya: “Mau jadi apa kau?! Mau jadi san­tri miskin?!” Suaranya menggelegar sepanjang gang. Selanjutnya diberondongnya Tony dengan omel­an tak berkeputusan, bagaikan rentetan tem­bak­an senapan mesin sebagaimana yang kau lihat dalam film Rambo, atau kayak petasan gantung waktu sunatan. Papanya menyesalkan sangat keinginan Tony itu. Papanya sudah berangan-angan supaya Tony jadi akuntan dan akan mengirimnya ke Amerika. Papanya meng­ang­gap keputusan Tony itu benar-benar gila.
Setelah pernyataan pemberitahuan itu kepada papanya dan diberondong habis-habisan, Tony bung­kem, merunduk terus, tak membantah sepatah pun, sam­pai papanya reda dan terhenyak di kursi.
Beberapa hari kemudian, kami, Tony dan aku berangkat naik kereta api ke Jawa Timur, ke Pesantren Bangil. Tony memintaku. Ia memerlukan teman da­lam perjalanannya. Bahkan ia minta aku me­ne­mani­nya selama seminggu di pesantren. Untunglah hal itu diizinkan Pak Kiai, pimpinan pesantren itu.

20
Sehari setelah keberangkatan Tony, papanya jatuh sakit. Begitu Surat Kilat Khusus yang kami te­rima, pada hari ketiga, dari ibu Tony. Ia diminta ibu­nya pulang sebentar untuk menjenguk papanya. Tapi Tony tak mau. Dan sebagaimana dikatakannya dalam surat kepada ibunya, kepadaku ia berkata: “Nanti sebentar papa akan sembuh juga. Papa memang selalu begitu. Maunya perintahnya saja yang mesti diturut.”
Aku mencoba melunakkan hatinya, “Toh tidak apa­ pulang buat sebentar, bukan?”
“Tidak sekarang,” jawabnya pasti. “Sekarang saya lagi kesal sama papa. Coba, Ma, saya dibilang sudah sesat? Dituduh mendapat pengajian yang sesat? .... Dalam batin, saya bertanya: siapa yang sesat? Saya atau papa? Apa yang papa fikirkan hanya duit melulu ... seakan dengan itu dapat dibeli semuanya: gengsi, martabat, kesenangan ... tapi miskin rohani. Dunia, du­nia dan kesenangan melulu.… Apa dengan keka­ya­an itu dapat dibeli kebahagiaan akhirat? Papa sudah dipengaruhi oleh Dajjal yang bermata satu, ha­nya mencari kesenangan dunia…. Tidak! Saya tidak akan pulang! Saya sudah bosan dengan suasana rumah!”
Tony menarik nafas panjang, nampak kesal. Dan katanya: “Coba fikir, masak papa tega menuduh saya subversif. Ikut pengajian gelap, pengajian subversif, pengajian yang disusupi faham komunis. Jelas ini fit­nah! .... Ya, Allah. Engkaulah Yang Maha Tahu! Dan papa sampai hati akan mengadukan kelompok pe­nga­jian kami kepada yang berwajib, agar semua kami ditangkap, guru ngaji kami ditangkap! La hawla wa la quwwata illa bi 'l-Lah.
Kini, kulihat air matanya menggenang, hampir menangis.
Lanjutnya: “Kalau tidaklah karena takut dosa, men­jadi anak durhaka, hampir saya tidak bisa me­ma­­afkan papa. Saya hanya bisa berdoa, semoga Allah memberi papa taufiq dan hidayah. Saya percaya masih tersimpan benih-benih iman dalam dada papa. Sekarang sedang tersapu oleh gemerlapnya keindahan dunia

21
Sebenarnya, yang suka “ekstrim” bukan Tony Handoko seorang. Ada lagi. Kau lihatlah si Aisah, teman Maryam (nanti kalau ada tempo aku cerita padamu), teman kami juga. Nah, Aisah yang satu ini, sekarang pakai jilbab (itu istilah yang ngepop sekarang, tak lain tak bukan, itu kata lain dari pada kerudung). Dan kesan pertama kita melihatnya, persis seperti kaum wanita pasidaran Iran, anak buah fanatik pengikut Imam Khomeini, sebagaimana yang kita lihat di majalah-majalah atawa koran-koran. Be­lakangan ada lagi yang menyebutnya pakaian wanita Ikhwanul Muslimin Mesir, pimpinan Imam Hassan Al-Banna. Tapi, apa pun namanya, menurut Ustadz Malik, “Itulah pakaian Muslimah yang sebenarnya.”
Pakaian yang menutup aurat. Sesuai dengan apa yang termaktub dalam Al-Quran, surah Al-Ahzab ayat 59: “Hai, Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, istri-istri orang mu'min. Hen­daklah mereka mengulurkan kain kerudung/jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. Yang de­mi­ki­an itu supaya mereka lebih mudah dikenal, agar me­reka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengam­pun-Penyayang.” Dan dari Hadis Rasulullah Saw. dapat saya kutipkan sebuah Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud dari Aisyah r.a.: suatu ketika Asma bin­ti Abu Bakar masuk ke tempat Rasulullah sedang Asma memakai baju yang tipis (membayang tu­buh­nya), maka Rasulullah melengah seraya berkata: “Hai Asma, wanita yang te­lah sam­pai masa haid tidak bo­leh ter­lihat kecuali ini dan ini,” dan beliau me­nu­n­juk kepada mu­ka dan kedua tela­pak ta­ngannya.
Sebenarnya, masih ada be­­­­be­rapa ayat dan hadis, tapi Sau­dara-saudara dapat men­ca­rinya sendiri dalam Al-Qur­an, misalnya pada An Nur ayat 31, Al A’raaf ayat 26 dan beberapa Hadis yang diri­wa­yatkan oleh Muslim dan Ah­mad!
Pokoknya, sejak Aisah men­­­­jadi eskrim, maaf, eks­trim itu, di mana saja, kapan saja, ia selalu berjilbab! Anak-anak yang iseng, menjuluki­nya dengan “pa­kai­an ninja”. Tapi Aisah tak acuh saja.
Dan sejak itu, kayaknya Aisah tak punya lagi ba­rang sepotong pun baju model lain. Kayaknya se­mua pakaian rok, blus yang dulu, baik yang maxi, mi­di, apalagi mini, sudah dibakar ludes! Atau di­ha­nyut­kan ke Kali Malang (tak jauh dari gang kami).
“Apa pakaian-pakaian yang dulu itu sudah kau sedekahkan, barangkali, Aisah?” Suatu kali aku coba menduga kepadanya.
“Itu namanya, sama saja kita membagi dosa kepada yang lain,” jawabnya. “Menyuruh orang membuka aurat, ia berdosa dan aku pun berdosa. Dan dosaku dua kali lipat: dosa karena telah memberi yang salah, dan dosa yang dilakukan orang itu.”
“Kau ini aneh, Aisah,” kataku pula. “Dulu se­be­lum begini malah kau seorang modis, perancang busana.... Sekarang siapa yang mau menjahitkan pa­kai­an padamu kalau hanya jilbab melulu?”
“Lupakanlah itu,” katanya. “Itu waktu saya masih jahiliyah. Semoga Allah mengampunkan ketidak­ta­hu­anku. Dan siapa yang mau menjahitkan kepada saya? Terserahlah, siapa yang mau saja. Rezeki di tangan Allah.”
Mantap sekali ia, fikirku.
Aisah boleh bermantap-mantap. Tapi lihatlah betapa cobaan yang dihadapinya. Gara-gara pakaian jilbab itulah, Aisah mendapat kerepotan di se­ko­lahnya (sebuah SMA Negeri di bilangan Kebayoran Baru). Oleh kepala sekolah, ia dianggap melanggar pe­r­­aturan seragam sekolah, walau warnanya sudah pu­tih di atas dan abu-abu di bawah (sudah di­se­suai­kan Aisah). Namun ia tetap di­anggap me­langgar. Soal­­nya: jilbab yang kayak ninja itu, baju lengan pan­jang dan rok yang kom­prang kedodoran itu!
Kepala Sekolah sudah mem­­­beri peringatan be­be­rapa kali, lisan dan tulisan, dengan ancaman sewaktu-waktu bisa dikeluarkan dari sekolah. Aku tak tahu bagaimana kesu­dah­an­nya. Yang kutahu Aisah te­tap tegar. Berkata man­tap ke­pada kami anak-anak gang.
“Salah apa saya jika saya meng­amalkan ajaran agama sa­ya?! Toh, hal itu dijamin oleh Undang-Undang Dasar Empat Lima kita! Baca tuh pasal 29 ayat 2, bahwa negara menjamin kemerdekaan dan kebebasan setiap warga ne­ga­ra untuk memeluk suatu aga­ma atau ke­per­ca­ya­an dan un­tuk beribadah sebagaimana yang dia­jar­kan oleh agama mau­pun kepercayaan itu! Nah, mana yang lebih tinggi kedudukan hu­kumnya UUD 45 atau Peraturan Seragam Se­ko­lah?!”
“Jelas UUD 45, dong,” jawab kami spontan memberi semangat dan membenarkan Aisah. Dan bertepuk tangan serempak.
Aisah melanjutkan: “Itu tuh, kalau mau ditertibkan juga, tertibkanlah siswa-siswa yang suka berantem itu, yang terlibat narkotik itu, yang mabuk-mabukan itu, yang merokok itu, yang suka keluyuran di jalanan atau ke disko pada jam-jam pelajaran! Ke sana alamat penertiban itu! Bukan kepada hak asasi orang?! Orang yang baik-baik seperti kita-kita ini lagi, ini enggak ge-er, ya (senyum, aduh manisnya)....”
Lagi-lagi kami keplok, senang sekali. Tiba-tiba seseorang memberi komando: “Tepuk pra-mu-ka!” Plok plok plok... plok plok plok... plok plok plok plok plok plok plok. Semua bertepuk kegirangan bagaikan anak-anak pramuka.
Rupanya Aisah belum selesai, belum merasa puas, ka­tanya sambil setengah berbisik, mencorongkan ke­dua telapak tangannya ke moncong: “Jangan-jangan kepala sekolah itu bekas PKI, ‘kali. Kan hanya orang­-orang PKI yang sangat anti agama?”
“Ya, ‘kali,” celetuk kami, membenarkan.
Mengembangkan kedua tangannya, mengangkat bahu, Aisah mengeluh: “Boleh jadi semua kita telah menjadi orang-orang munafik terhadap agama yang kita anut. Tilawatul Quran kita rayakan secara besar-besaran dengan biaya jutaan, tak tanggung-tanggung! Tetapi sebaliknya, pengamalannya kita jegal. Kita curiga dengan berbagai prasangka. Apakah ini tidak munafik namanya? Atau mungkin ada penamaan lain?”
“Munafiiiik...!” teriak anak-anak serempak.
“PKIiiiiiiii...!” tambah kami lagi.

22
Di mana pun, dasar anak-anak, suka becanda, su­ka menggoda. Apabila Aisah lewat di depan ‘mar­kas’, tak pernah luput ia jadi godaan. Begitu ia lewat, anak-anak yang tadinya asyik-asyiknya menyanyi dang­dut atau pop, segera mengalihkan iramanya ke kasidahan:
“Indung-indung kepala lindung
Hujan di udik di sini mendung
Anak siapa pakai kerudung
Mata melirik kaki kesandung...”
Aisah terus berlalu dengan senyum-senyum diku­lum. Mungkin, dalam hati masing-masing kami, ber­ka­ta: “Alangkah manisnya anak ini...?”

23
Suatu kali sedang aku asyik mentes kaset yang akan kubeli di sebuah toko di Benhil, kulihat Aisah ber­jalan seorang diri pulang sekolah. Serombongan cowok SMA yang berpapasan dengannya menggoda Aisah dengan sikap agak kurang sopan, mengitarinya seakan hendak memangsa, persis kayak segerombolan anjing hendak berebut tulang.
“Waduh, alimnya.”
“Sorangan wae?”
“Mari, gue anterin, yuk?”
“Ntar lu digampar bokapnya!”
“Enggak apa asal gue dapat anaknya yang ca'em.”
Dan macam-macam lagi.
Namun Aisah diam saja. Jalan terus.
“Wah, kalian ini tak tahu aturan!” ujar yang lain belagak memarahi teman-temannya. “Ucapin salam dulu, dong.”
“O ya lupa, assalamu'alaikum, Neng?”
Dengan lembut Aisah menjawab, “Wa'alaikum salam.”
Anak-anak pada sorak kegirangan.
Kuatir mereka menggoda lebih jauh lagi, buru-bu­ru aku keluar, kupanggil Aisah dengan suara lan­tang untuk mengagetkan anak-anak itu. Aku sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Aku berhasil. Mereka menyingkir secara teratur. Sekilas kudengar.
“Ada cowoknya, Mek!”
Lalu kutarik Aisah ke toko kaset.
“Kau tidak diapa-apakan mereka?” tanyaku.
“Tidak.”
“Anak-anak berengsek!”
“Mereka cuma iseng.”
“Kurang ajar,” kataku, geram. “Tapi, ya ampun, kenapa anak-anak gituan kau kasih hati?”
“Kasih hati bagaimana?”
“Salam mereka kau jawab. Cuekin aja!”
“Dosa lho, salam tak dijawab. Bukankah salam itu doa, yang artinya selamat dan sejahteralah anda. Sepantasnya kita mendoakan mereka pula.”
“Ya, ampun...,” kataku tak habis fikir pada Aisah yang satu ini.

24
Lain Aisah, lain pula Maryam. Gadis kecil yang kemarin-kemarin ini masih ingusan, masih suka main congklak dengan teman-teman sebayanya, main eng­klek, main loncat karet, tiba-tiba seperti di­sung­lap, dari kuncup mekar menjadi bunga yang in­dah. Gadis kecil itu tumbuh jadi remaja yang amat can­tik dan mempesona. Dan Maryam sadar akan perubahan dirinya.
Penampilan yang pertama mengejutkan banyak orang adalah ketika suatu kali ia ikut acara perkenalan penyanyi remaja di TV. Sejak itu ia dikenal secara lu­­­as. Semua orang kagum padanya. Bukan pada nya­nyian, melainkan kecantikannya yang membius itu.
Maka sejak itu, kami tak merasa heran, kalau ber­ganti-ganti saja pemuda-pemuda luar datang ber­kun­jung ke rumahnya. Kemudian pasangan anak muda itu pergi ke luar rumah untuk latihan menyanyi. Di lain waktu, ada lagi yang mengajaknya pergi menon­ton, ke restoran, dan macam-macam acara lain. Dan, selalu dengan muka baru: penyanyi tenar ibukota, pe­main film yang sedang in, anak teater yang lagi ngepop, pemain tenis yang lagi ngetop.... Dan yang pa­ling akhir anak orang kaya bermobil Baby Benz. Pokoknya selalu dengan cowok baru!
Dan setiap kali Maryam dan padangannya lewat di depan ‘markas’, maka terdengar bisik-bisik yang dikeraskan:
“Baru lagi, ni yee?!”


25
Maryam memang cantik. Yang tercantik di gang kami. Bahkan yang tercantik di ibukota republik ini, demikian menurut Hamzah.
Kukira, Hamzah menaruh hati pada Maryam. Hamzah belum pernah mengatakan secara terus terang.
“Tapi apalah arti kecantikan jika tidak disertai dengan ‘kematangan dan kedalaman’,” kata Hamzah pula, berfilsafat. Kali ini tampak serius dengan muka murung.
Dari bacaan berat mana pula Hamzah mem­peroleh ‘kematangan dan kedalaman’ itu, aku tak ta­hu.
26
Suatu hari, berani-berani takut, kutanyakan pa­da Hamzah apakah ia mencintai Maryam.
“Tidak!” jawabnya tegas.
Aku terperangah.

27
Tapi akhimya aku tahu juga, mungkin anak-anak lain tidak, ketika Maryam menyebarkan undangan perkawinannya dengan anak penguasa Real Estate, yang ber-Baby Benz itu, Hamzah mendadak pindah ke Rawamangun. Indekos di sebuah kamar yang se­der­hana. Memutuskan hidup jadi pengarang dan ber­henti kuliah. Sekarang ia bekerja di sebuah majalah.
Dalam puisi-puisi dan cerpen-cerpennya dapat kutangkap kesepian hati yang dibawanya ke mana pun ia pergi, seperti ada sesuatu yang terlepas dan hilang, yang tak mungkin dapat diraih kembali.

28
Dari bisik-bisik anak-anak cewek dapat ku­tang­kap bahwa sebenarnya Maryam pun mencintai Hamzah. Namun perasaan ini disimpannya sendiri. Ia tak hendak dan berani menyatakan kepada ayah ibunya. Maryam seorang anak yang baik, seorang anak yang patuh. Dan terlebih dari semua itu, ia ingin membahagiakan kedua orang tuanya. Untuk itu ia siap berkorban. Semoga hal itu menjadi tanda bakti­nya buat mereka yang telah bersusah payah, mem­besar­kannya dalam kemiskinan yang berkepanjangan.

29
Akhir-akhir ini, aku tak merasa betah lagi duduk lama-lama di ‘markas’ kami. Dalam senda gurau dan nyanyian diam-diam menyelinap kesepian ke dalam hatiku. Di antara kawan tak kulihat lagi Hamzah, yang pergi membawa luka hatinya dalam kesepian di kamar indekosnya jauh di Rawamangun sana. Mungkin di malam-malam begini ia sedang mengetik puisi-puisi atau cerpen-cerpen, tempat di mana ia melarikan kepedihannya.
Tony Handoko mungkin sedang terbenam dalam kitab kuning bertuliskan Arab gundul. Atau mungkin ia sedang larut dalam zikir yang dalam. Nun jauh di desa Bangil, terpencil, jauh dari keramaian kota.
Najib mungkin sedang mencampur minuman ha­ram satu dengan yang lainnya, sambil mengenang ayah­nya sedang mengaji di rumah. Batinnya ter­te­kan. Namun ia tak bisa berbuat lain.
Se­dang mengapakah Martin sekarang? Lakon apa­kah yang sedang diperankannya sekarang? Hamlet to­koh yang selalu dibuai bimbang? Lama ia tak pu­lang. Aku tak tahu sedang mentas di kota mana ia se­karang.
Masing-masing teman pergi membawa nasibnya sendiri-sendiri.

30
Suatu hari ayahku berkata dengan sedikit keras kepadaku: “Syamsu, apakah kau tak merasa malu, nongkrong terus dengan bocah-bocah itu? Teman-te­man sebayamu sudah pada bekerja! Contohlah mereka itu! Lagi pula, ayah sudah tak sanggup lagi mem­biayai sekolahmu. Adik-adikmu masih banyak yang perlu ayah perhatikan.”

31
Malam hari ketika aku pulang dari mencari pekerjaan yang belum juga kudapatkan, aku selalu lewat di depan ‘markas’. Ramainya masih seperti bia­sa. Tapi sudah tentu tak kulihat lagi di sana Najib, To­ny Handoko, Martin dan Hamzah. Tiba-tiba aku merasa teramat sepi, tertekan sedikit oleh perasaan rindu.***


(Dimuat dalam Horison, Agustus 1990)




Lonceng
Oleh: Motinggo Busye

Jam dengan merk Jung­­­­­­hun itu belakangan ini me­nyeng­sarakanku. Istri­ku men­jadi perem­­pu­an yang ba­wel. Ini karena ulah jam itu. Pa­da­hal ba­­rang itu kami beli untuk me­­­nambah kebahagiaan istri­­ku dan aku. Tinggi jam itu se­ting­gi tubuh­ku. Bila lon­ceng­nya ber­bu­nyi, ma­ka ter­de­ngar­lah sebuah nyanyi. Nya­­nyi­an ini me­­­ngisi kalbu is­­tri­ku dan kal­bu­ku sen­diri.

Walaupun akhirnya me­­­­­­­­­­nge­­­sal­kan, tetap saja aku men­­­­coba me­metik ke­nang­­an lama yang in­dah se­­te­­­lah jam Jung­hun itu me­ngisi ru­ang te­ngah ru­mah kami. Kami dulu mem­­­­­­­­­per­tim­bang­kan­nya cukup la­ma un­tuk memu­tus­kan di ma­na ha­rus dile­tak­­kan jam yang se­besar itu. Jika di­taruh di ru­ang ta­­mu, ke­­­lak ta­muku akan ce­pat pu­­lang, se­­bab ke­ha­dir­­­­an­nya me­­rasa dikon­trol oleh jam. Se­­­dangkan kami ber­­­dua mem­bu­tuh­kan ta­mu.
“Sebentar lagi kita akan me­raya­kan ulang tahun perkawinan kita yang kedua puluh lima, ya Sam?” ujar istriku suatu sore. Sore itu, aku dan Ina sedang du­duk-du­duk berdua sembari minum teh dan ma­­kan jeruk. “Hari itu ulang tahun per­ka­winan perak kita.”
“Kamu tentu ingat tanggalnya, Ina,” kataku.
“Betul, Sam. Kita menikah pada 10 November dua puluh lima tahun yang lalu.”
“Kalau begitu tinggal 4 hari lagi.”
“Ingat enggak, siapa yang da­tang pada pesta kita itu?”
“Mantan pacarmu,” kataku.
“Juga mantan pacarmu,” kata­nya.
Kami ketawa bersama. Kami su­ka mengulangi lelucon yang sa­ma itu setiap ada bekas teman se­ke­­­­las hadir. Tentu lelucon ini me­nam­­bah semarak su­­­a­­mi-istri. Orang yang kurang rasa humor mung­kin heran. Mereka harus diberitahu, bah­wa mantan pacar istriku adalah aku, dan mantan pacarku adalah istriku Ina.
Ku­ingat sekali, hanya untuk per­kawinan perak itu saja kami berdua sangat sibuk.
Kami telah pergi ke Pasar Glo­dok untuk mencari sebu­ah ba­rang yang bisa dipajang di rumah dan punya kesan abadi. Setelah dua tiga toko ka­mi masuki, tak ada satu pun benda yang berkenan di hati kami berdua. Ketika ka­mi lewati bebe­rapa toko, se­cara menda­dak dan se­­­­rentak lang­kah kami ber­henti. Ter­­dengar satu nada indah mirip la­gu yang menyentuh pera­sa­an ka­mi. Aku dan istriku saling me­natap.
“Kita menemukan pilihan jam an­tik,” ujar istriku.
“Ini benar-benar abadi,” ka­ta­ku.
“Tanyakan harganya, Sam,” kata istriku. Makin larut perkawi­nan kami, makin sering aku disuruh istriku dengan nada setengah me­me­­­rintah. Apa suami-suami yang lain di dunia ini juga seperti itu, aku tak tahu dan tak perlu tahu.
Istriku melotot setelah aku sebut­­kan harga yang diberitahu­kan pemilik toko jam itu.
“Merknya Junghun,” ujar sang pemilik toko. "Merk ini nomor satu. Di toko saya cuma tinggal satu ini.”
“Ya kurangilah separoh­nya,” ujar istriku.
Kebiasaan istriku adalah sama de­ngan kebiasaan ba­nyak perem­pu­an di jagat ini: me­nawar terlalu ren­dah dan berlama-lama untuk je­nis satu barang. Kadang su­dah per­gi kembali lagi ke toko seba­gai­ma­na terjadi pada hari itu.
“Coba Nyonya cari di se­lu­ruh Glodok ini. Cuma saya yang jual merk Junghun ini, dan ini juga satu-satunya.”
Istriku telah dikunci tanpa al­ter­natif. Lalu, ketika uang di­hitung, ku­­­­rang sedikit. Se­ba­­­­­gai­­mana biasa, aku meng­ge­nap­i kekurangan itu. Ke­tika se­tiba di rumah, istriku bi­lang, “Sebenar­nya aku menguji apa­­kah kau masih kikir. Maka ku­ting­­­galkan bebera­pa lembar di tas­ku agar kamu ikut mem­ba­y­ar juga, Sam.”
Memang begitu. Dari masa ber­pa­­­caran dulu, kami meng­anut aliran navy-navy. Kami me­niru para pe­laut yang suka ba­yar ma­sing-ma­sing bila ma­kan di restoran. Ke­bi­a­sa­an ini bukan selalu buruk. Kami jus­­­­­­tru menciptakan hu­mor baru ke­ti­ka ha­rus ber-navy-na­vy.
Jam Junghun te­­lah kami taruh di ru­ang tengah. Dia se­­­la­ma tiga ha­ri ka­mi tunggu ber­­bu­­nyi. Saat itu ada­lah pu­kul 00.00 pada ha­ri 10 No­vember.
Ketika lon­ceng­­nya berbunyi me­­­nya­nyikan irama in­­dah itu, aku me­­re­mas jari tangan istri­­ku. Ketika lon­­­ceng­­nya berbunyi 1 kali, re­­­­­­mas­an­ku lebih ku­at lagi. Dan ketika ge­­­­­ma 12 kali masih menden­gung, aku dan istriku berpe­luk­an.
Lonceng jam itu memberikan zat rohaniah pada diri kami. Ke­be­tul­an kami berdua menyukai musik kla­sik. Tapi irama lagu lon­ceng jam ini melebihi seluruh musik klasik ke­sukaan kami.
Bertahun-tahun kami menik­ma­t­i duduk berdua menunggu lon­ceng jam itu bernyanyi setiap se­perem­pat jam. Ketika pada se­per­empat jam, dia me­nya­nyi­kan satu bait saja. Ke­tika setengah jam, dia me­nya­nyikan dua bait. Ketika tiba tiga per­­em­pat jam, tiga bait, dan pada waktu satu jam, empat bait kom­plit.
“Kita tak pernah merasa tua oleh lonceng jam ini ya, Sam?” kata is­­­triku.
“Ya. Padahal jam ini su­dah 15 tahun di rumah kita,” kataku.
“Mungkin kamu betah di rumah karena lonceng ini,” kata istriku lagi.
“Tapi aku betah di rumah bukan karena lonceng jam ini. Aku betah di rumah ka­re­na sudah memasuki pen­siun, dan terutama karena ada­nya kamu.”
“Sudah gaek masih gom­bal,” kata istriku.
Per­nah juga istriku ber­ta­nya, “Ke­na­pa kamu tidak kawin lagi saja, Sam?”
Makin tua dia masih pen­cem­­bu­ru seperti dulu. Te­ta­pi perta­nya­an itu agak aneh di telingaku.
“Aku tahu, ketika aku ha­rus ber­­­henti sewaktu kita menikah su­dah pasti ada se­orang gadis yang se­nang,” ka­tanya.
”Si Aimah,“ sam­bung­nya.
Peraturan kantor me­mang, jika ada dua orang me­­nikah di satu ru­ang kerja, yang perempuan harus di­ber­­­­­hentikan dengan hormat. Jadi Ina cuma berdinas 1 tahun kerja saja.
Orang yang sama sekelas di SMA, sama pula di per­gu­ruan ting­gi, dan sama pula selesainya, akan sa­­ma nasibnya jika melamar di kan­tor yang sama di bidang yang sa­ma pula: jika menikah, yang pe­rem­pu­­an harus mengalah menjadi pe­nung­gu rumah.
“Kalau aku bicara soal si Ai­mah, kamu suka mem­bisu. Pa­da­hal dia amat mencintaimu, Sam.”
Aku memilih diam. Akhirnya aku bertengkar juga karena dia lagi-lagi menyebut nama Aimah.
“Kalau kamu kawin sama Ai­mah, mungkin kamu sudah pu­nya anak dan cucu. Perkawinan kita 40 ta­hun tanpa anak dan cu­cu,” ucap­nya. Dan inilah yang bi­kin aku ma­rah dan kami berteng­kar.
Ke­tika pertengkaran itu terjadi, lon­­ceng jam menyanyikan lagu itu. Se­­belum empat bait lagu itu ber­ge­tar, aku dan Ina sudah ber­peluk­an.
“Kita tak perlu bertengkar lagi. Yang ada di sini adalah aku, kamu dan jam dengan loncengnya itu.”
Tetapi, ajaib sekali. Biasanya kalau jam itu mati, aku bisa mem­per­­­baikinya. Yaitu menaikkan kere­kan rantai tiga bandulan itu, lalu menyetel jarum panjang dan jarum pendeknya untuk menyesuai­kan waktu. Kali ini loncengnya ber­bu­nyi tidak cocok lagi dengan wak­tu. Dia tidak berbunyi 12 kali pada waktu pukul 12.
“Kau bilang dulu kamu me­ngu­a­­sai ilmu listrik. Tapi kenapa be­tulin jam saja sudah salah. Bah­kan ngawur. Pukul 12 bunyinya 6 kali.”
“Sudahlah. Jangan jadi nenek sihir lagi, Ina,” kataku.
“Itu logis saja, Sam. Aku kan ti­dak bilang kamu tolol.”
“Sudah, diam kamu. Kamu ma­kin tua makin cerewet.”
“Kamu makin tua makin tolol.”
“Aku mau keluar.”
“Mau cari Aimah?”
“Bawel kamu.”
Aku mencari ahli jam. Menurut pemilik toko di Glodok itu, ada orang Arab di Tanah Abang, nama­nya Mahboub Assegaf, ahli pem­be­tu­lan jam dan piano. Ke­tika aku tiba di rumah Arab itu, orang di ru­mah itu mengatakan, bahwa “Ami Assegaf” sudah wa­fat. Kalau mau beli buah kur­ma dan kismis, ada diju­al di sini.
“Aku tak bertemu de­ngan orang Arab itu,” ka­ta­ku pada Ina.
“Oh si Aimah itu turunan Arab ya?”
“Coba tenang, Ina. Kita ju­al saja jam Junghun ini. Ki­ta beli yang baru,” ka­taku.
Dia marah. Bah­­kan men­cak-men­cak. Dia ka­ta­kan, "Jam ini pe­nuh ke­nang­an. Ber­­tahun-tahun dia membuat kita berdua menik­mati irama lon­cengnya yang pernah ber­nya­­nyi merdu. Jangan, Sam, kita tak boleh merusak ke­nang­an yang dibe­rikannya.”
Aku mengalah. Tapi itu tidak ber­­arti aku tak 'kan bertengkar lagi de­­­ngan Ina. Dan aku gigih terus mem­­perbaikinya. Dan istriku terus pula menertawakan kegagalanku wa­lau tanpa perkataan “tolol”.
Dua tahun menjelang ulang ta­hun perkawinan emas kami, aku te­rus berusaha agar jam Junghun itu bisa menyanyi lagi, dan bunyi­nya ha­rus tepat 12 kali pada pukul 00.00 te­ngah malam 10 November. Di­mulai dengan cekcok mulut lagi, aku pergi ke Jatine­gara. Seorang tu­kang arloji kubawa ke rumahku. Istriku senyum mence­mo­oh­inya.
“Tenang dulu, Ina. Dia ini ahli jam generasi pe­ne­rus ayah­nya. Bah­­­­kan dia mengenal Ami Mah­boub Assegaf,” kataku ketika mem­­­­­perkenalkan tukang arloji itu ke­pa­da Ina.
Istriku mendehem. Anak muda itu bekerja keras. Keringat mem­basahi bajunya, sekaligus me­nye­barkan bau ketiaknya di ruang te­ngah kami yang nyaman. Akhirnya dia berkata putus asa: “Maaf, jam ini berbunyi 36 kali."
“Cukup, Nak. Memang dia gila,” kata istriku.
Yang mulai menjadi korban jam Junghun adalah Ina. Dia mulai ber­­­­langganan dokter spesialis pe­nyakit dalam. Ia menderita tekanan da­rah tinggi. Suatu malam dia men­jerit karena satu mimpi buruk. Ka­ta­nya, jam gila itu berbunyi 120 kali.
“Sabar, Ina. Kita jangan panik. Manusia tidak boleh ditak­lukkan oleh benda yang bermerk Jung­hun. Aku akan coba perbaiki sen­di­ri. Manusia harus mengalahkan ben­da mati ini,” kataku yakin.
Istriku menyebut lagi perkataan “tolol” itu. Ini menambah sema­ngat­­­ku, sampai aku berhasil! Aku me­­rayakan pesta emas 50 tahun per­­kawinan kami. Tengah malam pu­­kul 00.00 jam itu bernyanyi em­pat bait komplit, lalu mende­n­ting­kan loncengnya 12 kali. Sa­yang, saat itu istriku tidak men­dengar­nya, dan tak 'kan pernah men­de­ngar­nya.
Ya, kurayakan pesta emas per­kawinan itu seorang diri, diir­ingi kemerduan lonceng jam Junghun yang amat sangat indah.***


(Dimuat dalam Horison, September 1999)



Lelaki Tua dari Noumea
Oleh: Waluya DS

Seperti biasanya untuk menghilangkan ketegangan urat-urat badannya lelaki tua itu mengambil bubble bath. Sering satu atau dua jam merendam diri sambil mempermainkan buih-buih sabun yang memenuhi bath tub dia bisa merasakan kesendiriannya dan melupakan persoalan-persoalan yang menjerat perasan serta pemikiran. Buih-buih sabun itu semakin bertambah setiap kali dia berkecimpung.
Diamatinya kedua telapak tangannya yang penuh dengan buih-buih sabun yang memantulkan warna-warni pelangi. Sesekali ditiupnya buih-buih itu dan beberapa gelembung melayang berputar-putar. Dan setiap kali gelembung-gelembung sabun itu pecah dia merasakan satu kekecewaan seperti tergugah dari impian yang mempesonakan. Persis seperti masa ka­nak-kanaknya di halaman belakang rumahnya di Nou­mea, dengan pipa dari semacam rumput kering dia menghembus air embun dan belasan gelembung beterbangan dipermainkan angin. Suatu kali, satu gelembung tetap bergantung di ujung pipa rumput ke­­ring itu tak mau pergi. Dengan hati-hati dihem­bus­nya gelembung itu yang semakin membesar. Warna-warni pelangi terpantul dengan indahnya. Juga nampak bayangan dirinya yang lucu. Dia pikir bila gelembung ini terbang nanti bersama potret dirinya itu, dia pasti akan bisa melihat rumah-rumah, pe­po­hon­an serta sungai-sungai dari angkasa. Tapi dia be­lum mau melepaskan gelembung itu karena dia takut potret dirinya itu nanti akan merasa sendiri dan sepi di angkasa. Diamatinya dengan lebih teliti ge­lembung itu, mungkin ada awan atau saudaranya yang lain di dalam gelembung itu. Dengan hati-hati ditusuknya ge­­­lembung itu dengan ujung jarinya. Dan dia begitu tertegun, permainan dan impiannya justru mengu­kuh­­­kan rasa sepi dan sendiri.
“Di negeri leluhur kita, Nak, kau tak akan pernah merasa sepi atau sendiri.” Begitu tutur ibunya suatu hari waktu dia merengek karena tak ada kawan ber­main dan beberapa saudara tuanya tak ada di rumah, se­dang kedua orang tuanya selalu sibuk dengan usaha dagang mereka.
“Ceritakanlah negeri leluhur itu padaku, Ibu?”
Bila ada waktu ibunya dengan tak bosan-bosan ber­cerita dongeng-dongeng Panji, Ken Arok, Da­mar­wulan, Joko Tingkir, Aryo Jipang, Ki Pemanahan, Su­tawijoyo, bahkan juga bagaimana keramatnya Kreto Kencono Kanjeng Susuhunan. Dongeng-dongeng itu be­gitu indah dan memukau. Dan dia tak bisa me­nge­r­ti ke­napa orang tuanya me­ning­gal­kan Negeri Le­lu­hur yang begitu mempesona. Setiap perta­nya­an yang dilontarkannya selalu lewat tanpa terjawab.
Hanya secara kebetulan su­atu hari salah seorang sau­­­­da­ranya begitu jengkel dengan pertanyaan yang selalu ber­ulang-ulang memberikan ja­wab­an yang cukup memuas­kan.
“Rupanya dongeng-dongeng ibu telah begitu me­ra­cunimu, Rio.”
“Namaku Aryo dan bukan Rio,” protesnya. Dia le­bih senang dipanggil dengan nama sebenarnya yang lebih punya bobot karena nama Aryo mencerminkan da­rah bangsawan yang mengalir di tubuhnya.
“Nah, apa kataku, Rio. Kebanggaan yang baru kau tunjukkan itu tak ada artinya sekali di sini. Jangan kau biarkan angan-anganmu menggelembung dan me­nelan dirimu sendiri nanti.”
“Tapi namaku bukan Rio,” potongnya.
“Kau mau tahu jawabanku atau mau protes me­lulu?”
Dia hanya mengangguk karena jawaban sau­da­ra­nya terasa lebih penting daripada mempertengkarkan namanya.
“Bagus. Kau sudah menunjukkan satu kemajuan ke arah pemikiran yang praktis dan realistis. Lu­pa­kan­­lah dongeng-dongeng dan Negeri Leluhur itu. Le­bih baik kau coba membina hidupmu di sini; itu lebih penting.”
“Tapi itu hidupku sendiri.”
“Aku hanya ingin su­pa­ya kau tak kecewa nanti. Setiap adat dan ke­bu­dayaan punya kelebihan dan kekurangan yang tak bisa dicomot di sana-sini. Kau hanya harus terima utuh.”
“Maksudmu?”
“Dengan bapak kita di Negeri Leluhur dahulu, dia merasa terpenjara oleh adat dan kebudayaan yang lebih merupakan beban daripada usaha manusia un­tuk memuliakan hidupnya. Sebagai putra seorang pa­ngeran yang dilahirkan oleh salah seorang selir, bapak merasa tidak punya tempat dan hak.
Pertemuannya dengan Tuan van Stifhout, pendeta Belanda yang akhirnya membaptisnya sebagai orang Kristen telah membukakan lembaran baru dalam hidupnya. Dengan salah seorang anggota jemaah ge­re­ja yang lain Babah Loo Cin Yong, bapak me­la­ku­kan usaha dagang bersama yang cukup berhasil. Se­bagai keluarga bangsawan jadi Kristen dan punya usa­ha dagang dengan orang Cina terlalu memalukan keluarga. Banyak usaha di­la­kukan untuk mendepak ba­pak. Salah satu di antaranya, waktu itu kau masih dalam kan­­­dungan, ada huru-hara yang dilakukan oleh kalangan tentara penjajah Belanda yang didalangi Tuan Sneevliet. Di­de­sas-desuskan bahwa bapak ikut terlibat hanya karena per­nah terlihat berbicara dengan Tuan Semaun yang me­ru­pakan kader Tuan Sneevliet. Dan juga diberitakan bahwa usaha dagang bapak sebenarnya hanyalah usaha terselubung untuk me­mu­dahkan gerakan kader-kader Komunis. Tentu hasil usa­ha dagang itu juga dipakai untuk membiayai ke­gi­at­­an mereka. Orang selalu dengan gampang men­ce­lupkan tangan untuk ikut mengeruhkan suasana, bu­kan? Untuk menghindarkan hal-hal yang tidak di inginkan, karena cintanya pada kita semua, bapak mem­bawa kita untuk memulai hidup baru di Nou­mea.
Pernah kudengar bapak sedang bicara pada ibu bahwa bapak tidak menyesal sama sekali me­ning­gal­kan Jawa. Bahkan dia merasa beruntung meng­am­­­bil keputusan sebelum tuduhan atas dirinya men­ja­di-jadi. Beberapa tahun setelah kita menetap di Nou­mea, bapak de­ngar khabar bahwa orang- orang Komunis atau yang dicurigai sebagai Ko­mu­nis di­bu­ang ke Digul oleh pemerintah pen­ja­jahan.”
Jawaban saudara­nya itu justru menim­bul­kan be­be­rapa perta­nya­an baru. Kenapa ha­rus meri­saukan martabat keluarga yang sebetulnya tidak dengan tulus menerima bapaknya sebagai bagian dari keluarga itu? Bukankah tanggung jawab bapaknya sebenarnya ha­nya pada keluarga mereka sendiri? Seharusnya ba­pak­nya lebih baik tetap di Jawa untuk membuk­ti­kan bah­wa dia tak ada hubungan sama sekali dengan ka­um Komunis. Dengan melarikan diri bukankah ini justru memperkuat tuduhan yang sebenarnya, bukan?
Semua perayaan itu selalu menggodanya, namun dia hanya diam saja karena sudah berjanji tak akan ber­tanya-tanya lagi. Memang tidak gampang me­mi­sah­kan benang yang kusut. Lebih baik memulai satu kehidupan yang baru seperti nasehat saudaranya. Tapi tak bisa di sini, di Noumea yang semasa bukan tempatnya. Dia betul-betul merasa tersisih mencari tempat berpijak meskipun saat ini hanyalah dalam dongeng-dongeng dan kerinduan pada Ratu Adil. Mung­­­kin dongeng-dongeng dan riwayat bapaknya se­be­tulnya tak pernah ada. Bagaimana kalau semua itu hanya tutur kata untuk menghiburnya saja? Tapi se­ti­ap kali melihat sekelilingnya, orang-orang Pe­ran­cis, orang-orang Kanak, dan dirinya begitu berbeda. Hanyalah orang Kanak orang pribumi. Orang Pe­ran­cis datang dari Eropa dan dirinya pasti punya tanah asal.
Betapa gembiranya ia ketika suatu hari sebuah ka­pal berlabuh dengan kelasi-kelasi yang bisa ber­bi­ca­ra bahasa Jawa yang sedikit-sedikit dia bisa me­nger­ti. Kapal itu bernama Dewa Ruci, sebuah nama yang pernah didengar dari dongeng ibunya. Dan para kelasi itu bilang kapal ini akan jadi kapal pelatih bagi pelaut-pelaut Indonesia. Dia merasa tidak begitu ak­rab dengan nama Indonesia. Para kelasi itu men­je­las­­kan bahwa daerah ini hampir meliputi sebagian besar daerah Sumpah Palapa Gajah Mada. Dan pulau Jawa hanyalah sebagian kecil dari Indonesia. Dia merasa bangga ketika tahu bahwa tak ada pemerintah penjajahan lagi. Semua urusan ketatanegaraan sudah diatur oleh orang pribumi sendiri. Sedang Nga­yog­yakar­ta Hadiningrat menjadi daerah istimewa di bawah kekuasaan Sri Sultan Hamengku Buwono.
Dia merasa begitu bahagia bahwa ternyata do­ngeng ibunya bukan hanya omong kosong belaka. Ta­pi ternyata punya pijaksana yang nyata bahwa ke­tu­runan Parikesit masih punya kekuasaan di pulau Ja­wa. Apalagi ketika dia tahu bahwa Sri Sultan men­ja­bat wakil presiden. Tiba-tiba dia merasa punya tu­gas yang harus diemban untuk mengembalikan ke­kua­saan mutlak Sri Sultan.
“Kau sudah gila, Rio! Lupakanlah angan-anganmu itu. Kita semua punya hidup yang harus diurus di sini. Kau kira orang-orang Jawa di sana tak mampu mengatasi tantangan hidup mereka dan memerlukan uluran tanganmu?” damprat saudaranya ketika dia me­rasa sebagai titisan Nabi Musa yang harus mem­ba­wa orang-orang Jawa di Kaledonia kembali ke t­a­nah leluhur.
“Tapi bukankah itu justru kelebihan kita?” be­la­nya. “Lihatlah orang-orang Perancis ke mana mereka berkiblat. Daerah ini bukanlah daerah Pasifik, tapi dae­rah Perancis Selatan. Kehidupan dan tata cara mereka tak ada yang berubah bukan? Lalu bagaimana dengan pendatang-pendatang Vietnam? Mereka me­ngi­rimkan uang dan senjata untuk melanjutkan per­juang­an melawan kekuatan Komunis. Kalau kita tak mau tahu-menahu soal asal-usul kita dan hanya me­mi­kirkan hidup kita di sini saja, kita tak akan jauh ber­beda dengan orang Kanak. Mereka menjadi go­long­an minoritas dan kehilangan hak di tempat me­re­ka sendiri. Kau tahu satu-satunya kesalahan me­re­ka justru karena mereka tidak berasal dari mana-mana.”
“Bicaramu sudah begitu ngawur. Mungkin kami harus mengundang dokter jiwa untuk memeriksamu.
Dengarkan kami baik-baik, Rio. Akhir-akhir ini kami semua merasa begitu khawatir tentang kegila­an­mu yang semakin parah. Kami sadar meng­hadapi beban mental merawat Jatmiko yang mati tidak hidup pun tidak, begitu berat. Apalagi masih ha­rus me­nga-suh cucumu Dewi bukan soal yang gampang.
Sadarlah, Rio, dan jangan kau biar­kan kegilaanmu itu berlarut-larut. Cobalah turun tangan bersama ka­mi mengembangkan keluarga. Dengan melakukan hal-hal yang positif akan mengembangkan self esteem­mu.”
Dia merasa usahanya membujuk sanak saudaranya sia-sia belaka. Tak ada seorang pun selain istrinya yang setia mencoba memahami jalan pikirannya.
Memang langkah per­ta­ma mewujudkan im­pi­an­nya itu semakin kabur se­telah Jatmiko, anak sa­tu-satunya mendapatkm kecelakaan ketika me­nye­lam di laut. Dia di­te­mu­kan dalam keadaan lum­puh. Kata dokter otaknya sudah rusak karena ke­ku­rangan zat asam. Jatmiko memang masih hidup. Ta­pi yang ada tinggallah tu­buh­nya yang harus di­tung­­­­­gu kerelaannya melepaskan dunia yang fana.
Rasa kehilangan Jatmiko bisa segera terobati ka­rena sepenuhnya perhatiannya tertumpah pada Dewi yang kehilangan ibunya waktu dilahirkan. Tumbuh harapannya suatu hari nanti Dewi akan bertemu de­ngan salah seorang pangeran dari Jawa dan mereka akan menurunkan Ratu Adil yang senantiasa di­nan­ti­kan itu. Dewi memang tumbuh menjadi wanita yang anggun semampai dengan tingkah yang lembut mempesona di samping otaknya yang cukup ce­mer­lang.
Untuk menjembati pertemuan Dewi dengan pa­nge­ran dari Jawa itu Dewi dikirimkannya ke Mel­baou­rne untuk menggali ilmu di Universitas Monash. Dari seorang kawan dia mendengar bahwa di Monash ada seorang Profesor Yahudi yang ahli dalam bidang politik di Indonesia dan juga seorang Profesor Be­lan­da yang ahli dalam masalah Mataram. Namun se­te­lah beberapa tahun di Melbourne, lewat surat-su­rat­nya Dewi tidak pernah menyebutkan penge­ta­hu­an barunya soal Jawa. Dia begitu tertegun mem­ba­ca surat terakhir Dewi padanya:
Jangan marah, Kakek, dari Profesor-profesor itu aku tak belajar apa-apa sama sekali. Mata inti dari ku­liah-kuliah mereka bisa dengan gampang ku­da­pat­kan dari buku-buku. Soalnya setiap orang bisa punya pen­dapat. Dan pendapat tanpa diberi ujud nyata da­lam perbuatan bagiku tak ada nilainya sama sekali. Aku lebih menemukan arti serta diriku sendiri dengan belajar melukis di Victorian College of The Arts.
Sekali lagi gelembung-gelembung impiannya re­tak. Tapi dia masih belum merasa bahwa impian itu su­dah di luar jangkauannya. Dia merasa perlu pergi ke Melbourne untuk memberi beberapa petunjuk pada Dewi.
“Jangan tergesa-gesa marah, Rio. Bukan salah De­wi kalau dia tidak mengerti rencanamu. Dewi bukan se­­bangsa serdadu yang hanya menjalankan perintah tan­­­pa berpikir atau mengajukan pertanyaan.” bujuk dan peringatan istrinya yang hampir selama per­ka­win­an mereka hanya se­la­lu mengiyakan kehen­dak­nya dan hampir tidak per­nah menyatakan pendapat sen­diri.
Dia harus merasa tetap tawakal dan sabar. Banyak garis bengkok yang masih bisa diluruskan pikirnya. Tanpa memberi khabar pa­da Dewi, dia dan istri­nya menuju ke Australia. Se­telah mendarat di la­pang­an terbang Tullama­rine mereka langsung menuju Hotel Windsor di bi­lang­an kota. Melbourne terasa begitu teratur dan ra­pi. Sedang kesan pertamanya seperti be­gitu formal dan konservatif. Dia begitu senang bahwa Hotel Win­d­­­­­­­sor adalah hotel yang mapan pu­nya sentuhan ko­lo­nial. Tidak seperti hotel-hotel mo­dern yang baru yang begitu trendi.
Setelah makan siang mereka menelpon Dewi yang tidak menyangka sama sekali bahwa kakek dan ne­nek­nya ada di Melbourne.
“Kakek dan nenek menginap di hotel apa?”
“Windsor di Spring Street,” jawabnya sambil mem­be­rikan nomor kamar mereka.
“Wah, itu hotel yang mewah. Kakek dan Nenek seperti sedang berbulan madu saja,” goda Dewi wa­laupun dia tahu bahwa kakeknya selalu punya selera yang tinggi. “Untung tidak ke Southern Cross, salah-salah kakek dan nenek bisa dikira turis dari Jepang.”
Sejauh ini dia masih merasa bisa mengontrol ke­adaan. Dia pikir kalau Dewi memang tertarik pada dunia seni mungkin lebih baik dikirim ke Yogyakarta. Di situ ada perguruan tinggi seni lukis dan sekaligus ju­ga merupakan pusat kegiatan kesenian tradisionil Jawa yang adi luhung. Berada di Yogya pasti akan meng­hasilkan pengalaman langsung mengenal dan terlihat dalam tata cara adat istiadat Jawa. Dan pe­lu­ang untuk ketemu dengan Sang Pangeran Jawa itu juga akan lebih besar.
“What a lovely surprise,” Dewi dengan wajah yang ber­seri-seri muncul di depan kamar ketika dia mem­bu­ka pintu, langsung memberikan ciuman di ke­dua belah pipinya. “I have a surprise for both of you too. Tapi kenalkan dulu, John. Ini Rio dan Handayani, ka­kek dan nenekku.”
Ya Allah ya Rabbi. Tak ada angin, tak ada men­dung dan hujan tapi geledek se­gera menyambar. Se­jak ka­pan Dewi berbahasa Ing­gris pada mereka. Mung­kin karena ada John; tapi paling tidak pada mu­lan­ya Dewi seharusnya me­nyapa da­lam bahasa Ja­wa. Tapi ma­salah beri­kut­nya yang disam­pai­kan oleh Dewi secara ka­lem itu me­nyam­­­­bar se­per­ti ledakan bom atom Perancis di Atol. Dewi se­dang me­nantikan ke­lahiran anak pertamanya!
Mer­asa dirinya sebagai pri­­yayi Jawa dia tak bisa me­nun­jukkan perasaannya yang se­be­narnya. Sedapat mung­kin di­usa­hakan me­nun­jukkan sikap kebija­k­sa­na­an calon seorang eyang buyut. John ternyata me­mang calon sang ayah yang tinggal bersama Dewi se­lama dua tahun belakangan ini. Tapi mereka tidak pernah me­nye­butkam rencana kawin sama sekali. Se­belum mereka pergi, karena John ha­rus memberi kuliah dalam waktu setengah jam lagi, ter­nyata dia ma­sih bisa menahan diri dengan meng­ajak mereka makan bersama malam nanti.
“Ya, Dewi akan telpon dulu nanti waktu pulang dari periksa di ahli kandungan,” ucap Dewi sebelum pergi.
Dia tidak bisa mengerti sama sekali bahwa Dewi bicara hamil di luar perkawinan tanpa rasa rikuh atau ma­lu, bahkan seperti bangga sekali. Dihem­pas­kan­nya badannya ke kasur dan langit-langit kamar seolah berputar. Dari bathroom terdengar bunyi kran dibuka. Gemericik air mengingatkannya pada kolam hias di halaman depan rumahnya.
“Lebih baik kau mandi dulu, Rio. Air sudah ku­siap­kan semua,” kata istrinya sambil men­g­hampiri­nya. “Kita bisa bicara dengan tenang nanti.”
Dia lepaskan semua pakaiannya dan dibiarkannya terpuruk di karpet. Sebentar lagi istrinya pasti akan membenahi. Dengan telanjang dia berjalan me­nye­be­rang kamar menuju ke bathroom. Sebelum masuk ke bath tub dilihatnya bayangan tubuhnya di kaca, masih nampak cukup tampan untuk seumurnya. Dia membaringkan dirinya di bath tub dengan hanya kepalanya yang menyembul keluar. Da­lam hati dipujinya istrinya yang selalu de­ngan baik menyiapkan air un­tuknya, tidak ter­lalu panas dan campuran bubble bath cukup creamy dan kaya akan buih.
“Mandi yang bersih, Rio, kau banyak sekali kokot bolot seperti kuli yang ti­dak per­nah mandi.” Dia ingat ibu­nya se­la­lu me­ne­gurnya bi­la ia ter­la­lu la­ma ber­main-main saja di bath tub. Se­ka­rang tidak pernah ada se­­­orang pun yang meng­gang­gunya. Bia­sa­nya bila sudah ter­la­lu lama istrinya pasti ma­suk ke bathroom de­­ngan membawa han­duk yang bersih atau piyama.
“Rio, kau mau piyama atau ganti pakaian untuk nan­­­ti ma­lam sekaligus?” ta­nya istri­nya mem­ba­ngun­­­­­­­­­­­­­­­­­­­kan­nya dari se­ga­la ke­nangan.
“Beri aku pakaian yang ber­sih, aku kepingin jalan-jalan se­bentar di Bourke Street.”
Istrinya hanya mengangguk dan ce­pat-cepat keluar karena mendengar bunyi telpon ber­dering. Dia tersenyum sendiri, ingin dia me­nye­but istrinya Sembadra karena begitu bakti dan setia seperti istri Arjuna. Dikeringkannya tu­buhnya dengan handuk lalu ditaburinya dengan talek yang lembut baunya.
“Dewi yang baru saja telpon,” kata istrinya sambil memberinya sepasang pakaian yang bersih. “Dia bi­lang kalau kita mau makan yang agak kerakyatan kita bisa ke Victoria Street, ke restauran Vietnam. Tapi kalau kita kepingin makanan Barat dengan suasana yang tidak terlalu formal, lebih-lebih kalau kau mau mencoba sausages atau sate buaya sebagai entree, kita bi­sa ke Grill Room di basement, pintu masuknya dari Little Collins. Lalu kita bisa dapat supper di Graund Floor untuk ngobrol sambil men­dengarkan permainan piano.” Dia tidak begitu mengacuhkan kata-kata istri­nya dan sibuk me­nge­nakan pakaiannya yang bersih.
“Rio kau dengarkan aku atau tidak?”
Lama tak ada jawaban. Sesaat ke­mudian dia ber­ba­lik menghadapi istri­­­nya.
“Ya. Dan aku begitu heran bahwa kau hanya te­­nang-tenang seolah-olah tak punya pendapat sen­diri.”
“Pendapat dalam hal apa?” tanya istrinya.
“Kau tahu kenapa kita kemari!? Untuk apa kita ke Melbourne?”
“Kau jangan mem­ben­­­­­­­­takku seperti itu, Rio.”
Dia begitu tersentak ketika untuk pertama kalinya istrinya berani menegurnya.
“Dewi! Dia, dia....”
“O, itu. Kuharap kita bisa berbicara secara lebih beradab,” potong is­tri­nya. Dia begitu geram men­de­ngar kata-kata istrinya yang datar tapi cukup tajam.
“Sejak kapan kau ikut memusuhiku?”
“Kau mau mendengarkan pendapatku atau hanya mau memancing pertengkaran saja?”
Dia hanya melotot tak bisa percaya bahwa wanita yang sedang bicara di depannya adalah istrinya yang sudah bertahun-tahun hidup bersamanya.
“Kalau soal impian gilamu mengenai Negeri Le­luhur itu terus terang saja aku tak punya. Mes­kipun keturunan orang Jawa aku hanyalah wong cilik ke­tu­runan kuli kontrak. Aku tak mau bicara, aku tak punya pendapat karena aku tidak tahu sama sekali soal Negeri Leluhur itu. Tapi soal De­wi, ya dia hamil, Rio. Anak yang dia kandung itu adalah buyut kita sendiri.
Kau boleh punya ukuran moral yang tinggi untuk hidupmu sendiri, Rio. Tapi kau tak boleh memak­sa­kan ukuran itu untuk hidup orang lain.”
Dia menarik napas pan­jang dan melangkah me­nu­ju ke jendela sambil setengah berkata pada dirinya sen­diri, “Kesalahanku kenapa aku tidak pernah berusaha mencari saudara-saudara ba­pakku di Jawa. Kalau aku tahu mereka, dulu Dewi pasti kukirim ke sana.”
“Kau tahu, Rio, kesalahanmu justru kenapa kau se­lalu bicara apa maumu saja dan tidak pernah memikirkan keinginan dan pikiran orang lain.”
Hening dan mereka berdua saling bertatapan.
“Aku mau pesan minuman, kau mau juga?” tanya istrinya.
Dia tidak menjawab dan istrinya pergi menelpon room service memesan sebotol anggur kesenangannya dan minta diberi dua gelas.
“Jangan kau anggap aku melawanmu, Rio. Aku bicara dengan jujur se­per­ti ini karena aku men­cintaimu. Aku ti­dak peduli apakah kau men­cintaiku atau ti­dak. Apakah kau ang­gap aku ini babu atau istrimu itu tidak soal ba­giku. Cinta yang tu­lus adalah cinta yang tan­pa pamrih. Ia adalah pengorbanan itu sen­diri.”
Tiba-tiba dia tidak tahan melihat air mata meleleh di pipi istrinya. Namun ia mencoba menutupi keharuannya. Dibu­ka­nya pin­tu ketika pela­yan datang membawa pesanan istrinya. Di­tan­datanganinya nota bon supaya bill itu di­ma­sukkan dalam re­keningnya nanti. Pela­yan itu ter­se­nyum lebar menerima tip yang lumayan.
“Shall I open the bottle now, Sir?”
Dia hanya mengangguk dan pelayan itu membuka botol serta menuangkan anggur ke kedua gelas untuk dia dan istrinya. Dia reguk anggur itu setelah si pe­layan pergi.
“Rio, apa yang kita cari dalam hidup ini selain kebahagiaan? Bagiku yang lain-lain tidak soal selama Dewi merasa bahagia untuk dirinya sendiri.”
Dia hanya mengangguk dan pelan-pelan terasa pundaknya yang berat menjadi ringan. Istrinya meman­dang­nya dengan pan­dang­an tidak per­ca­ya.***

(Dimuat dalam Horison, Maret 1990)



Tempat yang Terindah untuk Mati
Oleh: Seno Gumira Ajidarma

Kami, 10.000 pasukan berkuda, akhirnya keluar dari hutan itu. Di hadapan kami kini terbentang padang stepa yang begitu luas bagaikan tiada bertepi. Setelah hampir berminggu-minggu hanya merayapi jalan setapak di antara pohon-pohon dan semak belukar, padang yang terbuka itu bagaikan pelepasan yang lebih dari memadai untuk melampiaskan kerinduan kami akan kebebasan, lepas dari kungkungan jurang dan tebing yang serba menjulang dan mencekam.
“Pacu!”
Orang-orang yang berada paling depan sebenamya tidak usah menunggu diperintah untuk memacu ku­da­nya, bahkan kuda-kuda itu sendiri bagaikan tidak lagi menunggu perin­tah untuk segera memacu diri me­reka, melesat secepat-cepatnya bagaikan berpacu de­ngan angin dingin yang bertiup begitu kencang menggigilkan tulang.
“Pacu! Pacu! Pacu!”
Kami semua berpacu sepanjang padang stepa yang terbuka sambil berteriak-teriak menuntaskan kegem­bi­raan kami. Kuda-kuda kami berpacu dengan riang, de­ngan tenaga baru yang seolah-olah begitu saja da­tang dari langit. Kuda-kuda kami menggebu, melesat dan menggebu, seperti mengerti betapa jiwa kami te­lah lama begitu tertekan dalam perjalanan berat me­­nempuh hutan yang rapat, gelap, dan penuh de­ngan rintangan. Kami menggebu begitu laju, seolah-olah bahkan jiwa kami kalau bisa lepas dari belenggu badan, mendesing menuju kebebasan. Namun se­ka­rang, cuma inilah yang bisa kami lakukan, berpacu me­lawan angin, dan berteriak-teriak meluapkan ke­gem­­biraan kami.
“Huuuu! Huuuuu! Huuuu!”
Satu per satu penunggang kuda yang keluar dari hu­tan segera melaju. Kami, 10.000 pa­sukan berkuda, ber­­­de­rap me­laju menuju cakrawala. Padang stepa di­se­limuti salju yang tipis, dingin angin bagaikan me­ngi­ris wajah-wajah kami yang sebetulnya toh cuma tampak matanya saja. Seluruh tubuh ka­mi terbungkus jubah bulu bi­na­tang yang tebal dan berat. Kami juga mengenakan topi dan se­pa­tu dari kulit binatang ber­bulu te­bal. Semuanya terbungkus, be­­gitu juga ta­ngan kami yang me­me­gang kendali. Para pembawa pan­ji, bendera, dan umbul-umbul kini membuka jalan ke depan. Bendera raksasa yang berkibar dan menyibak angin itu terlihat menggetarkan. Kuda-kuda kami sa­ling berpacu dengan perkasa, bumi bergetar oleh de­rap pasukan yang melaju dan menggebu.
Kaki-kaki kuda kami bagaikan tak mengenal lelah, berpacu dan berpacu, surai kuda-kuda kami yang te­bal melambai-lambai dengan megah dan seluruh ge­rak tubuh mereka bagaikan menari dengan indah. La­ngit hanya biru. Cahaya matahari menyiram padang. Setiap orang memacu kudanya ke cakrawala yang me­­lingkar 360 derajat. Hutan di belakang kami kini ba­­gaikan titik-titik hitam, dan segera lenyap di balik ka­ki langit. Kami bagaikan ber­pa­cu di atas per­ma­da­ni tanpa te­pi. Selama berjam-jam kami akan ber­pacu dan kami akan ta­hu bahwa pemandangan ini ti­­dak akan pernah berubah. Di te­li­nga kami angin bersiut dan men­deru. Kami terus-menerus ber­derap sepanjang padang. Ka­mi bersedia membayar se­ga­la­nya untuk perasaan merdeka yang kami dapatkan. Jangankan berpacu yang begitu meng­gem­bi­rakan, bah­kan perjalanan ber­ming­gu-minggu di dalam hu­tan yang melelahkan pun kami lakukan asalkan kami bisa mencapai tempat tujuan. Kami tahu, perjalanan kami masih jauh lagi, ki­ni kami mengambil peluang untuk meraih kegem­bi­raan.
Kuda-kuda kami terus berpacu dengan laju. Ku­da-kuda memang lebih dari sekadar bagian hidup ka­mi. Tanpa kuda, apalah artinya kami? Kuda-kuda ka­mi selalu mengerti apa yang kami inginkan, dan me­re­ka selalu memenuhi segala kehendak kami dengan memuaskan. Kami tidak mengerti apa jadinya hidup kami tanpa kuda. Kami selalu bepergian, selalu ber­pin­dah, selalu bertualang. Kami selalu berpindah se­suai dengan pergantian musim, perjalanan angin, dan per­edaran bintang. Semua ini tak bisa lancar tanpa ku­da sepanjang pengembaraan. Kini kami semua su­dah siap menempuh perjalanan yang terakhir, dan ku­da-kuda kami tetap setia mengikuti sampai akhir tu­juan. Kuda-kuda kami masih terus berderap, bagai ber­­pacu dengan angin. Telinga ka­mi semua penuh de­ngan de­sau, yang kadang-kadang ter­de­ngar seperti sebuah percakapan, namun yang maknanya seperti selalu menghindari kepastian.
Sampai di manakah suatu per­jalanan berakhir? Apa­kah mung­kin suatu perjalanan ber­akhir? Apakah mesti suatu per­ja­lanan berakhir? Sudah ber­ta­hun-ta­hun kami mengembara dan kami tidak pernah merasa ya­kin kapan suatu perjalanan bi­sa berakhir. Kami me­ngembara dan menjelajah se­ge­nap per­mu­kaan bumi untuk mencari suatu akhir, namun sampai se­karang tia­­da satu alasan pun bisa meng­hentikan ka­mi. Kami me­­­­­nyeberangi sungai, ka­mi mendaki celah-celah gu­nung, kami mengarungi gurun pasir, dan kini kami ber­­­­­­­pacu di tengah padang tanpa tepi, tapi kami tidak ju­ga ingin berhenti. Kami bi­sa berhenti dan menetap di suatu tempat untuk satu, dua, bahkan bisa lima ta­­­hun, namun kami selalu be­rangkat kembali. Rumah kami sekarang adalah perjalanan itu sendiri.
Padang stepa yang terbuka masih tidak mem­per­li­­hatkan apa-apa kecuali hamparan rumput kering yang kelabu dengan polesan salju. Begitu luasnya pa­dang gurun ini sehingga kami me­rasa berjalan di tem­pat. Apa­kah yang terjadi di tempat-tem­pat lain ketika ka­mi berpacu? Pa­nah seorang pemburu sedang me­lesat ke jantung seekor rusa ke­tika kami berpacu. Bu­rung-bu­rung kondor beterbangan me­ling­kar di langit mengincar pe­ngem­­bara yang sekarat ke­haus­an ketika kami berpacu. Seekor ikan salmon me­nang­kap umpan dan tersendal pancing ke udara ketika kami berpacu. Benarkah se­ekor gajah menegakkan belalainya dan me­leng­king­kan bunyi terompetnya nun entah di mana ketika ka­mi berpacu? Seseorang mendayung perahu menuju ma­tahari terbenam ketika kami berpacu.
Kami berpacu, berpacu, dan berpacu.
“Huuuuu! Huuuuuu! Huuuuuuu!”
Kami berderap dan berpacu memburu matahari yang terbenam ke balik cakrawala. Langit yang tadi ba­gai tempurung raksasa membiru kini semburat me­rah terbakar. Matahari terasa betapa berat, menancap kemerahan bagai kuil yang menanti penziarah dari se­genap penjuru bumi. Kami berderap dan berpacu me­nuju matahari itu. Langit masih membara. Kami, 10.000 pasukan berkuda, menjadi bayang-bayang ke­hitam­an yang melesat ke suatu arah. Kalau matahari itu menghilang di balik cakrawala, kami harus mem­burunya ke balik cakrawala.

***
Tempat itu dinamakan Lembah Sepuluh Rem­bu­lan. Ada sepuluh danau di lem­bah yang luas mem­ben­tang itu dan seharusnya ada sepu­luh rembulan meng­apung di atas sepuluh danau. Namun, ketika ka­­­­­mi akhir­nya sampai ke lembah itu, musim dingin be­­lum ber­a­khir sehingga sepuluh danau itu masih men­­jadi dataran salju. Bila bulan yang perak itu mun­cul di langit malam, caha­ya­nya dipantulkan kem­ba­li oleh permukaan danau yang diselimuti salju. Di se­tiap danau itu setiap 1.000 orang dari kami berkemah. Di Lem­bah Sepuluh Rem­bu­lan inilah kami akan me­nunggu 100.000 saudara-saudara kami.
Seseorang dari kami tam­pak meniup seruling di ke­jau­h­an itu. Ia meniup seru­ling sambil duduk di se­buah batu di atas tebing, seolah-olah berhadapan de­ngan rem­bulan - bahkan rem­bulan se­perti turun ke bu­mi hanya untuk mendengarkannya me­niup seru­ling.
Tapi apakah rembulan me­ngerti arti lagu seruling itu? Seruling itu berkisah tentang riwayat kami yang panjang dengan bahasa kami sendiri. Apakah rem­bu­­lan bisa memahami, betapa nun di sebuah benua yang jauh bertahun-tahun yang silam suku kami ber­ke­mas untuk sebuah perjalanan yang tak kami ketahui ka­pan akan berakhir? Apakah rembulan mengerti, be­tapa berat penderitaan su­­­ku kami sepanjang per­ja­­lan­an mengarungi benua itu, menghadapi segenap rin­­tangan alam maupun suku-suku musuh kami? Apa­kah rembulan mampu me­nang­kap gelora sema­ngat pe­­­­­ngem­­­­­­­­­­baraan kami? Tak te­r­­hi­tung lagi berapa orang te­lah mati dan berapa bayi te­lah dilahir­kan se­pan­­jang per­ja­lanan dari kampung ke kampung, dari lembah ke lembah, dari bukit ke bukit, semenjak begitu banyak ta­hun yang telah lama berlalu.
Ia meniup seruling di atas tebing. Berkisah ten­tang kafilah panjang yang me­­nyeberangi gurun, orang-orang yang mengendarai ku­da dengan tertunduk, dan anak-anak yang tidur de­ngan­ gelisah di dalam ge­ro­bak-gerobak penuh barang dan bahan makanan, se­me­ntara seorang nenek tua ber­s­­­e­nandung dengan suara bu­ruk tentang tanah air yang su­dah mereka ting­galkan.
Lembah Sepuluh Rem­bu­lan adalah suatu lembah ger­sang dengan dataran yang sangat luas. Kami mem­­­­­biar­kan kuda kami men­jilati lelehan salju dan me­­rum­put di sana-sini. Ka­mi siapkan kantung-kan­tung tidur dan selimut ka­mi. Bukit-bukit batu yang men­ju­lang dan membentuk lembah ini melindungi kami dari angin sehingga kami bisa menyalakan api ung­gun. Di setiap api unggun ma­sih tampak orang-orang membakar sisa-sisa daging per­bekalan mereka dan me­­­­­ngunyahnya dengan la­hap. Beberapa orang ma­sih mi­num susu hangat yang ber­aroma teh, dan men­de­ngar­kan seseorang ber­ce­rita.
"Maka sang raja pun ja­tuh cinta kepada wanita dari negeri seberang itu...."
Kami selalu mem­bu­tuh­kan cerita, seruling, dan kuda. Kami me­mu­ja rem­bu­­lan dan matahari. Kami me­­­­nyem­bah langit, kami me­­nyembah bumi. Ka­mi men­­­­cintai keindahan se­per­ti men­cin­tai kehidupan itu sendiri.
Apakah yang akan kami lakukan selama hari-hari penantian kami? Tidur tanpa ten­da adalah suatu sik­saan yang berat bagi ka­mi, karena musim dingin yang se­lalu ber­angin akan terus-menerus menguji ke­ta­bah­­­an hati kami. Barangkali kami akan me­man­­faat­kan waktu untuk berburu, bu­kan hanya karena daging bi­na­tang buruan kami pe­r­lu­kan untuk menimbun per­be­kalan yang mulai me­ni­pis, tapi juga karena kulit ber­­­bulunya yang tebal kami butuhkan un­tuk membuat tenda. Apabila 100.000 sau­­­­­­­dara-saudara kami tiba, me­reka yang sebagian terdiri dari wanita, anak-anak, dan orang tua, akan mem­butuhkan tenda-tenda itu. Tenda-tenda kami ada­­lah­ tenda yang besar dan hangat, sudah berabad-a­bad bentuk tenda kami ti­dak pernah berubah. Di da­lam tenda itu kami bisa me­masak sekaligus meng­ha­ngat­­­kan diri kami.
Ketika kami semua ber­siap tidur dan memandang bi­n­tang gemintang di la­ngit, peniup seruling itu ma­sih di sana, melanjutkan ke­rinduannya yang panjang akan kampung halaman ka­mi yang terletak di sebuah da­­tar­an tinggi di tepi su­ngai, dengan latar belakang pe­­gunungan yang menjulang megah. Seruling itu meng­ingat­­kan kami kembali kepada kampung hala­man leluhur kami yang sungainya tidak pernah mem­beku, di mana bila senja tiba di tepi sungai akan ter­de­ngar derai tawa ce­ria gadis-gadis yang mandi, se­men­­tara di kejauhan terdengar gemerincing anting-anting dari daun telinga yang panjang itu di­cuci. Suara-suara itu dibawa angin ke bukit-bu­kit di mana anak-anak gembala me­main­kan serulingnya sambil tiduran di atas ker­bau -- inikah sebabnya suara se­ru­ling itu mem­buat kami diam? Kami sedih. Kami pas­rah. Kadang kami tidak tahu apa yang ha­rus kami perbuat.
Kemudian, ketika suara seruling itu le­nyap ke ba­lik malam barangkali kami masih mendengarnya di dalam mimpi-mimpi ka­mi, menjelma gambar-gambar yang ber­ke­le­bat dari masa lalu kami. Betapa selalu masa la­lu ber­ada dalam diri kami, dan kami menyu­kai­nya ka­re­­na memang tidak pernah ingin kehilangan masa lalu ka­mi yang semakin hari serasa semakin in­dah.
Kami sudah menempuh perjalanan yang panjang dan kini kami ingin tidur. Angin masih terus bertiup dan tak akan pemah berhenti. Kami mengerti betapa angin akan mengembara ke segenap penjuru bumi, ba­h­kan ia menyeberangi samudera mahaluas, meng­hu­bungkan kami dengan segenap unsur kehidupan. Betapa segala hal di muka bumi ini saling berkaitan.
Kemudian, tinggal kesunyian di Lembah Sepuluh Rembulan. Kami, 10.000 pasukan berkuda, tertidur dengan pulas, tiada yang mendengkur sama sekali. Di Lembah Sepuluh Rembulan hanya terdengar desau angin. Gemeretak api unggun segera berakhir. Tinggal bara api menyala diam-diam, makin lama makin menghilang. Maka terlihatlah gerak cahaya rembulan yang memantul di dinding-dinding batu. Rupa-rupanya bulan yang turun mendengarkan suara seruling mengangkasa kembali. Bertengger di atas sana. Sesekali tertutup awan.

***
Setahun kemudian seorang pengawal di atas te­bing berteriak.
“Hooooiiiii! Mereka sudah datang!”
Kami semua segera melompat ke atas kuda, dan memacunya ke tempat-tempat yang tinggi. Sebagian yang lain malah langsung keluar dari celah lembah, dan terbentanglah di hadapan kami pemandangan yang menggembirakan itu, pemandangan yang kami nan­tikan. Tak kurang dari 100.000 saudara-saudara kami muncul dengan meyakinkan dari balik kaki la­ngit.
Hari sudah menjelang senja, langit bagai tenda rak­sasa berwarna ungu. Saudara-saudara kami masih merupakan sosok-sosok hitam yang seolah-olah ber­jalan di tempat. Dengan perasaan yang sangat tidak sabar dan menggebu-gebu, kami berlari-lari turun dari bukit, langsung melompat ke atas kuda kami. De­ngan segera, kami menggebu menyambut 100.000 sau­dara-saudara kami yang masih merupakan sosok-so­sok hitam di kaki langit itu. Ketika saudara-saudara kami melihat kami datang menyambut mereka, se­ba­­gian dari mereka yang mengendarai unta dan ber­kuda segera melesat ke depan ingin segera bertemu de­ngan kami.
Senja itu langit yang ungu serasa begitu cerah. Tia­da yang lebih menggairahkan selain kehendak yang menggebu menjumpai orang-orang tercinta. Mereka semua telah menempuh perjalanan yang panjang di jalan yang telah kami rintis. Tentulah jumlah mereka sudah tidak genap 100.000 orang lagi. Tentu ada yang mati dan lahir sepanjang perjalanan, seperti yang sudah-sudah, kami baru akan mengetahuinya nanti.
Kemudian kami melihat panji, bendera, dan um­bul-umbul yang sama. Ber­­­kibar dengan megah, ber­ge­tar-getar dalam tiupan angin. Se­mua ini meng­ge­tar­kan jiwa kami dan kami merasa betapa setiap detik dalam hidup ka­mi sangat mem­­­­­­­punyai arti. Ka­­mi meng­gebu dengan pe­ra­­saan rindu dan penuh de­ngan cinta. Seperti apakah mereka kini?
“Huuu! Huuuu! Huuuu!”
Kaki-kaki kuda, berderap dan berpacu. Sosok-so­sok hi­tam itu makin lama makin mem­besar. Mereka yang ter­depan akhirnya bertemu mu­ka dengan kami. Masing-ma­sing dari kami kemudian ber­henti dan ber­hadapan. Rom­bong­an yang terdepan itu ma­sih me­nan­ti mereka yang ter­seok di belakang, dengan ge­ro­bak, kereta, gajah dan unta. Lebih banyak lagi yang ber­ja­lan kaki.
Kami semua turun dari kuda.
“Akbar!"
“Abdul!”
Kami semua berpelukan dengan penuh rindu dan penuh dendam. Kami tahu hari-hari akan menjadi lebih berat, namun kami juga tahu hari-hari kami akan lebih menggembirakan. Suku kami telah bersatu kem­­bali di bawah langit dan bumi yang sama. Wajah-wa­jah mereka tampak lelah dan kuyu, seluruh pa­kai­an mereka usang dan kelabu, penuh dengan debu, na­mun betapa dari sinar mata mereka terpancar jiwa pas­­rah dan ikhlas, siap me­nem­­­­­­­­­­puh perjalanan untuk ma­­­­­ti. Kami menyatu kembali da­lam gairah kehidupan yang pa­nas. Angin begitu dingin, na­­­mun tiada akan ada satu pun halangan kini bagi kami untuk meng­ung­kapkan suka­cita kami.
Begitulah kami akan mem­baca puisi di tepi danau, me­na­ri di atas perahu, memetik kecapi di puncak bu­­kit, dan melakukan meditasi bersama dari malam sampai pagi di ba­wah rembulan dan mata­ha­ri. Kami menatap saudara-sau­dara kami yang baru tiba dan merasa sedih meskipun gem­bira. Betapa mereka be­gitu tabah, dan kini begitu ku­­rus. Wanita dan anak-anak kami berambut kasar dan merah. Semua orang tam­pak tak terurus, tapi siapakah yang akan bisa tam­pak terurus dalam perjalanan panjang, menyeberang dari benua ke benua hanya untuk selalu pergi dan tak akan pernah kembali?
Kami terus-menerus saling berpelukan dengan je­rit dan tangis yang makin menjadi-jadi.
“Sarita!”
“Maneka!”
Mengapa kita bisa terus-menerus memikirkan se­se­orang meskipun kita berjarak begitu jauh dari se­se­orang itu dan telah berpisah begitu lama sehingga kadang-ka­dang se­benamya susah mem­­­­­­­­­­­­­­per­ta­han­kan ingatan atas seseorang itu dari hari ke hari dalam su­atu perjalanan yang terus-me­nerus berubah warna? Na­mun, betapa tiada jarak lagi ki­ni bagi kami. Ka­mi semua menemukan ma­sing-masing keluarga, kami berjalan kem­bali ke Lembah Sepuluh Rem­bu­lan sambil me­­­nye­nan­dung­kan lagu syu­kur dari hati. La­ngit mem­ber­kati kami. Pa­du­an suara lagu kami dipan­tul­kan kembali oleh dinding-din­ding tebing dan se­mua ini hanya meng­ingat­kan be­tapa kami sebagai ma­nusia sungguh memiliki nilai yang hakiki.
Kami membagi diri kami berdasarkan pemukiman di sepuluh danau sehingga setiap 10.000 orang dari sau­dara-saudara kami yang baru tiba akan bergabung dengan setiap 1.000 orang dari pasukan berkuda ka­mi. Kami tahu kami akan menyanyi dan menari malam ini. Kami akan membakar daging rusa dan kami akan memakannya sepuas hati. Kami akan membagi arak dan anggur dan kami akan menuangkannya ke atas daging bakar yang merah berasap membangkitkan lapar.
Kami begitu siap untuk ba­hagia, tapi kami me­na­han ke­gembiraan meluap kami se­ba­gai bekal me­na­han pen­de­ri­taan pada masa-masa yang akan datang. Ka­mi tidak ber­ma­buk-mabukan dan lupa da­rat­an, kami menyalurkan ke­ba­hagiaan kami dengan suatu cara yang hanya kami bisa melakukannya. Maka begitu­lah kami segera bekerja begitu tiba di Lembah Sepuluh Rem­bulan. Kami mendirikan ten­da bagi orang-orang yang sa­kit, kami mengatur pe­nge­lom­pokan sesuai dengan asal-usul setiap keluarga di kampung kami. Saudara-saudara kami yang baru da­tang itu begitu lelah dan begitu kurus se­hing­ga agaknya kami masih akan bertahan beberapa lama lagi di sini sebelum kelak ber­kemas dan berangkat kembali.
Kini semuanya sudah berada di Lembah Sepuluh Rembulan. Kami yang telah tinggal di sini selama setahun, bisa melihat bagaimana sepuluh rembulan itu mengapung di atas sepuluh danau selama musim pa­nas yang tetap saja dingin. Saudara-saudara kami yang 100.000 orang itu datang pada musim dingin, ja­di mereka hanya melihat sepuluh danau yang mem­beku. Bahkan ketebalan es di atas danau itu mampu menahan beban gajah yang berjalan di atasnya. Ga­jah-gajah yang kami bawa berbulu tebal, begitu juga un­ta dan kuda-kuda kami. Mereka begitu jinak, begitu mengerti, dan begitu penurut sehingga kami sungguh berterima kasih dengan segala pengorbanan mereka da­lam perjalanan kami.
Dalam perjalanan itu 53 orang dari kami me­ning­gal, dan kami menguburkannya di tengah jalan, se­men­tara itu 53 bayi dilahirkan sehingga jumlah sau­dara-saudara kami yang baru datang itu tetap genap berjumlah 100.000 orang. Adapun pasukan berkuda yang merintis jalan masih tetap berjumlah 10.000 orang.
Begitulah selama beberapa bulan yang tenang ka­mi tinggal di Lembah Sepuluh Rembulan. Pada musim semi danau masih membeku, namun rerumputan men­jadi lebih hijau. Ketika tiba musim panas, kami se­mua, 110.000 orang, berkemas dan bersiap me­lan­jutkan perjalanan.
Kami berangkat pada pagi subuh. Bulan masih meng­gantung di langit. Dari atas tebing kami me­no­leh untuk terakhir kalinya ke Lembah Sepuluh Rem­bu­lan. Kami melihat sepuluh rembulan mengapung di atas sepuluh danau, dan setiap orang yang me­li­hat­nya tersenyum dalam hati.

***
Sudah berbulan-bulan kami terus berjalan. Ketika matahari terbenam kami semua beristirahat dan tidur. Sebelum matahari terbit kami sudah berangkat lagi. Kami semua, 110.000 orang, melangkah perlahan-lahan menapaki jalan yang telah dikodratkan bagi kami. Begitulah kami berjalan, berjalan, dan berjalan mengarungi gurun, menempuh ngarai, menembus badai, dan menyeberangi sungai. Kami tidak pernah memacu kuda kami kecuali jika kami putuskan ber­henti sebentar untuk berburu. Kami terus-me­ne­rus berjalan dengan hati yang terpaut kepada cahaya. Ada semacam cahaya dari langit dalam hati yang terus-menerus bergerak setiap kali kami me­lang­kah mendekatinya. Kami, 110.000 anak manusia terus-menerus melang­kah, kuda dan unta melangkah pelan tapi pasti seperti doa yang diucapkan perl­a­han, khusyuk dan meyakinkan.
Kami jarang bercakap-cakap di an­tara kami karena hati kami sekarang ha­nya berisi penyerahan diri kepada ke­hi­dup­an. Bayi-bayi seperti tahu diri untuk ti­dak menangis, bahkan mata mereka pun bagai menatap sesuatu yang penuh dengan pesona. Barang­k­ali mereka juga melihat cahaya itu yang hanya bisa dita­tap dengan mata hati di langit jiwa ma­sing-masing yang mengerti dari mana hi­dup ini datang dan ke mana hidup ini per­gi. Kami berjalan menapaki jalur di an­ta­ra lembah, mendaki gunung-gunung batu, dan me­na­paki gigir-gigirnya yang mengerikan. Kami, 110.000 orang, de­ngan bayi di gendongan, orang sa­kit da­lam tanduan, dan hewan-hewan peliharaan yang tak bo­leh ditinggalkan, merayap di jurang yang curam, jalanan setapak berlumut yang begitu licin dan terlalu se­ring memelesetkan.
Kadangkala tiba saatnya seorang wanita harus me­la­hirkan di tengah jalan, maka sebagian dari kami pun berhenti mengurusnya, sementara yang lain me­ne­ruskan perjalanan. Rombongan kami membentuk ba­ris­an yang panjang bila melewati celah yang curam, menyebar seperti semut bila tiba di padang terben­tang. Mereka yang telah menjadi tua, lemah, dan lum­puh kami naikkan ke atas gajah-gajah kami yang ma­sih setia. Gajah-gajah ini berbadan besar, namun se­perti tidak mendapat halangan jika berjalan di dalam hutan, kaki mereka yang besar menapak dengan lin­cah di jalan setapak dan keseimbangan gajah-gajah ini sangat baik dalam pendakian dinding-dinding yang curam. Tentu mereka tahu jalan yang terbaik buat ga­jah sehingga kadang-kadang mereka harus me­mi­sah­­kan diri untuk bertemu lagi di suatu tempat lain. Kadang-kadang perpisahan ini bisa sampai berhari-hari lamanya, tapi kami rombongan 110.000 orang dengan segala hewan peliharaan tidak pernah benar-benar saling terpisah.
Begitulah di antara kami kemudian ada yang me­ninggal dan kami pun segera menguburnya tanpa me­ninggalkan upacara yang diharuskan. Semua orang yang pergi mendahului mati dalam pelukan cahaya. Mata mereka mengatakannya. Mereka yang mati da­lam perjalanan ini sebenarnyalah mati dalam ke­ba­ha­giaan. Arwah mereka membubung menyusuri ca­ha­ya, menuju sebuah dunia di alam sana yang hanya bisa dihayati setelah kematian. Itulah dunia yang kami rin­dukan, dunia yang kami impikan dari abad ke abad, dari dongeng ke dongeng, dari segala keinginan dan ke­hendak yang sejak lama terlukis di gua-gua leluhur ka­mi yang begitu gelap di mana mereka merindukan cahaya keabadian.
Kami melangkah, menapak pelan, terus-menerus ber­jalan, dengan kepastian bahwa jalan cahaya itu akan kami temukan. Setelah bertahun-tahun me­nem­puh perjalanan yang serasa alangkah panjang dari be­nua ke benua, kami kemudian merasa terbimbing oleh tan­da-tanda cahaya dalam jiwa kami yang penuh de­ngan keyakinan. Dari gurun ke gurun rombongan ka­mi berjalan, sudah lama juga kami tidak menjumpai tem­pat pemukiman maupun binatang. Dalam ke­nang­an kami masih tergambar dengan jelas betapa di tem­pat-tempat yang kami lewati pemandangan ter­pam­pang begitu indah sehingga kami kadangkala merasa terkecoh karena mengira inilah tempat yang kami rin­dukan. Namun kami tahu, meskipun matahari ter­be­­nam yang jingga itu begitu memukau di latar langit yang ungu, ini bukanlah tempat yang dimaksudkan dalam mimpi-mimpi kami tentang tempat yang ter­in­dah untuk menuju kematian karena tempat itu me­mang tidak terletak di muka bumi ini.
Tentu saja kami masih selalu teringat betapa pada awal keberangkatan segalanya terasa meng­gem­par­kan. Kami berangkat meninggalkan sebuah negeri di sebuah pulau yang segera menjadi kosong. Kami me­lewati desa dan kota yang penduduknya melihat ka­mi lewat bagai pawai panjang dari sebuah tontonan yang mengherankan. Sebegitu buruknyakah kehi­dup­an sehingga kematian bisa menjadi impian terindah bagi 110.000 orang yang tadinya hidup tenteram di tepi sebuah sungai dengan latar belakang pegunungan biru yang menjulang bagai tempat persemayaman dewa-dewa dari suatu dunia entah di mana bagai ne­geri yang hanya ada dalam dongengan? Kami pergi me­­ninggalkan kampung halaman kami dengan me­ning­galkan segala kebahagiaan yang telah kami da­pat­kan demi panggilan dari cahaya dalam mimpi-mim­pi kami.
Dunia kami memang berubah semenjak menerima tanda-tanda yang begitu memikat untuk diberi tang­gap­an. Kami semua bisa mengalami mimpi-mimpi yang sama dari malam ke malam yang penuh ke­aneh­an di mana bunyi genderang terdengar dari langit dan dari seberang sungai bagaikan terdengar paduan suara yang mengalun merdu dan menyejukkan. Kami se­mua terpana dan terpesona dan merasa segala-galanya tiada berarti lagi selain keinginan untuk menuju sum­ber suara dan mimpi-mimpi itu. Dari hari ke hari, se­­makin banyak tanda-tanda dalam mimpi-mimpi ma­lam kami dan betapa kami semua semakin merasa bahwa hanya dengan menuju tempat yang kami ingin­­­kan itulah terletak arti kehidupan kami. Maka begitulah hidup kami berubah ketika mendadak kami semua harus berkemas mempersiapkan sebuah per­ja­lanan yang belum bisa diketahui berapa lama dan ka­pan akan berakhir. Orang-orang tua di kampung me­ngatakan bahwa suku kami selalu mengalami hal-hal yang demikian semenjak abad-abad yang telah la­ma silam. Kami tak lagi mengerti apakah mimpi-mimpi kami merupakan warisan darah yang ditu­run­kan ataukah memang datang dari langit malam yang penuh dengan khayalan.
Langit merah di kaki langit. Kami, 110.000 anak manusia, masih terus-menerus berjalan di atas bumi yang fana.

***

Kemudian, tibalah kami pada suatu pagi di mana kami setelah bangun dari tidur yang panjang merasa tidak usah berjalan ke mana-mana lagi. Kami tahu betapa ketika kami menutup mata dan kemudian mem­bukanya lagi, kami telah melakukan perjalanan bersama cahaya ke suatu tempat yang tiada tertera da­­­lam peta mana pun di muka bumi. Memang masih se­perti gunung-gemunung tapi bukan gunung-ge­munung, memang masih seperti hamparan salju yang ter­poles di sana-sini dengan hewan-hewan ternak ber­bu­lu tebal tapi bukan hamparan salju yang terpoles-po­les di sana-sini dengan hewan-hewan ternak ber­bu­lu tebal, memang, memang, memang langit yang ungu membiru dan menggelap di kaki langit masih seperti sesuatu yang terdapat di muka bumi tapi bu­kan langit yang ungu membiru dan menggelap di kaki langit masih seperti sesuatu yang terdapat di muka bumi.
Garis cahaya yang meluncur sepanjang kaki langit melingkari kami. Tanpa diperintah setiap orang lantas melakukan semua persiapan untuk menanti saat itu. Ka­mi membasuh wajah dan telapak tangan kami dengan segantang air dari masing-masing perbekalan kami. Kami menanak sarapan pagi kami dengan per­ca­kapan sesedikit mungkin dan kami makan per­la­han-lahan tapi pasti untuk meyakinkan betapa kami akan menyambut saat-saat terbaik dalam hidup kami de­­ngan perut terisi. Semua orang mempersiapkan di­ri­nya tanpa kata tanpa angan-angan tanpa pertanyaan karena semua ini telah mengisi jiwa dan pikiran kami selama melakukan perjalanan bertahun-tahun meng­ikut­i cahaya di dalam langit jiwa kami.
Inilah pagi yang berembun dan berkabut yang per­lahan-lahan berpendar menampakkan siapa berada di selatan dan siapa berada di utara. Dari balik kabut itu, tampak kuda-kuda kami yang perkasa menatap kami dengan pandangan seolah-olah mengerti ten­tang segala hal yang akan terjadi. Pastilah dunia ini begitu luas dan begitu penuh kemungkinan sehingga jalan cahaya dalam impian ternyata mampu me­nam­pung 110.000 orang seketika lengkap dengan hewan-hewan peliharaan dan itu pun ternyata belum apa-apa. Kemudian kabut menjadi semakin tipis, me­ngam­bang, dan pergi. Kami tahu semuanya akan pergi dan berlalu seperti juga berakhimya perjalanan kami yang terlalu sulit untuk bisa diceritakan dengan kata-kata.
Langit ungu muda. Tiada mega di langit -- kami me­rasa saat-saat itu memang segera akan sampai. Sembari berjalan kian kemari setelah mengenakan busana terbaik yang kami miliki, kami menikmati setiap detik dari saat-saat kebahagiaan kami yang fa­na. Kami belum lagi mengerti kebahagiaan macam apakah yang masih bisa kami dapatkan lagi dalam ke­hidupan yang abadi. Hewan-hewan peliharaan ka­mi pun seperti tampak mempersiapkan diri. Gajah-ga­jah, unta-unta, dan kuda-kuda, mereka pun banyak yang mati sepanjang perjalanan, namun kami selalu men­dapatkan gantinya. Kami merasa sangat ber­te­ri­ma kasih kepada hewan-hewan peliharaan kami dan ka­mi merasa lebih dari layak bisa membawanya mem­bubung ke Negeri Cahaya.
Maka langit pun terkuak dan kami terkesiap. Kami hanya bisa menunduk dan merendahkan diri, hanya tegak di atas lutut kami. Tubuh kami bergetar dengan hebat dan kami merasa kecut. Tiada suara yang meng­ge­legar, namun dada kami berdebar bagaikan ter­de­ngar suara yang menggelegar. Cahaya yang terang me­nyi­laukan segera memutihkan dunia kami. Kami te­tap menunduk dengan perasaan tercekat, namun kami me­lihat segala-galanya memutih diserap cahaya. Pa­dang rumput memutih, panji, bendera dan umbul-um­bul kami yang berwarna merah pun memutih, se­gala-galanya memutih. Kami mencoba mengingat se­ga­la sesuatu yang berwarna dari kenangan dan mim­pi-mimpi kami, namun cahaya itu menembus dunia angan-angan kami sehingga segala sesuatu yang kami pandang dengan mata terbuka maupun tertutup ber­war­na putih. Kulit hewan peliharaan kami pun me­mu­tih, seperti juga seluruh busana terbaik yang kami ke­nakan, sepatu, kulit dan rambut kami, segalanya me­mutih lantas mengertap berkilauan seperti cahaya itu sendiri.
Begitulah kami semua, kemudian tidak bisa saling melihat karena di sekitar kami hanya cahaya yang ber­denyar-denyar menyilaukan membuat kami ma­sing-masing untuk pertama kalinya merasa sangat sen­­diri setelah dari hari ke hari hampir selalu bers­a­ma-sama semenjak dilahirkan di kampung kami. Tia­da lagi angin bertiup, tiada lagi debu mengepul, kuda-kuda berpacu, bayi menangis, dan suara seruling dari atas tebing pada malam bulan purnama. Sungguh se­mua ini terlalu menarik untuk ditinggalkan, namun se­perti juga air sungai dari sebuah sumber mata air di puncak gunung yang mengalir menuju lautan, be­gitu pula kami jalani kodrat kehidupan kami dengan tulus dan penuh keyakinan dengan perasaan bahwa semua ini memang suatu anugerah yang ter­lalu me­nye­nangkan. Begitulah kami menyerahkan diri de­ngan segala dosa dalam tubuh dan jiwa untuk disu­ci­­kan oleh cahaya itu sebelum kami berangkat ke akhir tujuan kami.
Lantas kami alami bagaimana jiwa kami dilun­cur­kan. Dari kelam ke kelam, dari cahaya ke cahaya, ke­­lak-kelok labirin yang memusingkan, gua pelangi yang menyilaukan.
Kami berangkat melewati tujuh rembulan, tujuh ma­tahari, dan berdoa di dalam tujuh kuil di atas awan. Langit yang berlapis-lapis memeluk jiwa kami dan ka­­mi kemudian merasa mampu berada di segala arah, dari barat sampai ke timur, dari selatan sampai ke uta­ra, secara serentak tanpa harus merasa berada di tem­­pat yang berlain-lainan. Begitulah rombongan ka­mi, 110.000 anak manusia, bangkit kembali dari tumpuan lutut kami dan kembali menaiki kuda-kuda ka­mi menyusuri jalan cahaya di langit yang telah ter­hampar di hadapan kami.
Kini kami semua telah menjadi anak cahaya yang memutih dan tidak saling mengenal perbedaan-per­be­daan kami karena kami semua hanyalah anak-anak ca­­haya yang saling menyilaukan dan saling me­lu­pa­kan. Hanya zat yang hanya bisa merasa bahagia di ja­­l­an yang terindah menuju kematian. Tiada lagi yang bi­sa kami lakukan selain meneruskan perjalanan, de­ngan atau tanpa badan, sendiri-sendiri maupun be­r­sama rombongan. Tiada yang lebih penting lagi kini se­­lain perjalanan menuju ketiadaan. Tiada yang lebih berharga lagi selain keindahan dalam kematian.

***
Kulihat di sepanjang langit, kemah-kemah awan. Apakah aku harus berhenti, atau meneruskan per­ja­lanan? Setelah bertahun-tahun menjadi bagian dari sua­tu perjalanan panjang ke satu tujuan kurindukan di­riku sendiri yang selalu berbisik perlahan-lahan. Se­makin jauh aku berjalan, semakin aku terikat kepada ke­nangan, semakin aku merasa diriku bukan bagian dari rombongan. Sudah begitu jauh aku berjalan, de­ngan segala derita dan pengabdian, dalam penyucian cahaya berkilatan, betapa bisa cahaya kesaksian tiada melihat kebohongan?
Kulihat satu per satu dari kami, 109.999 anak ca­ha­ya, ditelan gua-gua kebahagiaan di atas awan. Ba­rangkali ini memang tempat yang terindah untuk ma­ti. Aku melihat seribu cahaya berenang dan ber­ke­le­bat­an. Kulihat 109.999 anak cahaya melebur ke da­lam cahaya gemerlapan. Tinggal aku sendirian, me­nai­ki kuda putih di atas awan, melihat-lihat pe­man­dang­an.***

Ulaanbaatar - Jakarta, Maret-Juni 1996

(Dimuat dalam Horison, Juli 1996)


Enclave*
Oleh: Ramadhan KH

“Arigato gozaimasu! Arigato gozaimasu!” (Terima kasih! Terima kasih!), Okayama-san me­ng­ucapkan kata-kata itu sam­bil membungkukkan ba­dan­nya dalam-dalam, be­be­rapa kali. Sungguh, de­ngan pe­rasaan haru dan sua­ra hik­­­mat ia lepaskan isi ha­ti­nya itu dengan tulus. Ia me­rasa benar-benar gembira. Gem­­­­­­bira sekali. Wajahnya jadi cerah seperti langit yang ada di atasnya.
Beberapa meter di depannya berdiri Pak Marta yang menerima ucapan terima kasih Okayama itu.
“Massugu! Massugu! Maju lagi! Maju lagi! Ayo, ke sana lagi! Lihat dari sana, dari tepian yang lebih jauh.” Pak Marta menganjurkan Okayama supaya melang­kah lebih jauh, melihat lautan itu dari tempat yang le­bih dekat ke pantai, sambil mengibas-ngibaskan tangannya.
“Hay! Hay!” kata Okayama sambil lari-lari kecil, mengikuti anjuran Pak Marta. Ia senang mengikuti petunjuk Pak Marta, sahabat besannya, orang yang dirasakannya benar menjadi penolongnya di hari tua.
Di sebuah onggokan ia berhenti, lalu menatap ke kejauhan. Nikmat benar dirasakannya menerawang, mengikuti goresan kaki langit, menyapu lautan yang biru dan mengikuti gelombang yang beruntun bergantian sampai ke pantai.
“Tempat ini bagus sekali. Negeri ini indah sekali,” gumamnya, lalu menarik senyum sendirian.
Dari kejauhan ia berteriak dalam bahasa yang jauh daripada dikuasainya, tetapi sudah mulai dipelajarinya dengan tekun: “Bagusu-neh, bagusu-neh,” (Bagus, bagus) sambil melambai-lambaikan tangannya.
Seraya melangkah ia mereka-reka kembali ren­ca­na­nya yang sudah bermalam-malam bersama menan­tunya, Subarkah, membicarakannya. Dan tentu saja ia pernah merundingkannya juga dengan anaknya, Michiko, yang kali ini tertinggal di Osaka, tidak ikut terbang ke Jakarta.
“Bagusu-neh! Bagusu-neh!” ulangnya di depan Pak Marta.
“Senang? Senang punya tanah ini?” tanya Pak Marta dalam bahasa Jepang.
“Aaahh, senang, senang,” kata Okayama. “Tetapi ... tetapi ... ini bukan tanah saya. Ini tanah Subarkah dan Michiko. Bukan tanah saya.” Ia seperti mau menjelaskan kepada semua pihak, kepada penduduk di kampung itu, kepada pepohonan dan binatang-binatang yang ada di sana, bahwa tanah itu bukan miliknya, melainkan milik anaknya dan menantunya. Tetapi hati kecilnya tidak bisa membohonginya. Ia merasa, ia memilikinya juga, karena uang yang dibe­likan tanah itu adalah uang simpanannya. Dan ia gem­bira, sangat gembira, bahwa Subarkah mene­tap­kan, tanah itu atas nama istrinya, Michiko, di da­lam surat-surat jual belinya. Malahan terakhir sudah di­cantumkan dalam sertifikatnya, bahwa tanah itu milik Michiko, Nyonya Subarkah.
Pak Marta mengajak bicara Okayama-san dalam bahasa Jepang. Ia masih bisa berbicara dalam bahasa yang dulu pernah dikuasainya dengan benar selama jaman Jepang. Waktu itu ia duduk di sekolah mene­ngah di Bogor dan terkenal di antara sesama teman seko­lahnya sebagai murid yang paling pintar bahasa Je­pangnya.
Kalau tidak terpatahkan oleh kekalahan Jepang dalam peperangan, kemungkinan besar ia sudah dikirimkan ke Negeri Sakura untuk melanjutkan sekolahnya.
Bicaralah lagi Okayama-san dalam bahasanya. “Saya sekali lagi mesti mengucapkan terima kasih kepada Pak Marta-san, sudah menolong anak-anak saya, sehingga mereka mendapatkan tanah ini. Bagus sekali tanah ini. Kalau terlaksana, anak-anak saya akan mendirikan rumah di sini, dengan kebunnya yang bagus. Apa pohon kaki (kesemek, bahasa Jepang) bisa tumbuh di sini?”
“O, bisa tentu bisa. Disebutnya di sini, pohon kesemek,” jawab Pak Marta.
“Apa bunga anggrek bisa tumbuh di sini?”
“Bisa, bisa,” jawab Pak Marta meyakinkan sambil menatap Okayama. “Semua tanaman bisa hidup di sini. Lihat itu, pohon-pohon kelapa bagus-bagus di sini. Lihat, pohon pisang, pisang yang disukai Oka­yama-san, pisang raja, pisang ambon, pisang lumut, bisa hidup di sini. Asal diurus. Tanahnya, dicampur sedikit dengan tanah dari kebun saya di Cisaat. Bakal jadi bagus. Tidak ada tanaman yang tidak bisa tum­buh di sini. Tapi jangan minta pohon sakura tentunya. Hahahaha,” Pak Marta tertawa, diikuti oleh Oka­ya­ma-san. Juga Subarkah, sang menantu yang juga ada di sana mendampingi sang mertua, tertawa lebar. Ia pun senang bisa membuat mertuanya gembira. Bukan spesial karena istrinya jadi pemi­lik tanah itu di sana, melainkan karena mer­­tua­nya bisa mendapat kesi­buk­an yang bakal disukainya: bercocok tanam, di hari tuanya.
Bahwa Okayama-san, kini merasa senang, uang­nya bisa dipakai anaknya untuk membeli tanah di te­­pi pantai di daerah Sukabumi Selatan itu, adalah dise­babkan pengetahuannya bahwa di Jepang musta­hil ia bisa membeli tanah seluas itu. Di Jepang, apalagi di seputar Tokyo, orang menjual tanah dengan ukur­­an jengkalan, bukan meteran, karena mahalnya, se­ju­ta Yen sejengkal. Sekarang, di tepi Samudera Hindia yang elok itu, Michiko, anaknya, bisa memiliki tanah seluas satu hektar lebih. “Untuk siapa lagi uangku itu kalau bukan untuk Michiko (anak tung­gal­­nya),” Okayama pernah berpikir. Sebab itu ia be­ri­kan uang senilai empat puluh juta rupiah, sebegitu yang diper­lukan Michiko, untuk membeli ta­nah di kam­pung Sindanglaut, di tepi pantai di Sukabumi Se­lat­an itu. Okayama yang sudah pensiun dan diting­galkan istri­nya meninggal tiga tahun yang lalu, punya rencana ber­libur tiga kali dalam setahun, dan setiap kali berada di Sindanglaut untuk barang dua atau tiga bulan.
Di atas tanah seluas satu hektar lebih milik Michi­ko itu, sekarang sudah ada rumah kecil yang masih seder­hana. Tapi nanti rumah tua itu akan diganti de­ngan bangunan yang bagus. Okayama sudah punya gambar bentuk rumah yang akan dibangunnya di atas tanah milik keturunannya itu. Sebuah rumah potong­an Jepang dengan jendela-jendela dan atap potongan khas Jepang. Dan gambaran itu buat Okayama seka­rang, dengan uang yang sudah diperhitungkannya cukup, bukan mimpi pagi. Rencananya pun sudah bisa mulai dilaksanakan.

***
Okayama-san bersahabat kental dengan Kaku­tani-san. Mereka sama-sama duda. Tinggal tidak berjauhan. Dan sewaktu Okayama sudah berada lagi di Osaka, segera ia bercerita kepada Kakutani bahwa ia baru saja membeli tanah di Indonesia. Ia ceritakan de­ngan terperinci sekali berapa harga tanah yang dibelinya, atas nama siapa, di mana letaknya Sidang­laut itu, pemandangan seputar itu, dan sebagainya dan sebagainya.
“Dan bagusnya, bagusnya pemandangan di sana! Luar biasa! Pasti kamu pun akan suka,” kata Oka­yama-san kepada Kakutani-san yang juga mem­punyai cukup uang simpanannya.
“Dan istimewa lagi,” cerita Okayama kepada Kakutani, “dari tempat itu, selain ada laut yang bagus, ada daerah yang masih dihuni oleh badak, badak yang terkenal. Kesukaan kamu kan masuk hutan, melihat bina­tang langka?”
“Ya, ya. Apa sungguh begitu?”
“Sungguh!” kata Okayama meyakinkan.
“Tapi, bagaimana saya bisa membeli tanah di sana? Saya kan tidak punya menantu orang Indonesia,” kata Kakutani dengan nada rendah, seperti sudah tidak punya harapan.
“Mengapa kamu tidak punya akal?” kata Oka­yama. “Kamu kan belum punya istri lagi. Kalau saya seusiamu (--Kakutani lebih mu­da--), saya akan kawin lagi. Dan... akan mengambil wa­nita Indonesia. Cantik-can­tik lho, hahaha....”
Kakutani seperti kena gon­cangan yang membuat ia sa­dar. Ia pun pernah bertemu de­ngan ibu Subarkah, besan Oka­yama, waktu datang di Osaka. Dan terkenang sam­pai sekarang, bahwa wanita itu benar cantik walaupun sudah ada usia. “Pasti ia can­tik sekali waktu mudanya,” komentar Kaku­tani di dalam hatinya waktu ia pertama kali melihat­nya. Tetapi ia tidak punya keinginan lebih jauh, karena ayah Subarkah masih ada.
“Cantik-cantik?” Kakutani seperti mau tambah diyakin­kan, dengan nada suara se­per­ti berhasrat.
“Beneran. Cantik-cantik. Kalau kita jalan ke Sindang­laut itu, kita bisa lewat di se­buah kampung yang nama­nya Kadupandak. Saya per­nah di­ba­wa oleh kenalan saya lewat di sana. Di Kadu­pan­dak itu ba­nyak sekali yang cantik. Sung­guh! Kamu bisa bergairah lagi jika lewat di kam­pung itu. Saya pun waktu lewat di sana, merasa jadi muda kembali. Hahaha! Dan... dengan uangmu yang ada di bank se­­­karang, kamu bisa dapatkan seorang. Kebiasaan mereka pun baik-baik. Mereka tidak perlu kita ajar lagi supaya tinggal di rumah. Itu sudah kebiasaan mereka.”
Kakutani jadi berpikir beneran. Dan terbetik has­rat­nya: “Kalau istriku setia, dan mau menerima ke­bia­saanku, dan bisa membeli tanah yang luas, me­nga­­pa pula aku mesti simpan uang itu? Dengan uang cuma sebegitu mustahil aku bisa membeli tanah di negeriku sendiri ini. Kalau istriku menyenangkan, mengapa aku harus kikir dengan tidak memberikan uang kepadanya untuk bisa memiliki tanah yang luas dan bagus, dengan pemandangan yang indah seperti yang diceritakan Okayama? Aku pun tentu bisa me­nik­­matinya.” Ia pun ingat, bahwa ia sekarang sudah se­batang kara.

***
Saatnya pun tiba. Kakutani dan Okayama sudah ada di Jakarta.
Malahan ini yang kedua kalinya sudah. Mereka berdua menginap di sebuah hotel di jalan Thamrin, dan sudah pergi ke Sindanglaut.
Cepat sekali prosesnya, Kakutani memperlihat­kan seorang wanita yang luma­yan cantiknya kepada Okaya­ma. Ia, pada mulanya, tidak ceritakan bahwa Nurse­ha, be­gitu nama perem­puan yang dibawanya, dite­mu­kan­nya di sebuah panti pi­jat.
“Kami akan kawin,” kata Kakutani kepada Okayama.
Waktu ada kesempatan ber­­dua Kakutani dan Okaya­ma, Kakutani bercerita bahwa Nur­seha memenuhi hasratnya dan tidak banyak permintaan­nya. “Hanya meminta supaya sa­ya ma­suk agamanya. Dan saya se­pakati. Nampaknya aga­­­­manya kuat. Cuma keada­an eko­no­mi­nya saja yang per­nah membawa dia ke tempat pan­ti pijat,” kata Kakutani se­te­­lah didesak di mana mere­ka bertemu.
“Kalau sudah begitu, apa bisa ia sekarang tinggal di rumah?” tanya Okayama yang ragu.
“Ia berjanji. Dan kamu yang mengatakan bahwa pe­­rem­puan Indonesia itu bisa ting­­­­gal di rumah, bukan? Nulse­ha (--ia tidak bisa meng­ucap­kan r--) sendiri sudah janji, cuma kalau ber­sa­ma saya ia akan ke luar rumah.” Kakutani sudah bisa melupakan apa yang telah terjadi dan dialami Nurseha sebelum ini. Ia bisa meng­hapus apa yang sudah-sudah. Yang dipenting­kannya hari depannya.
“Bagus, bagus kalau begitu,” kata Okayama. ”Dan soal tanah itu, bagaimana?” tanya Okayama lagi setelah ia ingat pada tanah yang sudah diinjaknya bersama, di samping tanah Michiko.
“Jadi. Tentu saja jadi. Itu kan benar bagus. Dan benar murah,” kata Kakutani. “Sesudah kami nikah, saya akan belikan istri saya tanah yang itu.” Kakutani menarik wajah bangga dan serius.
“Kapan akan nikah?” tanya Okayama-san.
“Secepatnya,” jawab Kakutani-san.

***
Benar juga. Tidak lama setelah itu. Kakutani dan Nurseha melangsungkan perhelatan di Sukabumi, disaksikan oleh Okayama. Pernikahan itu dilaksa­na­­kan di depan penghulu, setelah Kakutani meme­nuhi syarat yang diminta oleh Nurseha dan keluar­ganya.
Tanah di Sindanglaut yang berdempetan dengan milik Michiko pun kemudian dibeli Nurseha atas namanya. Lebih luas daripada yang dimiliki Michiko dan lebih mahal harganya. Tetapi terbeli oleh Nurseha yang membuat surat janji, bahwa kalau sampai ia dan suaminya bercerai, uang senilai pembelian tanah itu akan dikembalikan. Nurseha merasa pintar. Ia sudah menghitung, bahwa nilai tanah akan cepat naik, dan uang rupiah tak akan bisa mengejar harga tanah. Tetapi Kakutani-san merasa pintar juga, ia merasa senang, bahwa ia nanti bisa berlibur di tempat yang ba­gus itu, di tepi pantai yang lautnya biru, cerah langit­­nya, dan gelombangnya amat memikat. Apalagi di pagi hari, atau di sore menuju senja. Dan ia pegang surat-surat tanah itu.
“Mustahil aku bisa punya tanah sebagus itu dan seluas itu di negeriku sendiri,” pikir Kakutani. “Aku akan sering saja berada di sana.”

***
Di sebuah organisasi di kotanya, Kakutani punya sahabat akrab, Kanazawa-san, tempat ia mence­rita­kan rahasia hidupnya. Sebab itu pula ia tak ber­alang­­an men­ceritakan tentang tanah yang dibelinya, atas na­ma Nurseha yang pernah ditemukannya di sebu­ah pan­ti pijat, tapi sekarang sudah jadi istrinya.
Kanazawa-san, pemborong bangunan, tergerak juga hatinya. Ia pun ingin memiliki tanah sebagus seperti yang diceritakan temannya. “Benar murah,” pikir­nya, setelah ia membandingkan dengan harga tanah di negerinya. Soal jarak Jepang - Indonesia, tak dirasakannya jauh. Ia pun sudah beberapa kali mem­baca brosur-brosur tentang perjalanan ke Indone­sia dan apa yang bisa dilihat di negeri di se­belah selatan itu.
“Tapi bagaimana kami bisa membeli tanah di sa­na?” tanya Kanazawa kepada teman akrabnya.
“Bisa. Pasti bisa. Kata orang di sana, di sana segala bisa diatur. Pasti ada cara-caranya. Apalagi sekarang, segala di sana sudah terbuka. Kita diajak oleh mereka untuk datang ke sana, untuk usaha. Tetapi yang pasti lagi, kita bisa tinggal di sana semusim-semusim. Ka­lau musim dingin di sini, dan kamu merasa encok di sini, kita bisa tinggal di sana. Di sana kan selalu ada ma­tahari. Percayalah, kamu akan senang tinggal di sana. Pantainya bagus. Lautnya bagus, bagus sekali. Kamu tidak akan bisa membeli tanah seluas itu de­ngan seluruh kekayaanmu yang kamu miliki di sini. Tentu yang ukurannya luas yah,” kata Kakutani.

***
Kanazawa-san terbang bersama Kakutani dan Okayama ke Jakarta. Lalu mereka pergi ke Sindang­laut. Kanazawa-san takjub melihat daerah pantai Samudera Hindia itu.
“Bagaimana cara membelinya?” tanya Kanazawa.
“Ini, ini orangnya yang bisa membantu kita,” kata Kakutani sambil menunjuk seorang laki-laki yang bekerja di Kecamatan di Sidanglaut, yang tempo hari mengatur pembelian tanah untuk Michiko dan Nurseha.
“Bapak ini, Pak Kosasih, bisa menolong kita,” kata Okayama sambil memegang tangan Kosasih.
Kosasih yang pernah membantu kedua orang itu dengan urusan tanah di sana, dengan kebutuhannya, tersenyum lebar. Ia tentu saja senang. Sudah dua kali ia pernah mengatur jual beli tanah dengan orang- orang Jepang itu dan memasukkan uang ke kantong­nya sendiri lebih dari lumayan. Tetapi, sebenamya hati nuraninya pernah goyang, terasa tak menentu, tetapi keuntungan yang diperolehnya menghapus kegelisah­annya itu. “Tak ada kesalahan saya,” pikir­nya. “Yang satu kali untuk menantunya bersama anak­­­­­­­nya. Yang kedua kali untuk istrinya. Orang kita-ki­ta juga. Sah-sah saja,” pikirnya.
Okayama dan Kakutani lalu mengajak bicara Ko­sasih yang sudah siap untuk membantu. Sudah tergitik juga hati Kosasih oleh gambaran bahwa kali ini ia bisa beruntung banyak lagi. Ia mengetahui, ada sebi­dang tanah luas yang juga tidak jauh letaknya da­ri tanah Michiko. Tanah itu bekas perkebunan ke­cil, tapi sudah tidak terurus. Dan akan dijual. Teta­pi terhalang oleh beberapa rumah kampung dari ta­nah Michiko.
“Tidak jadi soal. Rumah-rumah kampung itu bisa dipindahkan,” kata Kosasih dengan menarik senyum lebar. Ia pun yakin, bahwa yang dikatakannya itu bisa jadi kenyataan. “Apa yang tidak bisa dengan uang?” pikirnya.
Ketiga orang Jepang itu pergi ke tanah bekas perkebunan kecil itu, dibarengi oleh Kosasih dan dua orang kawannya, seorang yang lebih tua, Ramdan, seorang lagi yang lebih muda, Garnida.
Ada kekurangan di tanah bekas perkebunan kecil itu yang terasa oleh Kanazawa-san. Tetapi Kosasih, lewat Okayama yang sudah tambah pintar berbahasa Indonesia, bisa meyakinkan, bahwa kekurangan yang dirasakan oleh Kanazawa itu nanti bisa diatasi. Tanah itu tidak nempel pada pantai.
Kanazawa-san menginginkan membuat semacam hotel di sana.
“Tetapi hotel akan laku kalau menempel pada laut,” kata Kanazawa kepada Okayama dan Kaku­tani.
Kosasih seperti bisa menangkap apa yang diingin­kan oleh Kanazawa. Sebab itu ia cepat berkata kepa­da Okayama: “Kami bisa atur. Tidak ada yang tidak bisa diatur di sini. Tanah yang menghalang-halangi itu, antara lahan ini dan laut, bisa diatur supaya jadi jalan ke pantai. Supaya nyambung jadi bagian tanah ini,” kata Kosasih sambil menarik wajah senyum dan meyakinkan. Ia pun yakin dengan uang segala bisa beres. Ia merasa, bahwa atasan-atasannya yang ada di Kecamatan dan di Kabupaten akan setuju, se­ham­par­an tanah yang ada di tepi laut itu digabungkan saja dengan tanah bekas perkebunan kecil itu.
Ia berpikir lagi. “Ini jadinya proyek pemba­ngun­an.” Kata "pembangunan" itu melintas sejenak saja di kepalanya, tapi menyebabkannya jadi merasa kuat. Kata pembangunan itu mengubah kesulitan yang tadi pernah mengganjal sebentar di hatinya.
“Pasti bisa! Pasti bisa!” kata Kosasih kepada Ka­na­zawa. Kemudian kepalanya digerakkannya meng­hadap ke arah Kakutani, lalu ke arah Okayama, me­minta dukungan. Ia menunggu kepastian.
Ketiga orang Jepang itu mengangguk-angguk. Lalu mereka berbicara dalam bahasa mereka. Kosa­sih mendengarkan saja, tak mengerti sepatah kata pun, tapi harapan menyelinap di antara perasaannya.
“Ya, asal benar bisa diatur begitu, tuan Kanazawa tertarik," kata Okayama.

***
Selang beberapa waktu, Okayama-san, Kakutani-san dan Kanazawa-san sudah berada di Indonesia lagi. Mereka tidak membuang waktu. Sindanglaut mereka tuju.
Masing-masing mengatur kepemilikannya. Oka­ya­ma yang sekali ini didampingi Michiko dan suami­nya, Subarkah, sudah mulai dengan membangun ru­mah yang mereka cita-citakan. Rumah tua sudah di­bong­kar. Tiang-tiang baru sudah dipancangkan. Ka­ku­tani-san pun langsung mengukur-ukur tanah yang akan dipakai untuk bangunan rumah yang bakal dihuni bersama Nurseha. Ia tidak kepalang bergerak, segala bahan yang diperlukannya sudah ia siapkan dari dan di negerinya. Tinggallah nanti ia mencari tu­kang-tukang yang bakal diperbantukan kepada arsitek Jepang yang bakal membangun rumahnya itu.
Kanazawa-san dikerumuni oleh pegawai-pegawai dari Kecamatan Sindanglaut. Beberapa orang pega­wai Kabupaten Sukabumi pun ada di sekelilingnya.
Rencana bangunan hotel sudah siap. Soal tanah yang menghalang-halangi sudah terpecahkan. De­ngan duit, apa yang tidak bisa dibereskan di kampung ini, pikirnya. Dan ia sudah jadi lebih pandai, atas an­jur­an penasihatnya ia sudah menggaet orang di Ja­kar­ta penguasa penting.
Penghuni beberapa rumah yang menghalang-ha­langi antara tanah Michiko dan Kanazawa pun sudah sepakat untuk pindah. Entah berapa ongkos memin­dahkan mereka yang sebenarnya. Orang-orang Jepang itu tidak tahu. Uang siluman tak jelas masuk ke kan­tong saku siapa. Tanah yang menghalangi-halangi per­kebunan kecil dengan laut itu pun sudah diatur oleh orang-orang di kantor Kecamatan, di kantor Ka­bupaten, malahan di kantor Gubernuran, sehingga bi­sa dipakai untuk keperluan Kanazawa-san yang pu­nya uang banyak. Kanazawa-san nampak tenang-tenang saja. Sebab memang setelah diperhitungkan­nya, masih jauh lebih murah daripada jika harus mem­­bangun di negerinya.
Maka pembangunan dimulai di daerah itu.
Nampak sekali ada kesibukan di wilayah yang tadinya kampung itu. Dan bertambah lagi kericuhan di daerah itu, karena bukan saja Okayama-san, Ka­ku­­tani-san dan Kanazawa-san yang membangun di sa­na, melainkan ada Saito-san, ada Tanaka-san, Ta­ka­­hashi-san dan beberapa lagi orang Jepang yang bu­kan saja tertarik, melainkan sudah mulai membangun di daerah yang tadinya masih ladang tegalan, sawah musiman dan kebun terlantar itu.
Orang-orang Jepang itu mendengar kemungkinan-kemungkinan itu dari mulut ke mulut. Brosur-brosur pariwisata pun sampai pada mereka. Dan semua meng­­­hitung: tanah di Sindanglaut itu benar-benar ja­uh lebih murah dibandingkan dengan yang ada di Tokyo, atau yang di Osaka atau yang di Okinawa se­ka­li­pun. Mereka seperti sudah berpikir, bahwa dunia ini untuk kita semua, untuk semua penghuni bumi. “Untuk siapa saja, untuk kita, yang bisa membelinya dan membangunnya,” pikir mereka. Untuk pihak yang pintar, pikirnya. Ya, semua kedudukan pun bisa kita capai, pikir mereka. Dan mereka ingat pada beberapa kursi yang ada di sejumlah negara di luar negeri me­re­ka yang sudah diduduki oleh bangsa mereka, ke­tu­runan mereka.

***
Maka ramailah pembangunan di Sindanglaut. Ke­ba­nyakan peralatan dan malahan bahan-bahannya pun didatangkan dari Jepang. Sebab kebanyakan pe­milik tanah itu _lewat menantu, istri, sahabat dan pel­bagai cara dan ilmu yang tak jelas duduk per­ka­ra­nya_ memungkinkan rumah-rumah dan bangunan lain­nya di sana berbentuk seperti di kampung asal me­reka. Sampai-sampai bangunan yang seperti toko dan hotel pun disusun dan berbentuk bangunan Jepang.

***
Pak Marta datang di Sindanglaut. Ia pun sudah mendengar kabar dari orang tua Subarkah, sahabat kentalnya, bahwa di kampung di tepi Samudera Hin­­dia itu sudah berdiri satu daerah enclave, daerah kan­tong Jepang.
“Siapa yang salah?” pikirnya, lalu ia sebentar merenung.
Ia menjawab sendiri: Okayama-san adalah mertua Subarkah. Michiko adalah istri Subarkah. Nurseha ada­lah istri Kakutani. Kanazawa-san adalah pengu­sa­ha yang diajak datang untuk menanam modal. Ia sudah bergabung dengan anak-anak pembesar di Jakarta. Saito-san idem dito. Okahara-san sami ma­won. Anaka-san menempuh jalan yang juga tidak se­be­rapa sulit dirasakannya. Kosasih sudah punya ru­mah baru dan istri baru di Sukabumi dan keluyuran dengan mobil Suzuki yang paling mutakhir. Garnida sudah naik motor Honda yang paling diidam-idam­kan­nya dan paling disenanginya.
Lebih dari duapuluh orang Jepang sudah mem­ba­ngun di daerah Sindanglaut itu, di atas tanah yang le­­bih dari dua ratus hektar. Jangan ditanya asal usul tanah itu: tanah wakaf pun sudah berubah catatan­nya.
Tinggallah Ramdan yang berjongkok menatap orang-orang yang sedang mengangkat-angkat kayu dan besi itu dari kejauhan. Bukan saja hatinya ter­gang­gu, gamang, untuk ikut serta dalam pem­bangun­an itu, tetapi ia sudah tua. Melangkah pun su­dah sa­kit­-sakitan. Di hatinya ia merasa tertinggal, kare­na rumahnya pun sudah tergusur.
“Tetapi siapa di daerah ini yang tidak tergusur, Pak Marta?!” kata Ramdan kepada Pak Marta yang duduk di kursi di depannya. Suara Ramdan terdengar melas sekali, menyayat hati orang yang diajaknya bicara.
Pak Marta tidak sanggup menatap wajah Ramdan yang sudah kurus dan keriput itu. Ia arahkan tatapan­nya ke kejauhan, ke langit yang bersih, ke kaki langit, ke lautan yang biru, ke ombak yang bergelombang.
“Pilihanku benar,” kata Pak Marta kepada Ram­dan yang tetap jongkok di dekatnya. “Tempat ini bagus, benar bagus. Tetapi....” Ia tidak meneruskan ingatannya. Ia seperti menelannya.
“Jangan jongkok terus begitu, Bapak,” ajak Pak Marta kepada Ramdan. “Duduklah di sini. Di sini masih ada kursi.”
Ramdan mengikuti ajakan Pak Marta, bangkit dan duduk di kursi.
“Bagaimana perasaan Bapak melihat kampung ini sekarang?” tanya Pak Marta. Ia sendiri diliputi bebe­rapa pertanyaan yang tidak bisa dijawabnya sendiri. Ia gundah, terjepit antara sesal dan senang. Ia ingat, permulaannya amat sederhana. Kelanjutan­nya jadi amat serius.
Dengan ragu, Ramdan, orang tua itu, menjawab: “Entahlah. Dulu saya pernah benci kepada orang-orang Jepang itu, Pak Marta.”
Pak Marta cepat mengerti.
Sementara itu Kosasih datang. Ia menarik wajah gembira. Mukanya pun nampak licin, bersih. Sudah gemukan bentuk badannya dibanding dengan beberapa bulan yang lalu. Pakaiannya serba baru dan mencolok. Kendaraannya, mobil Suzuki diparkirnya di halaman kantornya. Percakapannya menunjukkan kegembiraan yang luar biasa. Ia merasa berjasa, ter­utama kepada istri-istrinya, anak-anaknya, orang tua­nya, mertua-mertuanya. Ia sudah bisa membelikan mereka pelbagai barang modern yang biasa dita­yang­kan di televisi yang ia saksikan di rumahnya.
“Berapa umur Bapak?” tanya Pak Marta kepada Kosasih. “Tidak mengalami jaman Jepang?”
“Ah, saya belum lahir waktu itu,” jawab Kosasih.
“Bapak bekerja di Kecamatan, kan?” kata Pak Marta.
“Ya, Pak. Tadinya saya mau dipindahkan ke Su­ka­bumi, tapi saya menolak. Daerah ini mesti diba­ngun, Pak.” Ia setengah membusungkan dada. Hati kecil­nya berbisik jujur. “Di sini lebih meng­un­tung­kan.”
Di tengah itu Garnida muncul dengan menaiki motornya.
“Wah, kamu sudah punya motor segala sekarang, yah,” kata Pak Marta.
“Alhamdulillah, Pak,” kata Garnida.
“Maju yah. Hasil kerja di sini?” tanya Pak Marta.
Ramdan mengetahui silsilah pembelian motor itu. Maka ia menyelip menyambung pembicaraan: “Ru­mah­nya, rumah orang tuanya, digusur, Pak. Ia pindah ke kampung di balik bukit itu.”
“Ya, Pak Kosasih membujuk kami, Pak,” kata Garnida. Ia bicara sesungguhnya. Ia tidak menatap ke masa depan, juga tidak pernah berkenalan dengan buku-buku tentang masa lampau. Ia terhitung pe­mu­­da masa sekarang yang diusik oleh pelbagai ta­yang­an barang jualan di layar kaca dan hanya me­mi­kir­kan masa ini, hari ini, saat ini, detik ini.
Sekali Garnida bertatapan muka dengan Ramdan. Masing-masing dengan pikirannya sendiri. Tak ada jembatan penghubung yang mengaitkan pembicaraan serius di antara mereka. Dan yang tua serta yang muda, sudah seperti kelelahan jika harus berpikir.
Suasana pun seperti direka untuk jadi demikian.
Sementara itu pembangunan di daerah enclave ber­­jalan terus, mengikuti pihak yang menginginkan. ***

*) Enclave = Daerah kantong.

(Dimuat dalam Horison, September 1997)

Tidak ada komentar: